• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN PRODUK HALAL

PERAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN PRODUK HALAL
Saya memperoleh kesempatan untuk menjadi narasumber dalam acara yang diselenggarakan oleh Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS) yang dilaksanakan di Hotel Santika Premiere Slipi, Jakarta, 12/10/2017. Acara ini dihadiri oleh segenap jajaran pimpinan BRISyariah dari seluruh Indonesia.
Rupanya acara ini memang diselenggarakan dalam rangka untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak untuk menyusun rencana strategi jangka pendek tahun 2018. Makanya acara ini mendatangkan para ahli dari berbagai kalangan, yaitu dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Agama dan sebagainya. Mereka ingin agar ke depan terjadi percepatan pengembangan ekonomi syariah termasuk juga perbankan syariah.
Pada kesempatan ini, saya diberi peluang untuk menjelaskan tentang Jaminan Produk Halal dan bagaimana peran pemerintah di dalam kerangka percepatannya. Makanya, saya sampaikan tiga hal terkait dengan perbincangan ini, yaitu: pertama, dari aspek regulasi, maka keberadaan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, tentu sangat penting, sebab undang-undang ini dirumuskan dalam kerangka menjawab kebutuhan umat Islam yang semakin kuat akan perlunya perlindungan terhadap produk-produk dalam berbagai aspeknya.
Kehadiran regulasi ini tentu akan menjawab terhadap kebutuhan akan makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan barang gunaan untuk bersertifikat halal, sehingga tidak ada keraguan bagi umat Islam untuk memanfaatkannya disebabkan telah sesuai dengan syariat Islam. Seirama dengan semakin kuatnya pemahaman dan pengamalan beragama masyarakat Islam dewasa ini, maka tentu juga menuntut kebutuhan akan kepastian jaminan produk yang digunakannya harus halal, bahkan tidak hanya halal tetapi juga thayiban.
Sesuai dengan regulasinya, maka semua produk yang akan dimanfaatkan oleh umat Islam haruslah berlabel halal melalui sebuah proses sertifikasi halal dan produk tersebut berlabel halal. Sesuai dengan regulasinya, bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal ialah Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama.
Kita harus mengapresiasi terhadap peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selama 24 tahun menyelenggarakan sertifikasi halal. Dan dengan diterbitkannya undang-undang ini, maka kewenangan untuk sertifikasi halal akan dialihkan dari MUI ke Kementerian Agama, dengan catatan bahwa pemerintah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada MUI selaku penentu fatwa halal tertulis. Jadi MUI akan menempati posisi strategis di dalam pelaksanaan Jaminan produk halal, sebagai mitra pemerintah di dalam mengeluarkan fatwa halal tertulis dimaksud. Tanpa fatwa halal tersebut, tidak akan mungkin BPJPH akan mengeluarkan sertifikat halalnya.
Dengan demikian, maka kehadiran undang-undang JPH akan memberikan perubahan secara signifikan terhadap tatanan bisnis industry produk halal, mendorong manufaktur memenuhi standart halal dan mendorong bagi para pebisnis untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan produk halal.
Kedua, pasar produk halal sangat besar di tengah pasar global. Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Demikian pula di negara-negara Timur Tengah. Bahkan perkembangan jumlah umat Islam di Eropa, Amerika dan Australia juga cukup signifikan. Sehingga pasar global umat Islam tentu juga sangat besar. Mereka semakin menyadari akan arti pentingnya menggunakan produk-produk halal dewasa ini. Jika mereka berbelanja di berbagai swalayan akan dilihat terlebih dahulu apakah sudah ada label halalnya atau belum. Makanya, pasar kemudian juga merespon dengan cepat mengenai hal ini. Itulah sebabnya di beberapa negara, seperti Jepang, Korea, Amerika dan sebagainya lalu merasa penting untuk memperoleh informasi mengenai sertifikasi produk halal ini.
