• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DOKTOR DAN TANGGUNG JAWAB AKADEMISNYA (2)

DOKTOR DAN TANGGUNG JAWAB AKADEMISNYA (2)
Apa yang menjadi tanggungjawab akademis seorang doctor. Pertanyaan ini patut dikemukakan terkait dengan banyaknya pelanggaran di dalam proses mencetak doctor. Misalnya tentang professor sebagai promotor yang bisa menghasilkan sebanyak seratus orang doctor dalam setahun. Wow, saya kira dia harus mendapatkan rekor internasional jika cara membibingnya benar. Akan tetapi pertanyaannya apa bisa seorang professor membimbing seratus orang lebih dalam setahun.
Untuk bisa membimbing seorang kandidat doctor, sebenarnya sangat sulit. Bukan hanya dari sisi kemampuan metodologinya dan juga substansi bahasannya, akan tetapi juga kemampuan bahasanya. Bukan bahasa asing tetapi kemampuan bahasa Indonesianya. Saya kira seorang professor harus membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat sehingga pernyataan yang diungkapkannya benar secara logika dan juga benar secara bahasa. Jika menggunakan kerangka ini, rasanya agak mustahil seorang professor bisa menghasilkan lebih dari 5 (lima) doctor. Makanya, jika kemudian timbul istilah “peternakan doctor” rasanya tulisan itu masuk akal, sebab memang tidak mudah untuk menghasilkan doctor tersebut.
Bagi saya untuk menjadi seorang doctor memiliki sejumlah persyaratan. Pertama, persyaratan keilmuan. Untuk menjadi doctor, seorang calon doctor harus benar-benar menguasai bidang studi yang digelutinya. Tidak harus seluruhnya, akan tetapi tentu ada beberapa bagian dari ilmu itu yang dikuasai dengan sangat baik. Saya ingin memberi contoh dalam bidang sosiologi, maka sekurang-kurangnya calon doctor harus menguasai paradigm, dan teori di bidang sosiologi yang sangat mendasar harus dikuasainya. Dengan penguasaan itu, maka dia akan bisa menjelaskan atau menggambarkan sebuah fenomena dengan kerangka teori dan paradigm keilmuan sosiologi yang digelutinya. Sehingga dia dengan fasih akan bisa menjelaskan atau menggambarkan fenomena dari sudut pandang teorinya, misalnya ketika melihat fenomena nikah siri, maka dia akan bisa menjelaskan relasi factor atau menggambarkan relasi yang mendasari tindakan atau perilaku dimaksud berdasarkan atas teori dan paradigm yang dikuasainya.
Kedua, kemampuan metodologi yang baik. Salah satu ciri doctor Indonesia adalah kemampuannya untuk menguasai metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif, kualitatif atau bahkan mixed methodology. Agak naïf jika ada seorang doctor tetapi tidak menguasai salah satu metodologi yang penting. Jika dia kandidat doctor ilmu sosial dan humaniora, maka mutlak pengetahuan metodologinya haruslah sangat baik. Dia tidak hanya sekedar menulis, akan tetapi dia harus mempertanggungjawabkan karya tulisnya berdasarkan atas metodologi yang benar.
Dengan demikian, seorang doctor dia harus mampu untuk menjelaskan sebuah fenomena berdasarkan metodologi apa yang relevan lalu teori dan paradigm apa yang digunakan. Saya terkadang heran melihat ada disertasi yang menggunakan pola campuran teori, sehingga kesimpulannya lalu menjadi “gado-gado”. Menurut saya sebaiknya, ada sebuah core theory yang digunakan sebagai perspektifnya, lalu jika mau yang lain hanya sebagai “kepekaan” saja.
