MAHASISWA BARU SEMANGAT BARU
Saya diundang oleh Rektor UIN Alauddin Makasar, Prof. Dr. Musafir, MSi dalam rangka dua hal, yaitu memberikan motivasi pada mahasiswa baru UIN Alauddin Makassar dan Rapat Dewan Pengawas (Dewas) PK-BLU UIN Alauddin Makassar, tanggal 4 September 2017. Hadir di dalam acara ini ialah seluruh mahasiswa baru dan anggota Senat UIN Alauddin Makasar. Sebagaimana diketahui bahwa UIN Alauddin ini memiliki tradisi terkait penyambutan mahasiswa baru dengan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa, sehingga seluruh anggota Senat UIN Alauddin hadir di sini.
Pada kesempatan yang baik ini, maka saya sampaikan 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, saya sampaikan apresiasi atas acara yang sangat baik ini. Saya melihat bahwa cara penerimaan mahasiswa baru dengan Rapat Senat adalah sebuah tradisi yang baik, agar para mahasiswa mengenal tentang tradisi baru di dalam dunia akademik, ialah Rapat Senat Universitas untuk menyambutnya. Penyambutan mahasiswa baru dengan Rapat Senat Universitas adalah sesuatu yang sangat baik. Ia merupakan tradisi yang memberikan rasa kebanggan bagi para mahasiswa bahwa diri mereka diterima oleh segenap pimpinan universitas dan juga para guru besar universitas dan segenap jajarannya.
Kedua, saya sampaikan tentang tantangan mahasiswa Indonesia sekarang dan akan datang. Ada 4 (empat) hal sebagai tantangan bagi bangsa ini, yang tentu saja juga merupakan tantangan para mahasiswa Indonesia, yaitu: tantangan untuk mempertahankan keindonesia kita, tantangan untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa, serta keharusan untuk mempertahankan consensus kebangsaan yang berupa Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan. Lalu tantangan “serangan narkoba”, yang saya sebut sebagai “Perang candu”. Kita nyaris miris melihat perkembangan perdagangan narkoba yang sekarang sedang semarak di Indonesia. Ada banyak orang yang tidak rela melihat Indonesia semakin baik, maka yang dirusaknya ialah para generasi muda. Tidak hanya itu tetapi juga keinginan untuk menghancurkan Indonesia melalui rusaknya mental para generasi muda. Kemudian juga tantangan hoax atau berita bohong. Kita sedang berada di era “proxy war” atau “cyber war”. Kita juga diserang habis-habisan tentang berita-berita bohong yang berisi ujaran kebencian, caci maki, pembunuhan karakter dan sebagainya. Semua ini bertujuan untuk memecah belah bangsa kita di tengah upaya untuk melakukan percepatan pembangunan. Lalu juga tantangan persebaran pornografi. Semua ini dilakukan tidak hanya sekedar urusan bisnis tetapi juga memiliki tujuan lebih jauh ialah untuk merusak mental generasi muda, agar tidak bisa menjadi generasi penerus bangsa.
Ketiga, apa ayang harus dilakukan oleh kita semua, yaitu: kita harus menyadari bahwa kita akan menghadapi Indonesia emas tahun 2045, genap 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Masa depan Indonesia tergantung kepada para mahasiswa yang sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi. Tahun 2030-2045 adalah tahun ananda semua. Tahun di mana kita harus melihat Indonesia yang lebih jaya dan lebih hebat. Para dosen dan yang sudah tua-tua akan lengser dari kehidupan ini dan akan merasa bangga di alam lain karena kehebatan para pemuda Indonesia sekarang yang akan memegang tampuk kepemimpinan Indonesia di masa depan.
Kita semua tentu merasa senang bahwa PTKIN sudah bukan lagi sebagai lembaga pendidikan tinggi alternative, tetapi sudah menjadi lembaga pendidikan tinggi pilihan. Bayangkan di UIN Alauddin ini ada peminat sebanyak 14.000 orang dan hanya bisa diterima sebanyak 5000 mahasiswa. Sebuah gambaran kompetisi yang sangat memadai. Sebagai lembaga pendidika pilihan, maka sudah seharusnya di sini dikembangkan program studi unggulan sehingga akan dihasilkan lulusan yang memiliki keunikan di dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Makanya mahasiswa tidak hanya dibekali dengan kemampuan hard skilled akan tetapi juga dengan kemampuan soft skilled. Sebagaimana dinyatakan oleh Dale Gomemann, bahwa kemampuan soft skilled memberikan sumbangan 80 persen keberhasilan seseorang. Dan kemampuan hard skilled hanya memberikan sumbangan sebesar 20 persen. Jadi, kita semua berharap agar di tengah tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini, maka semua berkonsentrasi agar UIN Alauddin dapat mencapai keunggulan kelembagaan dan kemudian menghasilkan keunggulan lulusan UIN Alauddin Makasar.