Potensi pasar produk halal global tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Food, $1,088 Bilion,2012 expenditure. 2) Finance, $1,354 Billion, 2012 asset. 3) Clothing, $224 Billion, 2012 expenditure. 4) Tourism, $137 Billion, 2012 expediture. 5) Media/Recreation, $151 Billion, 2012 expenditure. 6), Pharmaceutical, $70 Billion, 2012 expenditure. 7) Cosmetics, $26 Billion, 2012 expenditure.
Hal ini memberikan gambaran bahwa produk halal global akan memiliki potensi besar bagi pengembangan ekonomi Islam global dengan sector inti pada makanan, keuangan, pakaian, tourism, media dan rekreasi, kosmetika serta obat-obatan. Potensi ini akan mempengaruhi terhadap struktur ekonomi berbasis pada nilai Islam, mendorong masyarakat membangun retail berbasis kebutuhan customer, dan mendorong terjadinya kebutuhan bisnis customer.
Melalui hal ini, maka akan terjadi penambahan daya saing bagi produk bersertifikat halal di masa yang akan datang. Di dalam konteks ini, maka World Trade Organization (WTO) juga sudah mengakui keberadaan jaminan halal sebagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara produsen. Satu hal lagi yang penting bahwa produk halal akan identic dengan produk berkualitas tinggi. Di dalam konteks agama disebutkan tidak hanya halalan tetapi juga thoyiban.
Ketiga, peran pemerintah menjadi sangat penting di dalam konteks membangun produk halal. Namun demikian di tengah upaya membangun sinergi di dalam percepatan pembangunan, maka sudah dirumuskan tentang sinergi antara masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa action plan (rencana aksi), antara lain, yaitu: 1) masyarakat didorong untuk sadar halal. Harus ada Gerakan Sadar Halal. Jika ini sudah dihasilkan maka masyarakat akan memiliki sikap Halal minded, sehingga tidak akan mengkonsumsi makanan atau minuman jika tidak halal, tidak akan menggunakan bahan gunaan jika tidak halal dan sebagainya. 2) Pemerintah harus mendorong agar masyarakat menjadi semakin sadar halal, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap produk halal, membangun sarana dan prasarana jaminan halal yang mendukung terhadap industry produk halal termasuk kawasan industry produk halal. 3) dunia Usaha juga harus terlibat di dalam proyek Gerakan Sadar Halal dan Gerakan Sadar Jaminan Produk Halal. Di sinilah arti penting dunia perbankan syariah, termasuk di dalamnya ialah Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS) untuk terlibat secara aktif di dalam membangun jaminan produk halal ini.
Saya yakin bahwa ke depan jaminan produk halal akan menjadi issu penting di tengah tuntutan masyarakat akan jaminan produk halal sebagai instrument untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGGAGAS PENTINGNYA PENDIDIKAN TINGGI KHONGHUCU

MENGGAGAS PENTINGNYA PENDIDIKAN TINGGI KHONGHUCU
Acara di Semarang, 11/10/17, itu nyaris tidak bisa saya hadiri, sebab saya nyaris tidak berangkat. Pada hari itu ada tiga acara yang seharusnya saya hadiri, yaitu acara Launching Badan Penyelanggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang dilaksanakan di Aula HM Rasyidi, Kementerian Agama, lalu acara pembinaan ASN di Kantor Wilayah Kementerian Agama di Semarang dan acara Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pendidikan Tinggi Agama Khonghucu.
Acara Launching memakan waktu yang cukup panjang, sebab selain acara pidato dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), DR.Hc. KH. Ma’ruf Amin, juga ada pidato Pimpinan Komisi VIII DPR RI, Dr. Noor Ahmad, dan tentu yang penting adalah acara Pidato Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Pak Menteri yang memang melaunching BPJPH ini. Selain itu juga acara hiburan pembacaan Madihin oleh Ahmad Sya’roni, Kasi Bimas Islam pada Kankemenag Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pembaca Madihin ini sudah saya kenal semenjak lama, sebab jika ada acara di Banjarmasin, pastilah dia yang menjadi penghibur audience. Agamis dan humoris, orangnya.
