TAHUN BARU HIJRIYAH DAN TANTANGAN UMAT ISLAM (1)
Seingat saya, saya telah menulis tentang sambutan atas tahun baru Hijriyah, sebagai penghormatan atas datangnya tahun baru Islam, yang memang memiliki nuansa historis yang sangat tinggi. Orang Islam tentu banyak berharap bahwa tahun baru Hijriyah akan bisa menjadi momentum “kebangkitan” umat Islam di tengah kehidupan masyarakat yang semakin cepat berubah ini.
Saya tentu masih teringat di kala saya menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Ampel, maka saya pernah terlibat di dalam acara Pawai Umat Islam untuk menyambut datangnya tahun baru, 1400 H., karena dianggapnya bahwa tahun 1400 Hijriyah adalah momentum tahun kebangkitan umat Islam di dunia. Penetapan tahun 1400 Hijriyah sebagai momentum kebangkitan umat didasari oleh hukum sejarah 700 tahunan up and down posisi umat Islam dalam percaturan sejarah. 700 tahun pertama sebagai era kemajuan umat Islam sampai hancurnya kerajaan Turki Ustmani, dan kemudian setelah itu 700 tahun kedua, umat Islam terpinggirkan di dalam sejarah kemajuan masyarakat, dan 700 tahun ketiga dianggap sebagai tahun kebangkitan umat Islam.
Makanya, saat masuknya tahun baru 1400 H yang lalu, maka seluruh energy ditumpahkan untuk meramaikan dan merayakan tahun baru hijriyah agar bisa menjadi momentum untuk membangun kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Tidak hanya di kota besar di dunia sambutan tahun baru tersebut dilakukan tetapi juga di pelosok negeri ikut meramaikan atau merayakannya.
Sekarang sudah memasuki tahun 1439 Hijriyah, artinya peristiwa penyambutan besar-besaran atas tahun baru hijriyah tersebut berlangsung. Lalu pertanyaannya, apakah sudah ada perubahan yang signifikan terhadap keinginan untuk meendapatkan atau mencapai keinginan kebesaran umat Islam, ataukah masih sama saja situasinya dengan tahun-tahun sebelum 1400 Hijiriyah?. Pandangan yang saya kemukakan tentu saja adalah pandangan yang bersifat simplifistis atau menyederhanakan terhadap capaian kualitatif tentang “kemajuan” umat Islam. Saya justru akan menggambarkan tentang kenyataan tantangan yang justru dihadapi oleh umat Islam dewasa ini. Ada tiga tantangan yang saya kira menjadi beban umat Islam di dunia internasional, yaitu: Pertama, konflik antar negara yang menyelimuti kehidupan umat Islam. Konflik antara Israel dengan Negara-Negara Teluk tentu menjadi agenda tantangan umat Islam yang tidak ada selesainya. Umat Islam di tepian Gaza terus berada di dalam bayang-bayang ketidakamanan karena tindakan Israel yang selalu berkeinginan menghancurkannya. Terakhir adalah peristiwa Masjid al Aqsha, yang selalu berada di dalam kungkungan konflik yang tiada hentinya.
Kekejaman Israel sebagai State Terorism tiada terkira. Banyak sekali warga sipil di jalur Gaza yang merasakan kekejaman itu, dan nyaris tidak ada negara Islam yang memberikan dukungan kepada warga Palestina yang selalu dirundung duka. Nyawa mereka banyak yang melayang, sementara negara-negara Islam tidak memberikan perhatian yang luar biasa. Badan-Badan Dunia yang diharapkan bisa memberikan support bagi perdamaian dunia juga tidak memberikan dukungan secara optimal. Sejauh-jauhnya adalah “mengutuk” tindakan biadab yang dilakukan oleh Israel.
