• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SANTRI DAN TANTANGAN EKONOMI KEUMATAN (4)

SANTRI DAN TANTANGAN EKONOMI KEUMATAN (4)
Ada yang menarik di dalam peringatan Hari santri tahun 2017 ialah acara NU untuk mengumpulkan “Semilyar Shalawat Nariyah” sebagai salah satu cara untuk memperingati Hari Santri. Bagi saya ini merupakan peristiwa yang unik dan beginilah cara warga Nahdliyin untuk mengenang peristiwa agung dalam sejarah Indonesia, yaitu “Resolusi Jihad” yang dikumandangkan oleh Hadratusy Syekh KH. Hasyim Asy’ari, yang sekarang diperingati sebagai Hari Santri.
NU memang memiliki tradisi religiusitas yang unik khas Nusantara, dengan acara tahlilan, yasinan, dzibaan, serta nariyahan yang selama ini sudah sangat membudaya di antara mereka. Seluruh acara misalnya Lailatul Ijtima’ yang diselenggarakan sampai di desa-desa juga diisi dengan acara-acara unik ini. Arab Saudi yang dijadikan sebagai referensi keagamaan (baca Islam) bagi umat Islam sedunia, tentu tidak memiliki kegiatan seperti ini.
Bagi saya inilah keunikan NU dengan berbagai varian tradisi keagamaannya–genuine, khas Nusantara—yang memang dikembangkan oleh para penyebar Islam generasi terdahulu dalam kerangka mengislamkan Nusantara. Kemampuan mengakomodasi terhadap tradisi dan budaya local merupakan kekuatan NU yang tiada taranya. Di dalam buku saya “Islam Pesisir” saya jelaskan bagaimana NU mengislamkan tradisi-tradisi nyadran (sedekah bumi di sumur), atau manganan (sedekah bumi di Kuburan) lalu menjadi Islami merupakan tradisi yang sagat unik. Jika di masa lalu di sumur diselenggarakan acara tayuban atau sindiran (acara khas Jawa yang di dalamnya ada acara menari dan menyanyi dengan music Jawa), maka lalu berganti menjadi Thoyiban. Saya yakin bahwa acara tayuban adalah tradisi masa lalu yang digunakan oleh para penyebar Islam generasi awal, yang bisa diubah oleh NU menjadi sebagaimana hakikat semula.
Makanya tidak mengherankanj jika di dalam acara peringatan Hari Santri, maka NU juga melakukan kegiatan penumpulan “Semilyar Shalawat Nariyah” sebagaimana yang sekarang dilakukan oleh warga NU. Nyaris semua masjid yang takmirnya orang NU, maka dipastikan menggelar acara baca Shalawat Nariyah ini. Suatu tradisi yang sangat baik dalam kerangka untuk melestarikan tradisi mempertahankan Islam dengan cara-cara yang unik.
Di sisi lain, juga terdapat new initiative, yang dikembangkan oleh kelompok Islam, yang menganggap dirinya paling puris –kelompok 212—yang juga mengembangkan upaya baru untuk “melawan” terhadap dominasi ekonomi yang sangat gigantic seperti Alfa Mart, Indo Mart, dan Mart-Mart lainnya yang menguasai dunia ekonomi retail di Indonesia. Mereka mengumpulkan “Semilyar Uang” dari jamaah-jamaah masjid untuk dijadikan sebagai saham, lalu mereka membuat Mart baru. Sesuai dengan gerakan ini, maka Mart itu dinamakan 212 Mart, atau Koperasi 212.
Hal ini saya kira merupakan upaya yang juga menarik untuk dicermati di dalam kerangka gerakan Islam, yang sekarang mulai sadar tentang “dominasi” ekonomi yang semakin menjauh dari umat Islam.
Jadi, ada gerakan yang stabil untuk memperkuat spiritualitas melalui Gerakan “Semilyar Shalawat Nariyah” yang diselenggarakan oleh warga NU, dan di sisi lain terdapat Gerakan “Semilyar Uang” untuk penguatan ekonomi umat melalui pengembangan potensi masjid untuk menjadi kekuatan ekonomi yang ke depan diharapkan akan bisa menjadi “penjawab” terhadap kegalauan “dominasi” ekonomi kapitalis yang sudah berakar sangat kuat di Indonesia.
