• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN POLITIK 2018-2019 (1)

AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN POLITIK 2018-2019 (1)
Di dalam kesempatan yang penting acara Studium Genarale dengan tema “Agama dan Politik”, yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 3/11/2017, saya menyampaikan beberapa hal, terutama issue menarik di seputar tahun politik 2018-2019. Hadir pada acara ini ialah Prof. Dr. Abd. A’la (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya), Prof. Dr. Ahmad Muzakki, (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik), Dr. Zumroatul Mukaffa (Warek II) dan sejumlah dosen pada FISIP UIN Sunan Ampel dan para mahasiswa program studi Sosiologi, Hubungan Internasional dan Ilmu Politik.
Pada setiap saya menghadiri acara seminar atau apapun di perguruan tinggi, saya selalu merasakan bahwa saya masih seorang dosen, sebagaimana 6 (enam) tahun yang lalu, di saat saya bersama mahasiswa di perguruan tinggi berbicara tentang banyak hal, terutama tentang “paradigm Ilmu Agama, Sosial dan Budaya” khususnya pada program studi doctor pada Program Pascasarjana UIN SunanAmpel.
Meskipun demikian, hingga saat ini, saya masih merasakan bahwa saya hakikatnya adalah dosen, hanya sedang off saja dari kerja utama itu. Sebab meskipun menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, kenyataannya juga memberikan masukan, pengarahan dan juga pendampingan terhadap para pejabat dan pelaksana pada Kementerian Agama. Jadi saya tetap merasa bahwa saya adalah dosen dalam konteks umum.
Sebentar lagi, dua bulan, kita akan memasuki tahun baru. Dan tahun tersebut oleh para politisi dan juga akademisi disebut sebagai tahun politik. Tahun politik tetap dimulai setahun sebelum pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), baik untuk Pemilihan Presiden/Wakil Presiden maupun pilihan legislative (anggota DPR, DPRD dan juga DPD). Makanya, tahun 2018 dan 2019 disebut sebagai tahun politik.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, maka tahun politik tentu diindikasikan dengan “kegaduhan” dalam kehidupan politik, sosial dan bahkan agama. Meskipun terkadang juga masuk ke dalam wilayah ekonomi dan budaya. Namun demikian, yang sering menjadi peligimasi ialah agama. Sebagaimana pengalaman selama ini, agama bisa menjadi “penyemangat” dinamika politik yang terus bergerak dengan cepat dan massif.
Kita tentu masih ingat, bagaimana pilkada DKI yang sarat dengan bumbu penyedap “agama”. Kasus yang bergulir dan kemudian menjadi hembusan angin yang kencang terkait dengan issue penodaan agama. Menghabiskan energy banyak orang, baik politisi maupun agamawan. Para kyai, ajengan, habaib dan juga tokoh agama menjadi sibuk “bertarung” melawan siapa saja yang dianggap sebagai rivalnya.
Semua memberikan gambaran bahwa jika terjadi suasana politik—perebutan kekuasaan—dalam berbagai peringkatnya, maka di situlah dipastikan akan terjadi suasana pertentangan, rivalitas dan konflik, yang tidak jarang juga menghasilkan sekat-sekat atau penggolongan sosial berbasis agama. Di dalam pilkada DKI, maka dikenal kelompok 212 dan turunannya, serta kelompok lain “penyokong dan pendukung” Ahok.
Menjelang tahun politik ini, maka ada beberapa hal yang harus dicermati, yaitu: pertama, Issue Kesenjangan Sosial. Memang sebuah kenyataan bahwa kesenjangan sosial masih merupakan bagian tidak terpisahkan dari realitas sosial di negeri ini. Ada sejumlah kecil orang yang sangat kaya (22 orang) dan sementara sebagian lainnya berada di dalam kenyataan miskin atau bahkan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan indicator kemiskinan yang dirumuskan oleh pemerintah, maka ukuran garis kemiskinan juga sangat rendah. Yaitu ukuran miskin ialah jika pendapatan perkapita penduduk ialah Rp354.386,- atau setara dengan USD 25. Dengan ukuran ini maka terdapat sebanyak 11 persen penduduk miskin di Indonesia, dan jawa Timur menyumbang 4,78 juta penduduk miskin tersebut.