Program unggulan itu mencakup bidang Islamic studies, ilmu sosial humaniora maupun Sains dan teknologi. Semua diupayakan untuk memiliki keunggulannya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya semua harus bekerja keras, tidak hanya pimpinan PTKIN-nya, tetapi juga dosen dan mahasiswanya. Jika semua bisa melakukannya maka label UIN Alauddin Makasar sebagai perguruan tinggi pilihan itu akan semakin besar potensinya.
Banggalah menjadi mahasiswa UIN Alauddin Makasar, anda semua adalah orang yang terpilih. Sebagai penutup ceramah motivatif ini maka saya teriakkan yel-yel bersama seluruh mahasiswa dan para professor, yaitu: ketika saya teriakkan “UIN Alauddin”, maka dijawab dengan “pilihan kita” sebanyak 3 (tiga) kali, ketika saya teriakkan “mahasiswa Indonesia hebat”, maka dijawab “yes, yes, yes”, dan ketika saya teriakkan “Indonesia sejahtera”, dijawab dangan kata “oke, oke, oke”.
Wallahu a’lam bi al shawab
KEKERASAN TERHADAP MASYARAKAT ISLAM ROHINGYA (3)
Dunia berharap agar Indonesia menjadi mediator untuk terlibat secara proaktif terhadap masalah kekerasan sosial dan politik di Myanmar. Begitu kuatnya desakan itu, tentu lalu Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, untuk terbang ke Myanmar dan juga Bangladesh untuk membicarakan secara khusus penyelesaian masalah Rohingya.
Indonesia oleh dunia dianggap yang paling layak untuk menjadi mediator tentu karena Indonesia dan Myanmar adalah sesama anggota Asean, di mana Indonesia dan Myanmar merupakan bagian penting dalam hubungan multilateral antar negara. Lalu, Indonesia adalah negara yang memiliki kapasitas sebagai negara dengan multiagama, di mana Islam menjadi agama mayoritas penduduknya, dan Buddha menjadi minoritas. Tentu berkesebalikan dengan Myanmar dengan umat Buddha sebagai mayoritas dan Islam sebagai minoritas. Indonesia dikenal sebagai negara dengan kerukunan umat beragama yang sudah teruji. Konflik Islam dan Buddhis nyaris tidak dijumpai di Indonesia.
Sebagai bangsa yang plural dan multicultural, Indonesia memang berhasil memanej dengan cerdas terhadap kebinekaan tersebut. Nyaris tidak dijumpai kekerasan agama yang berskala luas. Sejauh ini konflik antar umat beragama tersebut dapat dimanej dengan sangat baik. Kemampuan untuk melokalisasi konflik inilah yang saya kira menjadi modal dasar yang kuat mengapa Indonesia diminta oleh banyak kalangan untuk memprakarsai rekonsiliasi antar umat beragama di Myanmar.
Selain itu, sebagai bentuk solidaritas umat Buddha Indonesia terhadap tragedy kemanusiaan di Myanmar adalah dengan dikeluarkannya seruan Majelis-Majelis Agama Buddha di Indonesia agar pertikaian atau konflik horizontal di Myanmar segera diselesaikan. Seruan damai itu memberikan arti bahwa umat Buddha di Indonesia secara moral tidak mendukung dan bahkan “mengecam” terhadap tragedy kemanusiaan yang sungguh sangat fatal. Jadi, pada dasarnya, bahwa agama Buddha di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam aliran dan dalam majelis-majelis yang bervariasi tentu tidak menghendaki terjadinya tragedy kemanusiaan tersebut dan lalu dikaitkan dengan ajaran agama Buddha. Prinsip yang selalu saya dengar di dalam setiap pertemuan formal atau informal di kalangan masyarakat Buddha selalu menyatakan ”semoga semua makhluk di dunia mencapai bahagia”. Ajaran inilah yang menjadi inti dari agama Buddha yaitu ingin agar semua makhluk di dunia tidak berada di dalam suasana konfliktual.
