Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SOM-MABIMS DAN GERAKAN ANTI EKSTRIMISME (1)

SOM-MABIMS DAN GERAKAN ANTI EKSTRIMISME (1)
Senior of Meeting (SOM) Menteri Agama Negara Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura disingkat MABIMS telah menyelesaikan agenda Mesyuarat ke 42 di Jogyakarta, yang diikuti oleh 4 (empat) Negara, yaitu Kerajaan Malaysia, Kerajaan Brunei Darussalam, Republik Indonesia dan Republik Singapura. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 26-28 Oktober 2017.
Sesuai dengan kertas tema yang disepakati pada waktu pertemuan di Malaysia tahun lalu (2016), maka SOM kali ini mengambil tema “Menanggulangi Ekstrimisme melalui Media Teknologi Informasi”. Saya kira tema ini relevan dengan kenyataan sosial-politik yang terus berubah dewasa ini di tengah globalisasi yang semakin kuat cengkeramannya.
Saya kira tidak ada yang meragukan tentang bagaimana tingkah polah kaum ekstrimis yang semakin mencemaskan. Misalnya, tiba-tiba saja di Filipina Selatan bergejolak dengan hadirnya pembangkangan politik dengan keinginan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka. Daerah ini yang dahulu cukup kondusif untuk kehidupan warganya, lalu menjadi medan perang yang luar biasa.
Adalah Hapilon dan Maute yang mendalangi serangkaian keganasan politik tersebut. Dan sebagaimana biasanya, ketika tema yang diusung mereka adalah mendirikan negara Islam, maka berbondong-bondong datang para jihadis untuk memperkuatnya. Maka banyak orang Indonesia yang dahulu berjuang di Afghanistan dan juga Iraq dan Syria, lalu bergabung dengan mereka di Marawi ini.
Untungnya bahwa Hapilon dan Maute sudah menjadi martir di dalam gerakan ekstrimisme ini. mereka berdua sudah meninggal dalam serangan militer Filipina beberapa saat yang lalu. Hanya yang dikhawatirkan adalah antek-anteknya yang bisa saja memasuki wilayah, khususnya Indonesia yang berbatasan langsung dengan Mindanao dan tentu juga banyak jalan tikus yang bisa dilaluinya. Pergerakan dari Marawi ke Indonesia ini yang saya kira sudah disadari oleh militer Indonesia, sehingga penjagaan di wilayah yang berbatasan dengan Filipina akan menjadi prioritas pengawasan.
Ekstrimisme memang telah menjadi fenomena dunia. Tidak hanya di negara-negara Asia, akan tetapi juga di Eropa dan Amerika. Beberapa peristiwa yang terjadi di Perancis, Jerman dan beberapa negara lain lalu bisa dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) karena mereka telah terdesak di Iraq dan Syria. Pertahanan mereka terakhir di Raqqa juga sudah jatuh ke tangan pemerintah Syria. Makanya, kemudian bisa saja mereka kemudian menyebar di seluruh dunia dan membuat kegaduhan di beberapa tempat.
Semenjak dideklarasikannya ISIS, maka banyak mantan kombatan dari Indonesia yang menyatakan kesetiaan kepada Abu Bakar Al Baghdadi, yang menganggap dirinya sebagai Khalifah dalam kekhilafahan ISIS. Di antara mereka ialah Abu Bakar Baasyir dengan Jamaah Ansharud Tauhid (JAT) dan berafiliasi kepada Gerakan Salafi Jihadi yang berbasis pada Al Qaeda, dan Aman Abdurahman melalui Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi kepada gerakan Takfiri atau ISIS. Meskipun keduanya berbeda dalam basis gerakannya, akan tetapi keduanya menyokong terhadap Abu Bakar Al Baghdadi dengan ISIS-nya.
Pasca kehancuran ISIS, maka orang Indonesia yang terpengaruh oleh garakan ini lalu berkeinginan kembali. Menurut penuturan Jenderal Mohammad Tito Karnavian, bahwa ada sebanyak 678 orang yang kembali ke Indonesia, lalu sebanyak 97 orang yang tewas dan 66 orang yang digagalkan keberangkatannya ke Iraq dan Syria. Mereka ini yang harus diawasi dengan seksama pergerakannya. Berbeda dengan Singapura yang sangat keras, sehingga begitu mereka datang langsung dijemput untuk ditangkap, maka di Indonesia tidak didapati hal seperti ini. Makanya, banyak alumni dari gerakan ekstrim ini yang kemudian membangun jejaring baru dan melakukan terror bom di berbagai tempat.
Gerakan terror melalui bom di Mapolres Solo, bom kompleks pertokoan Sarinah Jakarta, dan beberapa rencana pengeboman di Istana Negara dan lain-lain adalah mereka yang dijadikan sebagai “pengantin” bom bunuh diri yang dipengaruhi oleh mereka yang balik kembali dari Afghanistan atau ISIS. Dengan demikian, gerakan-gerakan ekstrim kiranya akan selalu eksis, jika tidak dilakukan gerakan membasmi mereka secara memadai. Densus 88 saya kira sudah tepat di dalam melakukan upaya untuk mengendus dan memata-matai gerakan-gerakan seperti ini.
Berbeda dengan Singapura yang memiliki prinsip “layu sebelum berkembang” atau basmi secepatnya sebelum mereka melakukan terror, maka pemerintah Singapura memang sangat keras terhadap gerakan-gerakan ekstrim ini.
Di dalam acara SOM, semua negara memaparkan tentang “pengalaman” yang dilakukannya di dalam mengkounter terhadap gerakan ekstrimisme. Dan saya merasa sangat bergembira bahwa semua negara anggota MABIMS memiliki kesepahaman di dalam kerangka melawan terhadap gerakan ekstrimisme.
Di tengah gempuran media teknologi informasi, maka negara memang harus hadir di dalam memberikan pencerahan untuk kepentingan penanggulangan atau pembasmian terhadap kaum ekstrimis agar kehidupan negara bangsa akan selalu aman dan tenteram
Sungguh melalui SOM-MABIMS ini kita mendapatkan pengalaman dan sekaligus juga kesepakatan untuk terus melawan ekstrimisme khususnya melalui teknologi informasi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..