• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JANGAN MENJADI PEMIMPIN TANPA KEPEMIMPINAN (1)

JANGAN MENJADI PEMIMPIN TANPA KEPEMIMPINAN (1)
Tulisan ini sesungguhnya diilhami oleh tulisan di Majalah Swa, dengan judul “Leader without leading.” Sebuah tulisan yang sangat inspiratif untuk memahami apakah diri kita sebagai pemimpin itu memberikan seluruh potensi kepemimpinan kita untuk memimpin staf kita, atau hanya separoh saja bahkan tanpa memberikan potensi kepemimpinan tersebut.
Makanya, saya secara sengaja menuliskan ulang tentang “leader without leading tersebut dalam perspekti saya tentu, sehingga meskipun tulisan ini diinspirasikan oleh tulisan di atas tetapi seluruh tanggungjawab dan gambaran-gambaran atau penjelasan-penjelasan di dalamnya tentu sudah saya olah sedemikian rupa atas kemampuan nalar saya untuk menuliskannya.
Seorang pemimpin tentu dia bukan hanya manajer. Jika manajer dia adalah actor yang menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan apa yang sudah disepakati di dalam perjanjian kinerja, sedangkan seorang pemimpin tentu harus bekerja sesuai dengan perjanjian kinerjanya akan tetapi dia harus menghasilkan upaya-upaya baru atau inisiatif baru yang memungkinkan terjadinya percepatan demi percepatan untuk meraih sesuatu yang lebih. Dia adalah seorang agen yang dengan kemampuan agensinya akan dapat bekerja lebih atau plus dan plus.
Jika dibuat gambarannya, maka seorang manajer itu kemampuan teknisnya lebih besar dibandingkan dengan kemampuan konseptualnya, sedangkan seorang pemimpin itu lebih besar kemampuan konseptualnya dibandingkan dengan kemampuan teknisnya. Visi pengembangan akan lebih besar pada diri seorang pemimpin dibandingkan dengan seorang manajer. Seorang pemimpin itu lebih visioner dibandingkan dengan seorang manajer. Seorang manajer bekerja berdasarkan “pesanan” yang memperkerjakannya, sedangkan seorang pemimpin lebih “independen” di dalam mengerjakan tugas dan fungsinya. Seorang pemimpin itu memiliki otoritas yang lebih longgar di dalam mengemudikan roda kepemimpinannya.
Agar seorang pemimpin dapat melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik, maka persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu: Pertama, pemimpin harus memiliki visi. Dia harus menjadi pemimpin yang visioner. Memiliki pandangan jauh ke depan untuk mengarahkan apa yang akan terjadi di masa datang. Seorang pemimpin tentu memiliki “kepekaan” untuk mencandra tentang apa dan bagaimana ke depan. Jika orang lain hanya berpikir sekarang, maka seorang pemimpin berpikir tentang beberapa langkah ke depan.
Kedua, pemimpin harus memberikan jalan keluar atau alternative pemecahan masalah atau solutif. Salah satu hal yang selalu terjadi di dalam setiap organisasi formal atau informal atau bahkan di dalam suatu masyarakat ialah masalah. Nyaris tidak ada di dalam kehidupan ini, suatu keadaan yang nir-masalah. Masalah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan saya sering menyatakan bahwa kehidupan itu hakikatnya ialah rangkaian masalah. Kita akan selalu bergelut dengan masalah itu dari waktu ke waktu. Tentu dengan asumsi bahwa ada masalah yang kecil, yang biasa saja dan ada masalah yang besar, yang luar biasa. Oleh karena itu jangan pernah takut menghadapi masalah, sebab inti kehidupan sebenarnya ialah memecahkan masalah dimaksud. Kita senang atau bahkan bahagia, ketika kita bisa melampaui masalah itu dan kita menjadi sedih atau tidak senang sebab masalah yang kita hadapi belum mampu kita lampaui.
Seorang pemimpin tentu diharapkan akan dapat menemukan solusi atas masalah organisasi atau institusi di mana yang bersangkutan menjadi pemimpin. Seseorang akan dianggap berhasil sebagai pemimpin jika dia dapat menemukan alternative solusi atas kemelut atau masalah yang dihadapi oleh organisasi atau institusinya. Jika dia seorang pemimpin masyarakat, maka dia bisa menemukan jalan keluar atas problema sosial kemasyarakatan yang dihadapinya. Pemimpin besar selalu hadir di dalam situasi krisis dan kemudian dengan kemampuannya yang luar biasa ternyata bisa menemukan solusi terbaik bagi lingkungannya.