Kedua, tantangan internal negara-negara Islam, khususnya di Timur Tengah yang selalu di dalam kubangan konflik tiada henti. Konflik kekuasaan di Iraq dan Syria yang tiada hentinya. Peperangan antara pemerintah Syria dengan Islamic State of Iraq anad Syria yang terus berkecamuk. Perang yang mengahasilkan kesulitan dan kehancuran bagi kemanusiaan. Tidak hanya situs-situs kebanggan umat Islam sebagai warisan wisata spiritualitas yang hancur berantakan, akan tetapi juga hancurnya kemanusiaan. Kota-kota di Syria yang menjadi kota Nabi-Nabi menjadi hancur berantakan. Warisan sejarah kemanusiaan dan kebaikan dihancurkan. Semua ini memberikan gambaran bahwa perebutan kekuasaan ternyata akan membawa kehancuran pada semua aspek kehidupan.
Berapa lama waktu yang digunakan untuk membangun peradaban Islam itu, yang kemudian luluh lantak karena tindakan manusia yang haus kekuasaan dan sering kali menjadikan dalil agama sebagai basis gerakannya. Adakah yang dilakukan ISIS itu gerakan agama ataukah gerakan politik kekuasaan. Dan pengaruhnya terhadap umat Islam di seluruh dunia juga tidak sedikit. Orang-orang menjadi terpengaruh karena dianggapnya ISIS itu gerakan agama, padahal sebenarnya adalah gerakan politik kekuasaan yang menjadikan agama sebagai instrumennya. Itulah sebabnya, banyak umat Islam yang terpengaruh dan berperang bersama mereka.
Konflik itu juga dipicu oleh penggolongan agama, Sunni dan Syiah. Mereka terbagi dalam kelompok yang saling berebut kekuasaan. Jika Syiah yang berkuasan, maka kaum Sunni dipinggirkan dan dinihilkan dan sebaliknya jika kaum Sunni yang berkuasa juga kaum Syiah dipinggirkan dan dihancurkan. Nyaris tidak ada kesadaran untuk membangun kebersamaan. Penggolongan politik dan kekuasaan menjadi penghalang untuk melakukan rekonsiliasi untuk membangun kebersamaan.
Mereka saling menghancurkan dan saling menihilkan. Dan yang menjadi aneh juga salah satunya memperoleh dukungan kekuatan politik, misalnya kaum Syiah mendapatkan dukungan dari “pemerintah Iran” dan kemudian kaum Sunni memperoleh dukungan dari “pemerintah Arab Saudi”. Semuanya sesungguhnya bermuara pada urusan kekuasaan politik yang menjadikan instrument agama sebagai penguatnya.
Ketiga, masalah minoritas umat Islam di negara mayoritas agama lainnya. Kasus Thailand Selatan, kasus Filipina Selatan, Kasus Rohingya dan di beberapa negara lain tentu menjadi bukti bahwa tantangan umat Islam sesungguhnya sangatlah berat. Masalah Rohingya yang menjadi topic pembicaraan akhir-akhir ini tentu menjadi perhatian kita semua, bahwa umat Islam belum menikmati kue kehidupan yang cukup. Mereka dipinggirkan dan dinihilkan, bahkan di Rohingya disebut sebagai genosida, sebab terjadi pembunuhan massal yang dilakukan oleh militer dengan “dukungan” pemerintah. Disebabkan oleh yang mayoritas ialah kaum Buddha, maka ada yang berpendapat bahwa Kaum Buddha terlibat di dalam tindakan kekuasaan yang lalim tersebut. Kita tentu berpendapat berbeda, bahwa konflik itu bukan diakibatkan oleh agama tetapi oleh penguasaan akses dan sumber ekonomi politik yang terjadi.
Dengan demikian, impian 38 tahun yang lalu yaitu keinginan untuk menjadikan tahun 1400 hijriyah sebagai tahun kebangkitan umat Islam masih berada di dalam tanda petik. Jadi, umat Islam masih harus menyelesaikan tantangannya sendiri agar kita bisa menjadikan 700 tahun ketiga itu sebagai tahun kejayaan umat Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MENJAGA MARWAH BANGSA, NIHILKAN KORUPSI (2)
Saya akan melanjutkan tulisan kemarin, terkait dengan topic yang sama, tentang penyebab tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat public. Di dalam konteks ini, selain secara internal kita memiliki “mental menerabas”, maka yang juga menjadi factor pemicunya ialah pandangan dan sikap masyarakat yang menganggap bahwa kekayaan adalah segala-galanya.
