• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RISET PERGURUAN TINGGI UNTUK HALAL INDONESIA

RISET PERGURUAN TINGGI UNTUK HALAL INDONESIA
Salah satu di antara pasal dan ayat-ayat di dalam Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Jaminan Produk Halal, sebagai turunan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ialah mengenai masih belum tersedianya bahan baku obat dan kosmetika yang dipastikan kehalalannya.
Makanya, salah satu keberatan yang dilayangkan oleh Kementerian Kesehatan terkait dengan RPP Jaminan Halal adalah tentang mandatory halal untuk produk obat-obatan. Sebagaimana diketahui bahwa untuk bahan baku obat-obatan memang belum seluruhnya berasal dari barang-barang halal. Itulah yang dikhawatirkan oleh Kemenkes bahwa jika penerapan mandatory tersebut diterapkan dengan “ketat” maka akan terjadi kelangkaan obat-obatan yang tentu saja akan membahayakan bagi dunia kesehatan.
Sebenarnya di dalam Islam terdapat konsep “darurat”, yaitu sebuah kondisi keterpaksaan yang tidak bisa ditawar. Jika sebuah keadaan memaksa harus menggunakan sesuatu yang tidak halal karena hanya itu satu-satunya solusi, maka hukum “darurat” akan bisa diterapkan. Dalam konteks obat-obatan, maka jalan keluarnya sesuai dengan kaidah fiqih ialah keadaan darurat tersebut.
Selain itu, di dalam penerapan undang-undang JPH juga diberikan peluang untuk menerapkan mandatory secara bertahap. Kata mandatory bertahap ini menjadi perdebatan yang sangat panjang, sebab terjadi dualism pendapat, yaitu: mandatory atau voluntary. Sebagian anggota Panja DPR menginginkan voluntary dan sebagian lainnya menginginkan mandatory. Konsep “mandatory bertahap” adalah jalan keluar untuk mencapai kesepakatan mengenai mandatory dimaksud. Memang penyelenggaraan halal adalah kewajiban akan tetapi tetap saja dilakukan secara bertahap, yang akan dimulai tahun 2019. Jadi 5 (lima) tahun setelah diundangkan, maka sertifikat halal menjadi kewajiban, tetapi tidak serta merta semuanya. Di sinilah sesungguhnya peluang yang diberikan oleh undang-undang ini untuk memberikan kelonggaran bagi produk yang memang secara hakiki belum bisa memenuhi persyaratan halal.
Memang ada perdebatan, apakah jenis obat yang belum memenuhi standart halal tersebut dicantumkan tentang bahan-bahan yang belum memenuhi standart halal atau tidak. Dalam pandangan saya, maka tidak harus mencantumkan bahan-bahan obat yang belum memenuhi standart halal, sebab hal ini tentu akan mengurangi kepercayaan masyarakat untuk menggunakannya. Obat sebagai salah satu aspek instrument penyembuh, maka keyakinan tentang obat yang diminum tentu menjadi sangat penting. Jadi tidak boleh ada keraguan tentang obat yang akan diminumnya.
Di sinilah arti penting untuk menciptakan substitusi bahan obat-obatan yang memenuhi persyaratan halal. Bagi saya, tugas untuk menemukan bahan halal bagi obat-obatan yang akan menjadi pengganti bahan obat-obatan yang belum berstandart halal ialah perguruan tinggi. Saya tentu berharap bahwa dengan diterbitkannya undang-undang jaminan halal, maka akan dapat memacu dan memicu perguruan tinggi untuk melakukan research yang secara spesifik menjawab terhadap kebutuhan pasar akan bahan-bahan obat dan kosmetika yang memenuhi standart halal.