Ada banyak pemimpin besar yang hadir di saat yang memamg membutuhkan kehadirannya. Misalnya Ir. Soekarno di saat genting terjadinya perebutan kekuasaan menuju kemerdekaan Indonesia. Atau Mahatma Gandhi, yang hadir di saat penjajahan merajalela di India, dan dengan kemimpinan spiritualnya maka kemudian dapat menggerakan rakyat India untuk bergerak menempuh kemerdekaan. Lalu, Abraham Lincoln yang menjadi Bapak rakyat Amerika Serikat juga hadir dalam kondisi di mana Amerika membutuhkan pemimpin yang mencerahkan dan memerdekakan.
Dan yang tidak kalah penting juga tentu para Nabi, para Rasul, misalnya kehadiran Nabi Muhammad saw di dunia ini, yang kemudian bisa membebaskan manusia dari perbudakan teologis dan juga memberikan pedoman utuh bagi kehidupan manusia. Meskipun Beliau datang di Tanah Arab yang tandus dan gersang, akan tetapi pengaruh ajarannya menjadi luar biasa di dunia ini.
Pemimpin-pemimpin besar di dunia berada di saat genting atau krisis dan kemudian melalui visinya yang jauh ke depan dan upaya-upaya solutif yang dilakukannya, maka kemudian terjadi perubahan yang sangat signifikan dan pengaruhnya dalam jangka panjang sungguh sangat terasa.
Para pemimpin itu menghiasai lembaran-lembaran buku sejarah dengan amalnya yang luar biasa dan bukan hanya perilaku normative yang ditampilkannya.
Beliau-beliau itu memiliki amal saleh dan dengannya maka mereka bisa “menyelamatkan” kehidupan manusia dan masyarakatnya, dan kemudian tentu juga bagi kepentingan dirinya. Saya berkeyakinan bahwa amal saleh dari para pemimpin itu akan menjadi saksi bagi dirinya dalam kehidupan yang berikutnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PROGRAM PENGUATAN AKADEMIK DI PTKIN

PROGRAM PENGUATAN AKADEMIK DI PTKIN
Tanggal 8/9/2017, saya bergegas pergi ke Palopo untuk menghadiri acara Program Kuliah Perdana pada Program Pascasarjana di IAIN Palopo. Program Pascasarjana di IAIN Palopo ini dibuka kira-kira lima tahun yang lalu, dan saya yang menyerahkan SK Izin Operasionalnya. Kalau tidak salah pada bulan Nopember 2012. Waktu itu belum ada penerbangan ke Palopo, sehingga harus menempuh perjalanan darat, Makasar-Palopo selama 7 (tujuh) jam. Dan pulangnya sengaja lewat jalur lain, agar bisa mengunjungi wisata rohani di Pemakaman Orang Toraja dan juga mampir ke STAKN Palopo.
Acara ini diselenggarakan di ruang theater pada IAIN Palopo, yang dibangun dengan dana Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tahun 2016 yang lalu. Ruang ini memang cocok untuk penyelenggaraan stadium general atau seminar-seminar berskala sedang. Kiranya, dengan skema SBSN, maka percepatan pengembangan PTKIN kelihatan sangat signifikan. Memang harus diakui bahwa pengembangan fisik PTKIN yang hanya dengan rupiah murni akan mengurangi percepatan pembangunan dimaksud.
Acara ini dihadiri oleh Dr. Abdul Piroll (Rektor IAIN Palopo), para Wakil Rektor, Direktur Pascasarjana, Dr. Abbas Langaji, para dosen, para mahasiswa Program Pascasarjana dan juga para peminat kajian lainnya. Turut bersama saya ialah Dr. Ali Rohmat, Kepala Biro Perencanaan Kemenag, Abdul Wahid, Kakanwil Kemenag Sulsel dan beberapa kakankemenag kabupaten di Sulsel, Kabag TU Kakanwil Sulsel dan lain-lain. Tema yang disodorkan kepada saya untuk membahasnya ialah “Dinamika Pengembangan Studi Islam di Era Kontemporer”. Sebuah tema yang sangat menarik tentu saja. Saya tentu sangat menyukai tema ini, karena saya berharap bahwa PTKIN di bawah Kementerian Agama memiliki kesepahaman tentang bagaimana mengembangkan Studi-Studi Keislaman.