Bagi saya memang tantangan yang sangat berat bagi kaum santri ialah bagaimana menyadarkan kaum santri agar seirama dengan perubahan-perubahan dan perkembangan ekonomi yang makin kompleks. Saya kira, tradisi pesantren berupa tahlilan, yasinan, dzibaan dan berbagai lainnya, tentu harus tetap lestari, karena itulah kekuatan Islam Nusantara. Akan tetapi yang tidak kalah menarik ialah bagaimana memberdayakan ekonomi santri ini untuk menjawab terhadap “kegalauan” sebagian umat Islam tentang “dominasi’ ekonomi kapitalis.
Saya melihat bahwa alumni pesantren kebanyakan menjadi kyai pada levelnya masing-masing. Tentu juga ada yang menjadi takmir masjid, pimpinan lembaga pendidikan dalam berbagai levelnya dan sebagainya, Inilah sesungguhnya yang menjadi kekuatan kaum santri atau menjadi modal sosial kaum santri.
Hanya sayangnya bahwa mereka belum terkoneksi secara memadai dengan berbagai program penguatan kelembagaan ekonomi. Nyaris mereka tidak memiliki jaringan untuk mengembangkan aspek program ekonomi umat itu. Mereka hanya berkutat dengan dengan kegiatan-kegiatan rutin yang terus menerus dilakukan, yaitu acara-acara religiositas yang sudah berlaku turun menurun hingga sekarang. Nyaris mereka tidak tersambungkan dengan upaya-upaya untuk pengembangan ekonomi keumatan ini.
Makanya diperlukan gerakan untuk mengembangkan ekonomi santri, sebagaimana yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Sidogiri, yang asetnya telah trilyunan rupiah. Para alumni Sidogiri yang tersebar di seluruh Indonesia telah disadarkan akan pentingnya memperkuat gerakan ekonomi santri. Oleh karena itu banyak santri Pondok Pesantren Sidogiri yang kemudian bergerak di bidang ekonomi santri tanpa menghentikan gerakan religiositas yang sudah mendarah daging.
Saya kira kita semua harus belajar dari teladah hasanah dalam mengembangkan ekonomi santri dari pondok pesantren Sidogiri ini, sehingga para santri kemudian memiliki kesadaran sepenuhnya untuk mengurangi “dominasi” ekonomi kapitalis yang terus menggurita di negeri ini.
Masih ada peluang untuk bergerak, senyampang masih ada kesempatan untuk melakukannya. Dan sekali lagi semua ini tergantung dari kesadaran kaum santri untuk terus berubah dan berubah.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SANTRI DAN TANTANGAN PERGULATAN MODERNISASI PENDIDIKAN (3)

SANTRI DAN TANTANGAN PERGULATAN MODERNISASI PENDIDIKAN (3)
Di dunia ini nyaris tidak ada sebuah institusi, tentu termasuk institusi pendidikan pesantren, yang terlepas dari tantangan modernitas, yaitu modernisasi pendidikan. Kata yang menurut saya tidak bisa dilawan dewasa ini ialah modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Yang bisa dilakukan hanyalah menyikapi secara arif terhadap gerakan modernisasi itu agar tetap bermanfaat bagi warga masyarakat dan bangsa.
Modernisasi itu ibarat angin puting beliung yang bisa menerjang apa saja, dan yang tidak kuat akan roboh dan yang kuat akan tetap tegak berdiri. Ibarat pergulatan survival of the fittest maka hanya yang kuat saja yang akan bertahan dan kemudian berkembang atau mengembangkan diri, sementara itu yang lemah akan tergilas dan hilang dalam pusaran sejarah. Maka bisa kita lihat, mana institusi yang akan terus eksis di tengah pergulatan itu dan mana institusi yang kemudian hilang tidak berbekas.
Dunia pesantren, sejauh yang kita lihat tetap eksis. Dunia pesantren sebagai institusi yang bergerak di bidang pendidikan Islam, ternyata memiliki daya tahan yang sangat kuat untuk menanggulangi terhadap banjir bandang atau tiupan prahara badai dan angin kencang yang terus menerus menerjang dirinya. Pesantren memiliki kekuatan yang sangat hebat di dalam kerangka mempertahankan diri di tengah goncangan modernisasi yang tidak bisa dihadang lajunya.