Dari sejumlah orang superkaya tersebut, maka Chairul Tanjung berada di posisi 359, sementara yang tertinggi R. Budi Hartono berada di dalam posisi 140 dan terendah Alexander Tedja berada di rangking 1940. Kekayaan terendah dari 22 orang terkaya itu ialah Rp13 trilyun rupiah. Jumlah orang kaya di dunia dalam laporan Majalah Forbes sebanyak 2043 orang saja. Mereka inilah yang menguasai mayoritas kekayaan negara di dunia.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Joseph E. Stiglitz dalam bukunya “The Great Divide, Unequal Societies and What We Can Do About Them”, maka fenomena tersebut merupakan kenyataan sosial dunia yang memang nyata atau realistis. 1 persen menguasai lebih dari mayoritas persentase kekayaan dunia. Di Indonesia, ada sejumlah 1 (satu) persen orang kaya yang menguasai 49.3 persen kekayaan negara. Kenyataan ini bukan hanya di Indonesia, akan tetapi adalah fenomena dunia Indonesia merupakan negara keempat dilihat dari sisi peringkat penguasaan kekayaan negara ini. di atas Indonesia terdapat Rusia, India dan Thailand.
Mengapa issue kesenjangan menjadi penting untuk dicermati di dalam tahun politik, sebab kebanyakan yang berada di level kesenjangan ialah umat Islam. Hal inilah yang menjadi menarik, sebab issue kesenjangan sosial akan dapat menjadi berita tentang ketidakberhasilan pemerintah mengerem laju para konglomerat untuk terus menguasau kekayaan negara dan sementara itu umat Islam berada di level terpuruk. Bahkan juga akan berlanjut pada issue kertidakadilan sosial dan ekonomi.
Memahami terhadap kesenjangan sosial seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa issue tersebut akan menjadi issue yang patut dicermati dalam tahun politik 2018 dan 2019. Makanya, kaum akademisi harus terus mencermati hal ini dan kemudian mencarikan solusinya untuk menangkal issue tersebut secara lebih memadai.
Wallahu a’lam bi al shawab.

REFORMASI KUA KENAPA PENTING?

REFORMASI KUA KENAPA PENTING?
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan wejangan bagi para peserta Musabaqah baca Kitab Kuning atau teks klasik Islam dan lomba karya tulis ilmiah para penghulu yang datang dari seluruh Indonesia. Mereka adalah yang terpilih di tingkat provinsi dari seluruh Indonesia. Suatu kebanggaan tentu saja terlibat di dalam acara penting seperti ini.
Acara ini diselenggarakan di Hotel Arya Duta Jakarta, 31/10/2017, dan dihadiri oleh Direktur Pembinaan KUA dan Keluarga Sakinah, Dr. Mohsen Al Aidrus, para kasubdit dan para peserta lomba baca kitab kuning dan karya ilmiah. Saya juga bersyukur karena sebelum acara dimulai saya sempat bertemu dengan KH. Dr. Malik Madani, orang NU yang luar biasa dalam membela dan berkhidmat untuk organisasi ini.
Menurut saya, ada beberapa factor yang menyebabkan mengapa KUA harus direformasi. Pertama, Kantor Urusan Agama (KUA) adalah wajah depan Kemenag. Jika orang melihat Kemenag, maka yang dilakukan ialah melihat KUA ini. Artinya, bahwa baik dan buruknya wajah Kemenag akan bisa dilihat dari performa KUA. Hal ini disebabkan karena KUA adalah sector layanan terdepan dari Kemenag. KUA merupakan kantor kementerian yang merupakan garda depan dan pintu depan kemenag dan mempunyai hubungan langsung dengan masyarakat. Makanya, layanan KUA menjadi barometer awal bagi pelayanan Kemenag secara keseluruhan.