Saya sampaikan tiga hal terkait dengan acara kita hari ini, yaitu: Pertama, kedatangan saya ke sini, hanya ingin memastikan bahwa IAIN Palopo bukan terasa STAIN Palopo, akan tetapi sudah terasa sebagai IAIN. Jadi IAIN rasa IAIN. Saya merasa senang bahwa ternyata memang sudah ada perubahan yang signifikan pasca perubahan status tersebut.
Jika saya datang ke PTKIN, maka saya pasti merasakan bahwa ada permintaan yang harus saya catat. Tetapi, meskipun tadi Pak Piroll tidak meminta secara langsung, akan tetapi beliau menyatakan bahwa ruang kita terbatas, sehingga tidak bisa menerima mahasiswa lebih banyak, masjid kita juga kecil belum bisa menampung mahasiswa untuk pembinaan keagamaan, bahkan untuk kepentingan tersebut harus menggunakan gedung pascasarjana, dan ma’had kita juga hanya menampung sebanyak 180 orang mahasiswa. Sangat kurang. Beliau tidak meminta hanya mengungkap kekurangan. Jadi saya harus memahami begitulah cara Pak Piroll meminta. Memang harus dianggarkan untuk pembangunan ruang kelas untuk tahun 2018 dan kiranya juga harus dirancang untuk pengadaan tanah bagi perluasan areal kampus. Seharusnya bisa sejumlah 50 hektar. Mumpung harga tanah permeter masih murah, mestinya diprioritaskan untuk pembelian lahan kampus.
Kedua, PTKIN kita ini harus memperkuat pengembangan akademik dengan memprioritaskan pengembangan integrasi ilmu. Sudah ada banyak jalan yang ditempuh oleh beberapa PTKIN, misalnya UIN Malang dengan pohon ilmu, UIN Jogyakarta dengan model integrasi dan interkoneksi, UIN Jakarta dengan model integrasi ilmu, UIN Surabaya dengan pola twin towers dan sebagainya. Tujuannya satu saja yaitu untuk mengembangkan program integrasi ilmu, yaitu mendialogkan atau mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Yang satu menjadi substansi dan lainnya menjadi metodologi.
Saya pernah terlibat di dalam pengembangan ilmu pengetahuan di PTKIN, melalui program integrasi ilmu berpola Twin Towers. Lalu di antara hasilnya ialah beberapa buku misalnya Islam Pesisir, yang menggunakan pendekatan konstruksi sosial, sebuah pendekatan yang saya pinjam dari dunia barat untuk mendekati substansi pengalaman ajaran Islam, lalu buku Agama Pelacur dengan meminjam pendekatan dramaturgi dari literature Barat, lalu saya kembangkan menjadi dramaturgi transcendental, kemudian buku Tarekat Petani, yang meminjam metodologi Fenomenologi, sehingga menghasilkan fenomenologi transcendental untuk mendeskripsikan tentang pengalaman beragama kaum tarekat, dan seterusnya.
Oleh karena itu, harapan saya bahwa program Pascasarjana harus memiliki ciri khas pengembangan keilmuan, yang di dalam UU No 12 Tahun 2012 sudah benar-benar diyakinkan bahwa ilmu agama merupakan ilmu tersendiri, yang memiliki otoritas sebagai bidang keilmuan, sehingga akan bisa didialogkan atau bahkan diintegrasikan dengan bidang-bidang ilmu lainnya. Dan salah satu ciri khas itu ialah berkembangnya integrasi ilmu atau bisa juga dinyatakan sebagai ilmu keislaman multidisipliner.
Ketiga, Saya berpesan kepada seluruh mahasiswa strata 2 (dua) agar jangan pernah melakukan plagiasi sebab plagiasi adalah dosa besar dalam dunia akademik. Jangan sampai kita menodai ilmu pengetahuan disebabkan oleh kelalaian atau bahkan kesengajaan untuk melakukan plagiasi. Sudah banyak akademisi yang hancur berantakan gara-gara melakukan plagiasi itu. Jaga moralitas akademik dengan melakukan penelitian yang orisinal dan teruji secara memadai.