Perguruan tinggi harus terpanggil untuk menjadikan halal Indonesia sebagai sasaran research akademisnya. Di dalam konteks ini, maka perguruan tinggi berkewajiban baik secara akademis maupun moral untuk menghadirkan bahan baku obat-obatan dan kosmetika yang memenuhi standart halal dimaksud. Untuk kepentingan ini, maka ada tiga hal yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi, yaitu: pertama, mengembanglkan kepedulian tentang program pemerintah strategis dalam bidang produk halal. Peran perguruan tinggi sangat urgen di dalam melakukan penelitian yang excellence dalam bidang penyediaan bahan-bahan produksi obat yang memenuhi standart halal. Para pimpinan perguruan tinggi harus berpikir secara lebih terfokus untuk menyongsong halal Indonesia ini, sebab ke depan akan semakin kuat tuntutan agar bahan pengganti bahan obat-obatan dan kosmetika yang belum memenuhi standart halal tersebut akan bisa dipenuhi.
Bagi saya, fakultas-fakultas sain dan teknologi harus mengembangkan riset aplikatif terkait dengan penemuan bahan substitusi untuk obat dan kosmetika ini. BPJPH dan masyarakat konsumen akan sangat menunggu terhadap hasil penelitian di bidang bahan obat-obatan dan kosmetika seirama dengan tuntutan akan produk halal. Riset di bidang penyediaan bahan obat-obatan dan kosmetika harus menjadi prioritas.
Kedua, membuat pemetaan terhadap jenis obat-obatan dan kosmetika yang belum memenuhi standart halal lalu membuat schedule yang mantap tentang kapan dan siapa penanggungjawabnya di dalam mengimplementasinya terhadap pemenuhan bahan obat dan makanan dimaksud.
Jika diperlukan –sesuai dengan laboratorium yang dimiliki—maka dapat dilakukan dengan mengedepankan peluang pada masing-masing Perguruan tinggi untuk menemukan sesuatu yang unik dan factual tentang bahan substitute untuk mengganti bahan baku obat atau kosmetika yang belum memenuhi standart halal. Memang dipastikan bahwa tugas ini tidak mudah, sebab tentu harus melibatkan banyak ahli di bidang biologi, kimia, dan sebagainya dalam kerangka untuk mengganti bahan obat dari gelatin dan sebagainya.
Ketiga, membangun jejaring antar perguruan tinggi. Saya berpendapat bahwa untuk menemukan bahan-bahan pengganti obat dan kosmetika yang belum berstandart halal harus dilakukan secara bersama-sama. Makanya, harus ada sinergi antar perguruan tinggi dengan keahlian dosennya masing-masing. Bahkan juga sinergi laboratorium, dan sebagainya. Bukankah di luar negeri juga banyak sinergi yang dilakukan oleh para professor di dalam kerangka untuk menemukan sesuatu yang baru. Ada banyak penerima hadiah Nobel yang dihasilkan dari kerja sama ini.
Yang tidak kalah menarik juga kerja sama dengan perusahaan. Saya kira untuk memenuhi mandatory halal untuk semua produk, maka perusahaan juga akan sangat berkepentingan untuk memenuhi standart halal pada semua produknya, terutama untuk obat dan kosmetika. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya bagi perguruan tinggi untuk melakukan kerja sama riset dalam kerangka membantu pemerintah menyukseskan program halal Indonesia.
Jadi peluang perguruan tinggi sangat besar untuk membantu dunia usaha, pemerintah dan masyarakat berkaitan dengan keinginan untuk mewujudkan jaminan produk halal bagi masyarakat Muslim. Dan peluang untuk hal ini tentu sangat terbuka.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMBANGUN SINERGI UNTUK HALAL INDONESIA

MEMBANGUN SINERGI UNTUK HALAL INDONESIA
Yang mesti menjadi pemikiran bagi Kementerian Agama ialah bagaimana bisa menyelenggarakan jaminan halal atau sertifikasi halal menjadi lebih bermakna di masa depan. Harapan kita tentu penyelenggaraan sertifikasi halal akan lebih maju dibandingkan dengan di kala diselenggarakan oleh MUI.
Sebagaimana diketahui bahwa MUI sudah 24 tahun menyelenggarakan sertifikasi halal dan dipercaya oleh pemerintah Indonesia untuk sertifikasi halal dan hasilnya tentu sudah bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia melalui label halal pada makanan dan minuman serta beberapa produk lainnya.