Di antara variabel yang menyebabkan mengapa pesantren dengan kyai dan santrinya itu mampu bertahan ialah: pertama, dari aspek kepemimpinan. Pesantren dapat mengikuti perubahan yang terus terjadi. Misalnya, di masa lalu kepemimpinan bercorak kharismatis, akan tetapi seirama dengan sulitnya kepemimpinan kharismatis tersebut muncul, maka pesantren berkembang dengan kepemimpinan tradisional, yaitu kepemimpinan didasarkan atas “keturunan” dan di kala modernisasi juga masuk ke dunia pesantren, maka kemudian muncullah kepemimpinan legal formal, yaitu kepemimpinan yang bercorak kebersamaan dan pembagian tugas yang jelas. Kepemimpinan pesantren menjadi kepemimpinan yang modern dengan segala kelebihannya.
Kedua, dari aspek kelembagaan pendidikan. Dunia pesantren adalah dunia yang adaptif terhadap perubahan. Konsep yang selalu digunakan ialah “al muhafadlatu ‘ala al qadimish al shalih wa al akhdzu bi al jaded al ashlah”. Melalui konsep “menjaga terhadap hal-hal yang baik di masa lalu dan mengambil hal-hal yang terbaik yang bermanfaat di masa sekarang dan akan datang” maka pesantren memiliki kelenturan. Jika di masa lalu hanya sebagai pendidikan pesantren dengan pengajian kitab kuning saja, dengan system tradisional (bandongan, wetonan dan sorogan), maka kemudian menjadi madrasah dengan system klasikal dengan mengadaptasi kurikulum yang lebih luas. Kemudian berkembang menjadi sekolah yang selain menggunakan system klasikal juga menggunakan kurikulum nasional dan ilmu-ilmu non keislaman.
Kelenturan dunia pesantren ini yang kemudian menjadi contoh, bagaimana lembaga pendidikan Islam dapat bertahan dengan berbagai goncangan yang hebat. Pesantren lalu menjadi seperti mall atau toko swalayan yang menyediakan berbagai menu pendidikan, sehingga kita tinggal memilih mana yang kita inginkan dan kita beli, dan akhirnya menjadi pilihan utama di dalam pendidikan anak-anak.
Pesantren sungguh dapat menempatkan diri di dalam bursa pendidikan yang sangat inspiratif di dalam membendung pengaruh modernisasi yang datang kepadanya. Dengan kata lain, yang lain boleh berubah seratus persen, tetapi pesantren akan tetap hidup dengan cara dan dinamikanya sendiri sambil mengambil secara adaptif, mana yang baik dan mana yang harus ditinggalkan.
Ketiga, kemampuan adaptasi yang sangat tinggi. Harus diakui bahwa lembaga pendidikan yang sungguh-sungguh sangat adaptif ialah lembaga pendidikan pesantren. Nyaris tidak masuk dalam pikiran kita, bagaimana pesantren dengan cepat bisa mengambil peran pendidikan umum di dalamnya. Jika selama ini, dunia sekolah itu identic dengan lembaga pendidikan “secular” karena dilakukan oleh kaum penjajah di masa lalu dan diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di Barat, maka pesantren pun dapat mengadaptasinya. Bahkan dengan kemampuannya yang menakjubkan, mereka “mengislamkan” lembaga pendidikan “secular” tersebut di dalam pesantren dan menjadikannya sebagai bagian tidak terpisahkan. Kira-kira slogannya “ lembaga boleh apa saja namanya, akan tetapi isinya harus tetap Islami”. Boleh saja sekolah, boleh saja madrasah dan bahkan juga pesantren salafiyah, akan tetapi kontennya tetap saja Islam yang rahmatan lil alamin. Substansi menjadi sangat penting di dalam konteks perubahan tersebut.
Kita tidak pernah membayangkan sebuah pesantren di Lombok Tengah, di bawah kepemimpinan Kyai TG. Hasanain, ternyata siswanya dapat merakit computer dalam waktu kurang dari 20 menit dan semua santrinya belajar dengan menggunakan media teknologi informasi. Kita juga tidak membayangkan bahwa di Pesantren Lirboyo, lembaga pendidikan di dalamnya adalah Lembaga Pendidikan Negeri, dan pesantren lain, seperti Pesantren Tebuireng yang pada tahun 60-an sudah mengajarkan Bahasa Inggris. Dan kemudian beberapa pesantren lainnya bahkan mewajibkan santrinya untuk belajar Bahasa Mandarin.Lalu Pesantren Nurul Iman di Parung yang didirikan oleh Habib Assegaf dan kini diasuh oleh Bu Nyai Waheeda dengan 20.000 santri justru mengembangkan pendidikan umum seluruhnya.
