• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE ARAB SAUDI LAGI; PERLU JUGA UMRAH (6)

KE ARAB SAUDI LAGI; PERLU JUGA UMRAH (6)
Rasa syukur tentu menyelimuti hati saya, di saat saya bisa melakukan ibadah umrah. Saya, Pak Ali, Pak Syihab, Jimi, Haryanto, Slamet dan Arfi bersama-sama berangkat dari Jeddah menuju Mekkah. Kita berangkat jam 03. 00 WAS dan sampai tepat menjelang subuh. Thawaf dulu, lalu shalat subuh dan kemudian sa’i. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Pak Ali kita tunjuk sebagai imam al umrah. Suatu istilah baru yang kita sepakati. Demokratis juga.
Begitu memasuki pintu menuju Ka’bah, tiba-tiba saja ada perasaan yang haru sebab bisa juga kembali melihat Ka’bah yang agung, sebagai pusat peribadahan umat Islam sedunia. Keharuan itu tentu terkait betapa banyaknya umat Islam di Indonesia bahkan dunia yang tidak bisa menyaksikan keagungan Ka’bah dengan mata kepalanya sendiri dan dari jarak dekat. Subhanallah, Maha Suci Allah yang menggerakkan kaki hambanya untuk melihat symbol keagungannya.
Tanpa terasa mengalir air mata keharuan yang muncul dari hati disebabkan oleh perjumpaan kembali dengan Ka’baitullah, rumah Allah yang suci dan disucikan. Sebuah batu hitam yang didirikan oleh Nabiyullah Ibrahim dan Nabiyullah Ismail ini menjadi saksi sejarah tentang bagaimana kepatuhan dan ketaatan hambanya kepada Allah azza wa jalla. Sungguh saya merasa bahwa hanya kehendak Allah semata yang mengantarkan kaki bisa ke tempat ini.
Saya menjadi terharu sebab di kala akan berangkat ada kegalauan terkait dengan banyak hal. Ada tugas-tugas kantor, ada keluarga, ada banyak hal yang dipikirkan. Saya juga nyaris mengundurkan jadwal keberangkatan saya ke Mekkah itu, dari Ahad ke Selasa, dengan harapan hari Senin dan Selasa pagi masih bisa menyelesaikan tugas-tugas kantor. Tetapi isteri saya mendorong agar saya berangkat saja, untuk mendoakan semuanya. Subhanallah, hari Selasa pagi setelah Senin sore melakukan rapat di Kantor TUH, saya bisa kembali melakukan ibadah umrah yang menjadi keinginan sekian banyak umat Islam di dunia.
Di tengah waiting list untuk berangkat Haji, maka Umrah menjadi pilihan terdekat. Makanya jumlah jamaah Umrah dari Indonesia itu membludak luar biasa. Bayangkan dalam setahun bisa 800 ribu jamaah Umrah yang melakukan ibadah ini. Makanya, perkembangan jumlah jamaah umrah dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Demikian pula jumlah PPIU yang bergerak di dalam bisnis Umrah juga semakin banyak saja jumlahnya.
Sebagai perjalanan mengenang sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail dan juga perjuangan Siti Hajar untuk menemukan sumur Zamzam, maka peristiwa umrah saya rasakan sebagai suatu peristiwa yang sangat luar biasa. Bagaimana seorang perempuan, Siti Hajar, seorang diri dengan bayi kecilnya, Ismail, berjuang untuk menemukan air yang bisa menghidupinya. Dan dengan ditemukannya sumur Zamzam, maka itu menjadi berkah yang luar biasa bagi umat Islam untuk selalu merindukan meminum airnya. Berdasarkan kajian ilmiah, maka air zamzam memiliki kadar air terbaik di dunia. Jika sekarang sudah ditemukan air dengan kadar terbaik, tetapi tidak akan bisa mengalahkan kehebatan air zamzam. Tidak hanya terbaik tetapi juga memberkahi.