KUA merupakan tempat untuk melayani urusan dasar kehidupan, yaitu pernikahan, penyuluhan agama, dan urusan administrasi dasar lainnya seperti wakaf, akta nikah, dan sebagainya. Sebagai layanan dasar, maka tentu KUA bersentuhan langsung dengan urusan masyarakat tersebut.
Kedua, KUA memiliki peran strategis dalam pembinaan kehidupan beragama. Keberhasilan kehidupan beragama di suatu wilayah tentu sangat tergantung kepada bagaimana memerankan diri sebagai tempat untuk membangun jejaring pembinaan kehidupan beragama. KUA memiliki peran untuk mengejawantahkan penguatan kehidupan beragama, kerukunan umat beragama, pelayanan haji, dan pelayanan Kementerian lainnya. Sesungguhnynya, KUA tidak hanya berperan untuk urusan administrative saja, akan tetapi juga untuk kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Sungguh bahwa KUA bisa menjadi tempat yang sangat strategis dalam kerangka untuk membangun kehidupan agama yang lebih baik, untuk sekarang maupun yang akan datang.
Ketiga, KUA merupakan institusi pemerintah yang berada di garis depan untuk melakukan deteksi dini terhadap kehidupan umat beragama. Makanya, saya berharap agar kepala KUA maupun stafnya, para penghulu dan juga para penyuluh agama haruslah menjadi detector dini terhadap permasalahan-permasalahan umat beragama. Jangan sampai sebuah permasalahan sudah terangkat ke permukaan melalui media sosial maupun media elektronik lainnya, akan tetapi mereka yang berada di garis depan ini belum mengetahuinya.
Keempat, sebagai wajah depan Kemenag maka KUA harus melakukan perubahan demi perubahan. Tidak boleh stagnan. Salah satu di antara perubahan terkait dengan reformasi birokrasi di KUA ialah dengan melakukan transparansi dan akuntabilitas. Kita tentu merasakan bahwa KUA sebagai wajah depan Kemenag tentu rentan terhadap keluhan, ketidakpuasan atas pelayanan, dan juga dugaan perilaku koruptif.
Kita pernah merasa tertohok di saat dinyatakan bahwa KUA adalah lahan tempatnya korupsi. Bahkan dihitung trilyunan rupiah. Angka ini muncul karena system pengalian yang diberlkukan atas kasus beberapa KUA terkait dengan biaya pernikahan dan juga dugaan gratifikasi yang diterima oleh kepala KUA atau penghulu.
Sebagaimana lazimnya, bahwa pernikahan lebih banyak dilakukan di rumah calon pengantin. Makanya, juga banyak pernikahan yang dilakukan bukan di kantor. Jika dilakukan di kantor tentu tidak ada biaya tambahannya, akan tetapi jika dilakukan di rumah atau di tempat acara walimahan, maka ada semacam “ucapan terima kasih” dari sang punya hajad. Tidak selalu dalam bentuk uang tetapi juga “berkatan” yang berisi buah dan makanan-makanan lainnya. Karena ketiadaan anggaran untuk melakukan kegiatan di luar kantor ini, maka atas inisitaif para KUA lalu mereka merumuskan tariff untuk biaya nikah di luar kantor, sehingga biaya untuk menikahkan di luar kantor tersebut bisa ditutupi. Sampai suatu ketika lalu menjadi temuan dan kemudian menjadi “bom” gratifikasi yang melibatkan para kepala KUA.
Inilah yang menyebabkan penilaian tentang Indeks Persepsi Korupsi dinyatan tinggi. Untuk pelayanan KUA memperoleh score di bawah 6, maka dinyatakan dengan warna merah atau indeks persepsi korupsi dinyatakan tinggi. 2 (dua) tahun berturut-turut penilaian terhadap IPK KUA itu jelek.