Sebagai lembaga nonpemerintah, maka MUI tentu memiliki keterbatasan dalam penganggaran untuk sertifikasi halal ini. Dengan kata lain, bahwa urusan sertifikasi halal sangat tergantung kepada para pelaku usahanya. Meskipun demikian, MUI telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan berkualitas.
Tentu kita merasa bersyukur bahwa di dalam proses penyelenggaraan sertifikasi halal ini MUI memiliki peran strategis yaitu sebagai penentu kehalalan produk. Jadi untuk memberikan fatwa tentang produk halal maka MUI memiliki kekuatan secara regulative dan menentukan. Makanya kerja sama antara BPJPH dan MUI harus didasari oleh kepentingan bersama dalam rangka menyukseskan program pemerintah dalam sertifikasi produk halal.
Ada beberapa variabel yang ke depan penting untuk dipertimbangkan mengapa sertifikasi halal menjadi penting. Pertama, semakin tingginya kesadaran umat Islam Indonesia yang memerlukan produk halal. Di Indonesia, tahun 2030 akan memiliki kelas menengah besar di dunia. Dengan jumlah umat Islam kira-kira menjadi 230 juta, maka 100 juta di antaranya adalah kelas menengah Islam yang tentu memiliki kesadaran yang tinggi tentang keislamannya.
Mereka adalah sekelompok orang Indonesia yang semakin baik pemahaman keagamaannya, dan juga semakin baik pengamalan keagamaannya. Mereka pasti membutuhkan produk-produk halal sebagai ketentuan syariah yang harus dipenuhi. Mereka akan membutuhkan produk makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan, dan barang gunaan yang memenuhi kriteria halal dan bahkan yang thayiban. Jadi halalan thayiban. Merekalah yang akan menjadi big market dalam produk halal.
Kesadaran seperti ini sungguh dimiliki oleh produsen-produsen dari luar negeri, seperti Korea Selatan, Cina, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa. Mereka memiliki produk yang sebenarnya telah memasuki kawasan Indonesia namun belum memiliki sertifikasi halal, sehingga mereka akan secara mendasar membutuhkan produk halal dimaksud.
Makanya, jika sekarang ini sudah banyak orang Korea, Jepang, Amerika dan Cina yang datang berkunjung ke BPJPH, tentu disebabkan oleh keinginannya agar dapat terus bermain dalam import bahan-bahan makanan, misalnya daging, dan juga produk makanan dan minuman kemasan, serta barang-barang gunaan produk yang mereka perdagangkan di Indonesia. Mereka merasakan bahwa dengan status mandatory halal itu, maka produk mereka akan bisa tergusur jika mereka tidak melakukan upaya secepatnya untuk kejelasan produk halal di Indonesia.
Kedua, variabel pasar besar masyarakat Indonesia dalam produk halal. Sebagai negara dengan umat Islam secara mayoritas, maka pantaslah jika Indonesia menjadi rebutan dari pasar dunia terkait dengan produk-produk dunia industry. Makanya, ke depan akan terjadi “pertarungan” yang sangat kuat antar negera untuk memperebutkan pasar tersebut. Sebagai bagian tidak terpisahkan dari dunia global, pastilah negara tidak akan bisa memberikan proteksi terhadap suatu produk, maka yang secara selektif akan melakukannya adalah masyarakat sendiri, dan dapat dipastikan bahwa kata kuncinya ialah “produk halal”.
Di dalam konteks halal, maka potensi produk halal tentu sangat besar. Potensi pasar produk halal global tersebut ialah: 1) Food, $1,088 Bilion,2012 expenditure. 2) Finance, $1,354 Billion, 2012 asset. 3) Clothing, $224 Billion, 2012 expenditure. 4) Tourism, $137 Billion, 2012 expediture. 5) Media/Recreation, $151 Billion, 2012 expenditure. 6), Pharmaceutical, $70 Billion, 2012 expenditure. 7) Cosmetics, $26 Billion, 2012 expenditure. Dengan angka sebesar ini, maka akan dapat dipastikan bahwa banyak produsen yang akan terlibat di dalam upaya sertifikasi halal.