Semua ini merupakan bagian dari moralitas mengedepankan “menjaga hal-hal di masa lalu yang baik, dan mengambil hal-hal terbaik di masa sekarang”. Jadi prinsip ini saya kira lebih hebat dibandingkan dengan teori ilmu sosial “continuity within change” yang dicetuskan oleh para ahli di bidang ilmu sosial.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SANTRI DAN TANTANGAN PROBLEM PEMAKNAAN (2)

SANTRI DAN TANTANGAN PROBLEM PEMAKNAAN (2)
Sebagai konsekuensi perluasan makna santri itu, tentu juga memiliki sejumlah konsekuensi terkait dengan cara pandang dan bagaimana orang mengkonstruksi terhadap dunia santri. Jika di dalam konteks pesantren, maka santri itu berarti orang yang pernah mondok di pesantren –dalam beberapa lama—maka sekarang tentu sekarang tidak bisa lagi dipersepsikan sebagai demikian.
Saya akan melihat dunia santri berdasarkan atas konstruksi outward looking. Di dalam konteks outward looking tentu seorang santri akan bisa dikategrikan dengan bagaimana cara berpakaian, berpenampilan dan juga bagaimana yang bersangkutan menghadapi dunia. Tentu ada perbedaan antara santri dan nonsantri dalam memandang dunia berdasar atas world viewnya.
Marilah kita analisis tentang outword looking santri dewasa ini. Jika ditipologikan, maka ada 4 (empat) tipe tentang santri dilihat dari outword lookingnya. Pertama, santri yang pernah nyantri di pondok pesantren. Di dalam banyak hal, maka gaya berpakaiannya tentu menggambarkan pandangan dunia tentang santri ialah sarung dan kopyah, pakaian gamis dan jenggot bisa dengan kumis atau tanpa kumis.
Dunia santri di masa lalu maupun sekarang identic dengan konsepsi “Kaum Sarungan”. Di pesantren hingga kini, sarung adalah identitas untuk menggambarkan tentang santri. Jika kita berada di pesantren, selain itu juga kopyah, bisa hitam atau putih, yang jelas bahwa sarung dan kopyah merupakan identitas yang terus menyejarah di dunia pesantren.
Sarung dan kopyah adalah pakaian khas kaum santri di Indonesia. Khususnya masyarakat Islam di wilayah kebudayaan Melayu, seperti Malaysia dan Brunei Darus Salam, meskipun berbeda dalam tata cara penggunaannya. Di Indonesia seorang santri terbiasa memakai sarung tanpa celana panjang–khususnya di Jawa—sedangkan di Malaysia selalu menggunakan celana panjang dan di luarnya diberikan kain sarung. Hal ini nyaris sama dengan kaum santri di Aceh, dan beberapa wilayah lain di Sumatera yang berkebudayaan Melayu. Namun demikian, outward looking kaum santri selalu terkait dengan sarung dan kopyah meskipun cara menggunakannya berbeda.
Kedua, santri dengan identitas berpakaian masa kini. Sebagai perluasan makna santri dimaksud, maka banyak kaum santri yang sudah tidak lagi menggunakan asesori kaum santri berupa sarung dan kopyah. Mereka kebanyakan adalah kaum birokrat, teknokrat dan juga para pengusaha dan nonpengusaha yang sebenarnya bagian dari santri tetapi ourward lookingnya sudah sangat berubah. Mereka memang memegangi terhadap kaidah dunia pesantren dalam pemahaman, sikap dan tindakannya, akan tetapi pengaruh dunia modern telah merasukinya. Dia memakai celana, baju panjang atau pendek dan berdasi bahkan juga memakai jas tanpa kopyah. Adakalanya, memakai jas tanpa dasi dan tanpa kopyah. Atau bisa saja dengan kopyah. Outward looking dunia pesantren sudah ditinggalkannya. Mereka adalah para santri yang sudah tidak terikat dengan gaya atau tampilan fisikal secara pesantren. Mereka sudah mengadaptasi terhadap gaya dan tatacara berpakaian kaum modern, khususnya di dunia Barat.
