• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGUKUR KUALITAS KINERJA (3)

MENGUKUR KUALITAS KINERJA (3)
Salah satu hal yang ditekankan oleh Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, bahwa menggerakkan reformasi birokrasi di kementerian Agama itu ibaratnya ialah mengemudikan tanker dengan ukuran yang sangat besar, sehingga untuk membelokkan kapal tanker tersebut diperlukan putaran kemudi berkali-kali. Berbeda dengan speed boot yang ukurannya kecil, sehingga untuk mengubah arah cukup dengan sekali putaran saja, maka sudah akan berputar.
Ungkapan ini terasa sangat tepat untuk menggambarkan betapa beratnya untuk mengemudikan kapal tanker berupa Kementerian Agama itu. Dengan satker sebanyak 4557 buah dan tersebar di seluruh Indonesia, dengan 7026 DIPA dan PNS sebesar 230.157 orang, maka memang memerlukan energy ekstra untuk melakukan pergerakannya. Diperlukan waktu dan ketepatan mengemudikannya, sehingga birokrasi kemenag itu tidak oleng dan kemudian roboh.
Oleh karena itu, maka diperlukan kerja keras dan cerdas di dalam membangun reformasi birokrasi di Kemenag agar bisa berjalan seirama dengan K/L lain yang jumlah satker dan ASN-nya jauh lebih kecil. Itulah sebabnya semua harus memahami bahwa pergerakan RB di Kementerian Agama itu seakan berjalan lambat meskipun sesungguhnya sudah cepat, jika dibandingkan dengan ukuran besaran dan kuantitas kementerian, yang memang jumbo itu.
Sesungguhnya, bahwa gerakan RB sudah berjalan dengan cukup memadai di Kemenag. Misalnya dalam LKKA ternyata bisa juga kita mencapai yang terbaik pada tahun 2016 yang lalu. Dengan capaian WTP sesuai dengan opini BPK tentu menggambarkan bahwa sudah ada kemajuan yang sangat berarti dalam kinerja keuangan. Dengan predikat ini, maka menjadi tantangan kita untuk mempertahankan opini LKKA dimaksud. Jadi tidak ada kata berhenti untuk terus berkarya dalam kaitannya dengan mempertahankan apa yang sudah baik dan terus berinovasi untuk mengembangkan sesuatu yang baru terkait dengan pelayanan public.
Pak Menag menyatakan bahwa “pergerakan RB tersebut dapat dilihat dari sudah dikembangkannya system pelayanan berbasis online. Misalnya dengan PTSP yang memungkinkan seseorang yang menginginkan untuk memperoleh pelayanan cukup dilayani dalam satu pintu saja. Selain itu juga pelayanan akan menjadi lebih cepat dan terukur. Beliau juga mengapresiasi Kemenag Jogjakarta yang telah mengembangkan pelayanan satu pintu dalam wadah PTSP. Semua ini dilakukan di dalam kerangka untuk memberikan pelayanan optimal.”
Selain itu, Pak Menag juga mengapresiasi terhadap Pembayaran Non Tunai. Meskipun sementara ini masih di Sekretariat Jenderal saja yang melakukannya, tentu tidak menutup kemungkinan ke depan akan ada unit eselon I lain yang akan melakukannya. Beliau menyatakan: “saya akan memnberikan hadiah atau reward bagi unit eselon I lain yang menerapkan tahun ini untuk pembayaran Non Tunai”.
Saya kira apa yang diungkapkan oleh Pak Lukman ini adalah tantangan yang perlu direspon oleh kita semua. Pembayaran Non Tunai adalah program pemerintah untuk menggerakkan pola keuangan inklusif. Di antara yang menjadi program system keuangan inklusif ialah pembayaran Non Tunai. Sebagai bagian dari birokrasi pemerintah, maka Kemenag harus menjadi leading sector di dalam membangun system pembayaran Non Tunai sebagai kewajiban birokratis yang harus dilakukan.