Perjalanan ibadah haji dan umrah, kiranya tidak hanya ibadah ritual akan tetapi juga ibadah sejarah. Ibadah untuk mengenang kembali apa yang sudah dilakukan oleh Nabi Ibrahim, sebagai pusat dan Bapak agama Semitis, sebagai pemuka Millah Ibrahim yang lurus, dan Nabi Muhammad saw yang melestarikan peristiwa hebat dalam sejarah kemanusiaan ini untuk menjadi ritual dan bahkan rukun Islam. Haji adalah rukun Islam, setelah Syahadat, Shalat, Zakat, dan Puasa.
Ka’bah sebagai pusat ritual memang tidak pernah sepi dari pelaku-pelaku ibadah. Gerakan memutar ke kiri yang dilakukan oleh pelaku ibadah ini tampak begitu indah jika disiarkan oleh televisi Al Qur’an yang dipancarkan langsung dari Mekkah Al Mukarramah. Makanya, siapapun umat Islam yang pernah melakukan ritual haji atau ritual umrah pasti berkeinginan untuk datang dan datang lagi.
Ka’bah memang memiliki magnit yang sangat kuat bagi para perindu ibadah. Ka’bah akan selalu menjadi sumber inspirasi orang untuk berdoa dengan khusyu’ di dekatnya. Di kala kita berada di Hijir Ismail atau di Multazam, lalu tangan dan muka kita menempel ke dinding Ka’bah itu, maka rasanya seluruh doa ingin kita panjatkan kepada Allah. Kekhusyu’an dan keikhlasan berdoa akan terdapat di dalamnya, sehingga tanpa terasa air mata menjadi meleleh dalam butiran-butiran bening yang hadir dari dalam hati yang tulus berdoa kepada Allah. Ya Allah kabulkan doa hamba-Mu yang berdoa kepada-MU.
Di kala kita bisa menyelesaikan semua ritual, thawaf dan Sa’i, lalu kita bisa berdoa sambil bersimpuh di bukit Marwah, rasanya juga luar biasa. Kita bisa tumpahkan semua hal yang menjadi beban di dalam kehidupan, kita bisa pasrahkan semua kepada Dzat yang Maha Kuasa dan Dzat yang selalu mengabulkan doa dan permohonan hambanya.
Umat Islam, tentu merupakan umat yang sangat beruntung memiliki Nabi Muhammad SAW, memiliki Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail peletak ritual haji dan umrah, dan juga memiliki pusat ritual Ka’baitullah, Rumah Allah yang Suci, yang dengannya umat Islam dipersatukan tanpa membedakan asal usul, tradisi dan kebudayaan, warna kulit dan ras, pangkat dan jabatan. Semua sama tanpa perbedaan. Dan Allah menyatakan bahwa “yang paling muliah di hadapan Allah ialah yang paling taqwa”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE ARAB SAUDI LAGI; LAPORAN PENYELENGGARAAN HAJI 2017 (5)

KE ARAB SAUDI LAGI; LAPORAN PENYELENGGARAAN HAJI 2017 (5)
Meeting ini menjadi panjang karena pembahasan yang sangat mendalam. Ada diskusi panjang yang kita lakukan di dalam hal ini. Selain paparan Pak Dumyati, juga mendengarkan laporan dari kabid-kabid dalam berbagai tugasnya. Evaluasi ini bisa menjadi ajang yang efektif untuk menemukan solusi sementara terkait dengan penyelanggaraan haji.
Beberapa issu yang dikemukakan, misalnya dari aspek pelayanan ibadah. Sebagaimana disampaikan oleh Pak Endang Jumali, bahwa pelayanan manasik diberikan di hotel-hotel dan juga maktab-maktab oleh pembimbing ibadah haji. Secara bergiliran mereka mendapatkan tambahan manasik terkait dengan bagaimana menjalankan sunah dan rukun haji. Makanya, ada di antara jamaah yang menginginkan agar tambahan manasik ini juga diberikan di Madinah. Hanya saja kendalanya di Madinah itu satu hotel diisi oleh jamaah haji negara lain. Berbeda dengan system full time di Mekkah yang jamaah haji Indonesia berada di dalam satu hotel yang sama. Mengefektifkan bimbingan ini penting sebab ditengarai masih ada jamaah haji kita yang belum memahami tentang tata cara ibadah haji.