Lalu, jadikan tesis atau disertasi sebagai karya yang hebat, yang outstanding, yang menjadi bahan pembicaraan akademik. Jadilah sebagai Max Weber, Clifford Geertz, Bryan S. Turner, Emile Durkheim, Imam Ghazali, ibu Rusyd, Ibnu Shina dan sebagainya yang karya-karyanya menjadi abadi dan banyak mendoktorkan orang. Saya yakin ilmu akan bisa menjadi wakaf terbaik di dalam kehidupan ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN TINGGI
Saya diundang oleh Dr. Maftukhin, Rektor IAIN Tulungagung dalam rangka program Kuliah Umum pada Program Pascasajana di Ruang Auditorium IAIN Tulungagung, 31/08/17. Ini merupakan kedatangan pertama setelah saya hadir dalam acara peresmian dan pelantikan Rektor IAIN Tulungagung 3 (tiga) tahun yang lalu. Saya teringat waktu peresmian itu oleh Menteri Agama, Bapak Suryadharma Ali. Tentu yang saya ingat adalah ketidaksiapan saya untuk membawa pakaian putih dan jas lengkap untuk pelantikan dimaksud. Maka pakaian batik yang saya gunakan kemudian saya tambah dengan dasi, lalu ditutup dengan jas. Lucu saja saya kira.
Acara ini dihadiri oleh Dr. Maftukhin, Rektor IAIN Tulungagung, para Wakil Rektor, Direktur Pascasarjana dan segenap guru besar, dan para dosen, serta para mahasiswa IAIN Tulungagung. Acara ini sekaligus juga dirangkai dengan penyerahan secara simbolis Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam untuk izin operasional Program Doktor ilmu keislaman.
Saya menyampaikan tiga hal, yaitu; Pertama, ucapan selamat atas terselenggaranya program doctor Ilmu Keislaman di IAIN Tulungagung. Saya selalu menyampaikan bahwa sebuah lembaga pendidikan tinggi yang memiliki program studi doctor, itu maknanya bahwa PT tersebut telah dipercaya oleh pemerintah untuk mendidik anak bangsa pada level tertinggi program pendidikan. Kita masih sangat memerlukan banyak anak bangsa yang memiliki gelar akademik tertinggi, sebagai doctor. Di Korea Selatan, setiap tahun melahirkan sebanyak 50.000 doktor baru, sedangkan di Indonesia, tidak lebih dari 5.000 doktor. Sebuah perbandingan yang sangat tidak seimbang.
Saya juga mengapresiasi atas mimpi Pak Rektor, yang ingin terus berubah. Saya dengar beliau berpidato ingin memiliki universitas. Pemikiran seperti ini tentu sangat wajar, sebab pemimpin memang harus memiliki mimpi. Mimpi seperti ini pernah saya alami ketika saya menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel tahun 2009-2012 yang lalu. Keinginan saya waktu itu ialah bagaimana caranya IAIN berubah menjadi UIN dan bagaimana caranya agar loan IDB mampir di IAIN tersebut. Saya tentu bersyukur bahwa upaya untuk menyiapkan segala sesuatu terhadap dua hal tersebut tercapai pada saat saya sudah menjadi birokrat di Kementerian Agama, sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Kemegahan UIN Sunan Ampel sekarang tentu tidak lepas dari mimpi yang pernah kita miliki. Itulah sebabnya saya begitu mengamini terhadap keinginan untuk berubah status tersebut dalam kerangka menjadikan mimpi sebagai kenyataaan.
Kedua, diperlukan penguatan kelembagaan. Saya tentu mengapresiasi bahwa setelah menjadi IAIN, maka PTKIN ini memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi tujuan bagi kepentingan kependidikan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Maftukhin, bahwa kelebihan IAIN Tulungagung di mata orang tua mahasiswa ialah factor lingkungan dan pemenuhan kebutuhan. Biaya konsumsi dan akomodasi di Tulungagung jauh lebih rendah dibandingkan di Malang atau Surabaya. Makanya, jika seseorang mengambil program Islamic Studies murni atau social studies, maka orang akan memilih Tulungagung dibandingkan di Surabaya atau Malang. Di dalam konteks ini, maka Tulungagung bisa menjadi tujuan berpendidikan.