Memang harus diakui bahwa umat beragama di Indonesia berada di dalam nuansa saling mengormati dan mengakui eksistensi dan bahkan melakukan kerja sama yang sangat baik. Hal inilah yang menyebabkan adanya kerukunan umat beragama yang harmonis di Indonesia. Tidak hanya co-eksistensi tetapi juga pro-eksistensi. Sebuah cara pergaulan antar umat beragama yang sangat baik dan bahkan bisa menjadi laboratorium kerukunan umat beragama. Indonesia adalah the best example for religious harmony in all of the world.
Dunia tentu sangat membutuhkan terhadap peran Indonesia di dalam keterlibatan proaktif dalam penyelesaian kasus atau konflik di Rohingya. Berbekal pengalaman mengelola perbedaan atau kebinekaan dimaksud, maka Indonesia diharapkan dapat mentransfer pengalaman empiriknya guna memberikan solusi permanen terhadap konflik sosial politik berbalut agama. Posisi Indonesia tentu sangat penting bahkan urgen di dalam kerangka membangun perdamaian berbasis kesetaraan dan keadilan.
Berbagai macam kecaman, pernyataan keprihatinan dan juga tindakan unjuk rasa terhadap ketidakadilan perilaku pemerintahan Myanmar tentu sudah sangat nyaring terdengar. Organisasi sosial politik, keagamaan, kepemudaan, kemahasiswaan sudah memberikan “warning” kepada pemerintah Myanmar. MUI, NU, Muhammadiyah, Anshor, IKAPMII, KAHMI dan sebagainya sudah memberikan ungkapan keprihatinan dan sekaligus permintaan agar pemerintah Myanmar tidak mendiamkan masalah konflik di Rakhine tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah Myanmar sudah sepatutnya merespon berbagai ungkapan kelompok masyarakat Islam di belahan negara lain untuk selanjutnya merespon dengan tindakan nyata. Hentikan kekerasan di Rohingya dan selamatkan Rohingya dari genosida dan pembantaian. Saya kira pesan itu sudah sangat keras, yang jika pemerintah Myanmar tidak menggubrisnya tentu akan menimbulkan dampak negative bagi relasi antar umat beragama, khususnya Islam dan Buddha.
Pernyataan Presiden Joko Widodo agar jangan hanya bersimpati dengan pernyataan-pernyataan saya kira patut untuk diapresiasi. Perlu tindakan nyata, begitulah kira-kira ajakan Presiden RI itu. Dengan mengirimkan Menteri Luar Negeri untuk menggunakan kekuatan diplomatic dalam kerangka menyelesaikan konflik di Myanmar ini memberikan bukti bahwa Indonesia bertindak proaktif dalam penyelesaian masalah di negara anggota Asean ini.
Kita tentu berharap agar langkah diplomatic yang dimainkan oleh Pemerintah Indonesia akan menjadi instrument untuk membangun jalan damai yang sesungguhnya menjadi keinginan semua makhluk di dunia.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KEKERASAN TERHADAP MUSLIM ROHINGYA (2)
Pemberitaan di berbagai media Indonesia, baik media cetak, elektronik maupun media sosial lainnya tentang Masyarakat Islam Rohingya tetap menjadi isu yang panas. Pemberitaan itu tentu terkait dengan insiden yang menyebabkan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan Myanmar terhadap masyarakat Islam di Provinsi Rakhine.
Jika dilakukan pemetaan secara kurang lebih, maka ada dua jenis pemberitaan yaitu: pertama, terkait dengan tindakan brutal aparat keamanan terhadap kaum muslim di Provinsi Rakhine, sehingga menyebabkan sejumlah rakyat yang bertepatan beragama Islam tersebut meninggal, atau terusir dari daerahnya dan juga sejumlah lainnya yang luka-luka. Mereka adalah kaum sipil Rohingya yang beragama Islam. Di dalam konteks ini, maka pemberitaan tersebut mengungkapkan bagaimana pemerintah Myanmar secara sengaja membiarkan kekerasan tersebut terjadi dan sejauh di dalam pemberitaannya tidak ada upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini.