Saya sebenarnya tidak suka menggunakan istilah modern atau tradisional, sebab terkesan memberikan penilaian tentang kaum santri dari perspektif outward lookingnya. Itulah sebabnya saya menghindari terhadap istilah santri tradisional dengan peci dan sarungnya untuk menyebut santri tradisional, dan mereka yang memakai jas, dasi, celana dan baju atau mereka yang selalu menggunakan pakaian batik tanpa kopyah sebagai santri modern. Saya menyebutnya semuanya adalah santri hanya saja memang terdapat perubahan yang sangat signifikan terkait dengan outward lookingnya.
Ketiga, santri tetapi berpakaian yang aneh-aneh, dengan pakaian yang tidak menggambarkan sebagai cara berpakaian seorang santri bahkan rambutnya panjang tanpa terawatt. Mereka juga santri yang memahami agama dengan baik, hanya saja memang tidak terkooptasi dengan gaya pakaian yang cenderung lebih klimis dan modis. Mereka beranggapan bahwa pakaian hanyalah asesori saja, sementara mereka mengukur beragama itu justru dari dimensi mendalamnya. Agama itu substansi dan bukan lahiriyahnya atau asesorinya.
Dewasa ini ternyata ada banyak juga kaum santri dengan gaya berpakaian yang cenderung tidak menggambarkan sebagai santri yang necis. Mereka mengamalkan ajaran agama dalam dunia seni, dengan penuh prinsip mendalam. Jika orang tidak mengenalnya secara pribadi, mungkin dianggapnya orang ini jauh dari perilaku agama. Padahal sesungguhnya mereka adalah santri-santri yang memiliki pemahaman, sikap dam tindakan yang sangat religious.
Keempat, santri yang menggambarkan seluruh perilaku dalam konteks outward looking adalah sebagaimana orang Arab. Baginya, Islam itu sama dengan Arab. Apa yang terjadi di Arab dewasa ini adalah Islam. Makanya dalam berpakaian pun juga menggambarkan tentang cara berpakaian orang Arab. Pakaian gamis, serban, jenggot dan kumis klimis adalah contoh tentang penganut Islam yang kaffah. Kesempurnaan berislam juga sangat tergantung pada cara berpakaiannya.
Mereka ini yang di dalam banyak hal menganggap bahwa orang Islam yang tidak sebagaimana pemahaman dirinya dianggapnya bukan sebagai orang Islam. Jadi di dalam pemahamannya bahwa Islam yang benar adalah pemahaman dan perilaku berislam sebagaimana dirinya. Jumlah mereka semakin banyak dan juga semakin banyak anak muda yang menjadikannya sebagai trendsetter.
Jika ditipologikan lebih sederhana, maka hanya ada dua kategori saja, yaitu santri Nusantara, yang merupakan penyederhanaan kategori 1 (satu), 2 (dua) dan 3 (tiga). Sedangkan kategori keempat ialah santri Arab. Bagi kita, cara apapun berpakian tentu tidaklah menjadi problem, selama yang bersangkutan menyatakan bahwa dia adalah orang Indonesia yang beragama Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SANTRI DAN TANTANGAN PROBLEM PEMAKNAAN (1)

SANTRI DAN TANTANGAN PROBLEM PEMAKNAAN (1)
Di dalam kerangka menyongsong dan memperingati Hari Santri, 22/10/2017, saya rasa sangat banyak aktivitas yang diselenggarakan oleh masyarakat dan juga pemerintah untuk menyambut dan memperingatinya. Di Kementerian Agama dilakukan serangkaian acara dan upacara untuk memperingati 2 (dua) tahun Hari Santri.
Acara tersebut misalnya Parade Baca Puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang diikuti oleh tokoh penyair Indonesia, Misalnya Sutarji Calzum Bachri, yang dinyatakan sebagai Presiden Penyair Indonesia, Sapardi Joko Damono, Ahmad Tohari (Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk), Prie GS, Joko Pinurbo, Lukman Hakim Saifuddin, Masriyah Amva, Badriyah Fayumi, D. Zawawi Imron, dan sebagainya. Parade Baca Puisi yang saya kira dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan semangat para santri dalam berkarya di bidang seni puisi.