Dari sisi transportasi, sebagaimana laporan Pak Jauhari, bahwa masih ada kendala terkait dengan transportasi Jemaah haji dari pemondokan ke Armuzna. Banyak jamaah haji kita yang diangkut dengan bis Hafil yang sangat tua, sehingga terkendala AC dan bahkan ada juga yang mogok. Padahal sebenarnya di dalam perjanjian akan diberangkatkan dengan bis-bis yang standart, karena sudah upgrade, akan tetapi ternyata tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah Arab Saudi. Bisa saja karena factor jamaah haji yang jumlahnya meningkat tahun ini, sehingga penyediaan transportasi menjadi terkendala. Untuk bis shalawat sudah semuanya on the track dan tidak ada masalah yang berarti.
Pak Subhan, dari Kabid Katering juga melaporkan bahwa ada sedikit masalah terkait dengan catering, yaitu keterlambatan pasokan catering disebabkan oleh kendala air dan bahan baku. Tetapi secara keseluruhan tidak mempengaruhi terhadap pelayanan catering. Problem yang dialami oleh penyedia layanan catering ialah terkait dengan kurangnya tenaga Indonesia untuk catering. Ada kendala untuk mendatangkan ahli masak dari Indonesia. Ada kendala waktu dan juga kendala anggaran, misalnya pajak mendatangkan orang Indonesia.
Di dalam menanggapi persoalan ini, ada usulan yang menarik dari pak Syihab, yaitu agar ditemukan standart pelayanan yang terukur. Misalnya terkait dengan pelayanan trasportasi. Apa yang menjadi standart pelayanannya, lalu terkait dengan pelayanan catering, apa standart pelayanannya dan ukurannya. Jika bisa ditemukan hal ini, maka semua akan mengejar standart yang dibakukan itu, sehingga akan diketahui peningkatannya dari tahun ke tahun. Jadi yang diinginkan ialah solusi permanen atas masalah-masalah yang terjadi.
Pak Ali Rohmat menyoroti tentang penganggaran yang seharusnya dipikirkan lebih mendalam. Tentang anggaran badal haji, anggaran petugas, anggaran lainnya perlu didata secara lebih mendasar sehingga ketika kita meminta tambahan anggaran ke Kemenkeu dan Bappenas akan bisa direalisasi. Sebagai contoh, tentang anggaran petugas yang dibebankan kepada BA/BUN tahun ini, sebesar 39 Milyar rupiah. Seandainya tidak berhasil, maka kita akan kelabakan menyelesaikan urusan honor dan transportasi petugas. Mumpung sekarang masih dalam pembahasan anggaran maka kebutuhan itu harus fix, berapa sebenarnya yang diperlukan.
Dari berbagai usulan dan pembicaraan ini, maka saya sampaikan beberapa poin penting, yaitu: pertama, perlu kiranya dibuat standarisasi ibadah haji bagi para Jemaah haji. Rasanya sudah saatnya kita menerapkan sertifikasi jamaah haji berbasis pada penguasaan pengetahuan dan praktik haji. Jika di Malaysia bisa, saya yakin di Indonesia juga bisa. Mumpung waktunya panjang dalam penantian jatah keberangkatan, maka waktu panjang itu bisa digunakan untuk program ini.
Kedua, terkait dengan pemberian jatah makan. Apakah tidak mungkin dilakukan eksersais terkait dengan berapa kebutuhan konsumsi jamaah haji selama di Arab Saudi. Mereka harus dilayani makannya secara teratur. Tentu saja akan berakibat terhadap kenaikan BPIH, akan tetapi dengan pelayanan yang lebih baik mengapa tidak dilakukan. Jangan dibiarkan jamaah haji kita mencari makan di luar dengan standart kesehatan yang tidak baik. Dengan diberlakukannya hotel bintang tiga, maka tidak ada lagi peluang untuk masak atau membeli makanan di luar.
Ketiga, diperlukan pengawasan secara lebih mendasar terhadap KBIH agar supaya tidak terjadi perilaku yang kurang baik, misalnya menempatkan jamaahnya di haji regular dan sebagainya. Bahkan juga diperlukan standarisasi yang lebih ketat terhadap pelayanan jamaah haji plus iini, agar imaje jamaah haji semakin baik dan pemerintah juga memberikan control terhadap mereka ini.
