KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (5)
KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (5)
Rasanya masih cukup lama perdebatan tentang lima hari sekolah. Hal ini disebabkan penolakan terhadap LHS, FDS atau DJS itu ternyata semakin mengental atau semakin menguat. Hal ini tentu didasari oleh besarnya keinginan untuk melindungi terhadap lembaga pendidikan non formal yang berupa madrasah diniyah, madrasah diniyah takmiliyah dan TPQ-TPQ atau bahkan eksistensi bimbingan belajar yang juga hidup dan berkembang.
Namun demikian, titik kuat penolakan tersebut terletak pada eksistensi lembaga pendidikan non formal keagamaan yang memang bisa gulung tikar jika penerapan LHS, FDS atau DJS tersebut tidak benar-benar dilakukan. Saya memang sependapat bahwa eksistensi lembaga pendidikan non formal keagamaan ini justru harus lebih kuat di masa mendatang.
Saya secara substansial wajib menerima konsepsi pendidikan karakter yang diimplementasikan di dalam program pembelajaran baik di sekolah maupun di madrasah. Namun demikian tetap akan menjadi problem di saat kemudian diimplementasikan di dalam lima hari sekolah. Hal ini tentu terkait dengan realitas bahwa sudah ada lembaga-lembaga pendidikan yang eksis di dalam melaksanakan pembelajaran non formal yang telah bekerja dalam puluhan tahun, yaitu madrasah diniyah dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, yang kiranya terbaik di dalam pilihan untuk hari sekolah tentunya ialah dengan menyesuaikan dengan tradisi Indonesia yang selama ini telah menyelenggarakan pendidikan formal dalam enam hari sekolah dan kemudian melaksanakan pendidikan tambahan melalui lembaga pendidikan non formal seperti madrasah diniyah atau madrasah diniyah takmiliyah atau bahkan lembaga pendidikan non formal lainnya
Bagi saya, pemerintah di dalam hal ini, juga tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menyelenggarakan pendidikan dengan cara menetapkan peraturan atau regulasi yang berakibat terhadap runtuhnya bangunan system pendidikan non formal yang sudah berkontribusi terhadap program pendidikan. Sebaiknya pemerintah justru harus memperkuat system pendidikan non formal tersebut agar menjadi lebih berdaya.
Kesan yang dirasakan sebagai akibat regulasi yang dikeluarkan oleh Kemendikbud tentunya ialah perasaan bahwa pemerintah (kemendikbud) akan membonsai terhadap pendidikan madrasah diniyah yang selama ini telah memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan masyarakat. Berdasar atas kesan itu maka menimbulkan resistensi yang luar biasa. Penolakan itu terasa semakin kuat akhir-akhir ini.
Jika di dalam tulisan kemarin saya memberikan solusi penerimaan terhadap LHS, DJS atau FDS, maka tentunya dengan syarat yang sangat ketat. Bukan merupakan mandatory tetapi voluntary. Meskipun saya tahu bahwa sebuah kebijakan yang dibuat tentu harus bercorak populis, sama bagi semua, akan tetapi hal ini merupakan diskresi yang harus dilakukan. Saya memberikan gagasan ini mengingat bahwa yang menolak tidak akan mundur dan demikian pula sebaliknya. Sudah kepalang basah, maka harus dicari diskresinya.
Oleh karena itu, yang sebaiknya ditempuh ialah “tetap” mempertahankan pendidikan enam hari dengan beberapa persyaratan. Pertama, semua siswa yang belum mengikuti program pendidikan non formal, untuk pendalaman agama, maka wajib bagi yang bersangkutan untuk mengikutinya. Semua lembaga agama harus memiliki lembaga pendidikan non formal keagamaan yang menyediakan fasilitasi pendidikan agama.
Kedua, lembaga pendidikan agama non formal ini harus menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan formal sebagai perwujudan untuk memastikan bahwa para siswa mengikuti program dimaksud. Semua siswa harus terdaftar di dalam lembaga pendidikan non-formal untuk kepentingan pendidikan tambahan, baik agama, kesenian, olahraga dan sebagainya.
Ketiga, memastikan bahwa lembaga pendidikan non formal tersebut memang benar-benar memiliki kompetensi sebagai lembaga penyelenggara pendidikan non formal. Hal ini bisa dibuktikan dengan tanda daftar pada Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian lain yang terkait. Keformalan administrasi lembaga pendidikan dimaksud sebagai basis untuk bisa bekerja sama dengan lembaga pendidikan formal dalam penyelenggaraan pendidikan tambahan.
Keempat, pemerintah harus memperkuat status dan posisi lembaga pendidikan non formal melalui pendampingan program yang bertujuan untuk penguatan dan pemberdayaan lembaga pendidikan non formal tersebut. Hal ini harus dilakukan agar lembaga pendidikan non formal tersebut memiliki “kesetaraan” di dalam program pembelajarannya.
Kelima, meskipun pemerintah tidak harus berkeinginan untuk melakukan intervensi terhadap program dan penyelenggaraan pendidikan non formal, akan tetapi juga sebaiknya pemerintah merumuskan standarisasi pendidikan non formal untuk menghindari mal praktek di dalam penyelenggaraan pendidikan non formal.
Dengan demikian, ke depan akan terjadi gerakan simbiosis mutualisme antara lembaga pendidikan formal dan non formal, sehingga tujuan utama pendidikan karakter akan bisa dicapai. Saya kira tidak perlu ada rasa “malu” untuk melakukan suatu kebijakan public yang relevan dengan keinginan bersama.
Wallahu a’lam bi al shawab.