Ketiga, moralitas akademis. Inilah kunci dari segalanya. Seseorang bisa saja menguasai terhadap paradigm, teori dan metodologi, sebab ketiganya bisa dipelajari dan dijelaskan oleh siapa saja, akan tetapi moralitas itu adalah penjaganya. Ibarat bangunan, maka moralitas adalah penyangga utamanya, bisa saja dinding yang kokoh atau tiang pancang yang kokoh atau soko gurunya yang kokoh. Jika dinding roboh atau tiang pancang roboh, maka robohlah semuanya. Kemampuan metodologis, teoretik dan paradigm juga tidak akan ada artinya jika tidak didukung oleh moralitas akademis yang benar. Jika hanya menguasai teori, metodologi dan paradigm, maka dia hanya pinter saja, tetapi dengan moralitas yang baik, maka dia akan menjadi bener. Dalam bahasanya Orang Jogyakarta ditambah dengan pener atau tepat guna atau manfaatnya. Jadi, seorang doctor dia harus pinter, bener lan pener.
Saya menjadi heran jika ada seorang doctor yang melakukan plagiasi. Saya juga heran jika ada orang yang menerabas dalam menulis disertasi. Saya juga heran jika ada yang berbohong bahwa tulisan disertasi itu tulisannya sendiri padahal bukan. Di dalam setiap langkah penelitian yang dilakukan terkandung maksud di dalamnya ada pertanggungjawaban akademisnya.
Di dalam melakukan penelitian di lapangan boleh saja ada seorang atau beberapa asisten penelitian lapangan sebab memang diperbolehkan asalkan bahwa yang bersangkutan dilatih dan dididik secara benar untuk melakukan penelitian. Namun bukan berarti bahwa asisten penelitian ini yang menuliskan laporan penelitian dan kemudian menjadi disertasi atau tesis.
Moralitas sesungguhnya adalah terkait dengan kata hati. Jadi kata hatilah yang akhirnya akan menentukan terhadap tindakan seseorang. Makanya, jika seseorang melakukan tindakan yang tidak benar, maka kata hatinya itu yang akan membenarkannya atau menyalahkannya.
Di sinilah arti pentingnya seorang doctor itu tidak hanya memiliki pengetahuan yang cukup di dalam teori dan metodologi tetapi juga harus memiliki moralitas akademis yang beneran. Dengan hal ini, maka saya kira tidak akan ada doctor asli tapi palsu. Kalau menjadi doctor tentu dia akan menjadi doctor sungguhan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DOKTOR DAN TANGGUNG JAWAB MORAL AKADEMIKNYA (1)

DOKTOR DAN TANGGUNG JAWAB MORAL AKADEMIKNYA (1)
Akhir-akhir ini kita sedang meramaikan perbincangan tentang “jual beli doctor” di perguruan tinggi. Saya menggunakan konsep “jual beli” untuk memberikan gambaran bahwa gelar doctor pun sesungguhnya bukan sesuatu gelar yang steril dari sikap mental menerabas yang juga mengakibatkan banyak korupsi. Mental menerabas ini pula yang menyebabkan banyak individu yang melakukan tindakan asusila dalam bidang akademis melalui paket doctor cepat, instan dan cepat selesai.
Kali ini yang menjadi subyeknya ialah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga diindikasikan melakukan tindakan tidak terpuji di dalam mencetak doctor. Ada banyak doctor yang dikeluarkannya dinilai menggunakan cara-cara yang “kurang terpuji”, yaitu menjadi doctor cepat padahal pejabat, mendapatkan cumlaude di tengah tugas jabatan menumpuk dan menjadi doctor melalui mekanisme perbantuan atau asistensi dan sebagainya.
Saya tidak tahu secara persis tentang bagaimana mekanisme perkuliahan di Program Doktor pada lembaga pendidikan yang diindikasikan melanggar tata susila akademis. Dan saya juga tidak ingin menggeneralisasikan tentang para pejabat yang memperoleh gelar akademik tertinggi doctor dengan cara yang tidak benar. Sebab tentu saja generalisasi tersebut tidak secara seluruhnya benar. Masih ada sebagian pejabat yang memperoleh gelar doctor dengan cara-cara yang benar dan sesuai dengan kaidah akademis.