Di sisi lain, Pak Dumyati juga menyampaikan bahwa tahun ini sudah dilakukan tambahan aplikasi baru terkait dengan pengawasan terhadap para petugas, SIMKOPPIH (Sistem Informasi Manejemen Koordinasi Panitia Penyelenggara Ibadah haji). Sistem komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan system mekanisme control di Kantor TUH Jeddah itu dapat mendeteksi dan memberikan perintah kepada petugas haji untuk memberikan pelayanan kepada jamaah. Misalnya di kala ada laporan jamaah haji yang tersesat dari daerah tertentu, maka dengan system ini petugas yang berada di dekat kejadian akan bisa diperintahkan untuk mencarinya. Bahkan juga bisa mendeteksi terhadap siapa petugas yang off dan on pada saat tertentu.
Kita semua tentu berharap bahwa penyelenggaraan haji akan semakin baik dan hal itu tentu tergantung kepada kerja keras semua komponen kemenag yang terkait dengan penyelenggaraan haji. Jadi jika kita ingin memperoleh penilaian yang baik, maka solusinya ialah bekerja semakin optimal.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE ARAB SAUDI LAGI; LAPORAN PENYELENGGARAAN HAJI 2017 (4)

KE ARAB SAUDI LAGI; LAPORAN PENYELENGGARAAN HAJI 2017 (4)
Rapat dalam rangka pelaporan penyelenggaraan haji 2017 ternyata memakan waktu yang panjang. Nyaris 2,5 jam. Peserta rapat ini ialah saya (Nur Syam, Sekjen Kemenag), Dr. Ali Rohmat (Kabiro Perencanaan), Syihabuddin (Direktur SDM pada RSH Jakarta), dan beberapa staf dari Ditjen PHU, Dr. Ahmad Dumyati (Ketua PPIH), Dr. Nasrullah Jasam (Kadaker Mekkah), Abdullah (Kabid Katering), Subhan (Kabid Transportasi) Zaitul Mukhlis (Kabid Linjam), Endang Jumali (Kabid Bimbingan Jamaah dan KBIH), Jauhari dan lainnya.
Di dalam kesempatan ini saya memberikan beberapa catatan, pertama, saya mengapresiasi terhadap seluruh pimpinan dan anggota PPIH yang telah sukses menyelenggarakan haji tahun 2017. Apalagi tahun ini ada tambahan Jemaah haji yang sangat signifikan, 52.200 orang. Meskipun jamaahnya bertambah 31 persen tetapi petugas hajinya hanya bertambah 13 persen saja. Jadi berbanding terbalik. Meskipun demikian nyaris tidak ada pemberitaan di berbagai media yang menganggap bahwa penyelenggaraan haji kita lebih jelek dibandingkan dengan tahun lalu. Jadi semoga survey BPS akan memberikan peningkatan kualitas pelayanan terhadap haji kita.
Keberhasilan pelayanan haji tentu karena kerja keras seluruh jajaran Kementerian Agama yang terlibat di dalam penyelenggaraan haji. Berbagai inovasi dalam memberikan pelayanan kepada jamaah tentu bisa menjadi ukuran tentang bagaimana upaya kita untuk menjadi yang terbaik dalam pelayanan jamaah haji.
Kedua, dari sisi pelayanan tentu kita bisa berbangga sebab kiranya pelayanan haji kita semakin membaik dari tahun ke tahun. Namun demikian di kala pelayanan makin baik, maka tuntutan masyarakat ialah pada aspek perlindungan jamaah. Issu tentang perlindungan jamaah menjadi mengemuka seirama dengan terjadinya musibah crane dan Mina tahun 2015. Di kala itu, maka ada banyak usulan agar jamaah haji diberikan perlindungan yang lebih baik melalui beberapa cara di antaranya ialah penerapan gelang berchip atau GPS sehingga akan bisa terpantau di mana tempatnya. Sayangnya bahwa keinginan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik ini terkendala dengan anggaran yang cukup tinggi untuk melakukannya. Diperlukan dana sekurang-kurangnya 200 Milyar rupiah untuk kepentingan ini. Selain itu tentu juga harus menyiapkan untuk pelaksanaan haji tahun depan, 2018, sebab semakin panjang persiapannya tentu akan semakin baik hasilnya.