Itulah sebabnya saya terlambat datang di Bandara Soetta. Kira-kira 5-10 menit pintu masuk pesawat sudah closed. Apa boleh buat, pintu tidak bisa dibuka lagi untuk mempersilahkan saya masuk di dalamnya. Ada alasan teknis, misalnya manifest sudah closed, dan sebagainya. Intinya berangkat ke Semarang jam itu sudah tidak ada peluangnya.
Saya berangkat ke Semarang lumayan sore, sehingga hanya acara di Kanwil yang mungkin bisa saya datangi, sebab saya akan kembali pulang ke Jakarta pada jam 19.30 menit. Sudah saya putuskan untuk satu acara saja yang saya datangi. Akhirnya bertemulah dengan Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Agama Khonghucu, Pak Mudhofier. Melihat kesungguhannya agar saya datang ke acaranya, maka akhirnya saya putuskan untuk menunda kepulangan, dari malam itu menjadi esok pagi.
Saya tentu sangat bersyukur bisa hadir di acara penting ini, sebab di antara hal yang belum terpikirkan secara memadai dari Agama Khonghucu ialah tentang pengembangan pendidikan. Nyaris belum ditemui lembaga pendidikan Khonghucu yang berkualitas apalagi pendidikan tinggi. Nyaris tidak didengar adanya lembaga pendidikan tinggi Khonghucu ini. Makanya, kehadiran saya itu menjadi penting untuk mengajak berpikir kepada seluruh jajaran umat Khonghucu melalui pimpinan-pimpinan di daerahnya agar berpikir bagaimana menghadirkan lembaga pendidikan yang berkualitas.
Saya sampaikan tiga hal terkait dengan meeting ini, yaitu: pertama, saya mengapresiasi acara ini sebagai upaya untuk mempertemukan pemikiran dari seluruh wilayah Indonesia yang memiliki Majelis Agama Khonghucu (MATAKIN) dan juga pejabat structural yang bertanggungjawab atas pengembangan pendidikan agama Khonghucu. Saya berkeinginan bahwa acara seperti ini akan dapat memetakan masalah dan bagaimana cara menyelesaikannya. Makanya, kepada Pak Mudhofier saya pesankan agar merumuskan matrik masalah dan solusi dalam bentuk action plan dan ditentukan siapa yang bertanggungjawab, dan kapan dilakukan kegiatannya untuk memulai menyelesaikan masalah dimaksud.
Kedua, Kementerian agama telah memiliki rencana strategis jangka menengah (RPJMN) di bidang pendidikan, yaitu: 1) perluasan akses dan pemerataan pendidikan, 2) Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing dan 3) penguatan tata kelola. Di dalam konteks ini, maka seluruh jajaran penganut agama Khonghucu harus terlibat secara aktif untuk bisa membangun lembaga pendidikan agar akses pendidikan kita semakin meningkat. Khususnya di pendidikan tinggi, maka kita hanya menyumbang 3,5 persen dari APK Nasional pendidikan tinggi. Gambarannya, jika ada 1 juta mahasiswa di Indonesia, maka Kemenag hanya menyumbang 35.000 mahasiswa.
Saya kira yang utama dari pemangku kepentingan pada Agama Khonghucu ialah berpikir tentang perluasan akses dan pemerataan pendidikan ini. Kita belum bisa bicara pada level peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta penguatan tata kelola, sebab yang penting dipikirkan ialah bagaimana mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan yang ada di dalam Agama Khonghucu. Kita harus rumuskan dengan tegas, kapan dan di mana lembaga pendidikan tinggi Agama Khonghucu dapat didirikan dan berkembang.
Ketiga, untuk mengembangkan lembaga pendidikan tinggi maka ada 3 (tiga) pilar, yaitu masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. Di sini diperlukan partisipasi semua pihak. Masyarakat melalui lembaga-lembaga sosial keagamaan tentu juga harus terlibat di dalam memikirkan dan menggerakkan program pendidikan ini. Masyarakat harus didorong untuk terlibat di dalam pemikiran, pendanaan dan fisikal. Inilah yang saya sebutkan sebagai partisipasi produktif. Jika umat Khonghucu dapat memberikan partisipasi produktifnya, maka dipastikan akan terdapat perubahan yang lebih cepat untuk mengembangkan lembaga pendidikan Khonghucu.