Pak Menteri juga mengapresiasi terhadap pembangunan e-government yang dilakukan oleh Kemenag. Menurut Beliau bahwa dengan pembangunan e-government tersebut akan memberikan dampak peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Mereka akan bisa langsung mengakses terhadap pelayanan Kemenag. Misalnya dengan PTSP, maka masyarakat yang akan mendaftarkan ijin operasional penyelenggaraan umrah, maka langsung akan dapat melakukannya via online. Jadi tidak lagi diperlukan tatap muka antara ASN Kemenag dari meja ke meja, akan tetapi langsung ke PTSP.
Selain itu dengan implementasi SIEKA, maka pengukuran kinerja ASN Kemenag juga akan terukur, sehingga berapa mereka akan memperoleh Tunjangan Kinerja (Tukin) akan dapat dibayarkan sesuai dengan kinerjanya. Nanti diharapkan semua akan terus berkarya untuk Kemenag. Dan yang tidak kalah menarik juga berbagai inovasi yang terus dikembangkan. Saya mendengar dengan cermat terhadap apa yang dilaporkan oleh Sekjen terkait dengan berbagai inovasi yang dikembangkan oleh setiap unit di Kemenag.
Oleh karena itu, Pak Menag mengucapkan terima kasih atas kerja sama yang baik selama ini di dalam mengembangkan birokrasi untuk pelayanan kepada masyarakat. Kepada tim evaluator dari Kemenpan RB juga disampaikan terima kasih atas kerja samanya di dalam melakukan penilaian terhadap pelaksanaan RB di Kemenag.
Yang terakhir Beliau tekankan bahwa di antara capaian-capaian kinerja Kemenag ini tentu perlu untuk dikomunikasikan kepada masyarakat agar masyarakat tahu apa yang sedang dan sudah dilaksanakan. Jadi jangan lagi kekhawatiran bahwa memberitakan yang baik berupa capaian kinerja itu hal yang bertentangan dengan ajaran agama, khususnya tentang riya. Mari kita beritakan Kemenag agar masyarakat tahu apa yang kita lakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGUKUR KUALITAS KINERJA (2)

MENGUKUR KUALITAS KINERJA (2)
Mungkin banyak orang yang tidak mengetahui bahwa Kementerian Agama sesungguhnya sudah sangat berubah terkait dengan penguatan pelayanan public berbasis IT. Ternyata bahwa Kemenag sudah memiliki banyak system aplikasi terkait dengan pelayanannya. Jika sekarang sedang diupayakan untuk membangun e-government, maka sesungguhnya Kemenag sudah melakukannya. Ternyata ada banyak upaya untuk membangun e-government dimaksud.
Kita sungguh merasakan bahwa perubahan tersebut telah terjadi dan kita sudah mengusahakannya. Ada banyak system informasi yang sudah kita siapkan terkait dengan bagaimana agar Kemenag bisa memasuki e-government. Sebagaimana yang selalu ditekankan oleh Presiden Joko Widodo, bahwa untuk memasuki pelayanan terbaik bagi masyarakat kita, maka birokrasi harus menerapkan e-government.
Sebagaimana yang saya paparkan di depan Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, dan juga Asdep Kemenpan RB, Ibu Natalina, bahwa Kemenag sudah melakukan banyak hal terkait dengan pembangunan system informasi berbasis tenologi informasi. Beberapa Ditjen, Setjen, Itjen, Badan dan sebagainya sudah membangun system informasi berbasis Teknologi Informasi.
Dalam rangka pelaksanaan reformasi biroktasi, maka Kemenag sudah membangiun aplikasi e-Pokja Reformasi Birokrasi Kementerian Agama melalui http://e-pokja.kemenag.go.id, sehingga program reformasi birokrasi akan inline antara pusat dan daerah. Melalui aplikasi ini, maka pelaksanaan RB akan bisa dimonitor, dievaluasi dan disupervisi secara memadai, sebab semuanya sudah menggunakan system aplikasi yang sama, baik pusat maupun daerah.