Ketiga, di dalam evaluasi ini saya melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan, misalnya di dalam penyajian data, kiranya perlu ada perbandingan dengan tahun sebelumnya terutama menyangkut hal-hal yang dianggap penting. Misalnya, jumlah jamaah yang meninggal, yang sakit, yang tersesat dan sebagainya. Hal ini untuk menggambarkan secara riil tentang penyelenggaraan haji kita dari tahun ke tahun.
Lalu catatan penting lainnya ialah terkait dengan istitho’ah kesehatan. Kita merasa tidak nyaman sebab masih ada perbedaan persepsi antara Kemenkes dengan Kemenag tentang definisi dan ukuran isthito’ah kesehatan ini. Sebagai contoh Jemaah yang terkena hemodialisa yang menurut Kemenkes tidak diperkenankan untuk berangkat, akan tetapi yang bersangkutan meminta untuk berangkat. Di dalam perbedaan pandangan ini, maka Kakanwil memberikan rekomendasi untuk berangkat dan akhirnya memang bisa berangkat. Dan ternyata yang bersangkutan bisa menjalankan ibadah haji meskipun harus melakukan cuci darah di tanah suci.
Catatan berikutnya tentang jamaah furodah yang menempati maktab Indonesia. Menurut saya hal ini sebuah pelanggaran terhadap kesepakatan. Sebab seharusnya maktab Indonesia itu diperuntukkan bagi Jemaah haji Indonesia yang terdaftar di dalam system haji Kemenag. Melalui penempatan jamaah furodah di tenda-tenda kita itu tentu akan berakibat terhadap banyak hal, misalnya ketersediaan toilet, air dan fasilitan dasar lainnya. Bahkan juga catering yang bisa saja mereka mengganggu terhadap ketersediaan catering untuk jamaah haji kemenag.
Kemudian juga terkait dengan jamaah haji yang gagal berangkat, baik yang meninggal, sakit atau sebab lain. Setiap tahun selalu saja jumlah yang seperti ini cukup banyak. Di satu sisi daftar tunggu banyak tetapi ada kuota yang tidak terpakai, bukan karena sengaja tidak dimanfaatkan akan tetapi karena visa yang tidak bisa digantikan. Mereka yang gagal ganti ini jumlahnya mencapai angka seribuan. Sudah memperoleh visa berangkat ternyata mereka meninggal atau sakit dan waktu penggantian visa sudah tidak dimungkinkan.
Yang tidak kalah menarik juga terkait dengan fasilitas dasar seperti toilet, air dan catering. Saya kira harus dinegosiasikan mengenai jumlah toilet yang mencukupi terhadap jumlah jamaah haji. Seiring dengan kenaikan jamaah haji seharusnya jumlah toilet juga harus diperbanyak, sehingga tidak terdapat jamaah haji yang buang kotoran di sembarang tempat. Fasilitas toilet ini tentu sangat penting bagi jamaah haji, apalagi rata-rata Jemaah haji Indonesia itu resiko tinggi karena factor usia.
Saya kira ke depan masih ada banyak tugas negosiasi yang harus dilakukan mengingat bahwa keinginan kita ialah memberikan pelayanan yang maksimal. Saya kira kita semua harus bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE ARAB SAUDI LAGI: LAPORAN PENYELENGGARAN HAJI 2017 (3)

KE ARAB SAUDI LAGI: LAPORAN PENYELENGGARAN HAJI 2017 (3)
Sesuai dengan rencana, sore itu setelah mendengarkan laporan Ketua Panitia Penyelenggara Haji Indonesia (PPHI) maka saya dan kawan-kawan akan ke Mekkah dalam rangka melaksanakan ibadah umrah. Ke Arab Saudi terutama ke Mekkah jika tidak melakukan umrah, maka pastilah ada yang kurang. Maka, melakukan umrah tentu bagian dari kewajiban juga bagi saya.
Namun demikian, rapat evaluasi penyelenggaraan haji ini ternyata membutuhkan waktu yang panjang. Sehingga kami harus menunda untuk berangkat ke Mekkah. Sudah terlalu malam jika dihitung dari waktu Indonesia barat (WIB). Saya putuskan besuk pagi saja ke Mekkah.