Ketiga, variabel kerja sama. Di era global seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa suatu negara tidak akan dapat memproteksi terhadap berbagai produk untuk terhalangi masuk ke negara itu. Di era perdagangan bebas, maka setiap negara harus membuka negaranya untuk bekerja sama dalam perdagangan internasional. Di tengah kerja sama ini, maka yang menjadi indicator pentingnya ialah bagaimana masyarakat merespon terhadap produk dimaksud.
BPJPH sebagai kepanjangan tangan pemerintah tentu memiliki peran penting di dalam membangun kerja sama dimaksud. BPJPH harus mengambil inisiatif untuk meraih kerja sama dengan sesama lembaga jaminan produk halal baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam konteks ini, maka perluasan kerja sama yang selama ini sudah dilakukan oleh MUI akan dapat di take over untuk dikembangkan lebih lanjut.
Bagi saya, keberadaan BPJPH akan menjadi salah satu tonggak penting di dalam pemberlakuan halal Indonesia yang mandatory dan rasanya Indonesia akan menjadi role model bagi negara lain yang penduduknya mayoritas Muslim. Salah satu yang diapresiasi oleh Jabatan Kemajuan Islam (JAKIM) yang membawahi Malaysia Halal Center (MYHAC) adalah keberanian pemerintah Indonesia untuk menerapkan kewajiban halal bagi seluruh produk.
Jadi sebenarnya kita bisa lebih leading di dalam penyelenggaraan jaminan halal melalui program sertifikasi halal. Jadi semuanya terpulang kepada kesiapan kita untuk merealisasikannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DIALOG ISLAM-KHONGHUCU UNTUK HARMONI INDONESIA

DIALOG ISLAM-KHONGHUCU UNTUK HARMONI INDONESIA
Hari Senin, 16/10/2017, di Hotel Hariston Jakarta diselenggarakan acara Dialog Islam dan Khonghucu oleh MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) yang diikuti oleh sejumlah negara, antara lain: Mesir, Singapura, Brunei Darussalam, China, Hongkong, Jepang dan sebagainya. Acara ini dibuka oleh Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin.
Acara ini merupakan rangkaian peringatan Kelahiran Nabi Agung, Khong Zhi, 2568. Selain itu, pada hari berikutnya, Selasa, 17/10/17, juga diselenggarakan Kongres Agama Khonghucu se dunia yang juga diselenggarakan di tempat yang sama. Hadir pada acara ini ialah seluruh mantan pimpinan Khonghucu sebelumnya. Juga hadir Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Agama Khonghucu, M. Mudhofir.
Ada dua sessi dialog yang diselenggarakan yaitu sessi pertama dan kedua. Saya termasuk yang dijadikan sebagai nara sumber pada sessi pertama dengan sejumlah narasumber lainnya. Saya kira ini merupakan dialog yang sangat padat, sebab di sessi pertama itu menampilkan 12 orang dari tokoh-tokoh Agama Islam dan tokoh-tokoh Agama Khonghucu.
Dari 12 orang narasumber tersebut ialah, saya (Prof. Nur Syam, Sekjen Kemenag), Prof. Dien Syamsuddin (Dewan Pertimbangan MUI), Prof. Jimly Ash Shiddiqi (Ketua ICMI), Prof. Syafiq Mughni (Pimpinan Muhammadiyah), Prof. Komaruddin Hidayat (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Djaengrono Ongawijaya (Pimpinan MATAKIN), Uung Sendana L. Linggaraja (Ketua MATAKIN), Wawan Wiratna (Mantan Ketua MATAKIN), Dr. Ongky Setio Kuncoro, Victor R. Hartono (PT Djarum Kudus), Mulyadi, dan Budi S. Tanuwibowo. Acara sessi pertama dipimpin oleh Budi S. Tanuwibowo, yang juga mantan Ketua MATAKIN.