Sesungguhnya menjadi doctor bukan perkara sederhana. Menjadi doctor tentu akan dilalui dengan proses yang sangat berat. Tidak hanya berat dalam waktu dan kesempatan, tetapi juga biaya dan dana. Dari sisi uang atau dana mungkin tidak masalah bagi sebagian warga masyarakat kita, terutama misalnya para pejabat yang memang bisa dikategorikan sebagai kaum the have. Tetapi bagi seorang dosen, terkadang factor biaya bisa menjadi kendala.
Yang tidak kalah menarik adalah factor waktu dan peluang. Saya merasakan seandainya sekarang harus menempuh program doctor –di saat menjabat—rasanya tidak mungkin. Untuk menyelesaikan tugas kantor saja sudah tidak cukup waktunya. Habis seluruh energy tersita untuk pekerjaan kantor. Jadi bagaimana mungkin bisa menulis makalah yang serius, menulis disertasi yang baik dan lulus dengan predikat yang baik. Jadi jika ada seorang pejabat yang bisa menyelesaikan pendidikan doctor dengan kemampuan sendiri tentu perlu diapresiasi dengan sangat tinggi.
Saya memang hanya lulusan dalam negeri untuk seluruh program pendidikan tinggi saya, mulai dari S1, S2 dan S3. Bahkan juga saya tempuh di kota saya sendiri, Surabaya. Tetapi saya merasakan betapa beratnya menyelesaikan tugas akhir, Tesis maupun disertasi. Tetapi saya merasakan kebahagiaan tatkala tesis dan disertasi saya dibukukan oleh penerbit yang baik. Tesis saya diterbitkan oleh Lepkiss, Surabaya dengan judul ”Pembangkangan Politik Kaum Tarekat” dan disertasi saya diterbitkan oleh LKIS dengan judul “Islam Pesisir”. Suatu kebahagiaan yang luar biasa, sebab bagi saya disertasi yang baik adalah disertasi yang layak terbit terutama oleh penerbit nasional.
Proses pendidikan juga saya kira sangat berat. Saya masih teringat ketika harus mengambil mata kuliah “kebudayaan local”. Saya diminta Oleh Prof. Ramlan Surbakti, pembimbing akademik saya untuk menghubungi Dr. Muslim Abdurahman. Apalagi saya mengkaji Islam pesisir, sehingga keberadaan Pak Muslim Abdurahman terasa sangat penting di dalam mengkreasi kepekaan akademik saya. Sayangnya Pak Muslim sangat sulit dihubungi, sebab waktunya lebih banyak di luar negeri. Maka pilihan saya jatuh kepada Pak Dr. PM. Laksono. Dosen UGM yang ahli budaya local dengan kekuatan metodologi Strukturalisme.
Saya teringat di kala saya menghadap Beliau ditemani oleh Pak Lukmono Hady, dan saat itu sudah saya bawakan daftar bacaan kira-kira 40 judul buku, maka beliau menyatakan “saya kira sudah 200 buku yang akan dipelajari”. Rasanya seperti kena palu godam mendengarkan ungkapan beliau ini. Maka pada pertemuan kedua, sudah saya penuhi daftar 200 buku, dan sekaligus saya kategorikan. Untung bagi saya karena Pak Ramlan sudah mengajarkan merumusan tipologi, sehingga saya bisa menyusun daftar judul buku sesuai dengan metodologi atau kajiannya.
Saya pulang pergi ke Jogyakarta setiap dua minggu untuk menemui Pak Laksono. Ke rumahnya di Kaliurang. Dan yang saya ingat adalah perkataan beliau “jangan pindahkan isi buku ke dalam dirimu. Lakukan analisis secara mendalam agar apa yang kamu sajikan itu lebih mendasar”. Perkataan ini selalu saya kenang. Maka dari perkulihan itu menghasilkan 14 makalah. Dan yang juga menjadi kebanggaan saya adalah seluruh hasil perkuliahan saya dengan Beliau itu lalu saya bukukan dengan judul “Madzab-Madzab Antropologi” yang diterbitkan oleh LKIS. Dan bahkan ada salah seorang murid saya di IAII Sukorejo yang mengambil program Master di UGM menyatakan bahwa buku saya termasuk salah satu bahan bacaan di program itu.