Pertemuan ini dimulai dengan mendengarkan laporan Pak Dr. Dumyati tentang penyelenggaraan haji tahun 2017. Tahun ini penyelenggaraan haji dapat dinyatakan tidak mengalami kendala yang berarti. Bukan berarti tidak ada masalah akan tetapi kadarnya tentu sangat kecil dan tidak berpengaruh terhadap penyelenggaraan haji secara umum.
Tahun ini kita menerima jamaah haji sebanyak 203.065 orang dan petugas sebanyak 2.534 orang yang diterbangkan dengan 512 kloter. Dari sejumlah 512 kloter tersebut, yang on time performance sebanyak 82,42 persen.
Sebagaimana biasanya, maka jumlah jamaah haji perempuan lebih banyak dibanding lelaki dengan persentase sebesar 55,62 persen perempuan dan 54,38 persen lelaki. Dilihat dari segi pendidikannya, terbanyak ialah lulusan SD/SMP sebesar 45,30 persen. Dari segi usia 51-60 tahun sebesar 34,78 persen dan lanjut usia sebesar 4,37 persen. Dari sejumlah haji tersebut, maka yang tergolong resiko tinggi ialah sebanyak 59 persen, dengan kategori usia 60 tahun dengan penyakit, di atas 60 tahun tanpa penyakit dan di bawah 60 tahun dengan penyakit.
Ditinjau dari sisi akomodasi di Madinah, maka dapat diketahui bahwa jarak terdekat adalah 10 M dan terjauh 1.200 M dari masjid Nabawi. Lama mereka berada di Madinah sebanyak 8,5 hari sehingga seluruh jamaah bisa melaksanakan shalat arbain. Sedangkan akomodasi di Mekkah, mereka menempati tempat di Syisyah, Jarwal, Misfalah, Mahbas Jin dan Aziziyah. Posisi terjauh ialah di Aziziyah dan terdekat di Jarwal. Untuk di Mekkah, jarak tidak menjadi masalah sebab semuanya dilayani dengan Bus Shalawat dengan jam operasi 24 jam.
Ketika mereka berada di Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina), secara umum dapat dinyatakan bahwa keadaan jamaah berada di dalam keamanan dan kenyamanan. Hal itu disebabkan karena fasilitas tenda yang cukup memadai. Memang ada beberapa tenda yang tidak tertutup rapat, tetapi secara umum tidak menjadi hambatan yang serius. Hanya saja yang menjadi masalah ialah ada banyak jamaah haji dengan visa furodah yang disisipkan di dalam jamaah haji Indonesia. Ada 6 (enam) maktab yang disisipi jamaah furodah ini. Tim haji sudah complaint ke Muassasah akan tetapi tidak memperoleh respon yang memadai. Tentu saja kehadiran jamaah furodah ini bisa mengganggu terhadap ketersediaan fasilitas dasar seperti toilet, air dan sebagainya.
Dari aspek catering, juga cukup memadai. Nyaris tidak dijumpai masalah yang serius. Memang ada sedikit problem, misalnya kebakaran dapur, keterlambatan penyediaan karena pasokan air kurang, dan juga kekurangan bahan baku, dan kurangnya tenaga masak dari Indonesia. Ada problem yang dihadapi oleh penyedia catering antara lain ialah tidak dapat menghadirkan chef dari Indonesia karena masalah khusus. Makanya ada banyak tenaga dari India, Pakistan dan sebagainya yang dipekerjakan oleh penyedia katering.
Masalah yang masih mengganjal ialah tentang jamaah pisah rombongan. Di Makkah sebanyak 1524 orang, di madinah sebanyak 1411 orang dan sebanyak 383 yang tersesat di Armuzna. Selain itu juga ada peristiwa criminal, kehilangan, kecelakaan lalu lintas dan jamaah yang hingga kini belum diketahui di mana rimbanya. Ada 2 (dua) orang jamaah haji yang ghaib hingga sekarang.
Seirama dengan semakin banyaknya jamaah haji Indonesia, maka jumlah yang meninggal juga banyak, 615 orang dengan varian usia. Tetapi yang terbesar adalah usia di atas 70 tahun. Jumlah lelaki yang meninggal lebih banyak dibanding jamaah perempuan. Tahun ini jumlah jamaah yang tanazul juga cukup banyak, 818 orang. Di antara alasan tanazul ialah sakit, tertunda keberangkatan, penggabungan mahram dan dinas.
