Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JAGA MARWAH BANGSA, HILANGKAN KORUPSI (1)

JAGA MARWAH BANGSA, HILANGKAN KORUPSI (1)
Saya terkadang bertanya pada diri sendiri, “apa yang sesungguhnya salah pada bangsa ini”?. Apa yang sebenarnya terjadi, sehingga masih terus ada yang nekad melakukan tindakan koruptif atau menyalahgunakan kekuasaan untuk tindakan yang tidak benar atau tidak terpuji. Masih ada sederet pertanyaan yang rasanya akan sulit untuk menjawabnya.
Akhir-akhir ini pemberitaan di media sedang ramai dengan berita tentang tindakan koruptif yang dilakukan oleh para pejabat negara. Ada yang tertangkap tangan sedang bernegosiasi tentang fee dari pengusaha yang memenangkan tender pelaksanaan proyek dan ada yang juga tertangkap tangan karena menyimpan uang dalam jumlah puluhan milyar dan sebagainya.
Saya termasuk orang yang menolak konsepsi bahwa korupsi telah membudaya. Saya sungguh tidak menerima konsepsi ini sebab bagi bangsa Indonesia sungguh tidak ada suatu pedoman apapun yang bisa dijadikan sebagai pattern for behavior terkait dengan tindakan koruptif. Korupsi merupakan tindakan menyimpang dari norma agama dan juga norma hukum positif yang sudah disepakati sebagai pedoman di dalam menjalankan jabatan apapun, khususnya jabatan public.
Lalu, apa yang sesungguhnya menjadi penyebab utama tindakan koruptif di kalangan sebagian sangat kecil dari bangsa ini. Saya melihat ada beberapa penyebab utama dalam kaitannya dengan tindakan koruptif, yaitu: pertama, mentalitas menerabas. Kita pernah diingatkan oleh Prof. Koentjaraningrat di tahun 80-an, bahwa mentalitas menerabas telah ada di kalangan bangsa ini. Mungkin Prof. Koentjaraningrat saat itu hanya melihat gejala-gejalanya saja dan bahkan masih bersifat tentative atau masih menjadi hipotesis yang bisa jadi benar atau salah. Mungkin sebatas dugaan atau asumsi yang kelihatannya berbasis pada gejala-gejala yang dilihatnya.
Ternyata bahwa asumsi Prof. Koentjaraningrat tersebut menjadi kenyataan. Jika pada tahun 90-an gejala mental menerabas tersebut berbentuk tindakan penyimpangan di dalam berbagai proyek pemerintah dan bahkan ada pernyataan bahwa 30 persen anggaran pembangunan dikorupsi, maka hal tersebut menjadi kenyataan. Ada banyak proyek pemerintah yang cepat rusak karena tidak sesuai antara spesifikasi bangunan dengan hasil pembangunannya. Makanya, korupsi lalu menjadi perbincangan di kalangan para ahli di bidang ilmu sosial dan hukum, sebab memang telah menjadi realitas empiris yang tidak bisa ditolak kenyataannya.
Di saat itulah kemudian muncul istilah yang sebenarnya sangat bagus yang disebut sebagai “pengawasan melekat” atau disingkat “waskat”. Berbagai pelatihan kemudian dilakukan agar para pejabat kemudian menjadikan dirinya sebagai “benteng” dalam mengawasi terhadap berbagai proyek yang dilakukan atau diadakan. Secara konseptual, “waskat” merupakan istilah yang sangat baik. Semua bersepakat bahwa dengan konsepsi ini, maka pembangunan akan lebih berorientasi pada produk dan akan berhasil guna dalam kehidupan masyarakat.
Namun di dalam perkembangannya, “waskat” tidak benar-benar diterapkan. Kata “waskat” hanya berada di bibir saja, ada di dalam seminar, symposium, focus group discussion (FGD), pelatihan dan sebagainya. Yang justru terjadi adalah “waskat” merupakan akronim dari “wajib setor ke atas”. Sungguh sebuah gambaran negative tentang bagaimana proyek-proyek pemerintah kemudian menjadi ajang untuk berlomba-lomba mencari kekayaan. Makanya, banyak rumah mewah yang dimiliki oleh para pejabat yang “kebetulan” memperoleh kepercayaan untuk mengelola proyek pemerintah. Kata “pimpinan proyek” atau disingkat “pimpro” menjadi istilah yang diperebutkan agar bisa diraihnya. Para pejabat akan menjadi sangat bergengsi kalau memperoleh jabatan “pimpro” itu, sebab di sinilah “hakikat” kerja yang sesungguhnya. Bisa menjadi “kaya” dan bisa memberikan kekayaan bagi lainnya.
Di sinilah letak korelasi antara mental menerabas dengan kekayaan, dan keinginan untuk memperoleh “gengsi” yang diakibatkan oleh kepemilikan asset dan sebagainya. Dahulu, ketika saya masih menjadi mahasiswa dan sering terlibat di dalam unjuk rasa, maka kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang adalah poster dengan statemen “punggung mengkilat, punggung rakyat” dan “mobil mengkilat, milik pejabat”. Lalu, “rumah mewah milik pejabat, rumah reyot milik rakyat”. Sebuah gambaran tentang bagaimana pandangan dari para mahasiswa saat itu, yang melihat betapa terdapat “kesenjangan” antara 2 (dua) dunia yang berbeda, yaitu: dunia pejabat dengan dunia rakyat. Hal ini memberikan gambaran, bahwa sementara rakyat kita miskin, dan sementara itu para pejabat tidak memperdulikannya, dan bahkan melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu mengkorupsi proyek-proyek pembangunan.
Mental menerabas, sesungguhnya juga terkait dengan filsafat hedonism dan materialism. Melalui pandangan bahwa semua serba boleh dan semua bisa dilakukan untuk kepentingan diri dan berpadu dengan pandangan meterialisme, bahwa “kekayaan” atau “materi” adalah segala-galanya, maka banyak orang yang menginginkan “kesuksesan” dengan cara cepat dan menerabas semua pedoman kehidupan, hukum dan agama, sehingga mereka “menghalalkan” semua cara agar memiliki kekayaan atau asset yang luar biasa banyak dan itulah yang dianggapnya sebagai harga diri. Ukuran harga diri itu ialah “kekayaan”.
Dengan demikian, selama masih banyak mental menerabas di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa ini, maka selama itu pula tindakan koruptif akan tetap berlangsung. Dan jika hal ini tidak mampu diminimalisakan atau bahkan dinihilkan, maka marwah bangsa ini akan tergadaikan.
Nah pertanyaannya, apakah masihkah ada harapan untuk perbaikan?. Maka jawabannya tentu masih ada. Dan itu sangat tergantung kepada kita semua untuk menjawabnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..