• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN TINGGI
Saya diundang oleh Dr. Maftukhin, Rektor IAIN Tulungagung dalam rangka program Kuliah Umum pada Program Pascasajana di Ruang Auditorium IAIN Tulungagung, 31/08/17. Ini merupakan kedatangan pertama setelah saya hadir dalam acara peresmian dan pelantikan Rektor IAIN Tulungagung 3 (tiga) tahun yang lalu. Saya teringat waktu peresmian itu oleh Menteri Agama, Bapak Suryadharma Ali. Tentu yang saya ingat adalah ketidaksiapan saya untuk membawa pakaian putih dan jas lengkap untuk pelantikan dimaksud. Maka pakaian batik yang saya gunakan kemudian saya tambah dengan dasi, lalu ditutup dengan jas. Lucu saja saya kira.
Acara ini dihadiri oleh Dr. Maftukhin, Rektor IAIN Tulungagung, para Wakil Rektor, Direktur Pascasarjana dan segenap guru besar, dan para dosen, serta para mahasiswa IAIN Tulungagung. Acara ini sekaligus juga dirangkai dengan penyerahan secara simbolis Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam untuk izin operasional Program Doktor ilmu keislaman.
Saya menyampaikan tiga hal, yaitu; Pertama, ucapan selamat atas terselenggaranya program doctor Ilmu Keislaman di IAIN Tulungagung. Saya selalu menyampaikan bahwa sebuah lembaga pendidikan tinggi yang memiliki program studi doctor, itu maknanya bahwa PT tersebut telah dipercaya oleh pemerintah untuk mendidik anak bangsa pada level tertinggi program pendidikan. Kita masih sangat memerlukan banyak anak bangsa yang memiliki gelar akademik tertinggi, sebagai doctor. Di Korea Selatan, setiap tahun melahirkan sebanyak 50.000 doktor baru, sedangkan di Indonesia, tidak lebih dari 5.000 doktor. Sebuah perbandingan yang sangat tidak seimbang.
Saya juga mengapresiasi atas mimpi Pak Rektor, yang ingin terus berubah. Saya dengar beliau berpidato ingin memiliki universitas. Pemikiran seperti ini tentu sangat wajar, sebab pemimpin memang harus memiliki mimpi. Mimpi seperti ini pernah saya alami ketika saya menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel tahun 2009-2012 yang lalu. Keinginan saya waktu itu ialah bagaimana caranya IAIN berubah menjadi UIN dan bagaimana caranya agar loan IDB mampir di IAIN tersebut. Saya tentu bersyukur bahwa upaya untuk menyiapkan segala sesuatu terhadap dua hal tersebut tercapai pada saat saya sudah menjadi birokrat di Kementerian Agama, sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Kemegahan UIN Sunan Ampel sekarang tentu tidak lepas dari mimpi yang pernah kita miliki. Itulah sebabnya saya begitu mengamini terhadap keinginan untuk berubah status tersebut dalam kerangka menjadikan mimpi sebagai kenyataaan.
Kedua, diperlukan penguatan kelembagaan. Saya tentu mengapresiasi bahwa setelah menjadi IAIN, maka PTKIN ini memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi tujuan bagi kepentingan kependidikan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Maftukhin, bahwa kelebihan IAIN Tulungagung di mata orang tua mahasiswa ialah factor lingkungan dan pemenuhan kebutuhan. Biaya konsumsi dan akomodasi di Tulungagung jauh lebih rendah dibandingkan di Malang atau Surabaya. Makanya, jika seseorang mengambil program Islamic Studies murni atau social studies, maka orang akan memilih Tulungagung dibandingkan di Surabaya atau Malang. Di dalam konteks ini, maka Tulungagung bisa menjadi tujuan berpendidikan.
Saya teringat bahwa di saat peresmian STAIN Tulungagung menjadi IAIN Tulungagung, maka saya menulis “Jadilah IAIN rasa IAIN dan Jangan IAIN terasa STAIN”. Tantangan saya tersebut kelihatannya direspon dengan sangat baik oleh pimpinan dan segenap civitas akademika IAIN Tulungagung dengan semangat perubahan yang sangat tinggi. Dan dengan diberinya peluang untuk mengembangkan program doctor merupakan bukti bahwa IAIN Tulungagung bukan berasa STAIN. Bahkan sekarang para civitas akademika sudah merasa sebagai UIN. IAIN yang rasa UIN.
Oleh karena itu, yang sungguh harus diperhatikan ke depan, terutama dalam kaitannya dengan visi menjadi UIN ialah bagaimana IAIN ini terus berupaya untuk memperbaiki kualitas para dosennya dengan pendidikan lanjut. Saya senang mendengar bahwa jumlah doctor di IAIN Tulungagung sudah mencapai 50 lebih. Artinya, tentu persyaratan SDM bergelar doctor telah diupayakan. Tidak hanya doctor tetapi juga gelar akademik professor. Saya melihat baru ada enam guru besar, yaitu Prof. Ahmad Fathoni, Prof. Mujamil Qomar, Prof. Akhya’, Prof. Imam Fuadi, Prof. Hasyim Nawawi, dan Prof. Imam Malik. Ke depan harus semakin banyak professor-professor lainnya untuk menggenapi persyaratan menjadi UIN.
Selain itu juga penguatan kelembagaannya dilihat dari recognisi baik nasional maupun internasional. Akreditasi kelembagaan menjadi ukuran kualitas sebuah lembaga pendidikan. Makanya, akreditasi institusi maupun akreditasi prodi harus terus diupayakan untuk meningkat secara signifikan dan terencana. Di dalam konteks itu, maka keberadaan akreditasi yang sekarang sudah baik tentu harus ditingkatkan ke arah yang lebih. Bahkan jika dipandang penting harus terakreditasi secara internasional.
Ketiga, PTKIN kita ini sudah memiliki program doctor, makanya harus ada penguatan akademik dalam kaitannya dengan “Penguatan Kajian Keislaman integrative”. Program integrasi ilmu yang selama ini menjadi ciri khas atau distingsi PTKIN harus memperoleh porsi yang lebih besar untuk dikembangkan baik melalui riset dosen maupun riset mahasiswa. Harus didapati distingsi antara PTKIN dengan PTU bahkan juga sesama PTKIN. Harus memiliki ciri pembeda. Sesama program doctor di bidang Islamic Studies, apakah yang membedakan antara UIN Malang dengan UIN Surabaya atau UIN Jakarta. Demikian pula dengan Islamic Studies di IAIN Tulungagung. Saya kira melihat kawasan Tulungagung ialah pusat budaya kerajaaan-kerajaan besar di masa lalu, maka kiranya perlu dipikirkan tentang bagaimana hubungan antara Islam dan budaya masa lalu –khususnya budaya pra Islam—di dalam kerangka untuk menemukan relevansi masa lalu, kekinian dan kemodernan.
Saya kira masih ada banyak peluang untuk membuka cakrawala riset berbasis pada letak geografis, baik geografi politik, religious dan budaya yang dapat dijadikan sebagai medan untuk membangun keilmuan yang integrative, sebagaimana misi Kementerian Agama dalam membangun PTKIN.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..