Dengan demikian, problem yang dihadapi penyelenggaraan haji tahun ini ialah penempatan jamaah furodah, penempatan jamaah Malaysia dan Brunei di tenda jamaah haji khusus, timgginya angka kematian, keterlambatan penyediaan catering, kurangnya tenaga catering serta pemindahan penerbangan dari Bandara Halim ke Bandara Soetta di Cengkareng dan penyebaran petugas yang belum optimal.
Meskipun demikian, secara umum bisa dinyatakan bahwa penyelenggaraan haji tahun ini terasa lebih baik dibandingkan tahun lalu. Dan tentu yang diharapkan ialah semakin membaiknya penilaian survey BPS terhadap pelayanan jamaah haji Indonesia. Kiranya memang perlu untuk terus berbenah.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE ARAB SAUDI LAGI: MEMBINCANG JEMAAH UMRAH (2)

KE ARAB SAUDI LAGI: MEMBINCANG JEMAAH UMRAH (2)
Di hari pertama saya di Jeddah, secara tidak langsung kami sempat mendiskusikan tentang penyelenggaraan umrah, sebab sebagaimana disampaikan oleh Pak Dumyati, Kepala TUH di Jeddah, bahwa kebanyakan penyelenggara umrah tidak melaporkan terhadap jamaah umrah yang datang dan pulang kembali di Indonesia. Bahkan dari sejumlah 830.000 lebih jamaah umrah dari Indonesia, hanya 35.000 jamaah saja yang dilaporkan.
Oleh karena itu, kami sengaja mendiskusikan hal ini, secara informal, setelah makan pagi di tempat pemondokan. Sungguh asyik juga membicarakan tentang problema penyelenggaraan umrah yang sudah menjadi domain masyarakat di dalam penyelenggaraannya. Saya bersama Karo Perencanaa, Pak Dr. Ali Rohmat, Pak Syihabuddin, Pak Jemmi, Pak Slamet, Pak Haryanto dan Pak Arfi mendiskusikan hal ini secara sungguh-sungguh.
Topic yang dibicarakan tentu masih di seputar masalah yang sedang dihadapi oleh Kementerian Agama terkait dengan rencana gugatan pembela calon jamaah umrah yang belum diberangkatkan oleh First Travel dan jumlahnya sangat banyak. Tema ini saya kira tetap actual dibicarakan mengingat bahwa ada hak rakyat yang diabaikan oleh pengusaha biro travel atau PPIU First Travel, dan peluang untuk berangkat atau refund belumlah jelas.
Yang menjadi inti pembicaraan ialah tentang bagaimana posisi Kemenag dalam kaitannya dengan First Travel. Sejauh ini memang dipahami bahwa status Kemenag adalah pemberi ijin operasional terhadap PPIU melalui SK Ijin Operasional, yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal PHU atas nama Menteri. Melalui ijin operasional ini, maka PPIU bisa mendaftar terhadap calon jamaah umrah dan menarik uang sesuai dengan perjanjiannya. Di dalam hal ini, maka First Travel mendapatkan ijin operasional pada tahun 2013 dan kemudian pada tahun 2016 memperoleh ijin perpanjangan.
Diskusi ini tentu terkait dengan keberadaan Pak Arfi, yang sering saya goda sebagai wajah First Travel, sebab beliaulah yang banyak tahu tentang First Travel dan bahkan seluruh PPIU yang memperoleh ijin dari Kemenag. Menurut Pak Arfi bahwa semua hal yang terkait dengan ijin penyelenggaraan umrah oleh First Travel sudah on the track. Artinya, bahwa semua persyaratan sudah sesuai dengan SK Dirjen PHU sebagai basis perizinan yang sah. Yang paling mendasar adalah mengenai Akreditasi dan Laporan Keuangan setahun terakhir dengan opini WDP dari akuntan public. Yang lain juga semua clear dan clean.