Lalu, pemerintah juga harus terlibat dengan pendanaan dan juga pemikiran. Melalui kekuatan pendanaannya, maka pemerintah bisa menganggarkan untuk anggaran pendidikan agama Khonghucu. Harus dirumuskan secara jelas dan kongkrit tentang apa yang diperlukan dan apa yang bisa dianggarkan oleh pemerintah untuk kepentingan ini. Saya kira jika terdapat perencanaan yang sangat baik dan rasional, maka bukan hal yang sulit untuk menganggarkannya. Semua harus berpikir tentang bagaimana memihak kepada pemberdayaan lembaga pendidikan Agama Khonghucu ini.
Kemudian, dunia usaha juga harus terlibat di dalam penguatan kelembagaan pendidikan tinggi. Dewasa ini sudah dikembangkan satu konsep yang sangat bagus di dalam pembangunan nasional, yaitu sinergi antara masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. Pemerintah sudah berusaha melalui regulasi bahwa dunia usaha harus berpartisipasi produktif dalam pembangunan pendidikan. Melalui Corporate Social Responsibility (CSR), maka dunia usaha harus semakin produktif di dalam membantu pemerintah dan masyarakat untuk mengakselerasi pembangunan.
Saya berkeyakinan bahwa dengan keterlibatan semua pihak untuk mengakselerasi pembangunan pendidikan di Indonesia, maka saya yakin percepatan itu pasti ada. Dan lebih lanjut upaya pencapaian tujuan penguatan pendidikan juga dipastikan akan segera tercapai.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DOCTOR HONORIS CAUSA SEBAGAI PENGHARGAAN (3)

DOCTOR HONORIS CAUSA SEBAGAI PENGHARGAAN (3)
Menjadi doctor tentu idaman bagi mereka yang bisa dikategorikan sebagai well educated. Apapun akan ditempuh oleh seseorang yang memang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk meraihnya. Terutama bagi kaum akademisi, maka status menjadi doctor seakan merupakan kewajiban untuk meraihnya. Tidak hanya membahagiakan bagi diri dan keluarganya, akan tetapi juga bagi mahasiswa, kolega dan institusinya.
Gelar doctor merupakan gelar tertinggi dalam dunia akademik dan merupakan pengakuan akan kapasitas dan kapabilitas yang bersangkutan dengan keilmuan yang mumpuni. Saya kira mereka yang memperoleh gelar doctor melalui jalur akademik perkuliahan tentu tidak diragukan kapasitasnya sebagai seorang doctor. Tidak hanya menguasai disiplin keilmuan yang dikajinya tetapi juga kemampuan metodologis yang baik.
Makanya, ketika saya menjadi Rektor di IAIN Sunan Ampel (kini UIN), maka program yang saya tekankan adalah agar para dosen memperoleh gelar doctor itu dengan memberikan sumbangan pendidikan, sekurangnya-kurangnya untuk 8 (delapan) semester. Minimal mereka tidak mencari-cari uang untuk membayar SPP karena lembaga sudah menyediakannya. Dengan program itu, maka sekarang UIN Sunan Ampel panen doctor sesungguhnya, sebab jumlah doktornya mencapai angka 150 orang lebih. Sekali lagi menjadi doctor bukan hanya kepuasan pribadi (personal satisfaction), tetapi juga kepuasan kelembagaan (institutional satisfaction).
Memang ada 3 (tiga) cara untuk menjadi doctor. 1) Melalui program perkuliahan secara terstruktur yang ditempuh dalam waktu selambat-lambatnya 12 semester atau 6 (enam) tahun. 2) Melalui program by research atau program penelitian, yang tentu juga dengan cara terstruktur. 3) Gelar Doctor yang diberikan oleh Perguruan Tinggi sebagai penghargaan.
