Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE ARAB SAUDI LAGI: MENJEMPUT KLOTER AKHIR (1)

KE ARAB SAUDI LAGI; MENJEMPUT KLOTER AKHIR (1)
Saya tentu merasa gembira mendapatkan tugas dari Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, untuk menjemput jamaah haji Indonesia kloter akhir di Madinah. Sebagaimana biasanya, saya selalu merasa stress jika akan ke luar negeri. Bukan karena apa-apa karena terbayang jetlag atau kesulitan menyesuaikan waktu tidur dengan kebiasaan saya untuk tidur di Indonesia.
Makanya, saya bersyukur karena ternyata di dalam perjalanan dengan pesawat Saudi Airline tersebut, saya bisa tertidur dengan pulas dan di penginapan di Kantor Teknis Urusan haji (TUH) di Jeddah juga bisa memejamkan mata meskipun berulang-ulang bangun. Biasalah malam pertama di negara lain pasti akan mengalami hal yang sama.
Saya berangkat dari Bandara Jakarta jam 16.30 WIB dan sampai di Bandara Jeddah jam 21.30 WAS. Dengan ditemani oleh Pak Karo Perencanaan, Pak Dr. Ali Rohmat, Jemi dan beberapa staf dari PHU, saya sampai di Jeddah dengan selamat. Alhamdulillah saya dijemput oleh Pak Dumyati dan kawan-kawan, sehingga tidak mengalami kesulitan sedikitpun. Semua berjalan dengan lancar dan aman.
Seperti biasa saya menempati Kantor Teknis Urusan Haji (TUH) di Jeddah. Dalam tiga tahun ini juga, saya menempati kamar yang sama. Kelihatannya memang tidak ada perubahan yang berarti dari kantor ini.
Tentu saja begitu sampai kami sempatkan berbincang-bincang tentang situasi penyelenggaraan haji tahun ini. Menurut Pak Dumyati penyelenggaraan haji tahun ini sangat baik. Tentu harapan kita semoga penyelenggaraan haji tahun ini bisa memperoleh penilaian sangat memadai dari Hasil Survey Badan Pusat Statistik (BPS). Ya sekurang-kurangnya dengan score 85. Dan hal ini hanya perlu peningkatan sedikit saja, sebab tahun lalu hasil survey BPS sebesar 83,83.
Tentu saya berharap ada hal yang berbeda dengan penyelenggaraan haji tahun ini. dengan jumlah jamaah haji sebesar 221.000, maka dipastikan bahwa tingkat kerumitan penyelenggaraannya pastilah sangat besar. Apalagi jumlah petugasnya justru tidak seimbang atau tidak sebagaimana tahun lalu. Perbandingan antara jamaah haji dengan petugas lebih sedikit dibanding tahun lalu. Jika kenaikan jamaah sebesar 31 persen kenaikan petugas hanya 13 persen. Sebuah jumlah yang sangat tidak seimbang.
Kami juga berbincang tentang penyelenggaraan Umrah yang terkadang bermasalah. Berdasarkan gambaran Pak Dumyati, bahwa dari sejumlah 830 orang lebih jamaah umrah, ternyata yang lapor ke Kantor TUH hanya sekitar 35.000 orang saja. Jadi hanya sedikit yang melaporkan ke kantor TUH tentang jamaahnya. KBIH atau Biro Travel Umrah tidak melaporkannya ke Kantor TUH. Padahal sudah ada aplikasinya. Hanya tinggal mengisi saja. Itulah gambaran bahwa memang persoalan umroh itu memang persoalan yang krusial. Artinya, bahwa pelaksanaan umroh memang perlu perbaikan. Saya sampaikan bahwa “kita tidak punya tradisi melaporkan”. Berangkat begitu saja, dan pulang begitu saja.
Saya sampaikan bahwa di dalam rapat yang melibatkan Kemenag di Menko PMK, bahwa dari sejumlah orang Indonesia yang meminta amnesti (pengampunan) di Arab Saudi, maka juga terdapat banyak yang memiliki VISA Umrah. Jadi modusnya, berangkat pakai VISA Umrah lalu memisahkan diri dari Jamaah lainnya dan kemudian bekerja di Arab Saudi. Konon banyak pengguna tenaga kerja Indonesia yang memerlukannya. Ad kebutuhan ada juga pemasoknya.
Kepergian saya ke Saudi tahun ini tentu berdekatan dengan tahun baru Hijriyah, 1 Muharram 1439 Hijriyah. Jika di Indonesia, maka tahun baru hijriyah itu diperingati dengan gegap gempita. Bahkan juga ada pawai dan umbul-umbul yang dipasang di sana-sini. Ramai sekali. Meskipun tidak seramai peringatan hari Kemerdekaan Indonesia atau seramai hari raya Idul Fithri, akan tetapi gairah untuk menyambut tahun baru hijriyah itu pasti terasa.
Memang peringatan tahun baru hijriyah sudah berlalu kira-kira 10 hari yang lalu. Tepatnya tanggal 21 September 2017, sehingga nuansanya sudah tidak terasa. Hal ini yang saya kira juga terjadi di Arab Saudi. Saya lihat sudah tidak ada lagi bekas-bekas baliho atau apa saja yang terkait dengan peringatan tahun baru hijriyah. Sepanjang perjalanan saya di malam hari itu, yang terlihat tentu adalah bangunan-bangunan modern dengan berbagai fungsinya.
Sepanjang perjalanan, maka bisa dilihat gerai pameran mobil-mobil import dari Eropa, Jepang, Amerika dan Korea Selatan. Ada Hyundai, Audi, Toyota, dan lain-lain yang berjajar dari arah Bandara ke Kantor TUH. Memang, Jeddah sudah menjadi kota internasional, sehingga semua hal yang terait dengan kemodernen dan kekinian tentu bisa terjadi di tempat ini.
Saya merasakan bahwa betapa badai modernitas akan terus berlanjut. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Badai modernisasi akan terus berlangsung dan nyaris kita juga tidak mampu melawannya. Jadi, kota-kota di Arab Saudi juga akan mengalami hal yang sama. Mekkah, Madinah, Jeddah dan bahkan kota-kota besar di dunia juga akan terkena dampak modernitas ini.
Jadi sungguh tidak ada beda antara kota-kota di dunia itu, kecuali dimensi religiusnya yang bisa saja berbeda. Mekkah dan Madinah adalah bagian substansi perkotaan yang berbeda itu, karena ibadah haji dan umroh.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..