Berbagai tindakan yang dilakukan ialah dengan mengecam pemerintahan Myanmar di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, mantan pejuang Hak Asasi Manusia dan memperoleh penghargaan Nobel, yang sekarang justru dianggap melakukan pembiaran terhadap masalah Rohingya berlarut-larut. Sejumlah organisasi atau Badan Dunia dan juga organisasi sosial politik, agama dan kepemudaan menyuarakan tentang ketidakadilan dan penistaan terhadap kemanusiaan bahkan dianggap sebagai tindakan criminal melawan kemanusiaan atau crime against humanity, dengan kekerasan di luar batas kemanusiaan. Ada sejumlah pernyataan, petisi dan juga himbauan agar pemerintah Aung San Suu Kyi proaktif menyelesaikan masalah ini. Kelompok ini menganggap bahwa kaum Radikalis Buddha dan pemerintah berada dibalik tindakan kekerasan pada umat Islam di Rakhine.
Kedua, pemberitaan yang lebih independen dengan mengangkat bahwa kekerasan ini bukanlah masalah agama akan tetapi masalah sosial yang memang telah lama menjadi problem di Provinsi Rakhine. Pemberitaan ini di dalam berbagai konteksnya menyatakan bahwa masalah ini muncul sebagai akibat gesekan sosial politik yang memang telah menjadi laten. Ada perseteruan atau bahkan konflik jangka panjang yang terjadi di sini. Saling menyerang dan saling melakukan tindakan kekerasan pun bukan hal baru di sini. Meskipun di dalam kenyataannya memang yang menjadi korban adalah kaum sipil yang ketepatan beragama Islam. Jadi, sebenarnya bukanlah perang agama atau konflik agama akan tetapi adalah konflik horizontal yang memang terjadi dengan skala yang luas.
Saya berusaha memberikan penjelasan terkait dengan pendekatan ekonomi politik dan sedikit memasukkan aspek agama. Melalui pendekatan ekonomi politik, maka sesungguhnya yang terjadi adalah konflik yang disebabkan oleh pembatasan akses ekonomi dan politik yang dilakukan oleh pemerintah Aung San Suu Kyi terhadap warga sipil di Provinsi Rakhine atau yang disebut sebagai minoritas muslim Rohingya.
Pembedaan perlakuan antara satu wilayah atau satu komunitas dengan komunitas lainnya –dengan dalih apapun—itulah yang sesungguhnya menjadi penyebab atau pengungkit mengapa kaum minoritas ini melalukan perlawanan. Sebagai kaum minoritas, umat Islam Rohingya tentu merasakan betapa jelek perlakuan pemerintah terhadapnya. Keterbatasan sumber daya ekonomi dan politik yang kemudian berpadupadan dengan masalah agama tentu menyebabkan tindakan nekad dari sejumlah anggota komunitas tersebut untuk mencoba keluar dari jaring-jaring keterbatasannya.
Kekerasan di Rohingya bukan sekedar masalah agama tetapi sebenarnya adalah juga masalah keterbatasan akses politik dan ekonomi. Mereka merasa sebagai kelompok yang terus menerus dipinggirkan oleh mayoritas umat di Myanmar, dan bertepatan bahwa pemerintah dimaknai berada di belakang tindakan untuk meminggirkannya. Itulah sebabnya mereka menjadi melawan sebagai tindakan protest atas ketidakadilan pada mereka. Apa yang dilakukan sesungguhnya merupakan bagian dari keinginan dihargai dan diperlakukan sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Sayangnya Aung San Suu Kyai—mantan pejuang HAM—yang sekarang menjadi State Counselor Myanmar, tidak melakukan apapun terkait dengan kekerasan demi kekerasan yang menimpa terhadap kaum minoritas muslim Rohingya. Sesuatu yang di masa lalu menjadi focus perhatiannya itu kini ditinggalkannya. Tidak ada lagi perjuangan terhadap kaum minoritas tertindas. Itulah yang menyebabkan desakan agar Hadiah Nobel yang pernah diterimanya dicabut saja. Begitulah seruan organisasi dan pejuang yang mengatasnamakan Muslim Rohingya.
Jadi sebenarnya, akar masalahnya adalah pada pemberian penghargaan dan akses bagi warga Rohingya sebagai warga negara merdeka. Makanya, secara konseptual bisa dinyatakan bahwa selama perlakuan terhadap muslim Rohingya tidak adil terutama dalam akses ekonomi dan politik, maka selama itu pula konflik negara dan masyarakat itu akan terjadi. Dan yang kemudian dijadikan sebagai penguatnya ialah agama yang memang bisa menjadi factor penguat dalam berbagai konflik sosial politik.
