Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SOM-MABIMS DAN MOU JAMINAN PRODUK HALAL (4)

SOM-MABIMS DAN MOU JAMINAN PRODUK HALAL (4)
Salah satu agenda yang dibicarakan dengan sangat serius ialah mengenai jaminan produk halal. Makalah dipresentasikan oleh perwakilan Malaysia, yang di dalam penyelenggaraan jaminan produk halal tentunya lebih maju dibandingkan dengan negara-negara anggota MABIMS lainnya.
Berdasarkan kunjungan saya pada waktu mengikuti SOM-MABIMS tahun lalu di Kuala Lumpur, bahwa sertifikasi Jaminan Produk Halal sudah memiliki laboratorim tersendiri dan juga kantor Jaminan Produk Halal yang sangat memadai. Meskipun secara kelembagaan berada di bawah Jabatan Kemajuan Islam Malaysia –sebuah lembaga resmi milik pemerintah kerajaan—namun dari aspek kekuatan kelembagaannya sudah sangat mandiri.
Memang dari sisi regulasi belumlah sehebat Indonesia yang sudah menetapkan jaminan produk halal sebagai “mandatory” dan bukan “voluntary”. Sedangkan Malaysia masih menerapkan prinsip “voluntary” sebagaimana pada saat Jaminan produk halal masih berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Makanya, Malaysia termasuk yang mengapresiasi keberanian pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Berdasarkan pemaparan perwakilan Malaysia dan diskusi yang kita lakukan., maka ada beberapa hal yang sedang dicari solusinya, yaitu terkait dengan sertifikasi produk obat-obatan, dan kosmetika.
Kementerian Kesehatan, hingga saat ini masih menyatakan keberatannya, sebab belum terpenuhinya standart kehalalan produk obat-obatan dan kosmetika secara keseluruhan. Di dalam kenyataannya, bahwa masih dijumpai obat dengan sumber bahan yang belum berstandart halal. Jika “mandatory” itu ditetapkan secara kaku oleh pemerintah atas dasar perundang-undangan, maka akan dikhawatirkan terjadinya kelangkaan obat-obatan. Hal itu tentu akan membahayakan ribuan bahkan ratusan ribuan orang yang membutuhkan obat, dan sementara itu belum didapatkan obat berstandart halal.
Dalam menghadapi masalah ini, maka pemerintah Malaysia belum memasukkan obat-obatan dalam jaminan produk halal. Di sinilah makna voluntary tersebut diberlakukan. Jadi artinya, bahwa kehalalan produk obat-obatan masih dutangguhkan. Jadi secara khusus obat-obatan tidak termasuk yang harus distempel sertifikat halal oleh Mayhac.
Perbincangan tentang jaminan produk halal, sesungguhnya sudah dibicarakan pada saat diselenggarakannya SOM-MABIMS tahun lalu di Malaysia. Di forum tersebut sudah menyepakati hahwa untuk penandatangan MoU akan dilaksanakan pada tahun 2016. Tetapi sampai akhir tahun 2016 ternyata belum bisa diselesaikan. Oleh karena itu, forum SOM harus memastikan bahwa Jaminan Produk Halal akan segera ditandatangani.
Mesyuarat bersepakat bahwa untuk penyiapan draft MoU diserahkan kepada Brunei Darussalam, dan draft MoU sudah selesaikan, sehingga sebagaimana pernyataan Ketua Delegasi Kerajaan Malaysia, Pak Othman bin Musthafa dan juga perwakinan Singapura, Haji Abdur Razak, menyatakan agar penandatanganan MoU bisa dipercepat pelaksanaannya. Maka mesyuarat juga berharap agar proses di dalam negeri untuk penyiapan draft MoU Jaminan Produk Halal agar bisa disegerakan penyelesaiannya.
Sebagaimana diketahui bahwa jaminan produk halal sudah merupakan tuntutan dunia, khususnya masyarakat Islam di berbagai negara. Untuk mencapai kepentingan ini, maka sudah selayaknya antar negara anggota MABIMS bekerja sama tentang jaminan produk halal. Jika ada produk dari Malaysia, Brunei dan Singapura yang akan masuk ke Indonesia, dan selama sudah ada sertifikasi halalnya, maka tidak lagi diperlukan pengecekan tentang kehalalannya. Selama produk tersebut telah memenuhi standart halal dari negara-negara anggota MABIMS, maka selama itu pula barang produksi tersebut dapat derecognized kehalalannya.
Melalui proses negaranisasi produk halal, maka status jaminan produk halal sudah memiliki kesetaraan di dalam negara anggota MABIMS. Sertifikasi produk halal di Malaysia di bawah Jabatan Kemajuan Islam (JAKIM) sebagai struktur dan lembaga negara, lalu Indonesia berada di bawah Kementerian Agama, demikian pula di Brunei dan Singapura. Semua negara sudah memiliki program sertifikasi halal yang penyelenggaraannya di bawah pemerintah.
Indonesia, sebagai negara yang masih baru di dalam mengelola sertifikasi halal oleh negara, maka tentu kita ingin belajar dari Malaysia tentang penyelenggaraan jaminan halal. Akan tetapi Malaysia juga masih dalam proses untuk penyempuranaan baik dalam struktur kelembagaan maupun proses dan standarisasi halal. Sebagai contoh untuk program sertifikasi auditor, ternyata Malaysia juga sedang dalam proses untuk menyempurnakannya. Tetapi yang jelas sudah ada badan yang melakukan proses sertifikasi auditornya.
Kita tentu berharap agar penandatanganan MoU antara anggota negara MABIMS akan segera dilakukan, sehingga ke depan sudah ada kepastian apa yang bisa disinergikan untuk kepentingan bersama dalam penjaminan produk halal.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..