• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SOM-MABIMS DAN MOU ANTI EKSTRIMISME (3)

SOM-MABIMS DAN MOU ANTI EKSTRIMISME (3)
Salah satu yang membuat gembira ialah adanya kesamaan meskipun tentu ada variasinya mengenai bagaimana tindakan negara anggota MABIMS untuk menanggulangi ekstrimisme. Berdasarkan mesyuarat SOM ke 42 disepahami bahwa semua anggota MABIS harus bergandengan tangan menanggulangi ekstrimisme melalui media teknologi informasi.
Sebagaimana diketahui bahwa ekstrimisme memang telah menjadi musuh bersama negara di seluruh dunia. Mereka adalah common enemy yang harus dilakukan keberasamaan di dalam pemberantasannya. Jangan ada sebuah negara yang merasa tidak berada di dalam konteks gerakan ekstrimisme ini. Saya kira Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam merupakan negara-negara yang telah memiliki pengalaman pahit terkait dengan ekstrimisme ini. Jika di Singapura dan Brunei belum merasakan tentang terror bom, maka Malaysia dan apalagi Indonesia sudah sering terjadi letupan-letupan. Di Bali, Jakarta, Bandung, Solo, dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia sudah merasakan bagaimana dampak bom bunuh diri (suicide bombing) telah melukai sejumlah orang.
Terror bom telah menjadi modus bagi kelompok ekstrim untuk menyatakan dirinya ada dan bisa melakukan pengeboman demi pengeboman untuk mengejutkan dunia, bahwa ekstrimisme akan terus dan selalu ada. Makanya, semua negara harus memiliki kewaspadaan untuk menanggulangi pergerakan ekstrimisme ini.
Untungnya bahwa semua negara anggota MABIMS sudah memiliki regulasi terkait dengan penanggulangan ekstrimisme. Di Indonesia sebagai negara keempat yang memiliki regulasi tentang penanggulangan gerakan ekstrim, baik ekstrim kiri maupun kanan. Melalui Perppu No 2 Tahun 2017, maka aparat keamanan tidak lagi ragu untuk menghentikan tindakan individu atau kelompok yang akan merusak ketentraman dan keamanan negara.
Polisi atau TNI tidak lagi ragu untuk melakukan tindakan cegah dini terhadap indikasi-indikasi adanya tindakan yang tidak selaras dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Jika dahulu aparat keamanan akan menemui kesulitan untuk “menangkap” orang yang akan melakukan makar, karena takut dengan HAM, maka sekarang tentu tidak lagi. Aparat keamanan telah memiliki regulasi untuk mencegah atau kewaspadaan dini dalam mengayomi masyarakat.
Makanya, saya sampaikan di banyak forum, agar umat Islam jangan merasa sebagai kelompok yang tertuduh tentang hal ini. Saya nyatakan: “janganlah umat Islam merasa menjadi target atas disahkannya Perppu No. 2 Tahun 2017”. Semua yang melanggar terhadap empat consensus kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan, maka dipastikan akan berhadap dengan aparat keamanan. Organisasi yang mengusung tema lain dalam bernegara, misalnya dengan keinginan untuk mendirikan negara khilafah, mendirikan Papua Merdeka, atau lainnya pastilah merupakan “lawan” negara.
Dengan demikian, jika kita umat Islam tidak melakukan gerakan-gerakan yang bertentangan dengan negara tentu tidak harus takut dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 yang sudah disahkan oleh DPR dan akan diundangkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Melalui keberadaan regulasi yang mengatur terhadap tindakan warga negara dalam berperilaku berbangsa dan bernegara, maka diharapkan negara akan menjadi aman dan damai. Dan kita tentu bersyukur bahwa seluruh negara anggota MABIMS sudah memiliki seperangkat regulasi yang tentu diharapkan mampu dalam menangkal radikalisme dan ekstrimisme.
Di dalam acara SOM ke 42 ini juga disepakati akan ditubuhkan satu kesepahaman untuk memperkuat jejaring kerja sama melalui working group, yang tentu tugasnya ialah membantu pemerintah untuk mempercepat penagnggulangan dan penyelesaian gerakan ekstrimisme. Perkongsian ini tentu saja diharapkan akan menjadi pintu masuk bagi semua negara anggota MABIM untuk berperan lebih di dalam gerakan anti ekstrimisme.
