• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMAHAMI TRANSFORMASI PERAN AGAMA KRISTEN DI ERA MILENIAL

MEMAHAMI TRANSFORMASI PERAN AGAMA KRISTEN DI ERA MILENIAL
Saya diundang oleh Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Palangkaraya, Dr. Netto W.S. Rahan, dalam acara seminar nasional, 7/11/2017, dengan narasumber Pdt. Prof. Dr. Yan Aritonang dan Romo Benny Susetyo. Hadir juga di dalam acara ini ialah sebanyak 70 pendeta se Kalimantan Tengah, para dosen dan mahasiswa strata satu dan program pasca sarjana.
Sebagai nara sumber pertama, maka saya tentu mengambil tema yang lebih umum dalam kaitannya dengan “Kerukunan Umat Beragama: Peran Transformasi Kekristenan Bagi Masyarakat di Abad Milenium”. Sebuah tema yang saya pikir sangat relevan di tengah upaya untuk membangun masyarakat Indonesia yang plural, multicultural dan demokratis.
Saya memulai pembicaraan di seputar issu politik pada tahun 2018 yang sebentar lagi akan kita masuki. Para politisi, para akademisi, para tokoh agama dan bahkan Presiden Jokowi sudah menyampaikan bahwa tahun 2018 adalah tahun politik sebab pada bulan Agustus 2018 sudah akan terdapat calon Presiden dan Wakil Presiden. Itulah sebabnya saya meminta kepada seluruh jajaran civitas akademika untuk memahami tahun politik itu agar tidak terjebak pada politik praktis di dalam dunia kampus. Makanya, kita harus memahami seberapa banyak tantangan bangsa ini di era milenial.
Pertama, Kita sesungguhnya memiliki banyak tantangan. Seperti tantangan radikalisme, ekstrimisme atau terorisme. Kita sedang berhadapan dengan gerakan-gerakan yang “mengejutkan” dunia dengan keinginan untuk mendirikan ISIS, yang memiliki sejumlah simpatisan di berbagai negara. Kita juga menghadapi potensi disintegrasi bangsa yang disebabkan oleh adanya keinginan untuk mengubah haluan negara. Ada sebagian kecil warga masyarakat yang menginginkan negara ini berdasar atas agama tertentu.
Selain itu juga tantangan konflik pertanahan, konflik politik, upah tenaga kerja, pengangguran, kualitas pendidikan dan rendahnya kompetensi bangsa. Semua ini merupakan tantangan yang akan mewarnai terhadap beberapa tahun ke depan. Semua harus dimanej sedemikian rupa sebab kita harus meletakkan tahun 2020 sebagai tahun fondasi kebangkitan Indonesia yang mandiri dan berkepribadian. Kita mesti harus berhasil mengelola berbagai tantangan ini sebab kita menginginkan Tahun Indonesia Emas, 2045, sebagai tahun keberhasilan Indonesia yang aman, adil dan sejahtera.
Kedua, sebenarnya pemerintah sudah melakukan banyak hal terkait dengan upaya untuk mengelola terhadap berbagai tantangan ini. Saya tidak akan membahas secara keseluruhan, akan tetapi ada beberapa yang perlu saya highlight, misalnya mengenai penanggulangan gerakan ekstrimisme. Beberapa minggu yang lalu, ada sebuah pertemuan yang disebut “Senior of Meeting” dari Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS). Tajuk meeting ini ialah bagaimana menanggulangi ekstrimisme melalui teknologi informasi. Sungguh menarik bahwa semua negara anggota MABIMS memiliki kesepahaman dan kesamaan program untuk menanggulangi ekstrimisme.
Indonesia mengajukan dan melaksanakan program “Gerakan Moderasi Agama” yang saya kira relevan dengan keinginan untuk menanggulangi mereka yang ekstrim atau yang radikal (kelompok kanan), dan juga mereka yang liberal bahkan atheis atau kelompok kiri yang telah bercokol di Indonesia. Jadi tidak menggunakan program deradikalisme, yang kesannya lebih menghakimi hanya kepada kelompok kanan saja.
Upaya ini tentu harus memperoleh dukungan dari semua kalangan. Kaum akademisi, kaum ulama, para pendeta, para bhiksu, para pedande, tokoh agama, para politisi, TNI/POLRI, kaum birokrat, dan seluruh komponen bangsa. Terus terang tidak bisa upaya ini hanya didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia. Harus ada kerja bareng yang diupayakan untuk memberantas mereka yang terpapar dan menanggulangi yang belum terpapar. Jadi harus ada sinergi dari seluruh komponen bangsa.