Sebagai pembuka sessi ini adalah Prof. Dien Syamsuddin. Beliau mengungkapkan bahwa antara Islam dan Khonghucu terdapat persamaan dan tentu juga perbedaan. Oleh karena itu, jangan kita membesarkan perbedaan sehingga yang tampak adalah hanya perbedaannya saja, akan tetapi juga harus diakui keberadaan persamaannya, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran agama yang universal, seperti keadilan, kejujuran dan sebagainya. Prof. Jimly menekankan pada aspek sejarah legalitas Khonghucu sebagai agama yang diabsahkan sesuai dengan regulasi tentang agama di Indonesia, Prof. Komar banyak bercerita tentang ajaran dasar Khonghucu dalam kaitannya dengan Islam dan Prof. Syafiq bercerita tentang pengalaman Muhammadiyah dalam mengelola pendidikan. Ternyata bahwa pendidikan bisa menjadi medium untuk membangun kerukunan beragama. Di Universitas Muhammadiyah Kupang, ternyata jumlah mayoritas mahasiswanya justru beragama Kristen.
Sebagai pembicara ke 11, tentu memiliki tantangannya sendiri. Saya nyatakan, “sebagai pembicara ke 11 saya merasa bahwa semua yang sudah saya catat untuk saya sampaikan ternyata sudah disampaikan oleh narasumber sebelumnya. Makanya, saya hanya akan menyampaikan hal-hal yang kira-kira belum disampaikan atau hanya sekedar menggarisbawahi saja”.
Di dalam konteks ini, saya sampaikan 3 (tiga) hal mengapa kita harus bersyukur kepada Allah swt atau Tien yang Maha Esa. Sebagai bangsa yang besar kita merasa beruntung bahwa kita memiliki kesadaran yang sangat tinggi dalam membangun kerukunan. Pertama, kita bersyukur bahwa secara konseptual maupun praksis kita memiliki kebijakan “Tri Kerukunan Beragama” yang sangat fenomenal. Pak Alamsyah Ratu Perwiranegara (mantan Menteri Agama), merupakan pencetusnya. Kita berhutang budi kepada beliau. Yaitu, kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Kita yang sekarang melaksanakan dialog antar umat beragama ini, adalah bagian dari pengamalan tri kerukunan umat beragama yang sudah menjadi tradisi kita semua.
Tidak hanya kerukunan antar umat beragama tetapi juga kerukunan intern umat beragama. Jangan dikira bahwa tidak ada “gesekan” intern umat beragama. Di dalam intern umat beragama juga ada perbedaan yang tidak bisa dikompromikan. Bahkan dalam urusan ritual. Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi besar di Indonesia juga memiliki perbedaan-perbedaan, misalnya dalam shalat saja terdapat 11 perbedaan sesuai dengan penelitian saya di Mayong Jepara Jawa Tengah.
Kita semakin bersyukur sebab relasi antara umat beragama dengan pemerintah sangat baik. Berbeda dengan era Orde Baru yang relasi antar umat beragama dengan pemerintah itu fluktuatif, maka sekarang cenderung sangat baik. Agama dan negara berhubungan secara simbiosis mutualisme. Negara membutuhkan agama sebagai basis moralitas dan agama membutuhkan negara untuk pengembangan dan menjaga harmonisasi agama-agama.
Kedua, kita bersyukur sebab sebagai umat beragama kita memiliki konsep dan praksis ujaran “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan”. Melalui pentradisian pemikiran ini, maka semua pemeluk agama di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu memiliki kesamaan visi untuk membangun keragaman menjadi kekuatan. Keragaman bukan malapetaka akan tetapi modal sosial dan budaya untuk membangun kesatuan dan persatuan bangsa. Di antara agama-agama ini yang berpotensi untuk “tegang” adalah agama Kristen, sebabnya ada sebanyak 430 lebih denominasi dan setiap denominasi harus memiliki Gereja sendiri-sendiri. Namun sejauh ini masih bisa dimanej dengan baik dan berselaras.
Ketiga, kita juga bersyukur sebab pemerintah telah merespon keinginan umat Khonghucu untuk memiliki struktur tersendiri di dalam birokrasi Kemenag. Kita telah memiliki Pusat Bimbingan dan Pendidikan Agama Khonghucu. Hanya sayangnya bahwa SDM kita terbatas. Rasanya “kawan Khonghucu itu lebih suka berdagang dari pada menjadi PNS”. Ke depan tentu harus dipikirkan bagaimana mengisi kekosongan ini.