Tetapi di antara yang juga sangat memprihatinkan adalah bahwa radikalisme agama –yang bisa terjadi pada agama apapun—juga tentu menyumbang terhadap parahnya relasi kemanusiaan dan kebangsaan di Myanmar. Selama radikalisme bertali temali dengan keterbatasan akses ekonomi politik pada suatu komunitas tertentu, maka selama itu konflik horizontal itu akan terus berlangsung.
Jadi memang dibutuhkan tekanan dunia internasional untuk memberikan pelajaran kepada pemerintah dan masyarakat Myanmar agar kran ketidakadilan akan akses ekonomi politik menjadi terbuka dan perlu ada tindakan rujuk nasional untuk menyelesaikan semuanya. Jika tidak dilakukan, maka penyelesaian yang dilakukan hanya akan bersifat sementara saja, padalah yang dibutuhkan adalah solusi permanen.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KEKERASAN TERHADAP ISLAM ROHINGYA (1)
Islam memang sebuah agama yang mengajarkan akan keselamatan. Tidak ada orang yang menolak hal ini kecuali orang yang tidak mempercayai terhadap doktrin keselamatan di dalam Islam. Ada banyak sekali tulisan yang memberikan justifikasi tentang Islam sebagai agama yang penuh kerahmatan, tidak saja bagi umat Islam tetapi juga bagi penganut agama lain.
Secara doktriner memang tidak diragukan tentang posisi Islam dalam persoalan kerahmatan bagi kemanusaiaan. Hanya saja, Islam sebagai doktrin keselamatan terkadang dikotori oleh umatnya sendiri dan juga terkadang oleh orang yang phobia terhadap Islam. Makanya, di dunia ini Islam sering menjadi sasaran tindak kekerasan yang disebabkan oleh tindakan mereka yang tidak atau kurang memahami tentang doktrin keislaman dimaksud.
Di berbagai belahan dunia ini bisa dilihat bagaimana tindakan kekerasan terhadap umat Islam itu terus berlangsung. Di Timur Tengah, khususnya di wilayah Gaza, Palestina, maka didapati kekerasan yang dirasakan oleh umat Islam sebagai akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Di Chechnya, terdapat kekerasan yang dilakukan oleh orang Kristen dan di India juga didapati kekerasan terhadap umat Islam yang dilakukan oleh orang Hindu yang membenci Islam. Demikian pula terhadap Suku Uighur di Cina yang juga memperoleh kekerasan dari umat agama lain.
Mereka yang melakukannya tentu adalah umat agama yang tidak memahami makna dan arti penting doktrin keselamatan yang ditebarkan oleh semua agama. Seringkali kepentingan politik dan sosial yang menggerus terhadap doktrin keselamatan yang nyata-nyata ada pada setiap agama. Mereka kebanyakan menggunakan doktrin agama, akan tetapi sesungguhnya sangat jauh dari ajaran agama yang dipedomaninya.
Di antara pemeluk-pemeluk agama ini tentu saja ada yang memiliki kesadaran untuk memberikan tempat secara layak terhadap umat agama lain, atau memberikan peluang untuk hidup damai dan tenteram. Salah satunya ialah Indonesia, yang saya kira bisa menjadi contoh tentang bagaimana kerukunan beragama dapat dirajut dari perbedaan yang nyata mengenai keyakinan agama-agama.
Kita dikejutkan oleh perlakuan orang-orang Buddha di Myanmar. Mereka melakukan serangkaian pembantaian terhadap minoritas Muslim Rohingya. Sungguh derita muslim Rohingya seakan tidak pernah berhenti. Dahulu Aung San Suu Kyi dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM). Dia adalah pembela luar biasa terhadap ketidakadilan dan penolong utama bagi kaum dhuafa atau kaum tertindas, baik secara politik maupun agama. Itulah sebabnya dia pun mendapatkan Habiah Nobel Perdamaian yang disebebkan oleh pembelaannya terhadap kaum tertindas tersebut. Hadiah Nobel adalah puncak penghargaan terhadap pengabdian seseorang di dalam berbagai bidang, baik sain, ilmu pengetahuan maupun kemanusiaan.