Saya teringat bahwa di saat peresmian STAIN Tulungagung menjadi IAIN Tulungagung, maka saya menulis “Jadilah IAIN rasa IAIN dan Jangan IAIN terasa STAIN”. Tantangan saya tersebut kelihatannya direspon dengan sangat baik oleh pimpinan dan segenap civitas akademika IAIN Tulungagung dengan semangat perubahan yang sangat tinggi. Dan dengan diberinya peluang untuk mengembangkan program doctor merupakan bukti bahwa IAIN Tulungagung bukan berasa STAIN. Bahkan sekarang para civitas akademika sudah merasa sebagai UIN. IAIN yang rasa UIN.
Oleh karena itu, yang sungguh harus diperhatikan ke depan, terutama dalam kaitannya dengan visi menjadi UIN ialah bagaimana IAIN ini terus berupaya untuk memperbaiki kualitas para dosennya dengan pendidikan lanjut. Saya senang mendengar bahwa jumlah doctor di IAIN Tulungagung sudah mencapai 50 lebih. Artinya, tentu persyaratan SDM bergelar doctor telah diupayakan. Tidak hanya doctor tetapi juga gelar akademik professor. Saya melihat baru ada enam guru besar, yaitu Prof. Ahmad Fathoni, Prof. Mujamil Qomar, Prof. Akhya’, Prof. Imam Fuadi, Prof. Hasyim Nawawi, dan Prof. Imam Malik. Ke depan harus semakin banyak professor-professor lainnya untuk menggenapi persyaratan menjadi UIN.
Selain itu juga penguatan kelembagaannya dilihat dari recognisi baik nasional maupun internasional. Akreditasi kelembagaan menjadi ukuran kualitas sebuah lembaga pendidikan. Makanya, akreditasi institusi maupun akreditasi prodi harus terus diupayakan untuk meningkat secara signifikan dan terencana. Di dalam konteks itu, maka keberadaan akreditasi yang sekarang sudah baik tentu harus ditingkatkan ke arah yang lebih. Bahkan jika dipandang penting harus terakreditasi secara internasional.
Ketiga, PTKIN kita ini sudah memiliki program doctor, makanya harus ada penguatan akademik dalam kaitannya dengan “Penguatan Kajian Keislaman integrative”. Program integrasi ilmu yang selama ini menjadi ciri khas atau distingsi PTKIN harus memperoleh porsi yang lebih besar untuk dikembangkan baik melalui riset dosen maupun riset mahasiswa. Harus didapati distingsi antara PTKIN dengan PTU bahkan juga sesama PTKIN. Harus memiliki ciri pembeda. Sesama program doctor di bidang Islamic Studies, apakah yang membedakan antara UIN Malang dengan UIN Surabaya atau UIN Jakarta. Demikian pula dengan Islamic Studies di IAIN Tulungagung. Saya kira melihat kawasan Tulungagung ialah pusat budaya kerajaaan-kerajaan besar di masa lalu, maka kiranya perlu dipikirkan tentang bagaimana hubungan antara Islam dan budaya masa lalu –khususnya budaya pra Islam—di dalam kerangka untuk menemukan relevansi masa lalu, kekinian dan kemodernan.
Saya kira masih ada banyak peluang untuk membuka cakrawala riset berbasis pada letak geografis, baik geografi politik, religious dan budaya yang dapat dijadikan sebagai medan untuk membangun keilmuan yang integrative, sebagaimana misi Kementerian Agama dalam membangun PTKIN.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENDORONG PK-BLU UNTUK PERKUAT BISNIS KAMPUS (2)

MENDORONG PK-BLU UNTUK PERKUAT BISNIS KAMPUS (2)
Di dalam tulisan sebelumnya sudah saya bahas secara general tentang hal ini dalam bagian satu dan dua. Maka sekarang saya ingin menjelaskan lebih jauh dari bagian tiga, yang saya kira justru menjadi titik penting di dalam pengembangan bisnis PK-BLU pada Perguruan Tinggi (PT), khususnya PTKIN.