Di antara system aplikasi yang sudah diterapkan di Kemenag antara lain ialah: Pertama, Di Ditjen Pendidikan Islam, maka sebenarnya sudah sangat lama memiliki Education Management Information System (EMIS) yang pada tahun 2005 sampai 2008 pernah menjadi idola di dalam pendataan berbasis online. Lalu juga sudah dikembangkan SIMPATIKA atau Sistem Informasi Manajemen Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Jurnal online dan e-PAI atau Elektronik Pendidikan Agama Islam.
Kedua, di Inspektorat Jenderal, maka juga sudah dikembangkan berbagai system manajemen informasi, di antaranya ialah PMPZI atau Penilaian Mandiri Pembangunan Zona Integritas, dengan alamat http://pmpzi.kemenag.go.id, SISFO PTL BPK atau Sistem Informasi Fortal Penyelelesaian Tindak Lanjut BPK, WBS atau Whistle Blowing System, Dumas online atau Pengaduan Masyarakat Online dan SIMWAS tau Sistem Informasi Manajemen Pengawasan.
Ketiga, Ditjen PHU dengan system informasi antara lain ialah SISKOHAT atau Sistem Informasi Komputer Haji Terpadu, Aplikasi Haji Pintar, Umroh Cerdas, SIMPU atau Sistem Informasi Penyelenggaraan Umrah, SIMPUH atau Sistem Informasi Manajemen Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Keempat, Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dengan aplikasi SIMBI atau Sistem Informasi Manajemen Bimas Islam, SIMPENAIS atau Sistem Informasi Manajemen Penerangan Agama Islam, SIMKAH atau Sistem Informasi Manajemen Pernikahan, SIMAS atau Sistem Informasi Manajemen Masjid, SIWAK atau Ssistemn Informasi Manejemen Wakaf, Al Qur’an Android. Kelima, Balitbang Diklat dengan aplikasi SIMDIKLAT atau Sistem Informasi Pendidikan dan Pelatihan, Sistem Layanan Pentashihan Al Qur’an online.
Keenam, Setjen dengan system aplikasi antara lain ialah e-SOP atau elektronik Standart Operating Procedur, e-MPA atau elektronik Monitoring Pelaksanaan Anggaran, SIPKA atau Sistem Informasi Performa Kementerian Agama, SIEKA atau Sistem Informasi Elektronik Kinerja ASN, e-POKJA atau elektronik Kelompok kerja, PTSP atau Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dan Transaksi Pembayaran Non Tunai, Ruang Reformasi Birokrasi Corner, Klinik Akuntansi, TLHP Corner, Ruang PPID dan beberapa ruang konsultasi lainnya.
Jika kita analisis, maka sesungguhnya seluruh pembangunan system informasi tersebut bermatra dua saja, yaitu untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan untuk mengembangkan transparansi dan akuntabilitas. Sebagaimana diketahui bahwa akuntabilitas tersebut memiliki dua hal utama, yaitu akuntabilitas kinerja dan akuntabilitas keuangan. Untuk memenuhi dua hal ini, maka penyelenggaraan pemerintahan harus menggunakan e-government dimaksud.
Melalui pembangunan system informasi berbasis manajemen informasi ini, maka dua hal akan bisa dicapai sekaligus, yaitu membangun transparansi pelayanan dan akuntabilitas pelayanan. Makanya dengan instrument elektronik seperti ini tentu ke depan akan dihasilkan performance Kemenag yang lebih baik.
