• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEKERASAN TERHADAP MUSLIM ROHINGYA (2)

KEKERASAN TERHADAP MUSLIM ROHINGYA (2)
Pemberitaan di berbagai media Indonesia, baik media cetak, elektronik maupun media sosial lainnya tentang Masyarakat Islam Rohingya tetap menjadi isu yang panas. Pemberitaan itu tentu terkait dengan insiden yang menyebabkan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan Myanmar terhadap masyarakat Islam di Provinsi Rakhine.
Jika dilakukan pemetaan secara kurang lebih, maka ada dua jenis pemberitaan yaitu: pertama, terkait dengan tindakan brutal aparat keamanan terhadap kaum muslim di Provinsi Rakhine, sehingga menyebabkan sejumlah rakyat yang bertepatan beragama Islam tersebut meninggal, atau terusir dari daerahnya dan juga sejumlah lainnya yang luka-luka. Mereka adalah kaum sipil Rohingya yang beragama Islam. Di dalam konteks ini, maka pemberitaan tersebut mengungkapkan bagaimana pemerintah Myanmar secara sengaja membiarkan kekerasan tersebut terjadi dan sejauh di dalam pemberitaannya tidak ada upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini.
Berbagai tindakan yang dilakukan ialah dengan mengecam pemerintahan Myanmar di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, mantan pejuang Hak Asasi Manusia dan memperoleh penghargaan Nobel, yang sekarang justru dianggap melakukan pembiaran terhadap masalah Rohingya berlarut-larut. Sejumlah organisasi atau Badan Dunia dan juga organisasi sosial politik, agama dan kepemudaan menyuarakan tentang ketidakadilan dan penistaan terhadap kemanusiaan bahkan dianggap sebagai tindakan criminal melawan kemanusiaan atau crime against humanity, dengan kekerasan di luar batas kemanusiaan. Ada sejumlah pernyataan, petisi dan juga himbauan agar pemerintah Aung San Suu Kyi proaktif menyelesaikan masalah ini. Kelompok ini menganggap bahwa kaum Radikalis Buddha dan pemerintah berada dibalik tindakan kekerasan pada umat Islam di Rakhine.
Kedua, pemberitaan yang lebih independen dengan mengangkat bahwa kekerasan ini bukanlah masalah agama akan tetapi masalah sosial yang memang telah lama menjadi problem di Provinsi Rakhine. Pemberitaan ini di dalam berbagai konteksnya menyatakan bahwa masalah ini muncul sebagai akibat gesekan sosial politik yang memang telah menjadi laten. Ada perseteruan atau bahkan konflik jangka panjang yang terjadi di sini. Saling menyerang dan saling melakukan tindakan kekerasan pun bukan hal baru di sini. Meskipun di dalam kenyataannya memang yang menjadi korban adalah kaum sipil yang ketepatan beragama Islam. Jadi, sebenarnya bukanlah perang agama atau konflik agama akan tetapi adalah konflik horizontal yang memang terjadi dengan skala yang luas.
Saya berusaha memberikan penjelasan terkait dengan pendekatan ekonomi politik dan sedikit memasukkan aspek agama. Melalui pendekatan ekonomi politik, maka sesungguhnya yang terjadi adalah konflik yang disebabkan oleh pembatasan akses ekonomi dan politik yang dilakukan oleh pemerintah Aung San Suu Kyi terhadap warga sipil di Provinsi Rakhine atau yang disebut sebagai minoritas muslim Rohingya.
Pembedaan perlakuan antara satu wilayah atau satu komunitas dengan komunitas lainnya –dengan dalih apapun—itulah yang sesungguhnya menjadi penyebab atau pengungkit mengapa kaum minoritas ini melalukan perlawanan. Sebagai kaum minoritas, umat Islam Rohingya tentu merasakan betapa jelek perlakuan pemerintah terhadapnya. Keterbatasan sumber daya ekonomi dan politik yang kemudian berpadupadan dengan masalah agama tentu menyebabkan tindakan nekad dari sejumlah anggota komunitas tersebut untuk mencoba keluar dari jaring-jaring keterbatasannya.
Kekerasan di Rohingya bukan sekedar masalah agama tetapi sebenarnya adalah juga masalah keterbatasan akses politik dan ekonomi. Mereka merasa sebagai kelompok yang terus menerus dipinggirkan oleh mayoritas umat di Myanmar, dan bertepatan bahwa pemerintah dimaknai berada di belakang tindakan untuk meminggirkannya. Itulah sebabnya mereka menjadi melawan sebagai tindakan protest atas ketidakadilan pada mereka. Apa yang dilakukan sesungguhnya merupakan bagian dari keinginan dihargai dan diperlakukan sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Sayangnya Aung San Suu Kyai—mantan pejuang HAM—yang sekarang menjadi State Counselor Myanmar, tidak melakukan apapun terkait dengan kekerasan demi kekerasan yang menimpa terhadap kaum minoritas muslim Rohingya. Sesuatu yang di masa lalu menjadi focus perhatiannya itu kini ditinggalkannya. Tidak ada lagi perjuangan terhadap kaum minoritas tertindas. Itulah yang menyebabkan desakan agar Hadiah Nobel yang pernah diterimanya dicabut saja. Begitulah seruan organisasi dan pejuang yang mengatasnamakan Muslim Rohingya.
Jadi sebenarnya, akar masalahnya adalah pada pemberian penghargaan dan akses bagi warga Rohingya sebagai warga negara merdeka. Makanya, secara konseptual bisa dinyatakan bahwa selama perlakuan terhadap muslim Rohingya tidak adil terutama dalam akses ekonomi dan politik, maka selama itu pula konflik negara dan masyarakat itu akan terjadi. Dan yang kemudian dijadikan sebagai penguatnya ialah agama yang memang bisa menjadi factor penguat dalam berbagai konflik sosial politik.
Tetapi di antara yang juga sangat memprihatinkan adalah bahwa radikalisme agama –yang bisa terjadi pada agama apapun—juga tentu menyumbang terhadap parahnya relasi kemanusiaan dan kebangsaan di Myanmar. Selama radikalisme bertali temali dengan keterbatasan akses ekonomi politik pada suatu komunitas tertentu, maka selama itu konflik horizontal itu akan terus berlangsung.
Jadi memang dibutuhkan tekanan dunia internasional untuk memberikan pelajaran kepada pemerintah dan masyarakat Myanmar agar kran ketidakadilan akan akses ekonomi politik menjadi terbuka dan perlu ada tindakan rujuk nasional untuk menyelesaikan semuanya. Jika tidak dilakukan, maka penyelesaian yang dilakukan hanya akan bersifat sementara saja, padalah yang dibutuhkan adalah solusi permanen.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..