Namun demikian KUA terus berubah. Salah satu di antaranya ialah penentuan biaya nikah di luar kantor yang menjadi PNBP. Dan melalui proses yang cukup panjang akhirnya ketetapan PNBP itu menjadi pilihan atas penerimaan langsung oleh Kepala KUA atas biaya pernikahan di luar kantor. Dengan perubahan ini, maka indeks persepsi korupsi menjadi dapat ditekan, dan akhirnya penilaiannya yang selama ini berwarna merah lalu meniadi kuning. Itulah sebabnya pada tahun 2016, penilaiann Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan bahwa kemenang berada pada level 21 dari seluruh K/L dengan score 65,99 berada di atas Kemensos dan Kementerian Kelautan.
Dan yang sekarang harus diperjuangkan seirama dengan reformasi birokrasi ialah bagaimana menjadikan KUA sebagai pusat pelayanan yang bagus dan kemudian menghasilkan respon balik, bahwa KUA sudah berubah dan pelayanannya semakin baik. Saya kira “perubahan memang tidak selalu berkonotasi positif, akan tetapi tanpa perubahan, maka tidak akan terjadi pembaruan dan perbaikan”,
Wallahu a’lam bi al shawab.

TAHUN POLITIK HUMAS HARUS RESPONSIF

TAHUN POLITIK HUMAS HARUS RESPONSIF
Saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu para humas PTKN dari seluruh Indonesia dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Biro Humas, Data dan Informasi (masdatin) Kementerian Agama, bertempat di Hotel Sofyan Betawi, 28 Oktober 2017. Sebuah acara yang tentu sangat saya apresiasi sebab akan memiliki peran yang signifikan dalam membangun humas Kemenag yang lebih tangkas dan trengginas di dalam era melubernya informasi sekarang ini.
Acara ini dihadiri oleh Kepala Biro Humas, Data dan Informasi, Pak Dr. Mastuki, Pak Rasyidin, Pak Ghufron, Pak Edi, Khoiron, Dodo dan para Humas seluruh PTKN. Acara ini memang didesain dalam kerangka memperkuat posisi dan strategi Humas dalam menjawab tantangan dunia informasi yang luar biasa dewasa ini. Humas tentu memiliki peran sangat signifikan dalam upaya untuk meningkatkan image kementerian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di tengah kehidupan masyarakat.
Pada kesempatan memberikan pengarahan dan membuka acara ini, maka saya sampaikan 3 (tiga) hal yang menurut saya sangat penting untuk diperhatikan dan direspon terkait dengan tahun 2018 dan bahkan tahun 2019. Pertama, bahwa tahun depan adalah tahun politik. Artinya bahwa eskalasi politik akan meningkat sangat drastic, dan kemenag tentu diminta lebih proaktif di dalam rangka untuk menjadi penyebar informasi yang “menyejukkan” dan mengurangi “tensi politik” yang tentu akan semakin meningkat dengan sangat kuat.
Saya teringat akan pidato Pak Jokowi dalam acara “Rembug Nasional” yang dilakukan di Jakarta dan diikuti oleh para pakar, para rector dan juga kaum cendekiawan. Di dalam sambutannya, Pak Jokowi menyatakan –dalam bahasa yang kurang lebih—bahwa “tahun 2018 adalah tahun politik, dan pada bulan Agustus tahun depan harus sudah dipastikan akan ada calon Presiden dan Wakil Presiden”. Terhadap pernyataan ini tentu ada banyak makna tentang apa dibalik ungkapan Pak Presiden ini, akan tetapi marilah kita ikuti saja makna yang tidak “politis” bahwa Pak Presiden mengingatkan kita semua agar kita mencermati, menganalisis dan juga membuat aksi tentang bagaimana kita menghadapi tahun politik tersebut.
Sebagai tahun politik, maka ada 3 (tiga) yang akan menjadi issue penting, yaitu: 1) akan meningkatnya suhu politik yang terkait dengan relasi antara agama dan negara. Dipastikan ada issu tentang pemisahan agama dan politik dan juga penyatuan agama dan politik. Dua kelompok yang pada tahun 2017 saja sudah sering bergesekan. Dapat dipastikan bahwa tensi perbincangan tentang apakah agama dan politik bisa disatukan atau dipisahkan adalah issue lama yang selalu dikemas dalam wadah baru, dunia media sosial.