Dalam hal terkait dengan gelar Doctor Honoris Causa (DR. Hc.), maka tentu juga terdapat persyaratan secara normative. Persyaratan itu ialah sumbangsihnya bagi kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan. Di dalam konteks ini, maka penghargaan itu diberikan sebagai akibat dari sumbangsihnya bagi masyarakat dalam bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Ada kerja dan produk kerja yang menghasilkan perubahan baik secara organisasional maupun kemasyarakat dan kebangsaan. Saya ingin mengambil contoh Pak Kyai Hasyim Muzadi yang memperoleh penghargaan Doctor Honoris Causa dari IAIN Sunan Ampel di bawah kepemimpinan Prof, Dr. HM. Ridlwan Nasir, MA. Maka yang sangat menonjol dari Pak Hasyim adalah bagaimana Beliau memodernisasikan NU dari organisasi kaum Sarungan yang tradisional dalam lokalitas Indonesia menjadi organisasi modern bertaraf internasional. Beliaulah yang membawa NU ke dunia internasional dengan slogan Islam Rahmatan lil Alamin. Islam damai yang saya kira menjadi wacana dan mempengaruhi terhadap pemahaman dunia internasional tentang Islam. Di saat Islam diterpa issu sebagai agama yang menginspirasi terorisme, maka beliau dengan gagahnya menyatakan bahwa Islam itu agama yang memberikan kerahmatan bagi semua umat manusia.
Kemudian saya ingin menganalisis terhadap Kyai Sahal Mahfudz yang memperoleh gelar Doktor Honoris Causa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan pemikiran dan aplikasi Fiqh Sosial. Selama ini belum ada ulama yang menggagas dan mengaplikasikan tentang fiqh sosial. Selama ini fiqh selalu dikaitkan dengan hukum-hukum agama yang lebih terkait dengan persoalan ibadah atau ritual. Namun di tangan Kyai Sahal, bahwa Fiqh juga bisa dijodohkan untuk membahas persoalan-persoalan keumatan. Bisa terkait dengan ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Perkembangan tentang fatwa-fatwa terkait dengan aspek sosial ekonomi, tentu saja sebagai kelanjutan dari gagasan fiqh sosial yang ditawarkan oleh Kyai Sahal.
Lalu, saya juga ingin memberikan gambaran tentang Pak Kyai Ma’ruf Amin, yang memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sungguh kalau saat ini kita mencari orang yang memiliki sumbangan terbesar dalam pengembangan fatwa-fatwa di bidang ekonomi syariah, maka jawabannya pasti satu, Kyai Ma’ruf Amin adalah orangnya. Beliau adalah figure yang sangat mumpuni terkait dengan ekonomi syariah. Sebagai ketua Dewan Syariah Nasional, maka beliau memang memiliki keahlian yang luar biasa. Pengakuan ini pernah disampaikan oleh Prof. Nasaruddin Umar, yang saya kira Beliau memiliki pengetahuan yang sangat mendasar mengenai Kyai Ma’ruf Amin. Jadi kalau UIN Malang memberikan gelar DR.Hc kepada Pak Kyai, pastilah bukan sesuatu yang keliru, sebab Beliau memang layak mendapatkannya.
Nah, untuk yang lain yang juga mendapatkan gelar DR. Hc., kiranya juga harus merasakan bahwa kehadirannya di dalam bidang yang tengah disandangnya memang kontributif bagi pembangunan bangsa atau pembangunan masyarakat. Jika memang ada sumbangan signifikan bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik , kemasyarakatan dan keagamaan maka tentu absahlah yang bersangkutan memperoleh penghormatan melalui pengukuhan Doktor Honoris Causa.
