Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DOCTOR HONORIS CAUSA (DR. HC.) SEBAGAI PENGHARGAAN (2)

DOCTOR HONORIS CAUSA (DR. HC) SEBAGAI PENGHARGAAN (2)
Salah satu kegembiraan saya ialah di kala bisa menghasilkan doctor baik menjadi promotor untuk disertasi bagi mahasiswa strata tiga maupun menjadi promotor untuk program Doctor Honoris Causa. Apalagi jika disertasi itu berkualitas sangat baik dan bisa diterbitkan untuk menjadi buku. Saya kira kebahagiaan seorang dosen atau professor ialah di kala bimbingannya mencapai tingkatan terbaik dalam jenjang pendidikan tertinggi tersebut.
Demikian pula ketika bisa mengantarkan seseorang yang kita anggap memadai untuk memperoleh penghargaan Doctor Haonoris Causa. Maka saya juga merasa bangga bisa mengantarkan Pak Dahlan Iskan dan Pak Azwar Abubakar untuk menjadi Doctor Honoris Causa. Keduanya memang relevan untuk gelar yang bagi banyak orang Indonesia juga ingin diraihnya.
Pak Azwar Abubakar memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari IAIN Ar Raniri Banda Aceh (kini UIN) pada saat Beliau menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Beliau adalah aktivis Partai Amanat Nasional (PAN) dan sebelum menjadi Menpan-RB adalah anggota DPR RI. Beliau memang aktivis partai politik sedari awal. Berbeda dengan Pak Dahlan yang pengusaha, maka Pak Azwar adalah politisi.
Saya mengenal Beliau tidak sebagaimana saya mengenal Pak Dahlan. Saya mengenal Beliau dalam kapasitas hubungan birokrasi yang berlanjut pada relasi personal. Jika Pak Dahlan saya mengenal sedari awal, sebab sama-sama berasal dari Surabaya. Bahkan kantor saya berseberangan dengan Beliau. Pak Dahlan di Gedung Graha Pena dan saya di IAIN Sunan Ampel (kini UIN). Saya mengenal Pak Dahlan jauh sebelum Beliau menjadi Menteri, sebab memang Beliau adalah figure yang sangat popular.
Meskipun saya mengenal Pak Azwar cukup singkat, akan tetapi saya memiliki catatan khusus sebab saya sering diajak bicara untuk pengembangan pendidikan di Indonesia di kantornya. Bahkan bisa 2 (dua) jam saya bersama Beliau mendiskusikan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan keagamaan. Dari diskusi itu, maka Beliau adalah yang memulai terjadinya perubahan demi perubahan status IAIN menjadi UIN dan STAIN menjadi IAIN.
Saya mengetahui bagaimana pemikiran Beliau tentang pentingnya peningkatan kualitas pendidikan Islam. Bagi Beliau pendidikan Islam itu harus maju dan berkualitas. Makanya beliau sangat konsern di dalam keinginannya untuk menjadikan pendidikan Islam itu maju dengan pesat. Pengetahuan Beliau tentang pendidikan Islam sangat baik, disebabkan oleh factor keluarga. Dia mengenal secara mendasar terhadap pendidikan tinggi Islam di Aceh dan juga lainnya. Oleh sebab itu, di saat ada keinginan yang kuat untuk mengubah status dari IAIN menjadi UIN, maka beliau perjuangkan dengan sangat kuat.
Saya terkesan pada saat Beliau mendatangi Pak Joko Santoso, Dirjen Pendidikan Tinggi pada Kemendikbud untuk mengklarifikasi perlunya perubahan dari IAIN Ar Raniri menjadi UIN Ar Raniri. Sebagai menteri justru Beliau yang datang ke Dirjen dan bukan sebaliknya. Terlepas dari aspek perkawanan, sebab pak Dirjen Dikti adalah kawan semasa di ITB, tetapi Beliau mendatangi pejabat di bawahnya bagi saya adalah hal yang istimewa.
Beliaulah yang sebenarnya membuka kran untuk perubahan itu, sebab sebelumnya pintu untuk berubah itu sudah pupus. Dengan persyaratan yang dibuat oleh Deputi Kemenpan-RB yang sangat berat untuk menjadi UIN, maka rasanya tidak ada peluang untuk melakukan perubahan. Maka bagi saya konstribusi besar Pak Azwar adalah di saat Beliau membuka peluang untuk transformasi dimaksud.
Selain kontribusi kelembagaan PTKIN yang berubah, maka kontribusinya bagi masyarakat Aceh di kala penyelesaian masalah atau rekonsiliasi Aceh juga sangat besar. Melalui kerja kerasnya maka telah terjadi perubahan yang sangat mendasar bagi masyakarat Aceh. Dan solusi permanen itu ialah melalui pendidikan. Maka penguatan pendidikan dan keterlibatan masyarakat di dalam bidang pendidikan menjadi sangat mendasar.
Bagi Pak Azwar penyelesaian Aceh tidak lain ialah dengan memberikan pemahaman kepada orang Aceh dan anak Aceh agar berpendidikan yang baik. Jika pendidikannya baik, maka tidak akan tertinggal dari lainnya, sehingga mereka akan bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tetapi jika terus di dalam kebodohan, maka mereka akan merasakan ketidaknyaman kehidupan dan kemudian mereka menganggap bahwa hal itu disebabkan karena mereka tidak merdeka.
Melalui program pendidikan yang terjangkau, maka anak-anak miskin bisa sekolah dan bisa mengakses terhadap kehidupan yang lebih baik di kelak kemudian hari. Ternyata pendidikan menjadi kata kunci bagi proses untuk mendidik anak bangsa agar selalu memiliki rasa kesetiaan terhadap bangsanya.
Jadi, dengan alasan-alasan itu, maka Pak Azwar pantas juga menjadi Doctor Honoris Causa. Dan saya menyaksikan sendiri bagaimana pandangan-pandangan Beliau dan aksi Beliau tentang hal di atas.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..