Saya yakin, bahwa menjadi doctor bukan hanya sekedar menempelkan gelar itu di depan namanya. Akan tetapi juga mengandung kapasitas dan kapabilitas. Dan selain itu juga ada moral akademis yang disandangnya. Oleh karena itu seorang doktor yang benar adalah doctor yang memiliki moral akademis, bahwa semua yang dihasilkannya merupakan produknya sendiri dan bukan dibuatkan oleh orang lain.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE ARAB SAUDI LAGI: MENJEMPUT KLOTER AKHIR (1)

KE ARAB SAUDI LAGI; MENJEMPUT KLOTER AKHIR (1)
Saya tentu merasa gembira mendapatkan tugas dari Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, untuk menjemput jamaah haji Indonesia kloter akhir di Madinah. Sebagaimana biasanya, saya selalu merasa stress jika akan ke luar negeri. Bukan karena apa-apa karena terbayang jetlag atau kesulitan menyesuaikan waktu tidur dengan kebiasaan saya untuk tidur di Indonesia.
Makanya, saya bersyukur karena ternyata di dalam perjalanan dengan pesawat Saudi Airline tersebut, saya bisa tertidur dengan pulas dan di penginapan di Kantor Teknis Urusan haji (TUH) di Jeddah juga bisa memejamkan mata meskipun berulang-ulang bangun. Biasalah malam pertama di negara lain pasti akan mengalami hal yang sama.
Saya berangkat dari Bandara Jakarta jam 16.30 WIB dan sampai di Bandara Jeddah jam 21.30 WAS. Dengan ditemani oleh Pak Karo Perencanaan, Pak Dr. Ali Rohmat, Jemi dan beberapa staf dari PHU, saya sampai di Jeddah dengan selamat. Alhamdulillah saya dijemput oleh Pak Dumyati dan kawan-kawan, sehingga tidak mengalami kesulitan sedikitpun. Semua berjalan dengan lancar dan aman.
Seperti biasa saya menempati Kantor Teknis Urusan Haji (TUH) di Jeddah. Dalam tiga tahun ini juga, saya menempati kamar yang sama. Kelihatannya memang tidak ada perubahan yang berarti dari kantor ini.
Tentu saja begitu sampai kami sempatkan berbincang-bincang tentang situasi penyelenggaraan haji tahun ini. Menurut Pak Dumyati penyelenggaraan haji tahun ini sangat baik. Tentu harapan kita semoga penyelenggaraan haji tahun ini bisa memperoleh penilaian sangat memadai dari Hasil Survey Badan Pusat Statistik (BPS). Ya sekurang-kurangnya dengan score 85. Dan hal ini hanya perlu peningkatan sedikit saja, sebab tahun lalu hasil survey BPS sebesar 83,83.
Tentu saya berharap ada hal yang berbeda dengan penyelenggaraan haji tahun ini. dengan jumlah jamaah haji sebesar 221.000, maka dipastikan bahwa tingkat kerumitan penyelenggaraannya pastilah sangat besar. Apalagi jumlah petugasnya justru tidak seimbang atau tidak sebagaimana tahun lalu. Perbandingan antara jamaah haji dengan petugas lebih sedikit dibanding tahun lalu. Jika kenaikan jamaah sebesar 31 persen kenaikan petugas hanya 13 persen. Sebuah jumlah yang sangat tidak seimbang.