Saya kira yang menilai layak atau tidaknya tidak hanya Kaum Senator di perguruan tinggi, akan tetapi juga kaum akademisi, kaum intelektual, kaum professional dan bahkan masyarakat. Jadi berbahagialah bagi mereka yang mendapatkan penghargaan gelar Doctor Honoris Causa (DR. Hc) karena memang layak mendapatkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DOCTOR HONORIS CAUSA (DR. HC.) SEBAGAI PENGHARGAAN (2)

DOCTOR HONORIS CAUSA (DR. HC) SEBAGAI PENGHARGAAN (2)
Salah satu kegembiraan saya ialah di kala bisa menghasilkan doctor baik menjadi promotor untuk disertasi bagi mahasiswa strata tiga maupun menjadi promotor untuk program Doctor Honoris Causa. Apalagi jika disertasi itu berkualitas sangat baik dan bisa diterbitkan untuk menjadi buku. Saya kira kebahagiaan seorang dosen atau professor ialah di kala bimbingannya mencapai tingkatan terbaik dalam jenjang pendidikan tertinggi tersebut.
Demikian pula ketika bisa mengantarkan seseorang yang kita anggap memadai untuk memperoleh penghargaan Doctor Haonoris Causa. Maka saya juga merasa bangga bisa mengantarkan Pak Dahlan Iskan dan Pak Azwar Abubakar untuk menjadi Doctor Honoris Causa. Keduanya memang relevan untuk gelar yang bagi banyak orang Indonesia juga ingin diraihnya.
Pak Azwar Abubakar memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari IAIN Ar Raniri Banda Aceh (kini UIN) pada saat Beliau menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Beliau adalah aktivis Partai Amanat Nasional (PAN) dan sebelum menjadi Menpan-RB adalah anggota DPR RI. Beliau memang aktivis partai politik sedari awal. Berbeda dengan Pak Dahlan yang pengusaha, maka Pak Azwar adalah politisi.
Saya mengenal Beliau tidak sebagaimana saya mengenal Pak Dahlan. Saya mengenal Beliau dalam kapasitas hubungan birokrasi yang berlanjut pada relasi personal. Jika Pak Dahlan saya mengenal sedari awal, sebab sama-sama berasal dari Surabaya. Bahkan kantor saya berseberangan dengan Beliau. Pak Dahlan di Gedung Graha Pena dan saya di IAIN Sunan Ampel (kini UIN). Saya mengenal Pak Dahlan jauh sebelum Beliau menjadi Menteri, sebab memang Beliau adalah figure yang sangat popular.
Meskipun saya mengenal Pak Azwar cukup singkat, akan tetapi saya memiliki catatan khusus sebab saya sering diajak bicara untuk pengembangan pendidikan di Indonesia di kantornya. Bahkan bisa 2 (dua) jam saya bersama Beliau mendiskusikan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan keagamaan. Dari diskusi itu, maka Beliau adalah yang memulai terjadinya perubahan demi perubahan status IAIN menjadi UIN dan STAIN menjadi IAIN.
Saya mengetahui bagaimana pemikiran Beliau tentang pentingnya peningkatan kualitas pendidikan Islam. Bagi Beliau pendidikan Islam itu harus maju dan berkualitas. Makanya beliau sangat konsern di dalam keinginannya untuk menjadikan pendidikan Islam itu maju dengan pesat. Pengetahuan Beliau tentang pendidikan Islam sangat baik, disebabkan oleh factor keluarga. Dia mengenal secara mendasar terhadap pendidikan tinggi Islam di Aceh dan juga lainnya. Oleh sebab itu, di saat ada keinginan yang kuat untuk mengubah status dari IAIN menjadi UIN, maka beliau perjuangkan dengan sangat kuat.
Saya terkesan pada saat Beliau mendatangi Pak Joko Santoso, Dirjen Pendidikan Tinggi pada Kemendikbud untuk mengklarifikasi perlunya perubahan dari IAIN Ar Raniri menjadi UIN Ar Raniri. Sebagai menteri justru Beliau yang datang ke Dirjen dan bukan sebaliknya. Terlepas dari aspek perkawanan, sebab pak Dirjen Dikti adalah kawan semasa di ITB, tetapi Beliau mendatangi pejabat di bawahnya bagi saya adalah hal yang istimewa.
Beliaulah yang sebenarnya membuka kran untuk perubahan itu, sebab sebelumnya pintu untuk berubah itu sudah pupus. Dengan persyaratan yang dibuat oleh Deputi Kemenpan-RB yang sangat berat untuk menjadi UIN, maka rasanya tidak ada peluang untuk melakukan perubahan. Maka bagi saya konstribusi besar Pak Azwar adalah di saat Beliau membuka peluang untuk transformasi dimaksud.