Kita sudah menetapkan bahwa relasi agama dan politik itu bercorak simbiosis mutualisme atau saling membutuhkan. Negara membutuhkan agama sebagai basis moralitasnya, sedangkan agama membutuhkan negara untuk perlindungan dan penyebaran agama. Jadi seperti dua sisi mata uang, di satu sisi ada agama dan di satu sisi ada negara.
2) issue SARA atau suku, agama, ras dan antar golongan. Issue ini juga sangat sering dijadikan sebagai angle untuk membenturkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Issue SARA memang merupakan lagu lama yang dengan sangat mudah digoreng untuk kepentingan sesaat. Kita bisa melihat bagaimana pilihan gubernur DKI di mana isu etnis dan agama dijadikan sebagai penguat terhadap kepentingan “berkuasa” dari mereka yang berkontestasi. Saya sampai sekarang masih mengikuti WA group yang banyak jumlahnya. Sudah berkali-kali saya keluar tetapi di-add lagi. Akhirnya ya sudahlah, sekedar untuk mengikuti apa yang terjadi di sana. Saya tidak pernah berkomentar dan membaca yang saya anggap penting saja. Selebihnya di-delete. Saya memperoleh pekerjaan tambahan men-delete terhadap content WA group yang sedemikian banyak.
3) dipastikan juga meningkat issue tentang kerukunan dan konflik sosial. Salah satu yang menjadi issue penting yang mudah dimainkan ialah tentang “perbedaan, rivalitas, pertentangan dan konflik sosial”. Hal-hal yang tidak beda pun bisa dicarikan dan di-blow up perbedaannya. Hal-hal yang sesungguhnya rukun bisa saja dicarikan dan diberitakan rivalitasnya bahkan konfliknya. Semua bisa dimainkan dengan lugas dan tuntas. Hoax pasti akan menjadi santapan kita sehari-hari. Ujaran kebencian atau hate speech akan menjadi makanan kita sehari-hari. Di dalam tahun politik, yang akan mengedepan ialah bagaimana upaya “membenturkan” satu kelompok atau golongan dengan lainnya demi memperkuat posisi acceptable-nya.
Kedua, Kemenag memiliki peran yang sangat strategis, yaitu peran mediator. Kemenag sungguh memiliki modal sosial yang luar biasa. Dengan kyai, ulama, pendeta, pedande, bikhu, bante dan tokoh-tokoh agama itu, maka kemenag akan bisa memainkan perang penting untuk mempertemukan kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat. Maka saya berharap di tahun politik tersebut, kemenag akan banyak melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama di maksud. Jika setiap unit eselon I dapat melakukan sekali pertemuan saja, maka akan terdapat 1 (satu) kali pertemuan umat beragama tersebut pada setiap bulan.
Ketiga, para Humas harus responsif terhadap tahun politik tersebut. Telinga kita harus lebar tetapi tebal. Jangan telinga tipis, nanti akan mudah marah. Dengan telinga lebar, maka kita akan mendengar suara selirih apapun. Saya ini suka melihat acara Discovery Channel, dan saya perhatikan bagaimana anjing laut dapat mendengarkan suara induk dan anaknya dalam jarak yang sangat jauh dan ribuan anjing laut. Mereka memiliki ciri khas suara yang saling dikenali. Luar biasa.
Oleh karena itu, humas harus peka dan kemudian responsive terhadap informasi tersebut tetapi dengan mengedepankan “kearifan”. Jadi para Humas kita harapkan untuk dapat memberikan informasi sesuai dengan kenyataannya sehingga pimpinan akan bisa merumuskan kebijakan yang tepat di dalam menyikapi masalah-masalah di sekelilingnya.