Kemudian tentang tantangan pendidikan yang belum merata kualitasnya. Di dalam konteks ini, maka pemerintah sudah memberikan berbagai program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) di era Pak Jokowi dan Bantuan Siswa Miskin (BSM) di era Pak SBY. Di tingkat pendidikan tinggi seperti Bidikmisi yang saya kira bisa menjadi solusi bagi anak pintar yang kurang beruntung secara ekonomi akan bisa melanjutkan pendidikannya. Semua ini dirancang agar tidak ada anak usia sekolah yang tidak sekolah. Jadi, melalui sentuhan program seperti ini diharapkan pemerataan pendidikan akan segera bisa diselesaikan masalahnya.
Pendidikan berkualitas merupakan missi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2019-2024. Sesuai dengan perencanaan yang telah digariskan oleh pemerintah melalui Bappenas, bahwa aspek perluasan akses dan pemerataan pendidikan diharapkan sudah bisa diselesaikan pada tahun depan, sehingga yang harus dipikirkan dan dilaksanakan ialah meningkatkan kualitas pendidikan. Di dalam konteks ini, maka semua PTKN di bawah Kemenag juga harus berseirama dengan keinginan untuk mencapai pendidikan berkualitas dimaksud.
Ketiga, untuk bisa mencapai Indonesia yang damai, aman dan sejahtera melalui pendidikan berkualitas, maka salah satu prasyaratnya ialah kerukunan berbangsa dan bernegara. Kemenag memiliki tugas dan kewajiban untuk membangun kerukunan umat beragama. Sesuai dengan survey yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kemenag, bahwa tingkat atau indeks kerukunan kita sudah semakin baik dari tahun ke tahun. Dari sisi kesetaraan dan toleransi, saya kira capaian kerukunan umat beragama sudah sangat memadai, hanya saja dalam kerja sama memang masih rendah indeksnya.
Oleh karena itu, tugas kita ke depan ialah bagaimana meningkatkan kerjasama antar penganut agama di era pembangunan bangsa. Untuk membangun diperlukan kerjasama yang memadai. Makanya dengan terus berupaya untuk membangun kebersamaan dalam bekerja tentu menjadi target kita. Pemerintah bersama majelis-majelis agama dan masyarakat secara keseluruhan harus mengubah mindset dan cultural set agar bisa bekerjasama. Kita semua berharap agar toleransi, kesetaraan dan kerjasama para penganut agama akan semakin baik di era yang datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SWAYAMVARA TRIPITAKA GATHA UNTUK MENJALIN KEBERSAMAAN

SWAYAMVARA TRIPITAKA GATHA UNTUK MENJALIN KEBERSAMAAN
Dalam acara penutupan Swayamvara Tripitaka Gatha Nasional ke 10 di Magelang, tepatnya di Hotel Grand Artos, saya diminta untuk melakukan penutupan. Acara ini diikuti oleh sebanyak 1300 orang peserta dari 32 Provinsi se Indonesia. Acara ini terselanggara selama tanggal 1-5 Nopember 2017. Acara pembukaan dilakukan di Candi Borobudur oleh Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin.
Hadir bersama saya adalah beberapa Bikkhu Sangha, Bikkhu Jatidammo Mahathera, Bikkhu Wongsin Labbiko Mahathera dan beberapa lainnya. Juga hadir Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Caliadi, SH, MHum., Kakanwil Kemenag Prof. Jawa Tengah, Farhani, Kakanwil Kemenag DIY, Ahmad Luthfi, Ketua Lembaga Pengembangan Tripitaka Gatha, Ir. Arief Harsono, MM., MPdB, Mahapandita Suhadi, David Hermanjaya, para pejabat di lingkungan Kemenag pusat dan daerah.