Sebagaimana hasil “Rekonsiliasi Kertas Tema”, maka kita semua sudah merasakan betapa kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh kaum ekstrimis bagi kehidupan bernegara dan berbangsa, sehingga kita harus lebih dini untuk membasmi tentang problem ekstrimisme ini. Kita semua sepakat untuk menyusun draft Memory of Understanding (MoU) untuk penanggulangan gerakan ekstrimisme. Hasil kesepakatan para ketua delegasi ini nantinya akan disetujuai dalam MABIMS meeting yang akan dilaksanakan di Negara Brunei Darussalam.
Dengan kehadiran MoU antar negara anggota MABIMS, maka percepatan penyelesaian case terkait dengan ekstrimisme akan lebih berdaya guna. Lalu dengan demikian, maka secara serempak negara-negara ini akan bersinergi jika seandainya akan terdapat kekerasan atau apapun namanya di masing-masing negara.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SOM-MABIMS DAN KEBERSAMAAN ANTI EKSTRIMISME (2)

SOM-MABIMS DAN KEBERSAMAAN ANTI EKSTRIMISME (2)
Pada hari pertama SOM-MABIMS, maka yang diselenggarakan ialah Pembentangan Kertas Tema dengan judul “Penanggulangan Ekstrimisme melalui Teknologi Informasi. Sebagai tuan rumah (host), maka saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi pimpinan SOM ke 42. Memang demikian kesepakatannya. Negara yang menjadi host, maka sekaligus juga menjadi pimpinan acara demi acara yang diselenggarakan.
Sebagaimana jadwal yang sudah disepakati, maka negara Brunei Darussalam memperoleh kesempatan untuk membincang kertas temanya, lalu Malaysia juga menyampaikan kertas temanya. Kemudian dilanjutkan dengan pembentangan kertas tema oleh Republik Singapura dan berikutnya ialah Republik Indonesia. Yang mewakili delegasi Indonesia untuk menyampaikan paparannya ialah Dr. Mastuki, Kepala Biro Humas, Data dan Informasi.
Malaysia membagi media dengan tiga hal, yaitu surface web, deep wb dan dark web. Jika yang surface web dan deep web tentu saja berisi hal-hal yang positif, dan jika ada konten yang negative tentu hanya di permukaan saja, maka yang menjadi lawan kita ialah yang dark web. Di sini disebarkan virus-virus ekstrim agar orang menjadi simpatisan atau menjadi anggota gerakan ekstrim. Makanya, kita harus melakukan perlawanan terhadap dark web agar tidak terus bertambah simpatisannya atau anggotanya. Di dalam konteks ini, maka pemerintah dan organisasi sosial Islam telah melakukan berbagai upaya melalui penyebaran paham-paham agama yang sebenarnya.
Di situs dark web ini misalnya diungkapkan “YOLO” atau singkatan You Only Life Once atau “YODO” atau singkatan You Only Die Once, lalu diterukan “Why Not Make Martyrdom”. Jadi mereka mengagungkan prinsip “Isy Kariman atau Mut Syahidan” dalam penafsiran yang tidak benar. Bagi mereka yang terpengaruh, maka akan bergerak untuk mengikuti petunjuk di dalam web ini, dan kemudian dilakukan upaya untuk brainwash sehingga kemudian mereka yang terpapar akan melakukan tindakan sebagaimana instruksi yang diterimanya. Makanya, pemerintah melakukan upaya untuk menanggulanginya melalui media juga, misalnya melalui media online atau media teknologi informasi lainnya.
Republic Singapura juga melakukan banyak hal di dalam kerangka menanggulangi ekstrimisme ini, misalnya melalui pendidikan yang berbasis pada Islam damai, menggunakan media teknologi informasi seperti film pendek, video, you tube, blog, instagram, dan “aplikasi bijak”. Kemudian juga menggunakan program literasi media pada public, konseling belia dan parenting media. Untuk memperkasa jaringan, maka Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) juga melakukan kerja sama dengan Google, Youtube, dan lain-lain.