Dan ada satu hal lagi, saya kira perlu diperhatikan oleh pimpinan yaitu agar para humas selalu dilibatkan di dalam acara-acara penting dan strategis agar humas mengetahui dan mampu memberitakan informasi penting tersebut. Pak Karo Masdatin, saya kira harus ada pertemuan untuk seluruh Kabiro PTKN agar ke depan memiliki kebijakan untuk mengajak para humas dalam acara-acara yang memerlukan untuk blow up berita. Kiranya harus ada pemihakan terhadap upaya mengedepankan informasi keterkinian dari Kemenag.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SOM-MABIMS DAN TANTANGAN SOSIAL PENDIDIKAN (5)

SOM-MABIMS DAN TANTANGAN SOSIAL PENDIDIKAN (5)
Perwakilan Indonesia di dalam SOM-MABIMS ke 42 memiliki tugas untuk menyampaikan atau membentang 3 (tiga) laporan bidang kerjasama, yaitu: bidang “Membangun Potensi Belia” yang disampaikan oleh Dr. M. Anwar Ambary, “Meningkatkan Modal Insan Umat Islam” yang disampaikan oleh M. Ali Irfan, SE, MAK, dan “Menyelaras Rukyah dan Taqwim Islam” yang disampaikan oleh Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, MAg.
Bidang kerja sama sebagaimana dipaparkan oleh perwakilan negara-negara anggota MABIMS adalah kegiatan kerjasama yang dilakukan oleh dan untuk umat Islam di negara-negara anggota MABIMS. Dari 3 (tiga) bentangan kertas kerjasama yang disampaikan oleh perwakilan Republik Indonesia, semuanya merupakan laporan kerjasama yang melibatkan anggota MABIMS lainnya.
Tentang “Membangun Potensi Belia” yang menjadi tanggungjawab Indonesia, maka sudah dilaknakan pada bulan Agustus 2017 dan diikuti oleh peserta dari negara anggota MABIMS lainnya. Di dalam kegiatan ini diisi dengan pelatihan kepemimpinan, pelatihan manajemen, pengembangan potensi diri dan aktualisasi diri di tengah perubahan sosial yang semakin cepat. Di dalam usulannya, maka diinginkan bahwa ke depan harus dilaksanakan pelatihan untuk mengetahui apakah pelatihan untuk membangun potensi belia itu sudah mencapai tujuan yaitu penguatan potensi belia di dalam kepemimpinan dan manajemen serta penguatan potensi diri pada para belia. Kiranya diperlukan semacam sharing pengalaman tentang apa yang dilakukan oleh masing-masing peserta yang sudah memperoleh pelatihan membangun potensi belia.
Tentang Laporan Kertas Kerjasama yang terkait dengan “Meningkatkan Modal Insan Umat Islam” dinyatakan bahwa salah satu instrument untuk menguatkan modal insan ialah melalui pendidikan. Di dalam konteks ini, maka Indonesia sudah melakukan kegiatan Halaqah Ulama Asean, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kemenag dengan tema “memperkuat potensi kelembagaan pendidikan Islam di Asia Tenggara”. Acara ini diikuti oleh 14 negara, dan tentu adalah peserta dari Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Selain itu juga ulama dari Cina, Timor Leste, Thailand, Vietnam, dan beberapa negara lainnya.
Setelah acara pembukaan Halaqah yang dibuka oleh Menteri Agama RI, maka para ulama ini melakukan pertemuan dengan Menteri Agama RI untuk membahas isu-isu terkini dalam kaitannya dengan agama. Disampaikan oleh beberapa ulama dari Timor Timur, Cina dan Thailand menyampaikan beberapa usulan, yaitu keinginan untuk mengikuti acara SOM-MABIMS meskipun statusnya sebagai peninjau. Kemudian juga meminta agar mereka dilibatkan di dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Mereka juga menginginkan agar kegiatan pertemuan ulama ini lebih sering dilakukan dalam rangka untuk menyusun agenda bersama bagi pengembangan kehidupan umat Islam.