Saya tentu merasa sangat terhormat bisa hadir di dalam acara sayembara pemahaman Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka. Saya tentu bisa bernostalgia dengan para pimpinan Majelis Agama Buddha. Saya pernah menjabat sebagai Plt. Dirjen Bimas Buddha selama setahun lebih. Makanya, secara personal dan structural saya memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh agama Buddha ini. Pada kesempatan ini saya sampaikan beberapa hal yang saya anggap penting,
Pertama, ucapan selamat atas terselanggaranya kegiatan Swayamvara Tripitaka Gatha ke 10 yang berdasarkan informasi yang saya peroleh ternyata menuai keberhasilan yang memadai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupatan/kota, para panitia pusat dan daerah, para pimpinan Majelis Agama Buddha, para donator dan juga kepada para pimpinan kontingen, para wasit dan juri, peserta dan juga kepada para Bikkhu Sangha yang telah berupaya sedemikian rupa untuk menyukseskan acara ini. Tanpa kerja keras dari semua unsur tentu acara ini tidak sesukses seperti sekarang.
Acara dua tahunan ini tentu memiliki peluang untuk menjadi sarana saling bertemunya utusan atau perwakilan dari berbagai daerah, sehingga bisa menjadi ajang untuk saling bertemu, berkenalan, dan memadu persahabatan. Oleh karena itu acara seperti ini harus dilanjutkan di masa yang akan datang. Jangan pernah berhenti menggelar acara Swayamvara Tripitaka Gatha.
Kedua, makna acara Swayamvara Tripitaka Gatha tentu sangat mendasar. Acara ini bisa menjadi arena untuk berkompetisi tetapi berbasis pada persahabatan atau perkawanan. Bukan sebuah kompetisi berbasis pada kepentingan dan persaingan. Meskipun namanya Swayamvara, yang sudah diindonesiakan dengan kata sayembara, akan tetapi hakikatnya adalah untuk menjalin silaturrahim untuk kita semua. Bisa dibayangkan peserta sayembara dari Aceh bisa bertemu dengan peserta dari Papua dan seterusnya. Semua tentu akan menggambarkan betapa di antara mereka memiliki kesepahaman tentang arti pentingnya sahabat dan kawan.
Lalu, sayembara ini juga bermakna sebagai ajang untuk membangun kebersamaan. Di antara kita akan terjalin semangat untuk secara bersama-sama di dalam beragama, tidak membedakan apa organisasi keagamaannya, apa dan bagaimana tata cara ibadahnya dan dari mana asalnya. Tetapi dengan mengikuti acara ini maka kesetaraan, kebersamaan, toleransi dan kerjasama akan bisa dilakukan secara optimal.
Dan yang tidak kalah penting bahwa melalui acara kompetisi atau sayembara ini maka bisa dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui sampai sejauh mana pembelajaran dan pemahaman kitab suci dari seluruh daerah di Indonesia. Kita akan tahu sejauh mana kualitas pembacaan dan pemahaman tentang Tripitaka di antara kita. Dengan demikian, melalui swayamvara Tripitaka Gatha ini juga akan diketahui sampai sejauh mana pembinaan agama yang kita lakukan.
Kita bersyukur bahwa pelajaran Kitab Suci terus berkembang. Dan pengajaran kitab suci itu dilakukan oleh para ahlinya. Diselenggarakan oleh guru-guru yang benar. Diajar oleh para pandita, Bikkhu, ulama, kyai dan para tokoh agama yang mengajarkan tafsir agama yang moderat. Tidak ada guru yang kita percaya itu mengajarkan tentang tafsir kekerasan agama. Oleh karena itu, marilah anak-anakku kita belajar agama pada guru atau tokoh agama yang benar-benar mengajarkan agama dalam konteks perdamaian dan keselamatan untuk menuju kepada kebahagiaan.
Ketiga, saya berkeyakinan bahwa sumber kebahagiaan yang hakiki ialah pada terpenuhinya kerukunan, keharmonisan dan keselamatan. Jika kita bisa beragama seperti ini pastilah kita akan menunai kebahagiaan sebagaimana ajaran Sang Buddha. Mari kita ciptakan kerukunan intern umat beragama dan juga kerukunan antar umat beragama. Di dalam setiap agama dan antar agama dipastikan ada persamaan dan perbedaan. Marilah kita dalami mana yang sama untuk kita perkuat dan yang beda kita pahami untuk saling menoleransi dan bekerja sama. Jangan jadikan perbedaan sebagai kelemahan tetapi kita jadikan sebagai kekuatan.