Kami juga berbincang tentang penyelenggaraan Umrah yang terkadang bermasalah. Berdasarkan gambaran Pak Dumyati, bahwa dari sejumlah 830 orang lebih jamaah umrah, ternyata yang lapor ke Kantor TUH hanya sekitar 35.000 orang saja. Jadi hanya sedikit yang melaporkan ke kantor TUH tentang jamaahnya. KBIH atau Biro Travel Umrah tidak melaporkannya ke Kantor TUH. Padahal sudah ada aplikasinya. Hanya tinggal mengisi saja. Itulah gambaran bahwa memang persoalan umroh itu memang persoalan yang krusial. Artinya, bahwa pelaksanaan umroh memang perlu perbaikan. Saya sampaikan bahwa “kita tidak punya tradisi melaporkan”. Berangkat begitu saja, dan pulang begitu saja.
Saya sampaikan bahwa di dalam rapat yang melibatkan Kemenag di Menko PMK, bahwa dari sejumlah orang Indonesia yang meminta amnesti (pengampunan) di Arab Saudi, maka juga terdapat banyak yang memiliki VISA Umrah. Jadi modusnya, berangkat pakai VISA Umrah lalu memisahkan diri dari Jamaah lainnya dan kemudian bekerja di Arab Saudi. Konon banyak pengguna tenaga kerja Indonesia yang memerlukannya. Ad kebutuhan ada juga pemasoknya.
Kepergian saya ke Saudi tahun ini tentu berdekatan dengan tahun baru Hijriyah, 1 Muharram 1439 Hijriyah. Jika di Indonesia, maka tahun baru hijriyah itu diperingati dengan gegap gempita. Bahkan juga ada pawai dan umbul-umbul yang dipasang di sana-sini. Ramai sekali. Meskipun tidak seramai peringatan hari Kemerdekaan Indonesia atau seramai hari raya Idul Fithri, akan tetapi gairah untuk menyambut tahun baru hijriyah itu pasti terasa.
Memang peringatan tahun baru hijriyah sudah berlalu kira-kira 10 hari yang lalu. Tepatnya tanggal 21 September 2017, sehingga nuansanya sudah tidak terasa. Hal ini yang saya kira juga terjadi di Arab Saudi. Saya lihat sudah tidak ada lagi bekas-bekas baliho atau apa saja yang terkait dengan peringatan tahun baru hijriyah. Sepanjang perjalanan saya di malam hari itu, yang terlihat tentu adalah bangunan-bangunan modern dengan berbagai fungsinya.
Sepanjang perjalanan, maka bisa dilihat gerai pameran mobil-mobil import dari Eropa, Jepang, Amerika dan Korea Selatan. Ada Hyundai, Audi, Toyota, dan lain-lain yang berjajar dari arah Bandara ke Kantor TUH. Memang, Jeddah sudah menjadi kota internasional, sehingga semua hal yang terait dengan kemodernen dan kekinian tentu bisa terjadi di tempat ini.
Saya merasakan bahwa betapa badai modernitas akan terus berlanjut. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Badai modernisasi akan terus berlangsung dan nyaris kita juga tidak mampu melawannya. Jadi, kota-kota di Arab Saudi juga akan mengalami hal yang sama. Mekkah, Madinah, Jeddah dan bahkan kota-kota besar di dunia juga akan terkena dampak modernitas ini.
Jadi sungguh tidak ada beda antara kota-kota di dunia itu, kecuali dimensi religiusnya yang bisa saja berbeda. Mekkah dan Madinah adalah bagian substansi perkotaan yang berbeda itu, karena ibadah haji dan umroh.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENYIAPKAN JABATAN FUNGSIONAL ANALIS KEBIJAKAN

MENYIAPKAN JABATAN FUNGSIONAL ANALIS KEBIJAKAN
Saya diberikan kesempatan untuk memberikan masukan terkait dengan Sosialisasi PMA No 42 Tahun 2016 terkait dengan Jabatan Fungsional Tertentu (JPT) Analis Kebijakan, di Hotel Sofyan Jakarta. Acara ini diikuti oleh para pejabat di lingkungan Kementerian Agama pusat dan daerah. Acara ini diselenggarakan oleh Biro Perencanaan Kemenag, 27/09/2017, dalam kerangka untuk menyusun profile JFT analis kebijakan pada Kemenag. Hadir dalam acara ini adalah Kabiro Perencanaan, Pak Dr. Ali Rohmat, Pak Harjo Suwito dan Ida Noor Qosim, serta pejabat eselon III dari seluruh Indonesia.