Sedangkan dari laporan kertas kerjasama tentang “Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam”, dapat dijelaskan bahwa Republik Indonesia sudah menyelenggarakan berbagai hal yang terkait dengan penetapan tanggal 1 Ramadlan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah. Hanya sayangnya bahwa keputusan pemerintah ini belum bisa menjadi pedoman bagi semua umat Islam di Indonesia. Umat Islam di Indonesia belum bisa melakukan kebersamaan di dalam menentukan awal bulan dimaksud. Tetapi yang cukup menggembirakan bagi umat Islam Indonesia, bahwa sampai tahun 2021 diperkirakan tidak terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan dimaksud. “Bulan sedang berbaik hati pada kita.” Demikian pernyataan saya pada acara tersebut.
Untuk kepentingan penyelarasan penetapan rukyat dan taqwim Islam, maka Ditjen Bimas Islam juga akan menyelenggarakan pertemuan di bulan November 2017. Acara ini sangat penting dalam kerangka untuk menyatukan pemahaman tentang penetapan rukyat dan taqwim Islam dimaksud. Kita tentu ingin bahwa pelaksanaan awal Ramadlan, Awal Syawal dan juga Awal Dzulhijjah berada di dalam kebersamaan.
Jika Negara Brunei, Singapura dan Malaysia memiliki “kewenangan absolut” untuk menetapkan tanggal-tanggal dimaksud dan semua umat Islam mengikutinya, akan tetapi di Indonesia sungguh-sungguh berbeda keadaannya. Jadi problem di Indonesia tentu lebih kompleks dibandingkan dengan problem di negara anggota MABIMS lainnya.
Selain hal itu, perwakilan negara-negara MABIMS lainnya juga berharap agar mereka dilibatkan di dalam acara-acara yang dilakukan di Indonesia, seperti Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) atau Kompetisi Sains Madrasah (KSM), perkemahan pramuka dan lainnya, sehingga diharapkan akan dapat menjadi ajang silaturahim antara peserta MQK, KSM dan perkemahan pramuka dari umat Islam Indonesia, Malaysia, Brunei Darusalam dan Singapura.
Saya kira memang harus ada banyak kebersamaan yang bisa digalang dalam kerangka memperkasa perkongsian antar negara anggota MABIMS dalam program kebersamaan. Oleh karena itu melibatkan semua negara anggota MABIMS dalam acara-acara kebersamaan tentu diharapkan akan semakin sering terjadi di masa datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SOM-MABIMS DAN MOU JAMINAN PRODUK HALAL (4)

SOM-MABIMS DAN MOU JAMINAN PRODUK HALAL (4)
Salah satu agenda yang dibicarakan dengan sangat serius ialah mengenai jaminan produk halal. Makalah dipresentasikan oleh perwakilan Malaysia, yang di dalam penyelenggaraan jaminan produk halal tentunya lebih maju dibandingkan dengan negara-negara anggota MABIMS lainnya.
Berdasarkan kunjungan saya pada waktu mengikuti SOM-MABIMS tahun lalu di Kuala Lumpur, bahwa sertifikasi Jaminan Produk Halal sudah memiliki laboratorim tersendiri dan juga kantor Jaminan Produk Halal yang sangat memadai. Meskipun secara kelembagaan berada di bawah Jabatan Kemajuan Islam Malaysia –sebuah lembaga resmi milik pemerintah kerajaan—namun dari aspek kekuatan kelembagaannya sudah sangat mandiri.
Memang dari sisi regulasi belumlah sehebat Indonesia yang sudah menetapkan jaminan produk halal sebagai “mandatory” dan bukan “voluntary”. Sedangkan Malaysia masih menerapkan prinsip “voluntary” sebagaimana pada saat Jaminan produk halal masih berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Makanya, Malaysia termasuk yang mengapresiasi keberanian pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Berdasarkan pemaparan perwakilan Malaysia dan diskusi yang kita lakukan., maka ada beberapa hal yang sedang dicari solusinya, yaitu terkait dengan sertifikasi produk obat-obatan, dan kosmetika.