Brunei Darus Salam memaparkan tentang pentingnya regulasi di dalam kerangka untuk menjamin terhadap ketentraman dan keamanan negara. Selain itu juga melalui pendidikan mulai dari anak-anak sampai mahasiswa pendidikan tinggi. Disebabkan oleh control negara yang sangat kuat, maka nyaris tidak dijumpai gerakan ekstrimisme di kalangan nagara Brunei. Selain itu juga law enforcement dalam kerangka untuk menanggulangi gerakan ekstrimisme.
Perwakilan Indonesia, menyatakan bahwa media sosial dan informasi telah digunakan untuk menyebarkan gerakan ekstrim ini. Ada tiga media yang digunakan, yaitu melalui media publikasi konvensional, media publikasi online dan media sosial. Mengacu pada gerakan 212 yang luar biasa dari jumlah pesertanya, maka yang digunakan ialah media sosial. Mereka memiliki kekuatan yang dahsyat untuk memviralkan massage tentang perlunya bergiat di dalam acara “membela Islam”. Rentetan kegiatan ini sukses berkat penguasaan media sosial yang massif.
Di dalam konteks menanggulangi bahaya ekstrimisme, maka pemerintah telah membangun jejaring antar kementerian, melakukan pembreidelan terhadap situs-situs yang mengandung kekerasan dan juga membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan juga melahirkan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Upaya ini dilakukan agar pergerakan organisasi yang mengusung jihad, anti Pancasila dan NKRI dan juga Islam yang ditafsirkan dengan bias akan dapat dinihilkan, sekurang-kurangnya dibasmi sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Berdasarkan presentasi yang dilakukan oleh 4 (empat) negara anggota MABIMS, maka digarisbawahi ada beberapa hal yang mendasar sebagai cara perlawanan terhadap gerakan ekstrimisme yang semakin menggejala, yaitu: pertama, menggalakan pendidikan berbasis pada prinsip Islam wasathiyah atau Islam rahmatan lil alamin. Pendidikan kita harus mengajarkan tentang prinsip-prinsip Islam damai, Islam wasathiyah atau Islam rahmatan lil alamin. Di Kementerian Agama RI, misalnya sudah dilakukan upaya mengajarkan pendidikan yang berbasis pada Islam rahmatan lil alamin. Sudah ada kurikulum dan silabinya, ada metode pembelajarannya dan juga sudah diterapkan secara memadai.
Kedua, memperkuat literasi media, yaitu dengan cara memberikan pencerahan kepada warga bangsa agar jangan terprovokasi ujaran-ujaran kebencian (hate speech), harus cerdas menyikapi informasi yang datang kepada kita, pilah sebelum pilih, check sebelum menyebarkan dan sebagainya. Hoax ada di sekeliling kita, maka kita harus cerdas menghadapinya.
Ketiga, memperkuat penggunaan media untuk melawan hoax atau konten ekstrim. Harus diperbanyak konten berita tentang Islam yang ramah, Islam damai, Islam wasathiyah dan juga Islam rahmat. Para ulama, para cendekiawan, para akademisi dan juga masyarakat umum agar terus mengibarkan tentang pentingnya kedamaian bagi setiap bangsa. Kita harus semakin banyak menguasai media informasi yang jumlahnya semakin banyak itu.
Keempat, memperkuat jejaring kerjasama antar pemerintah, antar pemerintah dengan lembaga dan kementerian lain untuk menanggulangi ekstrimisme. Untuk mencegah dan menanggulangi gerakan ekstrim tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri akan tetapi melalui kebersamaan seluruh komponen warga bangsa.