Kedua, rendahnya integritas. Antara mental menerabas dengan rendahnya integritas merupakan dua sisi mata uang. Di satu sisi terdapat mental menerabas dan di sisi lain terdapat rendahnya integritas. Dua-duanya memang merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Mana akibat dan mana penyebab memang sulit ditebak, akan tetapi keduanya mungkin merupakan hubungan antar variabel yang saling mempengaruhi atau mengakibatkan. Tetapi factor integritas tentu lebih besar pengaruhnya ketimbang lainnya.
Kejujuran merupakan dorongan hati untuk melakukan kebenaran dan penolakan terhadap ketidakbenaran. Makanya, sering di dalam masyarakat kita terdengar ungkapan “dengarkan kata hatimu”. Hal ini memberikan gambaran bahwa “hati” merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk membangun integritas itu. Hingga pentingnya integritas atau kejujuran, sampai-sampai Allah Swt., memberikan sifat itu kepada Nabi Muhammad saw., dengan sifat “shiddiq” dan “amanah” sebagai sifat utama Nabi Muhammad saw. Bahkan masyarakat juga menjulukinya dengan sebutan “al-amin” atau orang yang dipercaya. Jadi, kejujuran akan menjadi penyebab ‘kepercayaan”.
Di dalam hal tindakan koruptif yang dilakukan oleh para pejabat publik, maka jika ditanyakan kepada hati nuraninya pastilah hati mereka akan menyatakan bahwa tindakan koruptif itu bukan merupakan jalan kebenaran. Setiap orang memiliki “hati nurani” yang akan selalu menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa, melalui tindakan patuh pada regulasi. Kita semua tentu sudah tahu bahwa tindakan koruptif merupakan tindakan yang tidak terpuji dan melanggar norma agama dan juga hukum. Itulah sebabnya tidak ada kata lain, bagi bangsa ini kecuali kita harus kembali kepada jati diri sebagai bangsa besar, yaitu menjaga kepatuhan kita kepada norma agama dan norma hukum dalam kaitannya dengan jabatan public.
Sebagai bangsa yang religious, tentu malu jika mendengar banyak pejabat yang bermasalah terkait dengan korupsi. Sebagai bangsa yang berketuhanan, sudah selayaknya mempertimbngkan ajaran agamanya untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari ajaran agamanya. Dan sebagaimana diketahui bahwa tidak ada ajaran agama yang membolehkan tindakan koruptif bagi para penganutnya. Dengan demikian sesungguhnya diperlukan instrument untuk mencegah terjadinya tindakan penyimpangan khususnya di dalam bidang korupsi.
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentu diharapkan menjadi salah satu upaya optimal bagi bangsa ini untuk kembali kepada jalan yang benar atau jalan yang lurus di dalam menjalankan jabatan public. KPK menjadi instrument penting di dalam pemberantasan korupsi. Tidak hanya melakukan penindakan akan tetapi juga pencegahan. Bahkan ke depan yang sangat mendasar adalah bagaimana agar tindakan koruptif tidak lagi ada di dalam kehidupan masyarakat.
Jika selama ini KPK lebih banyak melakukan punishment tentu disebabkan tindakan ini sebagai shock therapy atas tindakan penyimpangan yang semakin variatif dalam kuantitas dan kualitasnya. Melalui system penyadapan terhadap rekam jejak seorang pejabat, maka dipastikan bahwa yang bersangkutan akan bisa ditangkap.
KPK dengan peralatan teknologi informasi yang dimilikinya tentu dapat melakukan rekam jejak terhadap berbagai tindakan penyimpangan atau korupsi. Banyakya pejabat public yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) tentu menjadi bukti bahwa dengan dukungan teknologi informasi yang dapat mendeteksi dengan akurat ternyata bisa membuat pejabat-pejabat yang melakukan tindakan koruptif mati kutu. Hanya sayangnya bahwa meskipun banyak yang tertangkap tetapi sayangnya tidak membuat jera para pelaku korupsi, baik pejabat public maupun para pengusaha.