Ketiga, tugas Dewan Pengawas (Dewas) PK-BLU sesungguhnya dapat dikategorikan dalam tiga hal, yaitu: 1) tugas pemdampingan, pengarahan dan penasehatan terkait dengan kemajuan PK-BLU di dalam upaya untuk memperkuat usaha bisnisnya. Sebagai satker yang digolongkan dalam Corporate nonprofit, maka tentu tetap diharapkan dapat memperoleh PNBP yang lebih banyak dan kemudian dapat ditasarufkan untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi. Di dalam upaya tersebut, maka Dewas akan dapat memberikan masukan dan pengarahan tentang upaya bisnis dimaksud dan hal-hal yang diperlukan.
Di dalam ruang ini, misalnya saya melihat ada minuman dengan merek tertentu dan juga kopi dan makanan ringan yang diupayakan oleh orang lain atau perusahaan lain. Bagaimana kalau seandainya lalu merek minuman ini adalah Air Mineral UIN Alauddin atau disingkat AM-UINA. Coba dihitung berapa kapasitas produksinya dan berapa kebutuhannya. Bukankah ada puluhan ribu mahasiswa, ada ribuan dosen yang semua memiliki keluarga dan pasti minum air mineral. Keluarga mahasiswa, Alumni UIN Makassar dan masyarakat umum simpatisan UIN Alauddin Makassar. Tentu akan banyak sekali. Ini potensi bisnis. Lalu kopi, apa tidak mungkin kopi ini berlogo UIN Alauddin, misalnya “Kopi Manis Blend Doa”. Tentu dengan marketing bisnis yang bagus dan marketing sosial yang baik. Rasanya orang akan beralih minum Kopi produksi UIN Alauddin, Makassar. Saya memprediksi bahwa akan ada banyak penggemar terhadap produk-produk tersebut. Bahkan juga bisa asesori atau lainnya.
PK-BLU UIN Alauddin harus terus melakukan upaya agar pendapat PNBP dari sector usahanya makin kuat. Jadi tidak hanya mengandalkan dari SPP dan dana masyarakat lainnya. Harus ada upaya-upaya untuk memperkuat bisnis PK-BLU. Jangan sampai nanti posisi PK-BLU kita diturunkan menjadi PK-BLU yang memiliki kewenangan terbatas. Kita bersyukur telah menjadi PK-BLU-Penuh dan hal ini harus terus dipertahankan dengan memperkuat pendapatan PNBP kita.
Sebagaimana usulan Pak Hamid, bahwa jika diperlukan kita bisa mengangkat Direktur Bisnis UIN Alauddin dari kaum professional. Tidak masalah dibayar mahal tetapi dapat menghasilkan pendapatan PNBP yang sangat tinggi. Sebagaimana pengalaman UGM di dalam pengembangan PK-BLUnya, maka dengan diangkatnya direktur yang professional, maka kemudian dapat melambungkan pendapatan PNBP-nya. Jadi, jika diperlukan harus belajar dari pengalaman UGM di dalam meningkatkan pendapatan PNBPnya dimaksud. Termasuk juga pengalaman Universitas Brawijaya (UB) yang memiliki direktur pengembangan bisnis professional, maka usaha untuk memperkuat gerakan entrepreneurship kampus menjadi menggeliat.
2) tugas melaporkan perkembangan PK-BLU kepada Menteri terkait. Di dalam hal ini tentu adalah Menteri Agama dan Menteri Keuangan. 3) Melakukan pengawasan terhadap perkembangan usaha-usaha bisnis PK-BLU. Dengan demikian, Dewas sebenarnya memiliki peran strategis di dalam upaya untuk perolehan generate income dari PK-BLU yang diawasinya. Tentu dibutuhkan sinergi yang baik antara Dewas dan Pimpinan PK-BLU agar tujuan untuk mencapai target pendapatan PNBP makin terang benderang.