Kelima, law enforcement di semua negara anggota MABIMS. Kita tentu bersyukur bahwa semua negara anggota MABIMS sudah memiliki regulasi untuk memperkuat posisi negara dalam menanggulangi ekstrimisme. Dengan keberadaan Undang-Undang ini, maka dimaksudkan agar penanggulangan gerakan ekstrimisme akan semakin menguat dan berdaya guna dalam kerangka memberikan perlindungan kepada warga bangsa untuk merasa damai dan tentaram.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SOM-MABIMS DAN GERAKAN ANTI EKSTRIMISME (1)

SOM-MABIMS DAN GERAKAN ANTI EKSTRIMISME (1)
Senior of Meeting (SOM) Menteri Agama Negara Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura disingkat MABIMS telah menyelesaikan agenda Mesyuarat ke 42 di Jogyakarta, yang diikuti oleh 4 (empat) Negara, yaitu Kerajaan Malaysia, Kerajaan Brunei Darussalam, Republik Indonesia dan Republik Singapura. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 26-28 Oktober 2017.
Sesuai dengan kertas tema yang disepakati pada waktu pertemuan di Malaysia tahun lalu (2016), maka SOM kali ini mengambil tema “Menanggulangi Ekstrimisme melalui Media Teknologi Informasi”. Saya kira tema ini relevan dengan kenyataan sosial-politik yang terus berubah dewasa ini di tengah globalisasi yang semakin kuat cengkeramannya.
Saya kira tidak ada yang meragukan tentang bagaimana tingkah polah kaum ekstrimis yang semakin mencemaskan. Misalnya, tiba-tiba saja di Filipina Selatan bergejolak dengan hadirnya pembangkangan politik dengan keinginan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka. Daerah ini yang dahulu cukup kondusif untuk kehidupan warganya, lalu menjadi medan perang yang luar biasa.
Adalah Hapilon dan Maute yang mendalangi serangkaian keganasan politik tersebut. Dan sebagaimana biasanya, ketika tema yang diusung mereka adalah mendirikan negara Islam, maka berbondong-bondong datang para jihadis untuk memperkuatnya. Maka banyak orang Indonesia yang dahulu berjuang di Afghanistan dan juga Iraq dan Syria, lalu bergabung dengan mereka di Marawi ini.
Untungnya bahwa Hapilon dan Maute sudah menjadi martir di dalam gerakan ekstrimisme ini. mereka berdua sudah meninggal dalam serangan militer Filipina beberapa saat yang lalu. Hanya yang dikhawatirkan adalah antek-anteknya yang bisa saja memasuki wilayah, khususnya Indonesia yang berbatasan langsung dengan Mindanao dan tentu juga banyak jalan tikus yang bisa dilaluinya. Pergerakan dari Marawi ke Indonesia ini yang saya kira sudah disadari oleh militer Indonesia, sehingga penjagaan di wilayah yang berbatasan dengan Filipina akan menjadi prioritas pengawasan.
Ekstrimisme memang telah menjadi fenomena dunia. Tidak hanya di negara-negara Asia, akan tetapi juga di Eropa dan Amerika. Beberapa peristiwa yang terjadi di Perancis, Jerman dan beberapa negara lain lalu bisa dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) karena mereka telah terdesak di Iraq dan Syria. Pertahanan mereka terakhir di Raqqa juga sudah jatuh ke tangan pemerintah Syria. Makanya, kemudian bisa saja mereka kemudian menyebar di seluruh dunia dan membuat kegaduhan di beberapa tempat.
Semenjak dideklarasikannya ISIS, maka banyak mantan kombatan dari Indonesia yang menyatakan kesetiaan kepada Abu Bakar Al Baghdadi, yang menganggap dirinya sebagai Khalifah dalam kekhilafahan ISIS. Di antara mereka ialah Abu Bakar Baasyir dengan Jamaah Ansharud Tauhid (JAT) dan berafiliasi kepada Gerakan Salafi Jihadi yang berbasis pada Al Qaeda, dan Aman Abdurahman melalui Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi kepada gerakan Takfiri atau ISIS. Meskipun keduanya berbeda dalam basis gerakannya, akan tetapi keduanya menyokong terhadap Abu Bakar Al Baghdadi dengan ISIS-nya.