Kita tentu berharap bahwa tindakan penindakan itu akan bisa dijadikan sebagai referensi bagi pejabat pubik agar tidak lagi melakukan hal serupa. Jangan ada lagi tindakan korupsi yang menyebabkan moralitas bangsa ini tercabik-cabik. Jika para pejabat public menjadi jera, maka pada gilirannya KPK akan bisa berkonsentrasi atas usaha untuk melakukan pencegahan.
Dengan kata lain, bahwa KPK akan berhasil jika nyaris tidak dijumpai lagi adanya pejabat public yang melakukan penyelewengan atau tindakan menyimpang. Dan saya berkeyakinan bahwa masyarakat akan terus mendukung upaya KPK untuk membersihkan negeri ini dari tindakan koruptif. Kiranya KPK memang harus menjadi penjaga integritas bangsa agar terwujud kesejahteraan masyarakat Indonesia di era sekarang dan yang akan dating.
Wallahu a’lam bi al shawab.
JAGA MARWAH BANGSA, HILANGKAN KORUPSI (1)
Saya terkadang bertanya pada diri sendiri, “apa yang sesungguhnya salah pada bangsa ini”?. Apa yang sebenarnya terjadi, sehingga masih terus ada yang nekad melakukan tindakan koruptif atau menyalahgunakan kekuasaan untuk tindakan yang tidak benar atau tidak terpuji. Masih ada sederet pertanyaan yang rasanya akan sulit untuk menjawabnya.
Akhir-akhir ini pemberitaan di media sedang ramai dengan berita tentang tindakan koruptif yang dilakukan oleh para pejabat negara. Ada yang tertangkap tangan sedang bernegosiasi tentang fee dari pengusaha yang memenangkan tender pelaksanaan proyek dan ada yang juga tertangkap tangan karena menyimpan uang dalam jumlah puluhan milyar dan sebagainya.
Saya termasuk orang yang menolak konsepsi bahwa korupsi telah membudaya. Saya sungguh tidak menerima konsepsi ini sebab bagi bangsa Indonesia sungguh tidak ada suatu pedoman apapun yang bisa dijadikan sebagai pattern for behavior terkait dengan tindakan koruptif. Korupsi merupakan tindakan menyimpang dari norma agama dan juga norma hukum positif yang sudah disepakati sebagai pedoman di dalam menjalankan jabatan apapun, khususnya jabatan public.
Lalu, apa yang sesungguhnya menjadi penyebab utama tindakan koruptif di kalangan sebagian sangat kecil dari bangsa ini. Saya melihat ada beberapa penyebab utama dalam kaitannya dengan tindakan koruptif, yaitu: pertama, mentalitas menerabas. Kita pernah diingatkan oleh Prof. Koentjaraningrat di tahun 80-an, bahwa mentalitas menerabas telah ada di kalangan bangsa ini. Mungkin Prof. Koentjaraningrat saat itu hanya melihat gejala-gejalanya saja dan bahkan masih bersifat tentative atau masih menjadi hipotesis yang bisa jadi benar atau salah. Mungkin sebatas dugaan atau asumsi yang kelihatannya berbasis pada gejala-gejala yang dilihatnya.
Ternyata bahwa asumsi Prof. Koentjaraningrat tersebut menjadi kenyataan. Jika pada tahun 90-an gejala mental menerabas tersebut berbentuk tindakan penyimpangan di dalam berbagai proyek pemerintah dan bahkan ada pernyataan bahwa 30 persen anggaran pembangunan dikorupsi, maka hal tersebut menjadi kenyataan. Ada banyak proyek pemerintah yang cepat rusak karena tidak sesuai antara spesifikasi bangunan dengan hasil pembangunannya. Makanya, korupsi lalu menjadi perbincangan di kalangan para ahli di bidang ilmu sosial dan hukum, sebab memang telah menjadi realitas empiris yang tidak bisa ditolak kenyataannya.