Jika selama ini ada di antara kita yang belum memahami bahwa Kemenag itu belum melakukan perubahan terkait dengan e-government, maka tentu kita berharap pandangan tersebut akan berubah seirama dengan upaya-upaya baru di dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kita tentu berharap bahwa ke depan akan semakin banyak pembangunan system informasi ini, sehingga Kemenag kayak disebut sebagai Kementerian dengan performa terbaik di dalam penyelenggaraan e-gov. Sungguh semua harus dipahami dengan semakin banyak layanan berbasis system manajemen informasi, maka akan semakin baik pula pelayanan kita kepada masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGUKUR KUALITAS KINERJA (1)

MENGUKUR KUALITAS KINERJA (1)
Di era perubahan manajemen pemerintahan seperti sekarang ini, maka yang tidak bisa diganggu gugat untuk ditingkatkan kualitasnya ialah kinerja instansi pemerintah. Di antara instrument yang dijadikan sebagai alat ukur kinerja ialah Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Untuk pengukuran kinerja ini, maka yang memiliki otoritas untuk melakukan evaluasi ialah Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
Pada tanggal 22 September 2017, dilakukanlah kegiatan Entry Meeting antara Tim evaluator dari Kemenpan RB yang dipimpin oleh Asisten Deputi, Ibu Natalina, dan segenap jajaran Kemenpan RB. Sedangkan hadir dari Kementerian Agama ialah Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, seluruh jajaran Eselon I dan II, serta para pejabat eselon III dan IV yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi pada Kemenag.
Sesuai dengan regulasi, maka saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Reformasi Birokrasi Kemenag, maka saya kemudian melaporkan kepada Menteri Agama dan juga seluruh jajaran Tim Evaluator dari Kemenpan RB. Saya sampaikan di dalam laporan saya bahwa Kemenag telah siap untuk dievaluasi sebab seluruh rekomendasi Kemenpan RB dalam evaluasi tahun 2016 telah dilaksanakan. Tentu dengan catatan, bahwa pemenuhan seluruh rekomendasi tersebut bersifat plus dan minus.
Saya juga melaporkan seluruh upaya untuk melakukan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Kemenag. Ada capaian yang perlu diungkapkan terkait dengan usaha untuk memenuhi tuntutan Kemenpan RB dalam evaluasi setahun sebelumnya. Sebagaimana ditekahui bahwa capaian kinerja Kemenag tahun lalu ialah B gemuk, dengan nilai 68,18 setelah sebelumnya memperoleh penilaian B kurus, 62,28. Dengan demikian, dalam setahun berlalu telah kita dapatkan nilai tambah yang sangat signifikan. Itulah sebabnya, sangat wajar jika kita berharap tahun 2017, SAKIP kita akan memperoleh nilai yang lebih baik, sekurang-kurangnya ialah BB atau penilaian di atas score 70.
Dari 8 (delapan) area perubahan, maka terdapat beberapa rekomendasi yang harus diselesaikan oleh Kemenag, Yaitu: 1) dari aspek manajemen perubahan, maka rekomendasi yang harus diselesaikan ialah agar diupayakan pembentukan agent of change pada seluruh unit kerja secara formal, 2) dari penataan perundang-undangan, maka rekomendasinya agar melakukan evaluasi atas pelaksanaan system pengendalian penyusunan peraturan perundang-undangan secara berkala, 3) menindaklanjuti seluruh hasil evaluasi organisasi dengan mengajukan perubahan organisasi, 4) dari aspek tata laksana, rekomendasinya ialah agar melakukan revisi SOP yang ada dengan mengacu pada peta proses bisnis yang baru dan melakukan monev terhadap pelaksanaan kebijakan keterbukaan informasi public, 5) penataan system manajemen SDM aparatur dengan rekomendasi meningkatkan kualitas pengelolaan SDM dengan peningkatan kapasitas SDM dalam melaksanakan tugas ASN, 6) penguatan akuntabilitas dengan rekomendasi menyelesaikan revisi renstra, indicator kinerja, aplikasi SIPKA dan perjanjian kinerja secara berjenjang, 7) penguatan pengawasan dengan rekomendasi perlunya melakukan evaluasi kebijakan dan pembangunan ZI menuju WBK dan WBBM, 8) peningkatan kualitas layanan public dengan membuat inovasi system dalam pelayanan public.