Dan yang tidak kalah penting ialah mengembangkan pendidikan, terutama lembaga pendidikan tinggi. Jika kita ingin mewujudkan tema dialog kita hari ini “membangun harmoni dan jalan tengah untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia” maka yang sangat dibutuhkan ialah memperkuat pendidikan.
Oleh karena itu, mari kita pikirkan kapan umat Khonghucu memiliki lembaga pendidikan yang baik, dan memiliki SDM yang berkualitas. Semua ini harus dijawab pada era sekarang dan akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

NEGARA, MUI DAN SERTIFIKASI HALAL

NEGARA, MUI DAN SERTIFIKASI HALAL
Kita bersyukur karena Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, telah melakukan launching terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), pada Rabu, 11/10/2017, yang lalu. Acara yang diselenggarakan di Aula HM Rasyidi ini dihadiri oleh banyak kalangan, baik pejabat maupun pemerhati jaminan produk halal di Indonesia.
Acara penting ini untuk memberikan penegasan bahwa Kementerian Agama ke depan yang akan menyelenggarakan jaminan produk halal, sebagaimana mandat dari Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Melalui mandat Undang-Undang ini, maka sahlah pemerintah melakukan sertifikasi halal, yang selama ini dimandatkan oleh pemerintah kepada MUI. Jadi memang ke depan, MUI tidak lagi sebagai penyelenggara jaminan produk halal, akan tetapi pemerintah di dalam hal ini ialah Kementerian Agama yang akan menyelenggarakannya melalui suatu badan khusus, BPJPH.
Sesuai dengan amanah Undang-Undang JPH, maka pemerintah akan melakukan sertifikasi produk baik makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan barang gunaan. Nyaris tidak ada produk yang bisa terlepas dari program sertifikasi halal kecuali yang memang menyediakan produk yang tidak halal. Misalnya makanan yang mengandung babi, dan segala jenis turunannya, dan barang atau hewan yang memang sudah dinyatakan tidak halal sesuai dengan ajaran Islam.
Masyarakat Indonesia tentu harus mengapresiasi kepada MUI dan segenap jajarannya, yang sudah melakukan tugas sertifikasi produk halal selama ini. Sudah 24 tahun MUI menjadi penyelenggara jaminan produk halal, sehingga nama MUI dalam blantika jaminan produk halal sudah tidak diragukan. Sudah sangat banyak produk, terumama makanan dan minuman yang memperoleh sertifikat halal. Di tengah penyelenggaraan jaminan produk halal yang bercorak voluntary, maka MUI telah memainkan peranannya dengan sangat signifikan.
Kini, sertifikasi produk halal menjadi tanggung jawab pemerintah. Artinya, bahwa program jaminan produk halal akan dilakukan pemerintah. Dengan diberlakukannya jaminan produk halal oleh pemerintah, maka penganggaran untuk sertifikasi produk halal, terutama untuk yang mikro dan kecil tentu akan bisa disubsidi oleh pemerintah, sebagai bagian dari tugas pemerintah untuk penyelenggaraan produk halal.
Namun demikian, tentu pemerintah tidak sendirian, sebab sesuai dengan regulasi, maka pihak lain juga bisa mendanai program jaminan produk halal. Jadi, dunia usaha –terutama yang usaha besar—tentu bisa juga memberikan donasinya untuk penguatan program jaminan produk halal. Bisa dilakukan secara subsidi silang atau dengan cara mekanisme bapak angkat untuk program jaminan produk halal. Mekanisme ini yang akan menjamin bahwa penerapan mandatory di dalam penyelenggaraan jaminan produk halal akan terlaksana.
Berdasarkan regulasinya, maka kewajiban untuk menyelenggarakan jaminan produk halal akan berlaku pada bulan Oktober 2019. Artinya, waktu sudah semakin dekat dengan berlakunya penyelenggaraan sertifikasi produk halal. Jadi memang harus ada akselerasi terkait dengan system pendaftaran, pemeriksaan dan penentuan kehalalan suatu produk. Jika ini yang terjadi, maka BPJPH harus melangkah dengan gerakan langkah seribu untuk menyongsong berlakunya system mandatory dalam penyelenggaraan jaminan produk halal. Kesiapan SDM, sarana prasaana, system dan pertanggungjawaban produk halal tentu harus segera disediakan.