Di saat itulah kemudian muncul istilah yang sebenarnya sangat bagus yang disebut sebagai “pengawasan melekat” atau disingkat “waskat”. Berbagai pelatihan kemudian dilakukan agar para pejabat kemudian menjadikan dirinya sebagai “benteng” dalam mengawasi terhadap berbagai proyek yang dilakukan atau diadakan. Secara konseptual, “waskat” merupakan istilah yang sangat baik. Semua bersepakat bahwa dengan konsepsi ini, maka pembangunan akan lebih berorientasi pada produk dan akan berhasil guna dalam kehidupan masyarakat.
Namun di dalam perkembangannya, “waskat” tidak benar-benar diterapkan. Kata “waskat” hanya berada di bibir saja, ada di dalam seminar, symposium, focus group discussion (FGD), pelatihan dan sebagainya. Yang justru terjadi adalah “waskat” merupakan akronim dari “wajib setor ke atas”. Sungguh sebuah gambaran negative tentang bagaimana proyek-proyek pemerintah kemudian menjadi ajang untuk berlomba-lomba mencari kekayaan. Makanya, banyak rumah mewah yang dimiliki oleh para pejabat yang “kebetulan” memperoleh kepercayaan untuk mengelola proyek pemerintah. Kata “pimpinan proyek” atau disingkat “pimpro” menjadi istilah yang diperebutkan agar bisa diraihnya. Para pejabat akan menjadi sangat bergengsi kalau memperoleh jabatan “pimpro” itu, sebab di sinilah “hakikat” kerja yang sesungguhnya. Bisa menjadi “kaya” dan bisa memberikan kekayaan bagi lainnya.
Di sinilah letak korelasi antara mental menerabas dengan kekayaan, dan keinginan untuk memperoleh “gengsi” yang diakibatkan oleh kepemilikan asset dan sebagainya. Dahulu, ketika saya masih menjadi mahasiswa dan sering terlibat di dalam unjuk rasa, maka kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang adalah poster dengan statemen “punggung mengkilat, punggung rakyat” dan “mobil mengkilat, milik pejabat”. Lalu, “rumah mewah milik pejabat, rumah reyot milik rakyat”. Sebuah gambaran tentang bagaimana pandangan dari para mahasiswa saat itu, yang melihat betapa terdapat “kesenjangan” antara 2 (dua) dunia yang berbeda, yaitu: dunia pejabat dengan dunia rakyat. Hal ini memberikan gambaran, bahwa sementara rakyat kita miskin, dan sementara itu para pejabat tidak memperdulikannya, dan bahkan melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu mengkorupsi proyek-proyek pembangunan.
Mental menerabas, sesungguhnya juga terkait dengan filsafat hedonism dan materialism. Melalui pandangan bahwa semua serba boleh dan semua bisa dilakukan untuk kepentingan diri dan berpadu dengan pandangan meterialisme, bahwa “kekayaan” atau “materi” adalah segala-galanya, maka banyak orang yang menginginkan “kesuksesan” dengan cara cepat dan menerabas semua pedoman kehidupan, hukum dan agama, sehingga mereka “menghalalkan” semua cara agar memiliki kekayaan atau asset yang luar biasa banyak dan itulah yang dianggapnya sebagai harga diri. Ukuran harga diri itu ialah “kekayaan”.
Dengan demikian, selama masih banyak mental menerabas di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa ini, maka selama itu pula tindakan koruptif akan tetap berlangsung. Dan jika hal ini tidak mampu diminimalisakan atau bahkan dinihilkan, maka marwah bangsa ini akan tergadaikan.
Nah pertanyaannya, apakah masihkah ada harapan untuk perbaikan?. Maka jawabannya tentu masih ada. Dan itu sangat tergantung kepada kita semua untuk menjawabnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
E-GOVERNMENT DAN UPAYA KITA
Hari Jum’at, 15/09/2017, saya melakukan pertemuan untuk membahas tentang penyelenggaraan e-government di Kemenang, khususnya pada Biro Kepegawaian pada Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI. Saya memang secara sengaja meminta kepada Biro Kepegawaian untuk mempresentasikan usahanya di dalam merealisasikan e-gov pada Kemenag. Hadir di dalam acara ini Kepala Biro Kepegawaian Kemenag, Ahmadi, para Kabag., Farid Wadjdi dan Iwan serta staf yang membidangi e-gov pada Biro Kepegawaian. Hadir juga Deputi BKN, Pak Koes Priyo Murdono, yang juga terlibat di dalam acara presentasi e-gov ini.
