Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE ARAB SAUDI LAGI: MEMBINCANG JEMAAH UMRAH (2)

KE ARAB SAUDI LAGI: MEMBINCANG JEMAAH UMRAH (2)
Di hari pertama saya di Jeddah, secara tidak langsung kami sempat mendiskusikan tentang penyelenggaraan umrah, sebab sebagaimana disampaikan oleh Pak Dumyati, Kepala TUH di Jeddah, bahwa kebanyakan penyelenggara umrah tidak melaporkan terhadap jamaah umrah yang datang dan pulang kembali di Indonesia. Bahkan dari sejumlah 830.000 lebih jamaah umrah dari Indonesia, hanya 35.000 jamaah saja yang dilaporkan.
Oleh karena itu, kami sengaja mendiskusikan hal ini, secara informal, setelah makan pagi di tempat pemondokan. Sungguh asyik juga membicarakan tentang problema penyelenggaraan umrah yang sudah menjadi domain masyarakat di dalam penyelenggaraannya. Saya bersama Karo Perencanaa, Pak Dr. Ali Rohmat, Pak Syihabuddin, Pak Jemmi, Pak Slamet, Pak Haryanto dan Pak Arfi mendiskusikan hal ini secara sungguh-sungguh.
Topic yang dibicarakan tentu masih di seputar masalah yang sedang dihadapi oleh Kementerian Agama terkait dengan rencana gugatan pembela calon jamaah umrah yang belum diberangkatkan oleh First Travel dan jumlahnya sangat banyak. Tema ini saya kira tetap actual dibicarakan mengingat bahwa ada hak rakyat yang diabaikan oleh pengusaha biro travel atau PPIU First Travel, dan peluang untuk berangkat atau refund belumlah jelas.
Yang menjadi inti pembicaraan ialah tentang bagaimana posisi Kemenag dalam kaitannya dengan First Travel. Sejauh ini memang dipahami bahwa status Kemenag adalah pemberi ijin operasional terhadap PPIU melalui SK Ijin Operasional, yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal PHU atas nama Menteri. Melalui ijin operasional ini, maka PPIU bisa mendaftar terhadap calon jamaah umrah dan menarik uang sesuai dengan perjanjiannya. Di dalam hal ini, maka First Travel mendapatkan ijin operasional pada tahun 2013 dan kemudian pada tahun 2016 memperoleh ijin perpanjangan.
Diskusi ini tentu terkait dengan keberadaan Pak Arfi, yang sering saya goda sebagai wajah First Travel, sebab beliaulah yang banyak tahu tentang First Travel dan bahkan seluruh PPIU yang memperoleh ijin dari Kemenag. Menurut Pak Arfi bahwa semua hal yang terkait dengan ijin penyelenggaraan umrah oleh First Travel sudah on the track. Artinya, bahwa semua persyaratan sudah sesuai dengan SK Dirjen PHU sebagai basis perizinan yang sah. Yang paling mendasar adalah mengenai Akreditasi dan Laporan Keuangan setahun terakhir dengan opini WDP dari akuntan public. Yang lain juga semua clear dan clean.
Memang diakui bahwa penyelenggara akreditasi adalah Ditjen PHU sendiri, sebab memang begitulah regulasinya. Tim ini dikukuhkan melalui SK Dirjen PHU dan mereka bekerja sesuai dengan ketentuan. Jadi yang menyelenggarakan akreditasi adalah tim PHU sendiri dan bukan satu tim ahli yang memang memiliki akreditor yang teruji untuk melakukan akreditasi. Tidak sebagaimana di BAN PT yang menyelenggarakan akreditasi Perguruan Tinggi dengan tim yang benar-benar qualified.
Lalu, terkait dengan opini WDP tentu itu merupakan kewenangan akuntan public yang telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Keuangan. Mereka telah absah sebagai penyelenggara evaluasi dan pemeriksaan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan. Mereka adalah kelompok professional yang bisa memberikan justifikasi apakah keuangan sebuah perusahaan sehat atau tidak dan kemudian memberikan label kewajaran terhadap laporan keuangannya. Berdasarkan penilaian terhadap laporan keuangan di First Travel, maka dipahami bahwa pada tahun 2015 laporan keuangan perusahaan ini sehat dan opininya juga cukup baik, Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Berdasar atas opini dan kesehatan keuangan First Travel, maka terbitlah opini dari Kementerian Agama bahwa First Travel terakreditasi dengan kategori B. Dari sinilah sebenarnya asal muasal mengapa First Travel mendapatkan perpanjangan ijin dari Kemenag.
Dari diskusi panjang di Meja Makan ini, akhirnya disimpulkan beberapa keinginan perbaikan di masa depan. Pertama, perlu melakukan perubahan regulasi terutama yang menyangkut bagaimana Kemenag melakukan “pengetatan” terhadap perizinan PPIU.
Kedua, peran Kemenag harus secara tegas tercantum di regulasi itu untuk melakukan punishment terhadap PPIU yang melakukan kesalahan baik secara berulang-ulang maupun tidak. SPM, proses dan evaluasi serta sangsi harus jelas.
Ketiga, membentuk Tim Akreditasi yang terdiri dari lintas unit atau bahkan lintas kementerian. Lintas unit misalnya dengan melibatkan Inspektorat Jendral, dan kemudian dari antar lembaga misalnya dengan KAN, atau Badan Akreditasi lain dan sebagainya.
Keempat, memperbaiki terhadap instrument akreditasi yang lebih bisa mendeteksi secara utuh tentang kondisi riil di lapangan. Jika diperlukan ada pengamatan lapangan maka harus didesain secara memadai tentang bagaimana kunjungan lapangan tersebut dilakukan.
Kelima, Kemenag bisa melakukan evaluasi yang lebih akurat berdasarkan atas laporan masyarakat maupun media sosial di dalam kerangka untuk memperoleh kebenaran tentang penyelenggaraan umrah.
Keenam, kemenag harus bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah atau lembaga non pemerintah dalam kerangka memahami lebih baik terhadap kesehatan finansial atau penyelenggaraan umrah oleh PPIU.
Ketujuh, kemenag harus memberikan perlindungan kepada jamaah umrah melalui system pendaftaran yang jelas dan memberikan sangsi kepada PPIU yang tidak mengindahkannya. Meskipun yang mendaftarkan adalah PPIU tetapi pendaftaran itu harus melalui Kemenag. Visa tidak akan keluar kalau tidak terdapat nama calon jamaah umrah yang tercantum di dalam daftar calon jamaah umrah di Kemenag.
Kedelapan, control pemerintah harus semakin kuat terhadap penyelenggaraan umrah yang dilakukan oleh masyarakat. Pengawasan ini dapat dilakukan baik di kala keberangkatan, maupun di Arab Saudi dan Kepulangannya.
Kesembilan, melakukan pemetaan terhadap profile PPIU dengan memberiukan kategori yang jelas, PPIU sehat, PPIU kurang sehat dan PPIU tidak sehat. Yang kurang sehat dibina agar menjadi sehat dan yang tidak sehat bisa dipunishmnet yang relevan.
Dengan demikian, memang diperlukan perbaikan system maupun penyelenggaraan umrah oleh masyarakat ini dengan upaya agar pemerintah terlibat lebih aktif di dalam upaya melindungi terhadap jamaah umrah.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..