Di Semarang juga diselenggarakan acara menyambut Hari Santri dengan upacara besar-besaran yang diikuti oleh segenap santri, Kyai dan ASN Kemenag. Selain juga ada acara Coretan Kartunis di atas kanvas sepanjang 300 Meter. Pak Menag yang memulai coretan kartunnya. Selain itu di seluruh Kantor Kementerian Agama, pusat dan daerah, juga menyelenggarakan upacara pada tanggal 22 atau 23 Oktober 2017.
Hiruk pikuk penyambutan Hari Santri tentu terkait dengan ungkapan pemaknaan peran pesantren di dalam banyak hal kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Siapapun akan mengakui bahwa dunia pesantren memang memiliki peran yang sangat signifikan di dalam dunia pendidikan, pengembangan SDM dan tentu juga peran dalam membangun semangat kebangsaan yang tidak kunjung sirna. Pesantren bagi banyak orang dianggap sebagai “benteng” bagi tegaknya Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Keberagaman. Di mana-mana di setiap pesantren, terdapat ungkapan: “NKRI Harga Mati”.
Santri dalam konteks keumatan, memang telah mengalami perluasan makna. Jika di masa lalu hanya dibatasi oleh dinding-dinding pesantren, maka sekarang makna santri telah mengalami perubahan. Siapapun yang beragama Islam dan mengamalkan ajaran agamanya dengan benar maka disebutlah sebagai santri. Kata Pak Harsya Bachtiar, bahwa Kaum Santri ialah “Kaum Putihan” yang berhadapan dengan “Kaum Abangan”. Di dalam tradisi Jawa, disebut “Wong Puteh” atau “Kelompok Orang Putih” atau “Kelompok Orang yang mengamalkan ajaran Islam” atau “orang yang taat kepada ajaran agamanya”. Kata “Wong” dalam penggolongan sosial disebutkan sebagai sekelompok orang atau sebagian orang.
Jadi, kata santri menunjuk kepada sejumlah orang yang mengamalkan ajaran agamanya, apakah yang bersangkutan pernah nyantri di pondok pesantren atau tidak, yang penting ialah yang bersangkutan menjalankan ajaran agamanya dengan benar atau taat beribadah. Jadi santri sebagai kategori sosial menunjuk pada kenyataan adanya sekelompok orang yang mengamalkan ajaran agamanya.
Pak Harsya Bachtiar, sebagai ahli di bidang Sejarah Kemasyarakatan, telah memberikan komentar tentang konsepsi Geertz mengenai Kaum Santri yang dihadapkan dengan Kaum Abangan dan juga Kaum Priyayi. Bagi Pak Harsya Bachtiar bahwa penggolongan seperti ini tidak tepat, sebab Kaum Santri dan Kaum Abangan adalah penggolongan ketaatan beragama, sedangkan Kaum Priyayi adalah penggolongan sosial. Baginya, terdapat kerancauan mengenai pemaknaan dimaksud.
Kembali kepada pemaknaan santri, maka seirama dengan perubahan zaman, dan bahkan semenjak Geertz, merumuskan konsepsinya, sesungguhnya sudah terjadi perluasan makna itu. Artinya, bahwa Kaum Santri ialah Kaum yang memiliki ketaatan kepada ajaran agamanya dan memiliki garis demarkasi yang sangat kuat dibandingkan dengan Kaum Abangan, yang di saat konsepsi ini diunggah, maka situasi sosial dan bahkan politik, memang sedang terjadi “rivalitas” yang sangat kentara. Di masa itu, pernyataan: “kulo wong Abangan” atau “saya orang Abangan” bukanlah sesuatu yang disembunyikan. Sama halnya dengan sebutan: “dia itu santri”, dan sebagainya.
Dewasa ini, kata “Abangan” nyaris tidak lagi terdengar. Kata ini sudah dianggap tidak relevan di tengah perubahan sosial yang terus terjadi. Sekarang kata “santri” sudah merupakan general word, yang menggambarkan tentang pemahaman, sikap dan tindakan orang yang selalu bersesuaian dengan ajaran prinsip di dalam Islam. Secara substansial, bahwa siapa saja yang mengamalkan ajaran Islam, hakikatnya ialah kaum santri. Makanya, di dalam outword looking, siapa yang melakukan ajaran agama, kelihatan shalat jum’at di masjid, ikut pengajian, ikut majelis ta’lim, mengamalkan ajaran Islam yang dasar, seperti shalat, zakat, puasa, dan bahkan sudah haji, maka pastilah dinyatakan sebagai “kaum santri”.