Berdasar atas rekomendasi pertama, maka sudah dilakukan upaya untuk melakukan perubahan dengan membentuk Agen Perubahan pada Kemenag di seluruh Indonesia, melakukan optimalisasi Tim Reformasi Birokrasi, pembangunan system integritas dan internalisasi 5 (lima) nilai budaya kerja serta memperkuat internaslisasi road map RB pada Kemenag. Berdasarkan rekomendasi kedua, maka juga sudah dilakukan upaya untuk melakukan pemetaan dan evaluasi terhadap regulasi di Kemenag agar tidak terjadi tumpangtindih, harmonisasi peraturan perundang-undangan dan juga penerbitan PMA yang terkait dengan pembentukan PMA dan regulasi lainnya.
Kemudian berdasarkan atas rekomendasi ketiga, maka Kemenag telah berusaha untuk melakukan perubahan ortaker, perampingan satker, pengurangan jabatan structural, penataan UPT, penguatan tata kelola dan pengembangan PTKN, dan penataan jabatan dan sebagainya. Terhadap rekomendasi keempat, maka telah dilakukan review SOP sesuai dengan peta bisnis Kemenag, melakukan survey keterbukaan informasi pada Kanwil Kemenag, pengembangan e-government baik di lingkungan Kemenag maupun peningkatan kualitas pelayanan.
Untuk rekomendasi kelima, telah dilakukan penguatan dan pemberdayaan ASN melalui pelatihan dan pendidikan, melakukan penilaian kinerja individu melalui system online, dan pemberian tunjangan berdasarkan atas kinerja individu. Terhadap rekomendasi keenam, maka sudah dilakukan penyempurnaan renstra Kemenag, penetapan IKU Kemenag, menyusun manual pengukuran indicator kinerja dan pembangunan aplikasi SIEKA (system Informasi Elektronik Kinerja ASN), penyempurnaan Perkin, dan melakukan evaluasi SAKIP oleh Itjen Kemenag. Mengenai rekomendasi ketujuh, dalam hal ini sudah dilakukan penangangan gratifikasi, dumas, WBS, monev benturan kepentingan, ZI, Sapu Bersih Pungutan Liar, dan penguatan LKKA serta pengembalian kerugian negara sesuai dengan temuan BPK dan Itjen. Dari rekomendasi kedelapan, maka sudah dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya pelayanan haji, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, indeks kepuasan masyarakat dan peningkatan sarana dan prasarana Kemenag.
Saya merasakan bahwa upaya untuk meningkatkan kinerja kemenag sudah dilakukan secara optimal dalam kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Namun demikian, tentu masih ada banyak hal yang perlu diakselerasi agar profile Kemenag akan lebih baik lagi di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

NEO KOMUNISME DAN TANTANGAN KITA

NEO KOMUNISME DAN TANTANGAN KITA
Hari hari terakhir perbincangan di media diramaikan dengan suatu hal yang bagi bangsa Indonesia menjadi trauma kebangsaan, yaitu PKI. Nyaris setiap menghadapi tanggal 30 September dan 1 Oktober, bangsa ini dihadapkan pada kisah traumatic, yaitu pemberontakan PKI terhadap pemerintah yang absah melalui pembantaian terhadap “pahlawan Revolusi”, yaitu Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan.
Pembicaraan tersebut seputar upaya “kebangkitan kembali PKI” dalam tajuk yang nyaris sama, yaitu apakah kebangkitan PKI itu fiksi atau realitas.
Saya pernah menulis dalam tema yang sama, mengenai PKI sekarang itu fiksi atau realitas. Sehingga tulisan ini saya kira ada kaitannya dengan tulisan saya terdahulu, yang tentu ada modifikasi dan pengembangan, sebab memang tantangannya kali ini agak beda, yaitu keinginan beberapa Orang Indonesia, yang menjadikan kaum komunis Indonesia itu korban dan bukan pelaku. Sebagai pelaku dan korban tentu sangatlah berbeda. Jika korban adalah mereka yang menderita atau yang dijadikan korban, sedangkan pelaku adalah orang yang sadar tentang apa yang dilakukannya itu, dan mereka tentu adalah orang yang secara ideologis memiliki keterikatan sangat kuat untuk mendirikan negara Indonesia sebagai negara komunis.