Kementerian Kesehatan, hingga saat ini masih menyatakan keberatannya, sebab belum terpenuhinya standart kehalalan produk obat-obatan dan kosmetika secara keseluruhan. Di dalam kenyataannya, bahwa masih dijumpai obat dengan sumber bahan yang belum berstandart halal. Jika “mandatory” itu ditetapkan secara kaku oleh pemerintah atas dasar perundang-undangan, maka akan dikhawatirkan terjadinya kelangkaan obat-obatan. Hal itu tentu akan membahayakan ribuan bahkan ratusan ribuan orang yang membutuhkan obat, dan sementara itu belum didapatkan obat berstandart halal.
Dalam menghadapi masalah ini, maka pemerintah Malaysia belum memasukkan obat-obatan dalam jaminan produk halal. Di sinilah makna voluntary tersebut diberlakukan. Jadi artinya, bahwa kehalalan produk obat-obatan masih dutangguhkan. Jadi secara khusus obat-obatan tidak termasuk yang harus distempel sertifikat halal oleh Mayhac.
Perbincangan tentang jaminan produk halal, sesungguhnya sudah dibicarakan pada saat diselenggarakannya SOM-MABIMS tahun lalu di Malaysia. Di forum tersebut sudah menyepakati hahwa untuk penandatangan MoU akan dilaksanakan pada tahun 2016. Tetapi sampai akhir tahun 2016 ternyata belum bisa diselesaikan. Oleh karena itu, forum SOM harus memastikan bahwa Jaminan Produk Halal akan segera ditandatangani.
Mesyuarat bersepakat bahwa untuk penyiapan draft MoU diserahkan kepada Brunei Darussalam, dan draft MoU sudah selesaikan, sehingga sebagaimana pernyataan Ketua Delegasi Kerajaan Malaysia, Pak Othman bin Musthafa dan juga perwakinan Singapura, Haji Abdur Razak, menyatakan agar penandatanganan MoU bisa dipercepat pelaksanaannya. Maka mesyuarat juga berharap agar proses di dalam negeri untuk penyiapan draft MoU Jaminan Produk Halal agar bisa disegerakan penyelesaiannya.
Sebagaimana diketahui bahwa jaminan produk halal sudah merupakan tuntutan dunia, khususnya masyarakat Islam di berbagai negara. Untuk mencapai kepentingan ini, maka sudah selayaknya antar negara anggota MABIMS bekerja sama tentang jaminan produk halal. Jika ada produk dari Malaysia, Brunei dan Singapura yang akan masuk ke Indonesia, dan selama sudah ada sertifikasi halalnya, maka tidak lagi diperlukan pengecekan tentang kehalalannya. Selama produk tersebut telah memenuhi standart halal dari negara-negara anggota MABIMS, maka selama itu pula barang produksi tersebut dapat derecognized kehalalannya.
Melalui proses negaranisasi produk halal, maka status jaminan produk halal sudah memiliki kesetaraan di dalam negara anggota MABIMS. Sertifikasi produk halal di Malaysia di bawah Jabatan Kemajuan Islam (JAKIM) sebagai struktur dan lembaga negara, lalu Indonesia berada di bawah Kementerian Agama, demikian pula di Brunei dan Singapura. Semua negara sudah memiliki program sertifikasi halal yang penyelenggaraannya di bawah pemerintah.
Indonesia, sebagai negara yang masih baru di dalam mengelola sertifikasi halal oleh negara, maka tentu kita ingin belajar dari Malaysia tentang penyelenggaraan jaminan halal. Akan tetapi Malaysia juga masih dalam proses untuk penyempuranaan baik dalam struktur kelembagaan maupun proses dan standarisasi halal. Sebagai contoh untuk program sertifikasi auditor, ternyata Malaysia juga sedang dalam proses untuk menyempurnakannya. Tetapi yang jelas sudah ada badan yang melakukan proses sertifikasi auditornya.
Kita tentu berharap agar penandatanganan MoU antara anggota negara MABIMS akan segera dilakukan, sehingga ke depan sudah ada kepastian apa yang bisa disinergikan untuk kepentingan bersama dalam penjaminan produk halal.
Wallahu a’lam bi al shawab.