Selain kontribusi kelembagaan PTKIN yang berubah, maka kontribusinya bagi masyarakat Aceh di kala penyelesaian masalah atau rekonsiliasi Aceh juga sangat besar. Melalui kerja kerasnya maka telah terjadi perubahan yang sangat mendasar bagi masyakarat Aceh. Dan solusi permanen itu ialah melalui pendidikan. Maka penguatan pendidikan dan keterlibatan masyarakat di dalam bidang pendidikan menjadi sangat mendasar.
Bagi Pak Azwar penyelesaian Aceh tidak lain ialah dengan memberikan pemahaman kepada orang Aceh dan anak Aceh agar berpendidikan yang baik. Jika pendidikannya baik, maka tidak akan tertinggal dari lainnya, sehingga mereka akan bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tetapi jika terus di dalam kebodohan, maka mereka akan merasakan ketidaknyaman kehidupan dan kemudian mereka menganggap bahwa hal itu disebabkan karena mereka tidak merdeka.
Melalui program pendidikan yang terjangkau, maka anak-anak miskin bisa sekolah dan bisa mengakses terhadap kehidupan yang lebih baik di kelak kemudian hari. Ternyata pendidikan menjadi kata kunci bagi proses untuk mendidik anak bangsa agar selalu memiliki rasa kesetiaan terhadap bangsanya.
Jadi, dengan alasan-alasan itu, maka Pak Azwar pantas juga menjadi Doctor Honoris Causa. Dan saya menyaksikan sendiri bagaimana pandangan-pandangan Beliau dan aksi Beliau tentang hal di atas.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DOCTOR HONORIS CAUSA (DR. HC) SEBAGAI PENGHARGAAN (1)

DOCTOR HONORIS CAUSA (DR. HC) SEBAGAI PENGHARGAAN (1)
Di dalam system regulasi kita, maksudnya UU No 12/Tahun 2012, memang sangat dimungkinkan seseorang memperoleh penghargaan dalam dunia akademik yang disebut sebagai Doctor Honoris Causa (DR. Hc) disebabkan karena pengabdiannya kepada dunia pendidikan, sosial, politik, ekonomi keagamaan dan sebagainya. Gelar kehormatan tersebut tentu saja sebagai implikasi bahwa yang bersangkutan memang memiliki kontribusi yang kuat dalam hal di atas.
Akhir-akhir ini kita sedang meributkan terhadap pemberian Gelar Kehormatan atau Gelar Doctor Honoris Causa kepada pimpinan partai politik, sekaligus juga tokoh muda Indonesia, oleh Universitas Airlangga, yaitu Pak Muhaimin Iskandar. Ada banyak komentar dari orang dalam (para dosen Universitas Airlangga), yang tentu bisa menjadi pemicu bagi orang luar untuk juga membicarakannya, termasuk saya.
Gelar serupa juga diberikan dalam waktu yang nyaris berdekatan, yaitu Pak Imam Nahrawi yang memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari UIN Sunan Ampel. Dan juga Ibu Megawati Soekarnoputri, sebagai Doctor Honoris Causa di Universitas Negeri Padang. Ketiganya adalah tokoh politik, Pak Muhaimin dan Pak Imam adalah tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Ibu Mega adalah pimpinan PDI-Perjuangan.
Pak Imam dan Bu Mega tidak menuai keributan akan tetapi Pak Muhaimin “digugat” oleh orang dalam, yaitu para dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Airlangga, yang merasa bahwa ada prosedur yang tidak dilampaui. Saya tidak akan membahas tentang, apakah pemberian gelar DR.Hc., tersebut legal atau tidak legal, procedural atau tidak procedural, karena itu bukan wewenang saya, akan tetapi bagi saya bahwa untuk mendapatkan gelar ini tentu harus melalui proses seleksi yang ketat, dan juga mempertimbangkan sumbangsih yang bersangkutan dalam dunia akademik, sosial, politik, ekonomi, keagamaan dan lain-lain.