Ada empat hal yang dipresentasikan oleh tim e-gov pada Biro Kepegawaian, yaitu electronic Kinerja ASN Kemenag atau Sistem Informasi Elektronik Kinerja ASN (SI-EKA), Sistem Informasi Manajemen Izin Belajar dan Tugas Belajar (SIM-Ibel-Tubel), Sistem Informasi Manajemen Kenaikan Gaji Berkala (SIM-KGB) dan Sistem Informasi Manajemen Asesmen.
Yang sungguh saya apresiasi tentu adalah keberhasilan tim ICT pada Biro Kepegawaian yang telah berhasil melakukan adaptasi dari system Manajemen Informasi Kinerja yang diberlakukan pada Badan Kepegawaian Negara (BKN). Saya kira cukup cepat tim ICT Biro Kepegawaian Kemenag melakukan adaptasi ini. Dalam waktu kira-kira 2 (dua) minggu dari semenjak rapat diselenggarakan untuk membahas laporan kerja tim ICT dan kemudian ditindaklanjuti dengan mengundang Direktur Kinerja BKN, maka dalam waktu yang relative singkat system Kinerja ASN di BKN tersebut dapat diadaptasi.
Berdasarkan presentasi yang dilakukan oleh TIM ICT Biro Kepegawaian, maka saya dapat memberikan penilaian bahwa system ini sangat mudah diberlakukan dan tidak membutuhkan keahlian ICT yang rumit. Asalkan seorang ASN bisa mengoperasikan computer dan masuk ke dalam system ini, maka akan dapat dilakukan pengisian dengan mudah. Berdasarkan contoh yang ditampilkan, maka pengisian dapat dilakukan atas kinerja apa yang dilakukan dalam sehari. Dari sini kemudian akan diketahui tingkat produktifitas kinerja ASN. Misalnya, kemarin yang dijadikan contoh adalah nama saya, Prof. Dr. Nur Syam, Sekjen Kemenag RI, yang setelah bisa masuk ke dalam system, maka akan muncul sajian produktifitas, yang kemudian bisa dituliskan beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan di situ. Seperti pada hari Jumat kemarin, maka ada tiga rapat yang saya selenggarakan, maka di dalam format tersebut dapat diisi: tampilan jenis pekerjaan, waktu pekerjaan dan lain-lain. Jam 09.00-11.30 memimpin rapat persiapan penilaian Kinerja oleh KemenpanRB, jam 14.00-15.00 memimpin rapat panitia persiapan asesmen untuk JPT Madya (Staf Ahli Menteri), jam 15.00-17.30 memimpin rapat dalam rangka presentasi Sistem Manajemen Informasi Kinerja pada Kemenag. Selain itu juga ada beberapa pekerjaan dalam kaitannya dengan penandatangan dokumen-dokumen dan sebagainya.
Melalui system ini, maka semua pimpinan dan staf akan melaporkan pekerjaannya dalam setiap hari dan nanti akan terakumulasi dalam satu bulan dan satu tahun. Dengan pengisian laporan kinerja ASN, maka akan diketahui berapa besar tunjangan kinerja yang akan diterimanya. Jadi akan diketahui tingkat produktivitas kita dalam sebulan, sehingga memungkinkan bagi kita untuk memperoleh reward dan punishmen terkait dengan kinerja kita. Melalui system informasi ini, maka juga tidak dimungkinkan terdapat ASN yang tidak mengerjakan pekerjaannya dalam setiap hari.
Kemudian yang juga menarik adalah mengenai system informasi manajemen izin belajar dan tugas belajar atau SIM-Ibel-tubel. Kita pernah mengalami saat-saat yang sulit terkait dengan pemberian izin belajar dan tugas belajar ini. Hampir 6 (enam) tahun pemberian izin belajar dan tugas belajar tersebut mandeg. Bukan tidak diusahakan penyelesaiannya, akan tetapi ternyata memang mengalami kendala yang amat rumit. Maklumlah bahwa yang belum diizinkan adalah mereka yang terlambat mendapatkan izin belajar dimaksud, sementara yang bersangkutan sudah menyelesaikan masa belajarnya. Ada sebanyak 1670 lebih program doctor dan ribuan lainnya untuk program magister.
