Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NEO KOMUNISME DAN TANTANGAN KITA

NEO KOMUNISME DAN TANTANGAN KITA
Hari hari terakhir perbincangan di media diramaikan dengan suatu hal yang bagi bangsa Indonesia menjadi trauma kebangsaan, yaitu PKI. Nyaris setiap menghadapi tanggal 30 September dan 1 Oktober, bangsa ini dihadapkan pada kisah traumatic, yaitu pemberontakan PKI terhadap pemerintah yang absah melalui pembantaian terhadap “pahlawan Revolusi”, yaitu Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan.
Pembicaraan tersebut seputar upaya “kebangkitan kembali PKI” dalam tajuk yang nyaris sama, yaitu apakah kebangkitan PKI itu fiksi atau realitas.
Saya pernah menulis dalam tema yang sama, mengenai PKI sekarang itu fiksi atau realitas. Sehingga tulisan ini saya kira ada kaitannya dengan tulisan saya terdahulu, yang tentu ada modifikasi dan pengembangan, sebab memang tantangannya kali ini agak beda, yaitu keinginan beberapa Orang Indonesia, yang menjadikan kaum komunis Indonesia itu korban dan bukan pelaku. Sebagai pelaku dan korban tentu sangatlah berbeda. Jika korban adalah mereka yang menderita atau yang dijadikan korban, sedangkan pelaku adalah orang yang sadar tentang apa yang dilakukannya itu, dan mereka tentu adalah orang yang secara ideologis memiliki keterikatan sangat kuat untuk mendirikan negara Indonesia sebagai negara komunis.
Partai Komunis di Indonesia memang telah memiliki sejarah panjang dan sejarah panjangnya itu terkait juga dengan beberapa pemberontakan yang dilakukannya. Kisah pemberontakan PKI sudah menjadi catatan sejarah yang tidak bisa dihapus dengan seminar, symposium atau bahkan pengadilan rakyat internasional. Kejadian pemberontakan PKI di Madiun, di Blitar dan di beberapa tempat lain tentu sudah merupakan bukti sejarah yang sangat valid dan tidak perlu dicari faktanya. Sudah menjadi realitas empiris. Pembunuhan terhadap para kyai, ulama dan tokoh-tokoh agama Islam di sejumlah tempat dan waktu juga bukan hanya sekedar bumbu manis perjuangan bangsa. Hal ini merupakan realitas sejarah yang tidak akan bisa dihapus dengan upaya-upaya untuk menghapusnya.
Tentang siapa yang memulai melakukan kudeta pada tahun 1965 dengan melakukan pembunuhan secara keji terhadap para jenderal tanggal 30 September 1965. Mereka yang menjadi korban PKI juga sudah dilakukan otopsi secara medis oleh para ahlinya, tim forensic dari berbagai lembaga yang absah. Dan kemudian terjadinya konflik horizontal yang meluas di berbagai daerah hakikatnya juga bagian dari upaya untuk mempertahankan Indonesia dari cengkeraman PKI. Kita tentu hafal dengan DN Aidit, Nyoto, Nyono, Sakirman, Omar Dhani, pasukan Cakra Bhirawa, dan sebagainya yang menjadi penggerak PKI untuk melakukan kudeta. Terhadap mereka tentu bangsa Indonesia tidak akan melupakan perannya di dalam pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965.
Oleh karena itu upaya beberapa oknum warga Indonesia untuk menggeneralisasikan bahwa PKI sebagai korban dalam peristiwa politik pada tahun 1965 merupakan upaya yang tidak pada tempatnya. Mereka tetap saja harus dihukumi sebagai pelaku kudeta yang bagi kita merupakan musuh negara dan bahkan juga musuh umat beragama. Janganlah kita terkecoh dengan menyatakan bahwa kaum komunis Indonesia adalah korban politik yang terjadi kala itu. Mereka adalah agen-agen dan aktor-aktor yang menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah yang absah yang mendapatkan dukungan dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Umat Islam adalah pendukung yang sangat tangguh di dalam mempertahankan Indonesia agar tidak jatuh ke tangan kaum komunis.
Umat Islam Indonesia, khususnya NU, tidak akan pernah melupakan bagaimana PKI melakukan pembunuhan secara keji terhadap para kyai di Jawa Timur. Di Magetan, Blitar, Madiun dan juga di beberapa tempat lainnya. Sejarah NU tidak akan melupakan tentang kekejaman PKI di dalam melakukan pemberontakan demi pemberontakan tersebut. Bahkan jika ada orang yang akan membangkitkan kembali PKI di Indonesia, maka NU dan seluruh eksponennya akan melakukan perlawanan yang luar biasa.
Kita tentu tidak ingin terjadi pergeseran dengan upaya menjadikan kaum Komunis Indonesia sebagai korban. Kita tidak ingin dengan menjadikan PKI sebagai korban, lalu pemerintah harus meminta maaf terhadap keluarga korban. Apakah negara harus meminta maaf kepada keluarga DN Aidit, keluarga Nyoto, Nyono dan sebagainya. Saya kira ini merupakan tindakan pembalikan sejarah dari kenyataan PKI sebagai pelaku pemberontakan. Kita menghargai Sikap Tegas Presiden Joko Widodo yang menolak permintaan agar negara meminta maaf kepada keluarga PKI.
Saya kira tidak diperlukan upaya untuk merekonstruksi sejarah PKI di Indonesia. Bahkan juga tentang film G 30 S/PKI yang dahulu selalu diputar menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober. Semua sudah terang benderang dan berdasarkan atas fakta-fakta sejarah dan bukan fiksi yang dibuat oleh pemerintah. Saya setuju jika dilakukan pembuatan film tentang PKI justru pada bagaimana peran kaum Komunis Indonesia di dalam melakukan pemberontakan demi pemberontakan dan bagaimana mereka “membantai” para kyai, para ulama dan juga para pejabat negara.
Marilah semua warga bangsa ini menempatkan sesuatu pada tempatnya dan tidak terus menerus mengorek luka lama, janganlah menggaruk sesuatu yang tidak gatal. Bagi kita yang penting ialah melakukan rekonsiliasi sesama warga bangsa, saling memahami terhadap situasi yang terjadi kala itu, dan secara personal saling memaafkan. Lalu kemudian merajut kebersamaan untuk kebesaran bangsa ini.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang pernah jatuh tetapi mampu bangkit kembali dan kebangkitannya itu justru melebihi kebesaran yang pernah dialaminya. Bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa besar, jika semua komponen bangsa bisa menjalani kehidupan yang harmonis, meskipun pernah terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan di masa lalu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..