Pada tahun-tahun sebelumnya, juga ada beberapa tokoh yang memperoleh gelar DR. Hc., misalnya Kyai Sahal Mahfudz, yang mendapatkan gelar DR. Hc., dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam disiplin keilmuan Fiqh Sosial, lalu Kyai Hasyim Muzadi yang mendapatkan gelar DR. Hc., dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Kyai Tholhah Hasan yang mendpatkan gelar Dr. Hc., dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pak Helmy Faisal Zaini, yang mendapatkan gelar Dr. Hc., dari UIN Sunan Gunung Jati Bandung, Gus Mus yang mendapatkan gelar DR.Hc., dari UIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta, dan Pak Suryadharma Ali, yang mendapatkan gelar Dr., Hc., dari UIN Maulana Malik Ibrahim dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan Dr. Hc. ini, saya pernah menjadi promotor dua orang hebat, yang saya kira relevan kalau mendapatkan gelar DR. Honoris Causa. Mereka adalah Pak Dahlan Iskan dan Pak Azwar Abubakar. Pak Dahlan dikukuhkan sebagai DR. Honoris Causa di UIN Walisongo Semarang dan Pak Azwar dikukuhkan sebagai DR. Honoris Causa di UIN Ar Raniri Banda Aceh.
Pak Dahlan Iskan adalah seorang pengusaha sukses yang dapat membangun kerajaan bisnis Jawa Pos, sebuah perusahaan media yang sukses berekspansi di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Media ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses mengawal pembangunan melalui berita-beritanya yang akurat dan terpercaya. Jika orang hidup di Surabaya, rasanya belum membaca berita kalau belum membaca Jawa Pos. Perusahaan ini kemudian berekspansi ke dalam jaringan bisnis media yang meraksasa.
Beliau pernah menjadi Menteri BUMN di era Pak SBY dan kemudian juga nyaris memenangkan pertarungan untuk menjadi calon presiden melalui jalur konvensi Partai Demokrat. Sayangnya bahwa terakhir upaya ini tidak diteruskan. Memang Pak Dahlan bukan politisi. Beliau adalah pengusaha yang gigih dan berangkat from the zero. Selain itu Beliau juga penulis yang hebat. Puluhan buku sudah ditulisnya. Jika Beliau menulis maka bahasanya mengalir bak air sungai yang mengalir dengan lancar. Maklum Beliau adalah mantan wartawan Tempo yang sudah sangat teruji.
Berdasar atas tulisan-tulisan itu, maka Prof. Muhibbin memberinya gelar DR. Hc di dalam bidang ilmu Komunikasi dan Dakwah pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang.
Sebagai promotor, saya sudah mempertanggungjawabkannya pada Sidang Senat Terbuka di UIN Walisongo Semarang. Saya menyatakan bahwa beliau sangat layak memperoleh gelar ini karena pengabdiannya yang luar biasa dalam dunia bisnis dan juga dalam dunia media komunikasi, yang bisa memberi inspirasi bagi kaum akademisi dan masyarakat umumnya untuk berpikir dan berpikir tentang bagaimana setiap gagasan yang dilahirkan tentu akan memiliki implikasi pengaruh bagi lainnya.
Saya kira, pemberian gelar DR. Hc., bagi Pak Dahlan tentu sangat relevan dalam kaitannya dengan membangun imaje bagi UIN Walisongo Semarang, yang berhasil memberikan gelar itu kepada Beliau. Di dalam konteks ini, maka tiada suatu hal yang meragukan bagi pemberian Gelar DR. Hc., karena memang sangat relevan, selain procedural juga sangat relevan dalam kaitannya dengan kemampuan dan sumbangsihnya dalam pembangunan bangsa dan khususnya di bidang komunikasi. Jadi, sesungguhnya pemberian gelar DR. Hc., itu bukan semata-mata karena orang popular, akan tetapi juga orang yang memiliki sumbangan nyata di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wallahu a’lam bi al shawab.