Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DOKTOR DAN TANGGUNG JAWAB MORAL AKADEMIKNYA (1)

DOKTOR DAN TANGGUNG JAWAB MORAL AKADEMIKNYA (1)
Akhir-akhir ini kita sedang meramaikan perbincangan tentang “jual beli doctor” di perguruan tinggi. Saya menggunakan konsep “jual beli” untuk memberikan gambaran bahwa gelar doctor pun sesungguhnya bukan sesuatu gelar yang steril dari sikap mental menerabas yang juga mengakibatkan banyak korupsi. Mental menerabas ini pula yang menyebabkan banyak individu yang melakukan tindakan asusila dalam bidang akademis melalui paket doctor cepat, instan dan cepat selesai.
Kali ini yang menjadi subyeknya ialah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga diindikasikan melakukan tindakan tidak terpuji di dalam mencetak doctor. Ada banyak doctor yang dikeluarkannya dinilai menggunakan cara-cara yang “kurang terpuji”, yaitu menjadi doctor cepat padahal pejabat, mendapatkan cumlaude di tengah tugas jabatan menumpuk dan menjadi doctor melalui mekanisme perbantuan atau asistensi dan sebagainya.
Saya tidak tahu secara persis tentang bagaimana mekanisme perkuliahan di Program Doktor pada lembaga pendidikan yang diindikasikan melanggar tata susila akademis. Dan saya juga tidak ingin menggeneralisasikan tentang para pejabat yang memperoleh gelar akademik tertinggi doctor dengan cara yang tidak benar. Sebab tentu saja generalisasi tersebut tidak secara seluruhnya benar. Masih ada sebagian pejabat yang memperoleh gelar doctor dengan cara-cara yang benar dan sesuai dengan kaidah akademis.
Sesungguhnya menjadi doctor bukan perkara sederhana. Menjadi doctor tentu akan dilalui dengan proses yang sangat berat. Tidak hanya berat dalam waktu dan kesempatan, tetapi juga biaya dan dana. Dari sisi uang atau dana mungkin tidak masalah bagi sebagian warga masyarakat kita, terutama misalnya para pejabat yang memang bisa dikategorikan sebagai kaum the have. Tetapi bagi seorang dosen, terkadang factor biaya bisa menjadi kendala.
Yang tidak kalah menarik adalah factor waktu dan peluang. Saya merasakan seandainya sekarang harus menempuh program doctor –di saat menjabat—rasanya tidak mungkin. Untuk menyelesaikan tugas kantor saja sudah tidak cukup waktunya. Habis seluruh energy tersita untuk pekerjaan kantor. Jadi bagaimana mungkin bisa menulis makalah yang serius, menulis disertasi yang baik dan lulus dengan predikat yang baik. Jadi jika ada seorang pejabat yang bisa menyelesaikan pendidikan doctor dengan kemampuan sendiri tentu perlu diapresiasi dengan sangat tinggi.
Saya memang hanya lulusan dalam negeri untuk seluruh program pendidikan tinggi saya, mulai dari S1, S2 dan S3. Bahkan juga saya tempuh di kota saya sendiri, Surabaya. Tetapi saya merasakan betapa beratnya menyelesaikan tugas akhir, Tesis maupun disertasi. Tetapi saya merasakan kebahagiaan tatkala tesis dan disertasi saya dibukukan oleh penerbit yang baik. Tesis saya diterbitkan oleh Lepkiss, Surabaya dengan judul ”Pembangkangan Politik Kaum Tarekat” dan disertasi saya diterbitkan oleh LKIS dengan judul “Islam Pesisir”. Suatu kebahagiaan yang luar biasa, sebab bagi saya disertasi yang baik adalah disertasi yang layak terbit terutama oleh penerbit nasional.
Proses pendidikan juga saya kira sangat berat. Saya masih teringat ketika harus mengambil mata kuliah “kebudayaan local”. Saya diminta Oleh Prof. Ramlan Surbakti, pembimbing akademik saya untuk menghubungi Dr. Muslim Abdurahman. Apalagi saya mengkaji Islam pesisir, sehingga keberadaan Pak Muslim Abdurahman terasa sangat penting di dalam mengkreasi kepekaan akademik saya. Sayangnya Pak Muslim sangat sulit dihubungi, sebab waktunya lebih banyak di luar negeri. Maka pilihan saya jatuh kepada Pak Dr. PM. Laksono. Dosen UGM yang ahli budaya local dengan kekuatan metodologi Strukturalisme.
Saya teringat di kala saya menghadap Beliau ditemani oleh Pak Lukmono Hady, dan saat itu sudah saya bawakan daftar bacaan kira-kira 40 judul buku, maka beliau menyatakan “saya kira sudah 200 buku yang akan dipelajari”. Rasanya seperti kena palu godam mendengarkan ungkapan beliau ini. Maka pada pertemuan kedua, sudah saya penuhi daftar 200 buku, dan sekaligus saya kategorikan. Untung bagi saya karena Pak Ramlan sudah mengajarkan merumusan tipologi, sehingga saya bisa menyusun daftar judul buku sesuai dengan metodologi atau kajiannya.
Saya pulang pergi ke Jogyakarta setiap dua minggu untuk menemui Pak Laksono. Ke rumahnya di Kaliurang. Dan yang saya ingat adalah perkataan beliau “jangan pindahkan isi buku ke dalam dirimu. Lakukan analisis secara mendalam agar apa yang kamu sajikan itu lebih mendasar”. Perkataan ini selalu saya kenang. Maka dari perkulihan itu menghasilkan 14 makalah. Dan yang juga menjadi kebanggaan saya adalah seluruh hasil perkuliahan saya dengan Beliau itu lalu saya bukukan dengan judul “Madzab-Madzab Antropologi” yang diterbitkan oleh LKIS. Dan bahkan ada salah seorang murid saya di IAII Sukorejo yang mengambil program Master di UGM menyatakan bahwa buku saya termasuk salah satu bahan bacaan di program itu.
Saya yakin, bahwa menjadi doctor bukan hanya sekedar menempelkan gelar itu di depan namanya. Akan tetapi juga mengandung kapasitas dan kapabilitas. Dan selain itu juga ada moral akademis yang disandangnya. Oleh karena itu seorang doktor yang benar adalah doctor yang memiliki moral akademis, bahwa semua yang dihasilkannya merupakan produknya sendiri dan bukan dibuatkan oleh orang lain.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..