Pasca kehancuran ISIS, maka orang Indonesia yang terpengaruh oleh garakan ini lalu berkeinginan kembali. Menurut penuturan Jenderal Mohammad Tito Karnavian, bahwa ada sebanyak 678 orang yang kembali ke Indonesia, lalu sebanyak 97 orang yang tewas dan 66 orang yang digagalkan keberangkatannya ke Iraq dan Syria. Mereka ini yang harus diawasi dengan seksama pergerakannya. Berbeda dengan Singapura yang sangat keras, sehingga begitu mereka datang langsung dijemput untuk ditangkap, maka di Indonesia tidak didapati hal seperti ini. Makanya, banyak alumni dari gerakan ekstrim ini yang kemudian membangun jejaring baru dan melakukan terror bom di berbagai tempat.
Gerakan terror melalui bom di Mapolres Solo, bom kompleks pertokoan Sarinah Jakarta, dan beberapa rencana pengeboman di Istana Negara dan lain-lain adalah mereka yang dijadikan sebagai “pengantin” bom bunuh diri yang dipengaruhi oleh mereka yang balik kembali dari Afghanistan atau ISIS. Dengan demikian, gerakan-gerakan ekstrim kiranya akan selalu eksis, jika tidak dilakukan gerakan membasmi mereka secara memadai. Densus 88 saya kira sudah tepat di dalam melakukan upaya untuk mengendus dan memata-matai gerakan-gerakan seperti ini.
Berbeda dengan Singapura yang memiliki prinsip “layu sebelum berkembang” atau basmi secepatnya sebelum mereka melakukan terror, maka pemerintah Singapura memang sangat keras terhadap gerakan-gerakan ekstrim ini.
Di dalam acara SOM, semua negara memaparkan tentang “pengalaman” yang dilakukannya di dalam mengkounter terhadap gerakan ekstrimisme. Dan saya merasa sangat bergembira bahwa semua negara anggota MABIMS memiliki kesepahaman di dalam kerangka melawan terhadap gerakan ekstrimisme.
Di tengah gempuran media teknologi informasi, maka negara memang harus hadir di dalam memberikan pencerahan untuk kepentingan penanggulangan atau pembasmian terhadap kaum ekstrimis agar kehidupan negara bangsa akan selalu aman dan tenteram
Sungguh melalui SOM-MABIMS ini kita mendapatkan pengalaman dan sekaligus juga kesepakatan untuk terus melawan ekstrimisme khususnya melalui teknologi informasi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGOTIMALISASIKAN POTENSI MAHASISWA PTKIN (2)

MENGOTIMALISASIKAN POTENSI MAHASISWA PTKIN (2)
Saya terus terang memiliki concern khusus terhadap dunia pendidikan tinggi, sebab saya adalah bagian tidak terpisahkan dari dunia ini. Itulah sebabnya saya selalu merasa tertantang ketika diundang oleh perguruan tinggi untuk memberikan presentasi atau apapun, sebab bagi saya seperti menuai kembali dunia akademis yang selama ini saya tinggalkan.
Saya selalu menyatakan di setiap momentum bertemu dengan para dosen dan juga mahasiswa bahwa lembaga pendidikan tinggi merupakan proyek ambisius untuk melahirkan orang-orang hebat dalam sejarah kemanusiaan. Perguruan tinggi merupakan kawah condrodimuko untuk menggembleng calon-calon pemimpin bangsa yang tentu memiliki kelebihan dalam banyak hal dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Di perguruan tinggilah kita akan dapat menyemai talenta-talenta di dalam berbagai hal untuk menjemput masa depan bangsa yang lebih hebat dan gemilang. Jadi, di perguruan tinggilah sesungguhnya tempat yang paling ideal untuk mencetak manusia yang unggul dan kompetitif di era milenial yang penuh tantangan dan prospektif ini. Lalu, siapa yang bertanggungjawab atas semua ini, tentu adalah institusi pemerintah, institusi pendidikan, dan semua yang memiliki semangat untuk mengembangkan potensi bangsa.
Bagi PTKIN, tentu Kementerian Agama memiliki tanggungjawab untuk mengoptimalkan anggaran bagi kesempurnaan PT. Bagi institusi pendidikan, seperti pimpinan lembaga (rector dan jajarannya), dosen sebagai tenaga pendidik, dan mahasiswa tentu memiliki peran yang sangat signifikan untuk menggapai semua ini. Tidak bisa dibebankan tugas ini kepada orang lain, akan tetapi kita sebagai warga institusi pendidikanlah yang bertanggung jawab.