Jika kita bisa beragama seperti ini, saya berkeyakinan bahwa tujuan negara Indonesia yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera yang kemudian akan menjadi penghantar kebahagiaan akan lebih cepat tercapainya. Selamat kepada seluruh pemenang dan jangan berputus asa bagi yang kalah. Hakikat dari swayamvara ini adalah persahabatan dan bukan persaingan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMASTIKAN REKRUITMEN CPNS BEBAS KOLUSI DAN NEPOTISME

MEMASTIKAN REKRUITMEN CPNS BEBAS KOLUSI DAN NEPOTISME
Hari Jum’at, 3/11/2017 yang lalu, saya dibuat kaget dengan berita utama pada Harian Jawa Pos, tentang dugaan adanya kolusi dan nepotisme di dalam penerimaan CPNS di Kementerian Keuangan. Meskipun pemberitaan ini hanya di satu-satunya Koran, yang lain tidak ada yang memberitakannya, akan tetapi bagi kita semua tentu menjadi berita yang tidak mengenakkan.
Berangkat dari berita ini, maka saya ingin menyampaikan beberapa hal yang terkait dengan penerimaan CPNS yang saya kira dewasa ini sudah sangat transparan. Saya tidak tahu secara mendalam tentang pola rekruitmen CPNS di instansi pemerintah lainnya, akan tetapi tentu semua sudah berupaya agar transparansi dan tanggungjawab di dalam proses rekruitemen CPNS berada di dalam koridor berkejujuran, berintegritas dan bertanggungjawab.
Dewasa ini semua instansi pemerintah di dalam penyelenggaraan penerimaan CPNS tentu mengikuti alur yang sudah ditentukan oleh Kemenpan-RB. Prosedur baku atau Standart Operating Procedure (SOP) sudah dibakukan dan semua instansi pemerintah tinggal menerima sebagai kepastian dan kepatutan. Tidak ada satu instansi pemerintah pun yang memiliki system sendiri terkait dengan hal ini.
Ada beberapa catatan kebaikan system yang dikembangkan oleh Kemenpan-RB. Pertama ialah seleksi administrasi. Di dalam seleksi administrasi, maka kelengkapan persyaratan tentu menjadi ukurannya. Jika ada 1 (satu) saja persyaratan yang tidak lengkap pastilah digugurkan oleh system yang dibangun. Sebagai contoh kecil, tentang kesamaan ijazah dengan bidang lamaran yang dipilih. Jika ada seseorang yang melamar dosen Pendidikan Agama Islam, lalu ijazahnya itu berbunyi Pendidikan Islam, maka system akan menolaknya. Begitulah ketatnya persyaratan administrasi dimaksud. Di Kemenag dari yang melamar sebanyak 12.848 Orang, maka yang lulus seleksi administrasi sebanyak 9.587 orang.
Bagi mereka yang lulus administrasi, maka mereka akan mengikuti seleksi kompetensi Dasar (SKD). Untuk seleksi tahap kedua ini, maka mutlak menjadi kewenangan Kemenpan-RB. Tidak ada sedikitpun kewenangan kementerian/lembaga untuk mencampuri terhadap kelulusan tahapan SKD ini. Di Kemenpan-RB telah digunakan sebuah alat ukur yang sangat akurat, yang disebut sebagai Computer Assested Test (CAT). Melalui system ini, maka nilai akan bisa diketahui secara langsung oleh para peserta seleksi.
Begitu usai ujian atau test, maka bisa diketahui berapa score-nya dan berapa peringkatnya. Jadi tidak ada lagi cara untuk mengatrol nilai, mengubah nilai dan menambah nilai untuk peserta CAT. Sangat transparan. Dengan cara ini, maka daftar rangking siapa yang memenuhi passing grade dan siapa yang tidak memenuhi passing grade sudah diketahui sedari awal. Bahkan passing grade itu berlaku untuk-masing-masing session. Bisa jadi, ada session yang nilainya sangat tinggi dan ada yang kurang memenuhi passing grade. Meskipun secara akumulatif yang bersangkutan bernilai memenuhi jumlah total pasingg grade, akan tetapi yang bersangkutan dinyatakan tidak lulus. Artinya, seluruh session harus memenuhi passing grade dimaksud. Di sinilah kekuatan dan keakuratan CAT di dalam kerangka memberikan penilaian tersebut. Sama sekali tidak ada campur tangan manusia tentang kelulusan pada tahapan ini.