Acara ini nyaris bersamaan waktunya dengan acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR RI terkait dengan pembahasan Rencana Kerja Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL) dalam Pagu Definitif yang kemungkinan akan dibicarakan oleh Badan Anggaran (Banggar) pada bulan Oktober ini. sebagaimana biasa bahwa acara di Komisi VIII selalu melebihi target waktu yang dijadwalkan. Dari yang semula akan selesai jam 14.00 ternyata sampai Jam 16. Akhirnya, dalam sisa waktu itu, saya sempatkan untuk bertemu dengan peserta Workshop Analis Kebijakan tersebut.
Di dalam acara yang penting ini, saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, saya membayangkan bahwa tugas dan fungsi para Analis Kebijakan ini sangatlah tidak mudah. Sebab mereka yang akan mengritisi terhadap semua kebijakan yang diterbitkan oleh Kemenag. Makanya dibutuhkan orang yang benar-benar mamahami seluk beluk kebijakan yang diterbitkan, lalu membuat analisisnya seperti apa. Saya sekaligus juga mengapresiasi terhadap acara ini karena akan memberikan pemahaman tentang JPT Analis Jabatan yang ke depan tentu akan sangat strategis.
Kedua, JPT Analisis Kebijakan menempati posisi penting dalam kaitannya dengan pelayanan public. Bagi saya, bahwa sebagai pejabat, maka JPT analisis kebijakan harus memiliki kemampuan untuk melakukan pemetaan, analisis dan pemengaruhan atas kebijakan yang telah diterbitkan. Tentang pemetaan, maka seorang analisis kebijakan tentu harus menguasai seluruh tugas pokok dan fungsi Kemenag.
Di dalam konteks ini, seorang pejabat analisis kebijakan harus memahami mengenai delapan area perubahan dalam reformasi birokrasi. Misalnya, tentang manajemen perubahan, penguatan SDM, penguatan tata kelola, penguatan regulasi, pengawasan, akuntabilitas dan pelayanan public. Seorang analisis kebijakan mestilah memahami terhadap apa saja kebijakan yang diterbitkan oleh Kemenag, lalu apa saja yang bisa dipetakan lalu untuk dianalisis.
Oleh karena itu, seorang analisis kebijakan mestilah menguasai terhadap metodologi analisis kebijakan. Jadi mereka harus menguasai terhadap bagaimana melakukan penelitian kebijakan atau policy research. Jika seorang analis kebijakan lalu tidak menguasai hal ini, maka sebenarnya akan terjadi kegagalan di dalam melakukan tugasnya. Di sinilah artinya bahwa seorang analis kebijakan tentulah orang yang harus memiliki seperangkat pengetahuan yang terkait dengan policy research.
Lalu yang tidak kalah menarik tentunya ialah terkait dengan bagaimana bahwa setiap kebijakan haruslah dilakukan analisis untuk memahami apakah kebijakan tersebut perlu diteruskan, diganti atau direvisi. Untuk sampai kepada hal ini, maka tentu harus dilakukan upaya untuk menghadirkan data dan analisis yang kuat. Makanya, hasil analisis haruslah valid dan reliable. Di dalam konteks ini, yang diperlukan adalah bagaimana menghasilkan analisis kebijakan yang benar-benar bisa menentukan langkah apa yang diperlukan untuk menyikapi terhadap kebijakan yang sudah diterbitkan.
