Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DOKTOR DAN TANGGUNG JAWAB AKADEMISNYA (2)

DOKTOR DAN TANGGUNG JAWAB AKADEMISNYA (2)
Apa yang menjadi tanggungjawab akademis seorang doctor. Pertanyaan ini patut dikemukakan terkait dengan banyaknya pelanggaran di dalam proses mencetak doctor. Misalnya tentang professor sebagai promotor yang bisa menghasilkan sebanyak seratus orang doctor dalam setahun. Wow, saya kira dia harus mendapatkan rekor internasional jika cara membibingnya benar. Akan tetapi pertanyaannya apa bisa seorang professor membimbing seratus orang lebih dalam setahun.
Untuk bisa membimbing seorang kandidat doctor, sebenarnya sangat sulit. Bukan hanya dari sisi kemampuan metodologinya dan juga substansi bahasannya, akan tetapi juga kemampuan bahasanya. Bukan bahasa asing tetapi kemampuan bahasa Indonesianya. Saya kira seorang professor harus membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat sehingga pernyataan yang diungkapkannya benar secara logika dan juga benar secara bahasa. Jika menggunakan kerangka ini, rasanya agak mustahil seorang professor bisa menghasilkan lebih dari 5 (lima) doctor. Makanya, jika kemudian timbul istilah “peternakan doctor” rasanya tulisan itu masuk akal, sebab memang tidak mudah untuk menghasilkan doctor tersebut.
Bagi saya untuk menjadi seorang doctor memiliki sejumlah persyaratan. Pertama, persyaratan keilmuan. Untuk menjadi doctor, seorang calon doctor harus benar-benar menguasai bidang studi yang digelutinya. Tidak harus seluruhnya, akan tetapi tentu ada beberapa bagian dari ilmu itu yang dikuasai dengan sangat baik. Saya ingin memberi contoh dalam bidang sosiologi, maka sekurang-kurangnya calon doctor harus menguasai paradigm, dan teori di bidang sosiologi yang sangat mendasar harus dikuasainya. Dengan penguasaan itu, maka dia akan bisa menjelaskan atau menggambarkan sebuah fenomena dengan kerangka teori dan paradigm keilmuan sosiologi yang digelutinya. Sehingga dia dengan fasih akan bisa menjelaskan atau menggambarkan fenomena dari sudut pandang teorinya, misalnya ketika melihat fenomena nikah siri, maka dia akan bisa menjelaskan relasi factor atau menggambarkan relasi yang mendasari tindakan atau perilaku dimaksud berdasarkan atas teori dan paradigm yang dikuasainya.
Kedua, kemampuan metodologi yang baik. Salah satu ciri doctor Indonesia adalah kemampuannya untuk menguasai metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif, kualitatif atau bahkan mixed methodology. Agak naïf jika ada seorang doctor tetapi tidak menguasai salah satu metodologi yang penting. Jika dia kandidat doctor ilmu sosial dan humaniora, maka mutlak pengetahuan metodologinya haruslah sangat baik. Dia tidak hanya sekedar menulis, akan tetapi dia harus mempertanggungjawabkan karya tulisnya berdasarkan atas metodologi yang benar.
Dengan demikian, seorang doctor dia harus mampu untuk menjelaskan sebuah fenomena berdasarkan metodologi apa yang relevan lalu teori dan paradigm apa yang digunakan. Saya terkadang heran melihat ada disertasi yang menggunakan pola campuran teori, sehingga kesimpulannya lalu menjadi “gado-gado”. Menurut saya sebaiknya, ada sebuah core theory yang digunakan sebagai perspektifnya, lalu jika mau yang lain hanya sebagai “kepekaan” saja.
Ketiga, moralitas akademis. Inilah kunci dari segalanya. Seseorang bisa saja menguasai terhadap paradigm, teori dan metodologi, sebab ketiganya bisa dipelajari dan dijelaskan oleh siapa saja, akan tetapi moralitas itu adalah penjaganya. Ibarat bangunan, maka moralitas adalah penyangga utamanya, bisa saja dinding yang kokoh atau tiang pancang yang kokoh atau soko gurunya yang kokoh. Jika dinding roboh atau tiang pancang roboh, maka robohlah semuanya. Kemampuan metodologis, teoretik dan paradigm juga tidak akan ada artinya jika tidak didukung oleh moralitas akademis yang benar. Jika hanya menguasai teori, metodologi dan paradigm, maka dia hanya pinter saja, tetapi dengan moralitas yang baik, maka dia akan menjadi bener. Dalam bahasanya Orang Jogyakarta ditambah dengan pener atau tepat guna atau manfaatnya. Jadi, seorang doctor dia harus pinter, bener lan pener.
Saya menjadi heran jika ada seorang doctor yang melakukan plagiasi. Saya juga heran jika ada orang yang menerabas dalam menulis disertasi. Saya juga heran jika ada yang berbohong bahwa tulisan disertasi itu tulisannya sendiri padahal bukan. Di dalam setiap langkah penelitian yang dilakukan terkandung maksud di dalamnya ada pertanggungjawaban akademisnya.
Di dalam melakukan penelitian di lapangan boleh saja ada seorang atau beberapa asisten penelitian lapangan sebab memang diperbolehkan asalkan bahwa yang bersangkutan dilatih dan dididik secara benar untuk melakukan penelitian. Namun bukan berarti bahwa asisten penelitian ini yang menuliskan laporan penelitian dan kemudian menjadi disertasi atau tesis.
Moralitas sesungguhnya adalah terkait dengan kata hati. Jadi kata hatilah yang akhirnya akan menentukan terhadap tindakan seseorang. Makanya, jika seseorang melakukan tindakan yang tidak benar, maka kata hatinya itu yang akan membenarkannya atau menyalahkannya.
Di sinilah arti pentingnya seorang doctor itu tidak hanya memiliki pengetahuan yang cukup di dalam teori dan metodologi tetapi juga harus memiliki moralitas akademis yang beneran. Dengan hal ini, maka saya kira tidak akan ada doctor asli tapi palsu. Kalau menjadi doctor tentu dia akan menjadi doctor sungguhan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..