Untuk mencapai kata sepakat, baik eksternal maupun internal ternyata membutuhkan waktu selama 3 (tiga) tahun. Bisa dibayangkan bahwa untuk menyelesaikan izin belajar dan tugas belajar tersebut dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Tentu saya bersyukur, karena sekarang sudah terdapat program pemutihan yang dilakukan melalui SK Menteri Agama, sehingga terhadap izin belajar yang bermasalah tersebut sudah bisa diselesaikan. Ada kawan saya dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Ibu Dr. Suhartini (sekarang Dekan Pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi), yang masa belajar program doktornya nyaris bersamaan dengan saya, akan tetapi yang bersangkutan belum bisa menyelesaikan professornya karena terkendala oleh izin belajar yang tidak tepat waktu. Yang bersangkutan mengikuti program doctor tahun 2000 dan baru selesai izin belajarnya tahun 2015 yang lalu.
SIM-Ibel-Tubel dirancang untuk percepatan pelayanan. Jika semua persyaratan untuk izin belajar sudah di-PDF-kan, maka yang bersangkutan bisa memasukkan izin belajarnya melalui SIM-Ibel-Tubel di Kanwil atau PTKIN, dan kemudian Kanwil Kemenag atau PTKIN mengeluarkan surat rekomendasi dan bebas hukuman disiplin, lalu dikrim ke SIM-Ibel-Tubel di Pusat, maka dalam waktu 14 hari izin sudah dapat dilahirkan. Bahkan pelamar juga bisa memantau terhadap proses peizinan dimaksud.
Jadi, seusngguhnya dengan kesungguhan untuk menerapkan e-gov., maka percepatan pelayanan dalam kerangka pelayanan optimal untuk menggapai kepuasan pelanggan akan dapat dihasilkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
JANGAN MENJADI PEMIMPIN TANPA KEPEMIMPINAN (2)
Saya telah menulis 2 (dua) syarat yang harus dimiliki pemimpin dalam tulisan sebelumnya dengan judul yang sama. Saya akan mengungkapkan beberapa persyaratan lainnya yang akan dapat menjadi “jaminan” akan hadirnya pemimpin yang memimpin bawahannya.
Ketiga, pemimpin itu memiliki kemampuan untuk menggerakkan semua komponen organisasi agar menuju pencapaian visi yang sudah dicanangkan. Rasanya tidak banyak orang yang memiliki kemampuan menggeraklkan orang lain. Kemampuan untuk menggerakkan orang lain merupakan salah satu bagian dari sisi manejemen yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Meskipun ini merupakan sesuatu tindakan manajerial yang lebih teknis, akan tetapi tentu harus didasari oleh kemampuan visioner dari seorang pemimpin.
Bagaimanapun hebatnya seorang pemimpin jika tidak mendapatkan dukungan yang optimal dari bawahannya tentu dipastikan bahwa tujuan organisasi atau institusi tidak akan tercapai. Kerja sama yang baik di antara pemimpin dan staf tentu akan menjamin keberlangsungan pencapaian target yang sudah ditentukan. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung kepada bagaimana dia dapat menggerakkan stafnya untuk mencapai tujuan organisasi.
