Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE ARAB SAUDI LAGI; LAPORAN PENYELENGGARAAN HAJI 2017 (4)

KE ARAB SAUDI LAGI; LAPORAN PENYELENGGARAAN HAJI 2017 (4)
Rapat dalam rangka pelaporan penyelenggaraan haji 2017 ternyata memakan waktu yang panjang. Nyaris 2,5 jam. Peserta rapat ini ialah saya (Nur Syam, Sekjen Kemenag), Dr. Ali Rohmat (Kabiro Perencanaan), Syihabuddin (Direktur SDM pada RSH Jakarta), dan beberapa staf dari Ditjen PHU, Dr. Ahmad Dumyati (Ketua PPIH), Dr. Nasrullah Jasam (Kadaker Mekkah), Abdullah (Kabid Katering), Subhan (Kabid Transportasi) Zaitul Mukhlis (Kabid Linjam), Endang Jumali (Kabid Bimbingan Jamaah dan KBIH), Jauhari dan lainnya.
Di dalam kesempatan ini saya memberikan beberapa catatan, pertama, saya mengapresiasi terhadap seluruh pimpinan dan anggota PPIH yang telah sukses menyelenggarakan haji tahun 2017. Apalagi tahun ini ada tambahan Jemaah haji yang sangat signifikan, 52.200 orang. Meskipun jamaahnya bertambah 31 persen tetapi petugas hajinya hanya bertambah 13 persen saja. Jadi berbanding terbalik. Meskipun demikian nyaris tidak ada pemberitaan di berbagai media yang menganggap bahwa penyelenggaraan haji kita lebih jelek dibandingkan dengan tahun lalu. Jadi semoga survey BPS akan memberikan peningkatan kualitas pelayanan terhadap haji kita.
Keberhasilan pelayanan haji tentu karena kerja keras seluruh jajaran Kementerian Agama yang terlibat di dalam penyelenggaraan haji. Berbagai inovasi dalam memberikan pelayanan kepada jamaah tentu bisa menjadi ukuran tentang bagaimana upaya kita untuk menjadi yang terbaik dalam pelayanan jamaah haji.
Kedua, dari sisi pelayanan tentu kita bisa berbangga sebab kiranya pelayanan haji kita semakin membaik dari tahun ke tahun. Namun demikian di kala pelayanan makin baik, maka tuntutan masyarakat ialah pada aspek perlindungan jamaah. Issu tentang perlindungan jamaah menjadi mengemuka seirama dengan terjadinya musibah crane dan Mina tahun 2015. Di kala itu, maka ada banyak usulan agar jamaah haji diberikan perlindungan yang lebih baik melalui beberapa cara di antaranya ialah penerapan gelang berchip atau GPS sehingga akan bisa terpantau di mana tempatnya. Sayangnya bahwa keinginan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik ini terkendala dengan anggaran yang cukup tinggi untuk melakukannya. Diperlukan dana sekurang-kurangnya 200 Milyar rupiah untuk kepentingan ini. Selain itu tentu juga harus menyiapkan untuk pelaksanaan haji tahun depan, 2018, sebab semakin panjang persiapannya tentu akan semakin baik hasilnya.
Ketiga, di dalam evaluasi ini saya melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan, misalnya di dalam penyajian data, kiranya perlu ada perbandingan dengan tahun sebelumnya terutama menyangkut hal-hal yang dianggap penting. Misalnya, jumlah jamaah yang meninggal, yang sakit, yang tersesat dan sebagainya. Hal ini untuk menggambarkan secara riil tentang penyelenggaraan haji kita dari tahun ke tahun.
Lalu catatan penting lainnya ialah terkait dengan istitho’ah kesehatan. Kita merasa tidak nyaman sebab masih ada perbedaan persepsi antara Kemenkes dengan Kemenag tentang definisi dan ukuran isthito’ah kesehatan ini. Sebagai contoh Jemaah yang terkena hemodialisa yang menurut Kemenkes tidak diperkenankan untuk berangkat, akan tetapi yang bersangkutan meminta untuk berangkat. Di dalam perbedaan pandangan ini, maka Kakanwil memberikan rekomendasi untuk berangkat dan akhirnya memang bisa berangkat. Dan ternyata yang bersangkutan bisa menjalankan ibadah haji meskipun harus melakukan cuci darah di tanah suci.
Catatan berikutnya tentang jamaah furodah yang menempati maktab Indonesia. Menurut saya hal ini sebuah pelanggaran terhadap kesepakatan. Sebab seharusnya maktab Indonesia itu diperuntukkan bagi Jemaah haji Indonesia yang terdaftar di dalam system haji Kemenag. Melalui penempatan jamaah furodah di tenda-tenda kita itu tentu akan berakibat terhadap banyak hal, misalnya ketersediaan toilet, air dan fasilitan dasar lainnya. Bahkan juga catering yang bisa saja mereka mengganggu terhadap ketersediaan catering untuk jamaah haji kemenag.
Kemudian juga terkait dengan jamaah haji yang gagal berangkat, baik yang meninggal, sakit atau sebab lain. Setiap tahun selalu saja jumlah yang seperti ini cukup banyak. Di satu sisi daftar tunggu banyak tetapi ada kuota yang tidak terpakai, bukan karena sengaja tidak dimanfaatkan akan tetapi karena visa yang tidak bisa digantikan. Mereka yang gagal ganti ini jumlahnya mencapai angka seribuan. Sudah memperoleh visa berangkat ternyata mereka meninggal atau sakit dan waktu penggantian visa sudah tidak dimungkinkan.
Yang tidak kalah menarik juga terkait dengan fasilitas dasar seperti toilet, air dan catering. Saya kira harus dinegosiasikan mengenai jumlah toilet yang mencukupi terhadap jumlah jamaah haji. Seiring dengan kenaikan jamaah haji seharusnya jumlah toilet juga harus diperbanyak, sehingga tidak terdapat jamaah haji yang buang kotoran di sembarang tempat. Fasilitas toilet ini tentu sangat penting bagi jamaah haji, apalagi rata-rata Jemaah haji Indonesia itu resiko tinggi karena factor usia.
Saya kira ke depan masih ada banyak tugas negosiasi yang harus dilakukan mengingat bahwa keinginan kita ialah memberikan pelayanan yang maksimal. Saya kira kita semua harus bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..