Saya ingin memperdalam tulisan saya sebelumnya, yang menggagas pentingnya ”sekolah-sekolah” dalam institusi pendidikan. Mungkin ada di antara kita yang bertanya, apa perlunya “sekolah-sekolah” dalam lembaga pendidikan. Bukankah lembaga pendidikan sudah sekolah itu sendiri. Yang saya maksudkan dengan “sekolah-sekolah” ini sesungguhnya ialah lembaga-lembaga yang secara khusus akan menghandle tentang dimensi “student interest” yang akan dipilih para mahasiswa.
Misalnya, “school of research”, maka sekolah ini adalah tempat untuk memperdalam ketertarikan mahasiswa untuk belajar lebih mendalam berbasis pada research sungguhan terkait dengan kehidupan masyarakat. Jika di dalam system perkuliahan, mahasiswa sudah diperkenalkan tentang riset dan seluk beluknya, maka di dalam “school of research” inilah mereka akan dilatih lebih mendalam dengan pengalaman-pengalaman riset di sekelilingnya.
Mahasiswa akan dilatih kepekaan untuk membaca situasi sosial, setting sosial, dan agenda-agenda ke depan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Jadi mereka tidak hanya hafal prosedur riset, akan tetapi bagaimana riset itu dilakukan. Dengan begini maka mereka akan memiliki kecenderungan untuk “lebih” cerdas dalam membaca situasi sosial dan berbagai aspeknya sehingga benar-benar dia akan menjadi orang yang memahami riset dan aplikasinya.
Jika merunut pada pengalaman saya, maka sesungguhnya saya memiliki kecendrungan yang sangat kuat di bidang riset karena pengalaman yang saya dapatkan di kala saya menjadi mahasiswa. Pada tahun 1981-1984, saya terlibat di dalam penelitian yang diselenggarakan oleh Yayasan Kependudukan Indonesia (YASIKA) di bawah koordinasi Prof. Dr. Burhan Magenda dari UI, dan di Jawa Timur dikoordinasi oleh Dr. MS. Abbas, dan saya menjadi group leader dari para pewawancara di kala itu. Lalu juga penelitian dari Bank Dunia, dengan tema “Kampung Improvement Program” atau KIP di Surabaya. Dari pengalaman inilah yang kemudian menjadikan saya memiliki concern untuk melakukan penelitian lapangan sebagai suatu kapasitas yang terus saya kembangkan.
Dari pengalaman ini, maka saya kemudian menekuni dunia penelitian, sehingga menghasilkan beberapa karya yang berbasis pada penelitian lapangan. Jadi, bekal pengalaman lapangan dalam suatu bidang itu tentu sangat penting untuk mengantarkan yang bersangkutan agar memiliki kepekaan dalam bidang yang ingin digelutinya.
Oleh karena itu, saya kira bahwa “school of research” akan menjadi sangat bermakna dalam kerangka untuk mengantarkan mahasiswa memiliki kapasitas lebih yang disebabkan oleh keterlibatnnya di dalam pengalaman-pengalaman lapangan. Mereka akan mendapatkan sertifikat dan juga bisa mengunggah hasil penelitian lapangannya di media yang harus kita rancang untuk kepentingan mereka.
Untuk melakukan semua ini, saya kira memang butuh pengorbanan. Jadi para dosen harus dipacu agar terus mengobarkan semangat untuk menemukan atau to discover dalam kehidupannya. Jadi para dosen tidak hanya menuntut tunjangan sertifikasinya agar dibayarkan tepat waktu, akan tetapi juga berwakaf dalam bidang ilmu yang diajarkannya lebih dari sekedar mengajar dengan jumlah satuan kredit semester (sks), sejumlah 13 sks.
Alangkah ironinya jika dosen hanya berpikir untuk dirinya sendiri, sementara tugas untuk mendidik anak bangsa agar dapat mengemban tugas Indonesia Emas, 2045, justru terabaikan.
Wallahu a’lam bia al shawab.