Jika di masa lalu, manajemen itu bertumpu pada empat aspek, yaitu: planning, organizing, actuating dan controlling, maka sekarang sudah menggunakan pola lain, yaitu: plan, do, check and action. Jika di masa lalu, actuating itu merupakan satu fase sendiri, maka dengan perubahan baru tersebut, maka actuating itu melazimi paa semua aspek di dalam dunia manajemen. Actuating ada di plan, do, check and action. Makanya, seorang manajer dan juga seorang pemimpin, selayaknya memiliki kemampuan untuk meggerakkan stafnya untuk mencapai tujuan utama organisasi atau institusi. Menggerakkan roda organisasi tidak cukup dengan perintah, akan tetapi yang justru penting ialah bagaimana menggerakkan bawahan dengan kekuatan logika dan juga emosi dan hati. Menggerakkan orang bukan persoalan mudah dan sederhana, akan tetapi harus dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki pemimpin. Jadi harus ada pemahaman yang sama antara yang memberi perintah dan yang diperintah. Harus sama gelombangnya. Ibarat kita akan menggunakan channel tertentu di media televise, jika gelombangnya sama, maka channel itu akan dapat memberikan warna, suara dan kualitas siaran yang bagus dan sebaliknya jika tidak sama gelombangnya, pastilah akan dihasilkan gambar yang kurang kualitasnya.
Keempat, kualitas pengetahuan dan keahlian yang cukup. Seorang pemimpin adalah seorang nakhoda yang akan menggerakkan jalannya kapal di tengah badai bahkan gelombang yang bisa saja menghempaskan kapal itu. Maka seorang pemimpin tentu harus memiliki seperangkat pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan anak buahnya atau awak kapalnya. Lalu dengan pengetahuan dan kemampuannya itu dia secara pasti akan menuju pantai idaman yang menjadi tujuannya. Dia harus pandai membaca terhadap pertanda-pertanda alam, singnal-signal yang mengelilinginya, dan juga symbol-simbol zaman yang akan terus menjadi tantangannya. Makanya, dengan kemampuannya itu, maka dia akan dapat mengarahkan institusinya menuju jalan yang benar. Di dalam filsafat Jawa dikenal istilah “Jalmo Limpad” atau manusia lebih, maka seorang pemimpin harus menjadi “jalmo limpad” itu agar dia bisa membaca terhadap berbagai signal-signal di sekelilingnya.
Sebagai seorang nakhoda bagi perjalanan panjang, maka yang sangat diperlukan ialah bagaimana dia dapat menjaga agar perjalanan kapal tersebut bisa mengarah ke tujuan yang benar. Di dalam berbagai fakta mengenai “perusahaan” yang bisa memasuki perjalanannya melebihi 100 tahun –centenial—ternyata bahwa salah satu yang mendasar ialah mengenai konsistensi dan inovasi. Dengan konsistensi, maka perusahaan itu akan memiliki branding yang jelas, dan dengan inovasi yang memadai maka perusahaan itu tidak akan tertinggal oleh perubahan. Bayangkan sebuah perusahaan potlot atau pensil di Perancis, bisa bertahan selama lebih 100 tahun, tentu hal ini disebabkan oleh kemampuan “penerus” pimpinan perusahaan tersebut untuk terus bertahan di tengah badai teknologi mesin yang terus berkembang.
Kelima, kualitas pengendalian diri. Yang tidak kalah penting bagi pemimpin ialah bagaimana pemimpin itu bisa mengendalikan diri. Harus disadari bahwa bawahannya tidak memiliki “kesamaan” kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaan, maka pemimpin harus bijak menerapkan cara yang tepat agar bawahannya bisa menyelesaikan pekerjaannya. Jangan pernah menyamakan kemampuan kita dengan kemampuan orang-orang di sekeliling kita. Maka tempatkanlah mereka dalam kerangka kemampuannya. Lakukan pelatihan atau pendidikan agar mereka bisa bekerja lebih baik.
Untuk hal ini, maka seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri di dalam memberikan tugas dan pekerjaan. Mungkin istilah yang tepat ialah memiliki “rasa emphatic” dengan potensi dan kemampuan bawahannya, sehingga dia akan bisa memberikan perintah yang dapat diterjemahkan dan dilakukan oleh bawahannya.
Saya yakin, jika seorang pemimpin bisa menerapkan lima hal ini, rasanya keberhasilan dia sebagai pemimpin akan terjadi. Dan rasanya, dia juga akan menjadi pemimpin yang bisa memimpin dan bukan pemimpin yang tidak bisa memimpin. Jadi, jangan menjadi pemimpin yang tidak memiliki kepemimpinan atau leader without leading.
Wallahu a’lam bi al shawab.