Aung San Suu Kyi adalah pejuang kemanusiaan. Namun sekarang kepejuangannya itu sedang dipertanyakan orang terkait dengan “pembantaian” atau “genosida” yang dilakukan oleh aparatnya di dalam relasi antara Muslim dan Buddhis di Myanmar. Tidak terhitung jumlah organisasi, individu, pemerintah dan berbagai kalangan yang melakukan sejumlah tuntutan agar Aung San Suu Kyi menghentikan pembantaian terhadap masyarakat Islam Rohingya. Minoritas Muslim ini berada di dalam ketidakpastian “kemanusiaan” sebagai akibat tindakan militer yang melakukan penihilan terhadapnya. Tidak terhitung jumlah kaum muslim yang wafat dan menjadi korban keganasan militer Myanmar. Tidak terhitung jumlah mereka yang melarikan diri ke negara-negara tetangga. Dan tidak terkira jumlah mereka yang mengalami luka-luka atas serangan senjata kaum militer di Myanmar.
Organisasi Islam di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan juga organisasi keagamaan lainnya juga melakukan protes keras terhadap pemerintah Myanmar yang terkesan membiarkan kekerasan tersebut terjadi. Tidak ada upaya pemerintah Myanmar untuk menghentikan terhadap kekerasan demi kekerasan terhadap kaum minoritas Rohingya. Itulah sebabnya dianggaplah bahwa ada upaya ethnic cleansing dan genosida dari masyarakat beragama Buddha di Myanmar terhadap umat Islam di Rohingya. Semua pengecam dan pemrotes terhadap masyarakat Buddhis di Myanmar menyatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap masyarakat Muslim di Rohingya bukan sekedar kekerasan fisik saja, akan tetapi memang pembantaian.
Itulah sebabnya, tuntutan terhadap Aung San Suu Kyi selaku penguasa Myanmar memang pantas untuk dilakukan. Di dalam konteks ini, maka tidak hanya pemerintah saja secara sendiri-sendiri yang melakukan penghentian pembantaian terhadap muslim Rohingya, akan tetapi juga seharusnya badan-badan dunia, seperti PBB, OKI dan lembaga semi pemerintah lainnya, bahkan kaum LSM juga semestinya melakukan tindakan yang sama, “melakukan pemutusan hubungan diplomatic dan pengucilan Myanmar dari pergaulan dunia”.
Pemerintah Indonesia saya kira sudah sangat tegas sikapnya agar tindakan kekerasan terhadap kaum muslim Rohingya dihentikan. Hal ini tentu didasari oleh semangat bangsa Indonesia yang anti kekerasan, anti terhadap ketidakadilan, anti terhadap diskriminasi sosial dan politik di dalam suatu negara. Makanya, sikap tegas itu telah disuarakan oleh Presiden maupun tokoh-tokoh agama agar pemerintah Myanmar menghentikan secara permanen terhadap kekerasan ini.
Oleh karena itu, tentu yang diharapkan adalah agar pemerintah Myanmar memberikan hak hidup dan hak untuk melakukam kehidupan terhadap kaum minoritas Islam di Rohingya dalam kerangka membangun kebersamaan dan kesatuan bangsa di masa sekarang atau yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.
HOAX DI TENGAH KEBEBASAN BEREKSPRESI (2)
Bagi saya, negara ini sudah darurat hoax atau darurat berita bohong. Di dalam peristiwa pilkada, maka yang terjadi ialah semaraknya berita bohong di berbagai media sosial. Ada caci maki, ada pembunuhan karakter, ada kebencian dan sebagainya. Semua ini ternyata diorganisir secara memadai oleh agen utama hoax di dalam membangun opini publik yang diinginkan.
Hoax ternyata telah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan atau bisnis yang menjanjikan keuntungan memadai. Makanya, kemudian munculnya penjual jasa hoax dan juga terdapat konsumen yang memesannya dan selain itu, yang lebih tragis ialah terdapat sasaran hoax yang bisa dipermainkan perasaannya dan tindakannya. Tensi hoax akan meningkat sesuai dengan kepentingan yang melatarinya, misalnya pilkada, pilpres dan sebagainya. Sasaran hoax juga sangat variatif, bisa dari presiden sampai kepala desa atau lurah. Siapa saja bisa menjadi sasaran hoax ini.
Hoax tentu tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya apapun. Tidak ada agama yang mengajarkan orang untuk mencaci maki, memberitakan kebohongan, membunuh karakter orang lain, menghina secara terbuka dan sebagainya. Semua agama mengajarkan tentang kebaikan, kejujuran, dan penghormatan terhadap orang lain atau di dalam konteks lainnya disebut memanusiakan manusia.