MENGOPTIMALISASIKAN POTENSI MAHASISWA PTKIN (1)

MENGOPTIMALISASIKAN POTENSI MAHASISWA PTKIN (1)
Di dalam kunjungan saya ke UIN Sunan Ampel Surabaya dalam kerangka monitoring Pelaksanaan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil, khusus untuk rekruitmen dosen, maka saya berkesempatan untuk menghadiri forum Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi pada UIN Sunan Ampel Surabaya, 25/10/2017. Acara ini digelar di Ruang Amphitheater UIN Sunan Ampel Surabaya di Lantai 2 yang ruangannya sangat baik dan berkualitas.
Acara ini dihadiri oleh Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Abdul A’la, yang baru saja menerima penghargaan sebagai Santri Berprestasi di bidang pendidikan dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional, Prof. Dr. H. Moh. Ali Aziz, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang berkeliling dunia memperkenalkan “Terapi Shalat Bahagia”, Dr. Rr. Suhartini, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prof. Dr. Aswadi, Drs. Isa Anshori, MSi, para dosen, dan mahasiswa program Strata 1 maupun program magister. Acara ini dipandu oleh Dr. Agus Santoso, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi pada UIN Sunan Ampel Surabaya.
Acara di Surabaya tentu merupakan acara yang bagi saya bernilai nostalgia, sebab di tempat ini, saya dibesarkan dan menggapai asa menjadi pimpinan tertinggi (rector) selama 3 (tiga) tahun. Masa-masa yang sangat indah dan penuh tantangan. Ada capaian keberhasilan dan ada proyek rintisan yang berhasil diraih pada saat kepemimpinan tahap berikutnya. Dan nanti kalau sudah saatnya tiba, artinya tidak lagi menjabat dalam jabatan structural, maka tentu akan kembali mengabdikan diri sebagai dosen di perguruan tinggi ini.
Tema yang diusung di dalam Seminar nasional ini ialah “Masa Depan Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi di Era Milenial”. Suatu tema yang sangat prospektif, tetapi juga penuh tantangan dan hambatan untuk menjawabnya. Tentu saja saya merasa juga tertantang untuk menghadirkan presentasi yang memadai di kampus ini. Apalagi di antara mahasiswa tentu berharap bahwa akan didapatkan solusi yang memadai tentang apa dan bagaimana mereka ke depan harus menghadapi era milenial yang penuh dengan “ketidakpastian” dan tantangan tersebut.
Di dalam kesempatan ini, maka saya gambarkan ada 2 (dua) pertanyaan yang tentunya harus kita jawab secara optimal. Pertama, mengapa kita harus memperkuat pendidikan di Indonesia? Saya sering menyatakan bahwa pendidikan merupakan kata kunci untuk mengembangkan SDM Indonesia. Jika pendidikannya baik, maka akan bisa dipastikan bahwa SDM kita juga baik. Pendidikan merupakan instrument terbaik bagi bangsa ini untuk mengentaskan diri dari keterpurukan, keterbelakangan dan keterpinggiran. Jika kita tidak ingin berkubang di dalam hal ini, maka kuncinya ialah memperbaiki kualitas pendidikan kita.
Dewasa ini, Indeks Pengembangan Manusia (IPM) kita turun, yang pada tahun 2015 berada di peringkat 110 dari 188 Negara di dunia, maka sekarang IPM kita menduduki peringkat 113 dunia. Jauh dibandingkan dengan Thailand yang sudah memasuki peringkat 89 dunia. Itu artinya, bahwa kita memang masih berada di level negara berkembang dan belum beranjak untuk menjadi negara maju. Akan tetapi kita merasa bergembira karena kualitas manusia Indonesia semakin baik, sebab perkembangannya secara kualitatif memang memadai.
Saya tekankan bahwa kita memang tidak tepat membandingkan negeri ini dengan Negara Singapura, sebab sebagai Negara Kota, maka jumlah penduduknya sangat kecil dan luas wilayahnya juga terbatas. Namun demikian, cara Singapura mengembangkan SDM-nya tentu bisa dijadikan sebagai contoh yang baik.