Kita sudah menjadi target 5 (lima) UIN di Kementerian Agama yang diinginkan untuk menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Di kala kita menjadi PTN-BH, maka pendapatan kita harus benar-benar teruji. Sebab dengan menjadi PTN-BH, maka kita harus mandiri di dalam peningkatan kualitas lembaga pendidikan kita. Logikanya, dengan Status PTN Non BLU atau satker biasa, maka keseluruhan pembiayaan pendidikan lebih besar diberikan oleh APBN (rupiah murni). Dengan menjadi PTN PK-BLU, maka sebagian besar APBN (rupiah murni) akan tetapi diberikan. Dan di saat menjadi PTN-BH, maka mayoritas pendanaan justru dihasilkan oleh PTN-BH itu sendiri.
Oleh karena itu, harus ada upaya untuk melakukan mapping terhadap potensi usaha atau bisnis di PTN kita ini. Lakukan pemetaan terhadap upaya memperbesar penggunaan asset untuk bisnis, selain juga mengupayakan hal-hal lainnya. Lalu juga lakukan flash back semenjak tahun 2008 sampai 2017 ini apa saja usaha bisnis yang kita lakukan. Apakah pendapatan PNBP kita hanya berasal dari SPP mahasiswa atau ada usaha lainnya. Di UB, itu dari Kantin Halalnya yang berjumlah 114 buah, memperoleh pendapatan bersih 400 juta rupiah setiap bulan.
Yang juga perlu kita pikirkan adalah juga menjemput terhadap pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal, UU No. 33 Tahun 2014. PTKIN harus menjadi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sehingga dibutuhkan laboratorium halal untuk kepentingan ini. Jangan lewatkan kesempatan penting ini untuk menjadi mitra Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang ke depan akan menjadi fenomena bisnis di dunia.
Yang terakhir, lakukan upaya untuk membuat matrix tentang potensi pengembangan bisnis di UIN Alauddin, buatlah matrix dengan menggunakan prinsip potensi apa yang bisa dibisniskan, apa masalah yang terkait dengan upaya dimaksud, lalu apa action plannya, siapa yang bertanggungjawab sebagai leading sectornya dan kapan hal tersebut dieksekusi. Kiranya itu yang bisa dilakukan dalam waktu dekat ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENDORONG PK-BLU UNTUK PERKUAT BISNIS KAMPUS (1)

MENDORONG PK-BLU UNTUK PERKUAT BISNIS KAMPUS (1)
Saya merasa sangat senang diundang untuk membicarakan persoalan yang menyangkut pengembangan bisnis pada PK-BLU UIN Alauddin Makasar, Senin, 4/9/2017, di kampus II UIN Alauddin Makassar. Tema rapat adalah sosialisasi Pengelolaan PK-BLU oleh Dewan Pengawas (Dewas) PK-BLU UIN Alauddin Makassar. Hadir di dalam acara ini ialah anggota Dewas PK-BLU UIN Alauddin Makasar, yaitu: Prof. Dr. Nur Syam, MSi (Ketua, Sekjen Kemenag), Dr. Murtiadi Awaluddin, SE, MSi (sekretaris, Dosen FEBI UIN Alauddin), Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak., MBA., CA., CPA., (anggota, professional dari UIN Jakarta), Drs. Mattaro Nurdin Arta, MM., (anggota/kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prof. Sultra). Dan juga hadir Rektor UIN Alauddin, Makassar (Prof. Dr. Musafir, MSi) dan segenap jajarannya.
Acara rapat Dewas ini seharusnya dilakukan minggu yang lalu, akan tetapi karena kesibukan birokrasi di Jakarta, sehingga dengan sangat terpaksa diundur hari Senin yang lalu. Tetapi Alhamdulillah bahwa justru dengan pengunduran acara ini, maka terdapat kesempatan bagi saya untuk mengisi acara pembekalan atau pemberian motivasi bagi mahasiswa baru UIN Alauddin, Makassar dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat UIN Alauddin Makassar, dan sekaligus juga penyerahan mahasiswa baru kepada para dekan di seluruh Fakultas pada UIN Alauddin Makassar.