Memang diakui bahwa penyelenggara akreditasi adalah Ditjen PHU sendiri, sebab memang begitulah regulasinya. Tim ini dikukuhkan melalui SK Dirjen PHU dan mereka bekerja sesuai dengan ketentuan. Jadi yang menyelenggarakan akreditasi adalah tim PHU sendiri dan bukan satu tim ahli yang memang memiliki akreditor yang teruji untuk melakukan akreditasi. Tidak sebagaimana di BAN PT yang menyelenggarakan akreditasi Perguruan Tinggi dengan tim yang benar-benar qualified.
Lalu, terkait dengan opini WDP tentu itu merupakan kewenangan akuntan public yang telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Keuangan. Mereka telah absah sebagai penyelenggara evaluasi dan pemeriksaan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan. Mereka adalah kelompok professional yang bisa memberikan justifikasi apakah keuangan sebuah perusahaan sehat atau tidak dan kemudian memberikan label kewajaran terhadap laporan keuangannya. Berdasarkan penilaian terhadap laporan keuangan di First Travel, maka dipahami bahwa pada tahun 2015 laporan keuangan perusahaan ini sehat dan opininya juga cukup baik, Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Berdasar atas opini dan kesehatan keuangan First Travel, maka terbitlah opini dari Kementerian Agama bahwa First Travel terakreditasi dengan kategori B. Dari sinilah sebenarnya asal muasal mengapa First Travel mendapatkan perpanjangan ijin dari Kemenag.
Dari diskusi panjang di Meja Makan ini, akhirnya disimpulkan beberapa keinginan perbaikan di masa depan. Pertama, perlu melakukan perubahan regulasi terutama yang menyangkut bagaimana Kemenag melakukan “pengetatan” terhadap perizinan PPIU.
Kedua, peran Kemenag harus secara tegas tercantum di regulasi itu untuk melakukan punishment terhadap PPIU yang melakukan kesalahan baik secara berulang-ulang maupun tidak. SPM, proses dan evaluasi serta sangsi harus jelas.
Ketiga, membentuk Tim Akreditasi yang terdiri dari lintas unit atau bahkan lintas kementerian. Lintas unit misalnya dengan melibatkan Inspektorat Jendral, dan kemudian dari antar lembaga misalnya dengan KAN, atau Badan Akreditasi lain dan sebagainya.
Keempat, memperbaiki terhadap instrument akreditasi yang lebih bisa mendeteksi secara utuh tentang kondisi riil di lapangan. Jika diperlukan ada pengamatan lapangan maka harus didesain secara memadai tentang bagaimana kunjungan lapangan tersebut dilakukan.
Kelima, Kemenag bisa melakukan evaluasi yang lebih akurat berdasarkan atas laporan masyarakat maupun media sosial di dalam kerangka untuk memperoleh kebenaran tentang penyelenggaraan umrah.
Keenam, kemenag harus bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah atau lembaga non pemerintah dalam kerangka memahami lebih baik terhadap kesehatan finansial atau penyelenggaraan umrah oleh PPIU.
Ketujuh, kemenag harus memberikan perlindungan kepada jamaah umrah melalui system pendaftaran yang jelas dan memberikan sangsi kepada PPIU yang tidak mengindahkannya. Meskipun yang mendaftarkan adalah PPIU tetapi pendaftaran itu harus melalui Kemenag. Visa tidak akan keluar kalau tidak terdapat nama calon jamaah umrah yang tercantum di dalam daftar calon jamaah umrah di Kemenag.
Kedelapan, control pemerintah harus semakin kuat terhadap penyelenggaraan umrah yang dilakukan oleh masyarakat. Pengawasan ini dapat dilakukan baik di kala keberangkatan, maupun di Arab Saudi dan Kepulangannya.
Kesembilan, melakukan pemetaan terhadap profile PPIU dengan memberiukan kategori yang jelas, PPIU sehat, PPIU kurang sehat dan PPIU tidak sehat. Yang kurang sehat dibina agar menjadi sehat dan yang tidak sehat bisa dipunishmnet yang relevan.
Dengan demikian, memang diperlukan perbaikan system maupun penyelenggaraan umrah oleh masyarakat ini dengan upaya agar pemerintah terlibat lebih aktif di dalam upaya melindungi terhadap jamaah umrah.
Wallahu a’lam bi al shawab.