Salah satunya ialah menjalin kerjasama dengan MUI. Kerja sama ini merupakan hal yang sangat penting sebab MUI adalah satu-satunya Lembaga keagamaan yang dimandatkan untuk memberikan fatwa halal bagi produk dalam berbagai jenisnya. Tidak ada lembaga lain yang memperoleh peran sedemikian strategis di dalam UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal melebihi peran MUI ini. Makanya, jika ada yang berpendapat bahwa pemerintah akan meminggirkan atau menihilkan peran MUI dalam serangkaian program sertifikasi halal tentu sebuah kesalahan berpikir yang cukup serius.
MUI dengan segala perangkatnya akan menjadi mitra strategis BPJPH di dalam melakukan sertifikasi halal. Tanpa kehadiran MUI maka seluruh rangkaian penyelenggaran jaminan produk halal akan tidak dimungkinkan. Untuk itu, yang akan terjadi adalah penyelenggaran sertifikasi halal merupakan kerjasama antara pemerintah dan MUI. Jadi, antara MUI dan Pemerintah atau Kemenag adalah seperti koin mata uang, di sebelah sisi satunya adalah pemerintah dan di sisi lainnya adalah MUI. Dua entitas berbeda yang menyatu di dalam pekerjaan strategis sertifikasi produk halal.
Dengan demikian, kerjasama program sertifikasi produk halal harus dibangun sedemikian kuat, sehingga ke depan akan terjadi simbiosis mutualisme antara pemerintah dan MUI. Kehadiran KH. Ma’ruf Amin di dalam acara launching BPJPH dan juga memberikan sambutan yang hangat tentu menjadi indikasi bahwa kerja sama itu akan terlaksanan dengan sebaik-baiknya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERAN NEGARA DALAM MENGEMBANGKAN ZAKAT

PERAN NEGARA DALAM MENGEMBANGKAN ZAKAT
Saya memperoleh keberuntungan untuk menjadi pembicara di dalam workshop tentang “Perumusan Regulasi untuk Audit Syariah pada Program Zakat” yang diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Islam pada Kementerian Agama. Saya merasakan bahwa acara ini penting di dalam upaya untuk merumuskan tentang bagaimana program zakat akan bisa berlangsung dengan baik melalui pengawasan syariah, baik internal maupun eksternal.
Acara ini dilaksanakan di Hotel Peninsula Jakarta, 12/10/2017, dan dihadiri oleh segenap jajaran pejabat di lingkungan Direktorat Zakat dan Wakaf, pusat dan daerah. Hadir juga bersama saya, Pak Fuad Nasar dan Pak Zainuri dari Direktorat Zakat dan Wakaf pada Ditjen Bimas Islam Kemenag. Acara ini dipandu oleh Pak Zainuri dan didampingi oleh Pak Fuad.
Di dalam kesempatan ini, maka saya sampaikan tiga hal terkait dengan penyelenggaraan audit syariah untuk program zakat, baik nasional maupun daerah. Tiga hal tersebut, yaitu: pertama, saya mengapresiasi upaya untuk merumuskan regulasi terkait dengan penyelenggaraan program zakat, baik pada Badan Amil Zakat (BAZ) Nasional maupun Daerah dan juga Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang jumlahnya semakin banyak. Sekarang memang baru sejumlah 19 LAZ dan sejumlah BAZ di seluruh Indonesia, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Mengapa audit syariah ini penting, sebab harus dipahami bahwa kata kunci keberhasilan pengelolaan zakat ialah “trust” atau “amanah”. Tanpa kepercayaan tersebut jangan pernah kita berharap bahwa pengelolaan zakat oleh lembaga apapun akan dipercaya oleh masyarakat. Bukankah dalam pengelolaan dana zakat atau dana public seperti ini, maka yang sangat penting ialah menjaga kepercayaan dimaksud.