Pada kesempatan ini, saya sampaikan 3 (tiga) hal penting dalam kerangka sosialisasi pengelolaan PK-BLU, khususnya di UIN Alauddin Makassar. Pertama, tentu kita bersyukur bahwa UIN Alauddin Makassar sudah menjadi institusi pendidikan dengan pola pengelolaan keuangan berbasis pada PK-BLU. Apalagi sudah semenjak tahun 2008 yang lalu dengan posisi BLU penuh. Sungguh merupakan kebanggaan bahwa dengan pengelolaan keuangan berbasis BLU maka sudah lebih banyak kemudahan dan fleksibilitas di dalam pengelolaan keuangannya. Saya kira sudah cukup panjang perjalanan PK-BLU di lembaga kita ini, sehingga sudah sepatutnya kita lakukan evaluasi menyeluruh mengenai bagaimana perkembangan PK-BLU UIN Alauddin dalam kerangka untuk menyusun dan menjalankan pengelolaan keuangan berbasis BLU dimaksud.
Kedua, saya sampaikan bahwa berdasarkan regulasi yang mengatur tentang BLU, maka ada beberapa hal yang sangat penting untuk menjadi bahan renungan kita semua dan diimplementasikan secara memadai. 1) asas fleksibilitas. Asas ini memberikan gambaran tentang tingkat kemudahan, simplivisitas dan efektivitas di dalam pengelolaan keuangan. Sebagaimana diketahui bahwa mengelola lembaga pendidikan tinggi tentu tidak sama dengan mengelola birokrasi pada umumnya. Ada kekhususan pengelolaan akademik yang itu menjadi ciri khas birokrasi lembaga pendidikan tinggi. Makanya, memang diperlukan fleksibilitas dimaksud agar upaya untuk mengedepankan mutu akademik akan bisa dilakukan.
2) asas out-in. jika kita menjadi satker non BLU, maka yang harus dilakukan dengan penerimaan uang dari manapun, yang lazim disebut sebagai PNBP haruslah masuk ke kas negara dahulu dan baru digunakan untuk kepentingan pengembangan lembaga pendidikan tinggi. Maka dengan menjadi PK-BLU, maka kemudahan itu didapatkan karena polanya ialah keluar dulu baru kemudian dilaporkan ke kas negara. Jadi seorang pimpinan bisa lebih fleksibel di dalam menganggarkan dan membelanjakan PNBPnya sesuai dengan asas kemanfaatan dan ketepatgunaan. Selain itu juga dapat menggunakan sisa PNBP tahun sebelumnya untuk menjadi modal awal bagi pengembangan pendidikan tinggi. Jika tetap menjadi satker non PK-BLU maka kelebihan atau sisa PNBP akan masuk ke kas negara dan tidak bisa ditarik kembali. Makanya, UIN Jakarta memiliki dana PNBP sebanyak 400 milyar yang setiap tahun yang dapat digunakan untuk pengembangan pendidikannya.
3) Asas semi bisnis atau corporate non profit. Ini istilah yang saya gunakan untuk menggambarkan bahwa lembaga pendidikan tinggi boleh untuk mengembangkan bisnis dalam kaitannya dengan pendidikan. Saya kira yang perlu didiskusikan adalah bentuk dan model bisnis macam apa yang bisa dilakukan oleh PT dalam kerangka meningkatkan generate incomenya. Apakah hanya bisnis yang semata-mata berbunyi pendidikan atau bisa yang lain. Misalnya tidak terpateri dalam bentuknya harus pendidikan, akan tetapi lebih melihat pada prospek dan kegunaannya. Artinya bisnis apapun –selama sesuai dengan prinsip pendidikan—maka tentu dibolehkan dengan tujuan untuk perluasan akses dan pemerataan pendidikan serta peningkatan mutu, relevansi dan daya saing. Jadi bukan berorientasi pada bentuk dan jenis tetapi manfaat dan ketepatgunaan yang berkaitan dengan penguatan program pendidikan.
4) Asas peningkatan kesejahteraan pengelola pendidikan. Civitas akademika harus terlibat di dalam peningkatan upaya bisnis pendidikan ini dan sekaligus juga dapat memanfaatkan hasilnya untuk peningkatan kesejahteraannya. Jika berbagai unit usaha yang dikembangkan tersebut dapat memberikan peluang PNBP PK-BLU yang lebih besar, maka dipastikan bahwa para pengelola PK-BLU dan yang terlibat di dalamnya juga akan memiliki kesejahteraan yang lebih baik. Makanya, semua upaya bisnis yang dilakukan tentu harus seluas-luasnya memberikan akses bagi civitas akademika PT untuk memperoleh sesuatu yang lebih.
Wallahu a’lam bis al shawab.