Dengan demikian, semua orang yang selalu mengamalkan ajaran dasar Islam, apapun penggolongan sosialnya, penggolongan politiknya, penggolongan etnisnya, dan sebagainya dapat dipastikan yang bersangkutan bisa masuk dalam kategori sosial “santri”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

GERAKAN MODERASI AGAMA UNTUK INDONESIA

GERAKAN MODERASI AGAMA UNTUK INDONESIA
Hari Kamis, 19/10/2017, di Kantor Staf Presiden (KSP) dilakukan acara Konferensi Pers terkait dengan 3 (tiga) tahun Kepemimpinan Jokowi-JK. Acara ini diselenggarakan oleh KSP dalam kerangka untuk memberikan informasi kepada masyarakat melalui dunia pers tentang apa saja yang menjadi capaian pemerintah RI, dalam kurun waktu 2014-2019.
Hadir pada acara ini ialah Pak Wiranto (Menkopolhukam), Pak Yasonna H. Laoly (Menkumham), Pak Tjahjo Kumolo (Mendagri), Pak Muhajir Effendi (Mendikbud), Pak Riyamizard Ryacudu (Menhan), Pak Asman Abnur (Menpan-RB), Pak Tito Karnavian (Kapolri), Kepala BNPB, Kepala BNPT, Prof. Nur Syam (saya mewakili Pak Menag), Wakil Kejaksaan Agung, yang mewakili Panglima TNI, dan sejumlah pejabat eselon I antar kementerian. Hadir bersama saya, Dr. Mastuki (Kabiro Pusat Data dan Informasi) Kemenag.
Acara ini dibuka oleh Pak Teten Masduki (Kepala Kantor Staf Presiden), dan dimoderatori oleh Pak Djohan Budi, Juru Bicara Presiden. Saya tentu merasa sangat terhormat bisa hadir di dalam acara ini, sebab Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, harus ke Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk mendampingi Pak Jokowi yang berkunjung ke NTB dan juga sekaligus Pak Menag membuka acara pertemuan Alumni Mesir (khususnya Al Azhar University) di Mataram.
Acara dibuka dengan pencapaian dalam bidang pertahanan dan keamanan, pelaksanaan Hukum dan HAM serta penguatan kebudayaan bangsa. Kementerian Agama hadir di acara ini tenu terkait dengan keamanan dan pertahanan bangsa dari perspektif agama dan juga penguatan jati diri bangsa dari perspektif agama juga. Itulah sebabnya saya harus hadir di acara ini. Semula saya merencanakan akan ke Bojonegoro Jawa Timur untuk menjadi narasumber pada kegiatan kerukunan umat beragama, akan tetapi karena ada pertemuan ini, maka acara saya ke Jawa Timur harus saya batalkan.
Pak Wiranto menyampaikan beberapa hal terkait dengan pertahanan dan keamanan bangsa dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Sesuai dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki tantangan yang tidak ringan sebagai negara kepulauan dalam aspek pertahanan dan keamanan. Akan tetapi dengan kerja keras, bahwa semua tantangan ini dapat dihadapi dengan optimal. Hancurnya kekuatan ISIS di Raqqa, dan juga terbunuhnya Hapilon dan Maute di Filipina Selatan, tentu merupakan hal yang harus dicermati, sebab bisa terjadi para pendukungnya dari Indonesia akan kembali ke sini. Dan yang harus dipikirkan bahwa ternyata banyak sekali jalan tikus di daerah perbatasan kita.
Keamanan negara kita relative stabil. Meskipun masih ada gerakan terorisme, akan tetapi selalu dapat dipatahkan. Selain itu gerakan radikalisme juga diupayakan untuk dinihilkan, misalnya dengan pembubaran HTI, menerbitkan PERPU no 2 tahun 2017 yang sekarang di dalam pembahasan di DPR dan juga upaya untuk memperkuat berbagai macam profesionalitas TNI, POLRI, dan sebagainya. Selain itu juga akan dibuat Dewan Kerukunan Nasional, dan Lembaga Sandi Negara yang akan bertugas untuk mendeteksi dini terhadap kaum radikalis dan teroris.