Ketiga, yang diperlukan adalah membangun kerja sama antara Biro Perencanaan dengan berbagai unit lainnya. Misalnya dengan Balitbangdiklat, maka tentunya sangat penting untuk melakukan kerja sama yang terkait dengan bagaimana para analis kebijakan memiliki seperangkat pengetahuan tentang policy research. Saya kira ada banyak ahli di Balitbangdiklat yang memiliki basis pengetahuan tentang metodologi policy research dan kemudian melanjutkannya dengan berbagai pelatihan dalam bidang penelitian kebijakan. Jadi harus dilakukan pemetaan yang jelas tentang kualifikasi pengetahuan yang terkait dengan hal ini.
Lalu, kerjasama dengan Biro Kepegawaian dalam kerangka untuk melakukan assessment terkait dengan rekruitmen jabatan analisis kebijakan. Kita berharap dengan assessment yang tepat, maka akan dihasilkan pejabat analisis kebijakan yang tepat dan benar. Termasuk di dalam hal ini ialah kerja sama dengan biro ortala, yang saya kira juga memiliki irisan pekerjaan, sebab tentu terkait dengan perubahan struktur jabatan dan persyaratan grading jabatannya.
Dengan demikian, kehadiran JFT Analis Jabatan akan memiliki pengaruh yang besar bagi implementasi pelayanan public, jika mereka disiapkan dengan sangat benar dan memunuhi kualifikasi pengetahuan, dan keahlian yang khusus dari mereka semua. Jadi, diperlukan persiapan yang sangat baik untuk menjemput jabatan baru ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGUKUR WAWASAN KEBANGSAAN BAGI ASN

MENGUKUR WAWASAN KEBANGSAAN BAGI ASN
Pada acara yang diselenggarakan oleh Biro Kepegawaian tentang bagaimana merumuskan instrument untuk mengukur wawasan kebangsaan, maka saya sampaikan beberapa gambaran tentang kondisi bangsa Indonesia sekarang di tengah gempuran masalah yang harus diselesaikan, yaitu darurat radikalisme, darurat narkoba, darurat pornografi dan hal lain, misalnya issu mengenai neo komunisme dan sebagainya.
Acara ini diselenggarakan di Hotel Olimpic, Sentul Bogor, 28/09/2017 dan diikuti oleh para Rector UIN dan IAIN, ketua PTKN, kepala Biro pada PTKN dan para pejabat yang memiliki kaitan dengan rekruitmen jabatan pada Kementerian Agama. Saya merasa senang sebab acara ini tentu sangat menarik dalam kaitannya dengan keinginan untuk menjadikan PNS di Kemenag memiliki komitmen untuk menjaga empat pilar consensus kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan.
Di dalam kesempatan ini saya sampaikan 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, bahwa salah satu ungkapan Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, yang perlu menjadi renungan adalah pandangannya bahwa kita bersyukur sebagai bangsa dengan keanekaragaman yang luar biasa. Hal ini merupakan kekuatan. Meskipun kita beraneka ragam, akan tetapi kita bisa menjaga kesatuan dan persatuan. Agama kita mengajarkan bahwa seandainya Tuhan mau menjadikan hanya satu saja varian manusia dan kebudayaannya, maka pasti Tuhan bisa melakukannya, akan tetapi memang Tuhan sudah mentakdirkan bahwa di dunia ini berisi keragaman yang menjadi ciri khasnya. Kita jadikan kebinekaan sebagai kekuatan dan bukan sebagai kelemahan.
Saya ungkapkan quote Pak Menteri ini dengan bahasa saya, namun sesungguhnya menggambarkan pandangan Beliau tentang bagaimana kita harus merawat kebinekaan untuk menggapai keharmonisan. Kita semua yakin bahwa sejarah telah mengajarkan kepada kita semua tentang arti pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, saya sampaikan bahwa di dalam rekruitmen jabatan PNS, maka ada tiga hal yang harus dipertimbangkan, ialah: 1) Kualifikasi. Dewasa ini kualifikasi administrasi dan akademik menjadi sangat penting. Era sekarang adalah era linearitas. Sehingga untuk menduduki jabatan negeri –khususnya dosen—harus linear keilmuannya. Berbeda dengan di masa lalu yang linearitas itu tidak menjadi ukuran seseorang untuk menjadi tenaga pendidik.