Lalu dari sisi Indeks Kompetisi Global (IKG) atau Global Competition Index (GCI), kita bersyukur bahwa GCI kita meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu terdapat lompatan 5 (lima) digit, dari peringkat 39 ke peringkat 34. Suatu pertanda baik, bahwa di tengah kompetisi global dalam berbagai aspek kehidupan ini, kita bisa merangsek ke posisi yang lebih tinggi.
Kita harus menyadari bahwa di era globalisasi ini, maka kata saktinya ialah kompetisi. Sebab tidak ada negara yang tidak terus menerus berupaya agar kompetisi bangsanya bisa meningkat. Kita akan menghadapi persaingan antar bangsa yang sangat ketat. Kita akan semakin berebut pasar dunia, baik pasar kerja maupun komoditas. Di dalam bursa kerja, maka akan terjadi persaingan yang sangat ketat, sebab setiap negara akan berupaya untuk menjadi negara yang bisa menguasai pasar kerja internasional. Demikian pula pasar komoditas, juga akan terjadi kompetisi yang sangat keras untuk saling menguasai, saling mendominasi dan saling berebut keuntungan secara finansial. Jadi kita semua harus melakukan kerja besar dalam kerangka untuk membangun kemampuan kompetisi di era yang makin kompleks ini.
Kedua, lalu apa yang bisa kita lakukan? Saya kira jawaban yang tepat ialah bahwa kita harus mengoptimalkan potensi yang kita miliki, jangan hanya penguatan potensi intelektual (intellectual intelligent) saja, akan tetapi juga harus mengoptimal potensi sosial (social intelligent), potensi emosi (emotional intelligent) dan bahkan juga potensi spiritual (spiritual intelligent). Jika kita bisa mengoptimalkan 5 (lima) potensi ini sekaligus, maka kita akan menuai keberhasilan di dalam kompetisi global yang sedang berlangsung. Jangan hanya ranah akal saja yang diperkuat, akan tetapi juga ranah lainnya. Jangan hanya menghasilkan anak cerdas secara intelektual saja, akan tetapi juga harus cerdas lainnya.
Di sinilah letaknya sinergi antara dosen dan mahasiswa. Makanya, ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Dosen tidak hanya sebagai penyebar pengetahuan—sebab ini juga bisa didapatkan dari internet—akan tetapi justru mengembangkan 3 (tiga) potensi lainnya itulah yang merupakan tugas dosen yang hakiki yang tidak bisa didapatkan dari internet. Saya selalu memandang bahwa kelebihan dosen ialah tentang bagaimana para dosen menjadikan mahasiswanya sebagai makhluk yang hebat dengan menemuan dan upaya untuk terus berkarya. 2) saya kira bahwa mahasiswa harus dibekali dengan optimalisasi kapasitasnya. PT perlu menyediakan berbagai program untuk mengembangkan kapasitas ini. Jadi yang disentuh di dalam program pembelajaran bukan hanya potensi intelektualnya, akan tetapi juga keahlian dan ketrampilan. Mahasiswa harus dididik agar mengenali dirinya dan potensi atau kapasitas dirinya. Lalu, mereka diberikan pilihan, misalnya akan menjadi akademikus, menjadi pengusaha, menjadi manager, menjadi pemimpin atau menjadi apa saja yang dihendakinya. Jadi menurut saya harus ada “sekolah kepemimpinan”, “sekolah pengusaha”, “sekolah manager”, “sekolah menulis”, “sekolah kepribadian”, “sekolah produk halal”, “sekolah riset”, dan sebagainya yang dikelola secara baik dan terukur. Dari sini akan menghasilkan sertifikat-sertifikat yang akan bisa dijadikan sebagai jalan untuk menuju kehidupan yang sesungguhnya.
Untuk program ini, maka PT bisa melakukannya sendiri dengan bekerja sama dengan lembaga yang accredited sehingga akan memperoleh recognition yang memadai atau akan dilakukan oleh pihak lain melalui kerja sama. Saya kira ada banyak pilihan yang bisa dilakukan dalam kerangka memperkuat mahasiswa ini, agar ke depan mereka akan mampu bersaing dengan dunia yang makin sempit dan kompleks ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.