Kedua, zakat merupakan dana public yang harus dipertanggungjawabkan secara public pula. Artinya, bahwa pengelolaan zakat mestilah memenuhi dua unsur penting, yaitu: akuntabilitas dan transparansi. Dana public harus dikelola secara transparan, artinya public dapat mengakses secara cepat dan mudah mengenai bagaimana penggunaan dana zakat dimaksud. Harus dirumuskan elektronik pengelolaan zakat atau e-pengelolaan zakat, sehingga masyarakat akan tahu bagaimana pengelolaan zakat atau zakat dikumpulkan dan didayagunakan.
Dewasa ini sudah bukan zamannya lagi untuk menyatakan bahwa amal ibadah itu ditutup-tutupi atau disembunyikan agar orang lain tidak tahu. Hanya Allah saja yang boleh tahu. Bukan lagi saatnya berpemahaman seperti itu. Makanya, di dalam pengelolaan zakat haruslah ditayangkan atau dipublish dengan serius tentang pengelolan dana zakat tersebut.
Sudah ada banyak di dunia ini, negara memberikan peluang pengumpulan zakat untuk kepentingan pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Misalnya Mesir, telah memberikan peluang bagi Al Azhar University untuk mengelola zakat, infaq dan shadaqah, sehingga menjadi dana abadi yang bisa dipakai untuk mengembangkan pendidikan dengan kemampuannya sendiri. Bukankah Mesir memiliki pengalaman meminjam dana abadi yang berasal dari Zakat, Infaq dan Shadaqah untuk menutup utang negara.
Di Indonesia saya kira, zakat akan bisa menjadi dana abadi umat untuk kepentingan pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Di kalangan para pengusaha, sekarang ini juga muncul kesadaran bersedekah atau gerakan philanthropy, misalnya Tanoto Foundation, Bakri Foundation, Sampurna Foundation, dan sebagainya. Kegiatan mereka tentu berasal dari CSR yang dimilikinya dan kemudian didarmabaktikan untuk kepentingan, khususnya pendidikan. Dari sejumlah 22 orang kaya Indonesia dengan kekayaaan minimal 13 Trilyun Rupiah tersebut nyaris semuanya memiliki dana untuk kegiatan philanthropy. Artinya, mereka mulai menyadari bahwa kekayaannya itu dapat juga didayagunakan untuk kepentingan masyarakat.
Zakat dengan jumlah secara prediktif sebesar Rp270 Milyar , tentu akan dapat menjadi potensi bagi dana umat jika dikelola dengan sangat professional dan memperoleh pengawasan atau audit yang memadai.
Ketiga, peran pemerintah tentu sangat menentukan terkait dengan pengawasan zakat. Bagi saya ada dua jenis audit syariah, yaitu: 1) audit syariah internal, ialah audit syariah yang dilakukan oleh BAZ atau LAZ sendiri. Makanya setiap BAZ atau LAZ harus memiliki lembaga khusus internal yang memiliki otoritas dan kemandirian untuk melakukan audit internal. Kira-kira konsepnya sama dengan Inspektorat Jenderal yang secara fungsional melakukan audit terhadap lembaganya sendiri. 2) audit syariah eksternal, yaitu sebuah lembaga audit yang berperan melakukan pengawasan terhadap BAZ atau LAZ dan memiliki otoritas dan kemandirian di dalam melakukan audit. Jadi semacam Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) dan bahkan juga seperti Akuntan Publik yang dipercaya oleh pemerintah sebagai mitra Kemenag di dalam melakukan audit syariah.
Baik lembaga audit syariah internal maupun eksternal tentu saja harus terdiri dari auditor yang memiliki basis pengetahuan tentang ilmu agama yang memadai, khususnya tentang ajaran prinsipil di dalam zakat. Untuk itu, maka lulusan Fakultas Syariah atau sejenisnya akan memiliki peluang untuk menjadi auditor-auditor untuk pengelolaan zakat.
Ke depan, saya kira ada banyak peluang bagi pemerintah dan juga masyarakat untuk menjadi tim audit/auditor syariah yang akan melaksanakan tugas kepengawasan dalam kerangka untuk menjamin transparansi dan akuntablitas pengelolaan zakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.