Saya mencontohkan tentang diri saya yang akhirnya menjadi professor di bidang sosiologi. Semula saya mengajar ilmu publisistik. Sehubungan dengan arus perubahan itu lebih kepada ilmu komunikasi, maka saya beralih menjadi dosen ilmu komunikasi. Lalu berikutnya saya berubah lagi menjadi pengampu mata kuliah sosiologi agama, dan terakhir justru menjadi professor dalam mata kuliah sosiologi. Jika menilik ijazah saya, maka tidak akan dijumpai linearitas tersebut. Jadi yang menjadi dasar bagi penetapan professor itu ialah ijazah terakhir saya pada program studi ilmu sosial dan disertasi saya di bidang sosiologi kebudayaan, dan juga karya tulis saya yang memang berada di dalam kawasan sosiologi. Di era sekarang, maka sedari awal rekruitmen dosen harus sudah linear antara ijazahnya atau kualifikasi akademisnya dengan mata kuliah yang akan diampu.
Kedua, kompetensi. Di dalam rekruitmen PNS maupun rekruitmen jabatan dan rotasi jabatan, maka diperlukan standart kompetensi, baik standat kompetensi umum atau Seleksi Kompetensi Dasar (SKD), dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Di dalam kompetensi bidang ini, maka seorang dosen akan dilihat dari kompetensi professional, kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. 4(empat) hal ini yang mesti akan dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan apakah seseorang layak atau tidak layak untuk menjadi dosen, atau dosen professional. Selain 4(empat) hal ini, maka juga diperlukan kompetensi dalam wawasan kebangsaan. Di dalam konteks ini terkait dengan komitmen pada 4 (empat) pilar kebangsaan yang memang harus dimiliki oleh dosen. Bagi kita di Kemenag, bahwa komitmen kebangsaan ini menjadi sangat penting di tengah darurat radikalisme, yang memang diperlukan keberadaan dosen yang memiliki komitmen kebangsaan.
Sudah saatnya kita semua melakukan introspekesi tentang komitmen kebangsaan ini. Rasanya agak ganjil jika ada seorang PNS yang kemudian tidak memiliki komitmen kebangsaan, yaitu keinginan dan kesadaran untuk mempertahankan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan. Seorang guru atau dosen sebagai transformer ilmu pengetahuan tentu harus memiliki wawasan dan komitmen kebangsaan dalam kerangka akan dibawa ke mana para siswa atau mahasiswanya itu.
Ketiga, kinerja. Saya rasa bahwa di era manajemen kinerja seperti sekarang, maka yang sesungguhnya dicari ialah orang yang memiliki komitmen untuk bekerja keras, berjuang untuk kepentingan masyarakat, pemerintah dan bangsa. Yang bersangkutan harus menegaskan apa yang menjadi sasaran kinerjanya, indicator kinerjanya, target apa yang akan dicapai dan capaian apa yang seharusnya diperoleh. Komitmen kerja keras itu yang harus diungkap untuk mendapatkan calon PNS atau PNS yang ke depan akan berjuang untuk kepentingan bangsa.
Selain hal ini, maka yang tidak kalah penting ialah menyusun instrument untuk memahami hal-hal di atas. Harus ada instrument yang akurat dan terpercaya sebagai alat ukur untuk menjelaskan profile calon yang diperlukan kehadirannya. Alat ukur ini akan menjamin bahwa orang yang dipilih adalah mereka yang benar memenuhi kualifikasi yang dikehendaki oleh para usernya, di dalam hal ini ialah Kementerian Agama.
Dengan demikian, tugas yang harus dilakukan hari ini ialah bagaimana menyusun instrument yang menjamin bahwa orang yang dipilih adalah orang yang tepat dan berdaya guna bagi pengembangan institusi. Saya yakin, bahwa melalui mekanisme diskusi yang produktif, maka target untuk mencapai hal ini akan tergapai.
Wallahu a’lam bi al shawab.