Di dalam menyebarkan berita tentu ada beberapa etika yang harus dipegang oleh siapapun, yaitu: Pertama, informasi yang disebarkan harus memenuhi kriteria kebenaran. Berita itu telah divalidasi dengan benar dan memiliki konten yang benar. Makanya, sebaiknya setiap berita yang diterima harus dicheck dulu kebenarannya. Jadi janganlah kita menjadi penyebar berita yang tidak menyesatkan.
Kedua, informasi tersebut tidak mengandung unsur kebencian, caci maki dan hal-hal lain yang menyebabkan perasaan tersakiti atau membuat perasaan tidak nyaman dan menyebalkan. Berita yang disebarkan haruslah membuat orang untuk merasa nyaman dan senang dan bahkan merasa bahagia. Berita yang benar dan jujur tentu akan menjadikan hidup terasa indah dan bahagia.
Ketiga, informasi tersebut harus mengandung unsur kejelasan, sehingga tidak membingungkan dan menyebabkan salah tafsir dan lebih lanjut terjadi salah paham. Kesalahan penafsiran terhadap sebuah informasi tentu akan bisa menyesatkan dan menyebabkan tindakan yang salah. Itulah sebabnya setiap informasi yang disebarkan harus memberikan penjelasan sendiri atas dirinya itu sendiri. Jadi, berita itu sudah menjelaskan sendiri atas apa yang disampaikan kepada audience serta kesan apa yang didapatkan oleh pembacanya.
Hoax memang ditargetkan untuk menguasai public dengan isu-isu sensitive yang akan menyebabkan berbagai tindakan yang diinginkan. Dalam beberapa kasus tentang hoax, misalnya dapat dikaitkan dengan pemberitaan tentang ISIS yang dilakukan oleh orang yang secara sengaja untuk menarik minat para pembacanya. Banyak orang yang tertarik kepada berita tentang ISIS dan bersedia menjadi pengikutnya. Bahkan tidak hanya kaum awam yang menjadi sasarannya tetapi justru kaum terpelajar. Dewasa ini ada perubahan kepengikutan terhadap gerakan-gerakan seperti itu justru pengikutnya adalah kaum well educated.
Di media sosial, sesungguhnya banyak muatan berita bohong atau hoax. Ada yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu dengan konten yang mereka buat sendiri, namun juga ada yang memang didesain oleh sekelompok orang dengan imbalan jual beli atau bisnis. Bayangkan bahwa ada sebanyak 800 orang lebih yang menjadi bagian dari bisnis hoax ini. Tentu hal ini menggambarkan betapa hoax telah memasuki era baru, yaitu era bisnis hoax yang memang didesian secara khusus untuk menyerang individu atau seklompok individu atau organisasi tertentu.
Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pemotongan secara sengaja terhadap sebuah pembicaraan, bisa saja ceramah dari seseorang dan kemudian didesain secara sangat memadai, sehingga di kala orang membaca, maka secara langsung atau tidak langsung akan terprovokasi.
Mereka, para hoaker ini akan mengambil kata-kata atau ungkapan yang dapat melukai orang lain atau sekelompok orang lain, tanpa memperhatikan konteks pembicaraan secara keseluruhan. Di Indonesia, yang sering menjadi sasaran hoax ini adalah Presiden Joko Widodo, Said Aqil Siraj dan bahkan juga Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Mereka sering menjadi sasaran tembak hoax, disebabkan oleh posisi mereka yang memang strategis dan juga memang dijadikan sebagai sasaran tembak yang empuk.
Dunia politik memang menjanjikan banyak hal. Dunia politik memang bisa menjadi medan bisnis yang menggiurkan. Mulai dari bisnis peralatan perhelatan politik, bisnis teknologi informasi, bisnis event organizer, dan bahkan bisnis informasi melalui media sosial yang dapat memengaruhi opini public. Semua dilakukan dalam kerangka “pemenangan” orang yang dijagokan untuk memenangkan pertarungan politik. Hanya sayangnya bahwa “pemenangan” tersebut seringkali melalaikan etika politik yang seharusnya menjadi pedoman bagi semua pelaku politik.
Bisnis hoax sudah diindentifikasi oleh Kepolisian Republik Indonesia. Dan yang perlu menjadi jawaban adalah siapa sesungguhnya orang-orang dibalik berbagai hoax yang terus terjadi dewasa ini. Kiranya Kepolisian RI harus menjawabnya dengan sungguh.
Wallahu a’lam bi al shawab.