Partai Komunis di Indonesia memang telah memiliki sejarah panjang dan sejarah panjangnya itu terkait juga dengan beberapa pemberontakan yang dilakukannya. Kisah pemberontakan PKI sudah menjadi catatan sejarah yang tidak bisa dihapus dengan seminar, symposium atau bahkan pengadilan rakyat internasional. Kejadian pemberontakan PKI di Madiun, di Blitar dan di beberapa tempat lain tentu sudah merupakan bukti sejarah yang sangat valid dan tidak perlu dicari faktanya. Sudah menjadi realitas empiris. Pembunuhan terhadap para kyai, ulama dan tokoh-tokoh agama Islam di sejumlah tempat dan waktu juga bukan hanya sekedar bumbu manis perjuangan bangsa. Hal ini merupakan realitas sejarah yang tidak akan bisa dihapus dengan upaya-upaya untuk menghapusnya.
Tentang siapa yang memulai melakukan kudeta pada tahun 1965 dengan melakukan pembunuhan secara keji terhadap para jenderal tanggal 30 September 1965. Mereka yang menjadi korban PKI juga sudah dilakukan otopsi secara medis oleh para ahlinya, tim forensic dari berbagai lembaga yang absah. Dan kemudian terjadinya konflik horizontal yang meluas di berbagai daerah hakikatnya juga bagian dari upaya untuk mempertahankan Indonesia dari cengkeraman PKI. Kita tentu hafal dengan DN Aidit, Nyoto, Nyono, Sakirman, Omar Dhani, pasukan Cakra Bhirawa, dan sebagainya yang menjadi penggerak PKI untuk melakukan kudeta. Terhadap mereka tentu bangsa Indonesia tidak akan melupakan perannya di dalam pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965.
Oleh karena itu upaya beberapa oknum warga Indonesia untuk menggeneralisasikan bahwa PKI sebagai korban dalam peristiwa politik pada tahun 1965 merupakan upaya yang tidak pada tempatnya. Mereka tetap saja harus dihukumi sebagai pelaku kudeta yang bagi kita merupakan musuh negara dan bahkan juga musuh umat beragama. Janganlah kita terkecoh dengan menyatakan bahwa kaum komunis Indonesia adalah korban politik yang terjadi kala itu. Mereka adalah agen-agen dan aktor-aktor yang menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah yang absah yang mendapatkan dukungan dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Umat Islam adalah pendukung yang sangat tangguh di dalam mempertahankan Indonesia agar tidak jatuh ke tangan kaum komunis.
Umat Islam Indonesia, khususnya NU, tidak akan pernah melupakan bagaimana PKI melakukan pembunuhan secara keji terhadap para kyai di Jawa Timur. Di Magetan, Blitar, Madiun dan juga di beberapa tempat lainnya. Sejarah NU tidak akan melupakan tentang kekejaman PKI di dalam melakukan pemberontakan demi pemberontakan tersebut. Bahkan jika ada orang yang akan membangkitkan kembali PKI di Indonesia, maka NU dan seluruh eksponennya akan melakukan perlawanan yang luar biasa.
Kita tentu tidak ingin terjadi pergeseran dengan upaya menjadikan kaum Komunis Indonesia sebagai korban. Kita tidak ingin dengan menjadikan PKI sebagai korban, lalu pemerintah harus meminta maaf terhadap keluarga korban. Apakah negara harus meminta maaf kepada keluarga DN Aidit, keluarga Nyoto, Nyono dan sebagainya. Saya kira ini merupakan tindakan pembalikan sejarah dari kenyataan PKI sebagai pelaku pemberontakan. Kita menghargai Sikap Tegas Presiden Joko Widodo yang menolak permintaan agar negara meminta maaf kepada keluarga PKI.