Pak Wiranto juga menjelaskan tentang musuh negara dewasa ini. Musuh negara sekarang ini tidak dalam bentuk kekuatan tentara, tetapi melalui cara efektif dan effisien yaitu melalui penggunaan teknologi informasi. Terlalu mahal biaya untuk melakukan aneksasi suatu negara. Perang fisik juga sangat mahal, maka yang digunakan ialah dengan cara menguasai teknologi informasi. Makanya, untuk memperkuat pertahanan dan keamanan, maka penguasaan teknologi informasi mutlak diperlukan. Sekarang era Proxy War yaitu perang dengan menebarkan kebencian, agitasi, caci maki, penistaan, pembunuhan karakter dan sebagainya dan semua itu dilakukan melalui teknologi informasi.
Setelah Pak Wiranto memberikan penjelasan, maka para Menteri lain juga diminta untuk menambahkan penjelasannya, di antaranya ialah Menhan, Mendagri, BNPB, Mendukbud, dan Menpan-RB, sedangkan Kapolri, meminta dalam waktu tanya jawab saja.
Di sessi tanya jawab ternyata juga ada pertanyaan menarik dari wartawan Kompas.com kepada Kementerian Agama. Pertanyaan tersebut terkait dengan apa yang dilakukan oleh Kemenag terkait dengan gerakan radikalisme dan juga gerakan bela negara di lembaga-lembaga di bawah Kemenag. Oleh Pak Djohan Budi, saya diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban. Maka ada 3 (tiga) jawaban yang saya sampaikan, yaitu: pertama, melalui gerakan Moderasi agama. Di Kemenag tidak digunakan istilah deradikalisasi agama, sebab jika yang digunakan kata ini, maka yang disasar hanyalah kaum radikal, fundamental, ekstrimis dan teroris. Kata moderasi dapat digunakan lebih luas termasuk di dalamnya ialah kaum liberal dalam menafsirkan agama dan juga kaum atheis dan sebagainya. Dengan kata ini, maka yang dianggap sebagai menyimpang dari sisi moderasi agama akan dapat dikembalikan kepada pemahaman agama yang benar sesuai dengan konsepsi kaum moderat. Kita bersyukur bahwa di Indonesia banyak lembaga agama yang menerapkan agama yang moderat ini, yang di dalam Islam disebut sebagai Islam Rahmatan lil alamin.
Kedua, membangun wawasan kebangsaan bagi dosen, guru dan mahasiswa. Sesuai dengan rencana aksi Kementerian Agama, maka salah satunya ialah mengembangkan wawasan kebangsaan di lembaga pendidikan. Oleh karena itu, para pimpinan PTKIN telah menandatangani deklarasi gerakan moderasi agama melalui kesepakatan pengembangan wawasan keislaman dan kebangsaan yang dilakukan di UIN Ar Raniri Banda Aceh. 57 Rektor UIN dan IAIN serta Ketua STAIN menyepakati hal ini, dan kemudian diikuti dengan pendidikan wawasan kebangsaan dan keislaman di seluruh PTKIN terutama terhadap mahasiswa baru. Selain itu juga pendidikan Islam rahmatan lil alamin yang dilakukan di madrasah, dengan buku ajar, kurikulum dan sillabi yang khusus. Selain itu juga dilakukan pelatihan bagi guru agama Islam dalam tema wawasan kebangsaan dan keislaman.
Ketiga, juga terdapat program Santri Bela Negara (Sabelana), yang dilakukan di Pondok Pesantren. Yang aktif menggelar kegiatan ini ialah pesantren Darun Najah di bawah Kyai Makhrus Amin. Program ini sudah diseminasi oleh pondok-pondok pesantren di Jawa dan juga luar Jawa. Selain itu, Pesantren Nurul Iman juga mengirimkan santri-santrinya di wilayah perbatasan Indonesia. Sudah 2 (dua) angkatan santri diberangkan ke Kalimantan Barat untuk kepentingan menjaga NKRI. Program semacam ini dilakukan bekerja sama dengan TNI dan POLRI dan Kemenag dalam rangka untuk menjamin terhadap keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu, Kemenag bersama dengan Kementerian/Lembaga lain akan terus berupaya untuk menjaga ketahanan dan keamanan negara melalui penguatan wawasan kebangsaan dan keislaman yang moderat.
Wallahu a’lam bi al shawab.