Saya kira tidak diperlukan upaya untuk merekonstruksi sejarah PKI di Indonesia. Bahkan juga tentang film G 30 S/PKI yang dahulu selalu diputar menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober. Semua sudah terang benderang dan berdasarkan atas fakta-fakta sejarah dan bukan fiksi yang dibuat oleh pemerintah. Saya setuju jika dilakukan pembuatan film tentang PKI justru pada bagaimana peran kaum Komunis Indonesia di dalam melakukan pemberontakan demi pemberontakan dan bagaimana mereka “membantai” para kyai, para ulama dan juga para pejabat negara.
Marilah semua warga bangsa ini menempatkan sesuatu pada tempatnya dan tidak terus menerus mengorek luka lama, janganlah menggaruk sesuatu yang tidak gatal. Bagi kita yang penting ialah melakukan rekonsiliasi sesama warga bangsa, saling memahami terhadap situasi yang terjadi kala itu, dan secara personal saling memaafkan. Lalu kemudian merajut kebersamaan untuk kebesaran bangsa ini.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang pernah jatuh tetapi mampu bangkit kembali dan kebangkitannya itu justru melebihi kebesaran yang pernah dialaminya. Bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa besar, jika semua komponen bangsa bisa menjalani kehidupan yang harmonis, meskipun pernah terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan di masa lalu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TAHUN BARU HIJRIYAH DAN TANTANGAN UMAT ISLAM (2)

TAHUN BARU HIJRIYAH DAN TANTANGAN UMAT ISLAM (2)
Tanpa terasa kita telah memasuki tahun baru Hijriyah, 1439. Rasanya juga baru saja kita berada di tahun 1438 Hijriyah, dan sekarang sudah berada di Bulan Muharram 1439 H. Tahun baru dan seharusnya juga dengan semangat baru. Semangat untuk lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Bukankah agama kita mengajarkan bahwa tahun ini seharusnya lebih baik dibanding tahun kemarin dan tahun yang akan datang lebih baik dari tahun ini.
Biasanya untuk menyambut tahun baru hijriyah, saya menggunakan pendekatan lebih bercorak kebudayaan atau tradisi, akan tetapi sekarang saya lebih melihatnya dari perspektif yang agak politis. Bisa saja hal ini dipengaruhi oleh nuansa politik umat Islam yang memang rentan, terutama di beberapa bagian wilayah dunia ini, sebut misalnya di Rohingya dan sepanjang jalur Gaza.
Saya kemarin telah menulis tentang kenyataan tantangan dunia Islam di beberapa belahan dunia, di antara negara-negara Islam dan juga minoritas Islam di beberapa negara dan bagaimana kondisi umat Islam di dalamnya. Kita masih merasakan penderitaan umat Islam terkait dengan perilaku umat lain. Apakah hal itu terkait dengan penguasaan asset atau kekuasaan politik. Semuanya masih menggambarkan dunia “kusam” umat Islam.
Kita, umat Islam Indonesia, tentu berbeda dengan umat Islam di beberapa belahan dunia. Kita umat mayoritas di negeri ini dan berada di dalam konteks pengamalan dan pemahaman agama yang wasathiyah. Islam yang yang berada di jalur moderat dan akan terus mengembangkan perdamaian dan keselamatan, tidak hanya bagi umat Islam saja tetapi juga umat agama lain.
Kita juga bergembira sebab terdapat pengamalan beragama yang makin baik. Kita melihat semakin banyak perempuan berjilbab dalam berbagai variasinya. Ada jilbab modis, ada jilbab besar, ada jilbab kebanyakan dan ada juga yang menggunakan kerudung sebagai penanda yang bersangkutan umat Islam. Kita juga melihat ada semakin banyak anak muda yang menggunakan jenggot, ada yang tetap berkumis tetapi juga ada yang klimis. Ada yang kemana-mana berpakaian cara Arab dan ada juga yang bercelana tetapi ukurannya tiga perempat. Ada yang bersarung dan berkopiyah dan juga ada yang berdasi tetapi suka ke masjid. Indah sekali. Inilah gambaran keadaan umat Islam Indonesia secara tipikal.
Jika kita berada di Bandara udara, kita juga sangat senang sebab banyak orang Indonesia yang berseragam dan akan berangkat umrah. Sementara juga semakin banyak yang meluangkan waktu untuk shalat di mushalla lapangan udara. Hal ini juga gambaran keindahan Indonesia dengan aneka ragam umatnya. Jika di masa lalu, kita hanya melihat status khusus dari mereka yang lalu lalang di bandara Udara, maka sekarang kita melihat aneka ragam status sosial yang berlalu lalang di tempat ini.
Hanya sayangnya, bahwa kondisi yang aman ini, sekali-kali masih terdengar suara letupan yang dilakukan oleh orang yang tidak menginginkan Indonesia aman. Kelompok radikal dan ekstrimis masih menjadi musuh negeri ini. Dan tentu yang tidak mengenakkan adalah mereka membawa Islam sebagai instrumennya. Jihad yang dijadikan sebagai kata kunci untuk melakukan tindakan brutal atau against humanity atau extra ordinary crime. Umat Islam yang kemudian menjadi tertuduh.
Islam yang memperoleh label dan penodaan sebagai agama kekerasan.
Inilah yang seharusnya menjadi tantangan kita semua. Kita tidak perlu berdebat tentang ada atau tidak gerakan radikalisme atau ekstrimisme, akan tetapi bahwa di sekeliling kita ada orang yang mengusung jihad dalam pandangannya sendiri. Mereka hanya membenarkan pemahamannya sendiri dan juga pengamalan agamanya sendiri. Yang lain semua salah dan yang salah itu harus diperangi.
Akhir-akhir ini kita juga sering mendengarkan kata-kata kafir, bidh’ah dan khurafat. Kata kafir dilabelkan kepada siapa saja yang berbeda pandangan dengannya. Kepada semua orang yang tidak semadzab dengan dia dianggapnya kafir. Dengan sangat mudah mereka mengucapkan kata kafir itu. Di media sosial, betapa banyak kata-kata bidh’ah diucapkan. Bagi orang yang pergi ke kubur para waliyullah dianggapnya sebagai khurafat dan takhayul. Bagi yang menyebut sebutan Nabi Muhammad saw dengan sayyidina, sebagai bidh’ah sebab tidak ada tuntutanannya di dalam al Qur’an. Semua saja yang tidak sesuai dengan pamahaman akidahnya dianggapnya sebagai sesat dan yang melakukan perbuatan agama yang tidak sesuai dengan paham agamanya dianggapnya sebagai ahli bidh’ah dan sebagainya.
Jika dilihat secara sepintas saja hal ini sepertinya halnya masalah agama. Akan tetapi jika didalami maknanya, maka bisa saja hal ini berkait kelindan dengan asset politik. Ada keinginan bahwa paham agamanya saja yang dijadikan sebagai rujukan negara dan secara politis merekalah yang akan menentukan nasib bangsa ini ke depan.
Ada sejumlah anak-anak muda dan generasi di atasnya yang menginginkan perubahan negara menjadi negara khilafah, sebagaimana utopia masa lalu. Meskipun belum jelas apa yang dimaksud dengan gerakan khilafah, akan tetapi kenyataannya banyak anak muda kampus yang menjadi penganut setianya. Mereka berbaiat dengannya dan akan melakukan upaya maksimal untuk menghadirkannya.
Jadi menurut saya, tantangan di Indonesia terkait dengan hijrah tidak mudah diabaikan. Mereka telah memiliki sejumlah saluran, baik pendidikan, sosial, dan politik yang bisa saja menjadi kendaraan untuk menggapai masa depannya. Oleh karena itu diperlukan “kewaspadaan” agar tantangan ini tidak hanya berada di dalam pemahaman muslim mayoritas saja, akan tetapi juga menjadi aksi dalam kerangka menjaga umat Islam dari perpecahan. Indonesia kita ini harus tetap lestari sebagaimana keinginan founding fathers negeri ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.