Session dimaksud meliputi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Tes Inteligensi Umum (TIU), dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Ketiga jenis tes ini harus berada di atas passing grade agar bisa dinyatakan sebagai lulus passing grade. Namun demikian, tidak semua yang lulus passing grade mesti lulus pada tahap berikutnya, sebab tergantung pada berapa kebutuhan CPNS pada jenis pekerjaan atau banyaknya dosen program studi yang dibutuhkan. Jika yang dibutuhkan hanya 1(satu) orang dosen, maka yang dinyatakan lulus CAT hanya 3 (tiga) rangking tertinggi saja untuk mengikuti tes atau seleksi tahap Tes Kemampuan Bidang (TKB). Maka, yang rangking 4 (sempat) dan seterusnya dinyatakan tidak lulus meskipun memenuhi passing grade.
Oleh karena itu, menjadi aneh jika ada yang lulus pada tahap berikutnya sementara nilainya berada di bawah rangking tertinggi yang dibutuhkan. Jadi, lulus passing grade tidak serta merta menjadi kenyataan lulus untuk maju pada seleksi tahap berikutnya. Jika ada yang melakukannya, maka dapat dipastikan bahwa akan menuai tuntutan yang luar biasa sebab nilai tersebut diketahui oleh lainnya.
Berdasarkan atas realitas uji kompetensi seperti ini, maka saya menyatakan bahwa akan sangat kecil bahkan tidak ada kemungkinan untuk mencederai terhadap penilaian obyektif yang dilakukan dengan system CAT. Di Kemenag dipastikan bahwa penyimpangan seperti ini tidak akan terjadi, sebab system rangking yang dibuat dan sesuai dengan CAT sudah menutup kemungkinan tersebut.
Dengan demikian, saya berani menyatakan bahwa proses rekruitmen CPNS pada Kemenag sudah sesuai dengan prosedur dan kebutuhan yang telah ditetapkan. Saya yakin bahwa di antara kita sudah tidak ada lagi keberanian untuk melakukan upaya penyimpangan. Transparansi di dalam penerimaan CPNS sudah sedemikian telanjang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJAMIN TRANSPARANSI DALAM RECRUITMEN JABATAN

MENJAMIN TRANSPARANSI DALAM RECRUITMEN JABATAN
Hari Jum’at, 3/11/2017, saya harus datang ke UIN Sunan Ampel Surabaya dalam kerangka untuk melakukan monitoring terhadap pelaksanaan Test untuk pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama yang di masa lalu disebut sebagai Pejabat Eselon Dua. Perubahan nomenklatur jabatan itu tentu terkait dengan terbitnya Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara dan kemudian diimplementasikan dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan UU No 5 Tahun 2014 tentang Manajemen ASN.
Saya menyampaikan beberapa hal terkait dengan penyelenggaraan uji kompetensi bagi calon pejabat JPT Pratama, yaitu: pertama, saya tentu berterima kasih kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya yang sudah menjadi mitra Kementerian Agama dalam rangka uji kompetensi ini. Saya perlu sampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Abd. A’la (Rektor UIN Sunan Ampel) atas kerja sama yang baik ini. Ucapan terima kasih tentu khusus juga saya sampaikan kepada Prof. Dr. Mohammad Sholeh, Dekan Fakultas Psikhologi UIN Sunan Ampel yang sudah melakukan kerja bareng untuk pelaksanaan uji kompetensi. Kepada semua anggota Tim Psikhologi, saya sampaikan rasa hormat saya.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh peserta uji kompetensi untuk jabatan Eselon II atau JPT Pratama. Tanpa kehadiran saudara tentu pelaksanaan lelang jabatan ini tidak akan terselenggara. Saya sebenarnya memiliki keyakinan bahwa semua peserta uji kompetensi ini adalah pribadi-pribadi yang sudah memiliki kapasitas dan kapabilitas di dalam jabatan ini. Saya kenal, sebab ada yang pernah menjadi staf saya, baik di saat saya menjadi rector di IAIN Sunan Ampel (kini UIN Sunan Ampel), maupun di kala saya menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, maupun sekarang menjadi Sekretaris Jenderal Kemenag. Saya tahu tentang kualitas mereka. Makanya, sesungguhnya semuanya layak untuk mengisi JPT Partama ini. Hanya saja bahwa regulasi memastikan bahwa untuk mengisi jabatan ini harus melalui proses lelang yang “panjang” dan “melelahkan”.
Kedua, terdapat sejumlah tahapan yang harus dilalui untuk menduduki jabatan tersebut. Ada uji kelayakan administrative, yaitu proses untuk melakukan pengecekan terhadap kelengkapan administrasi baik melalui system online maupun pemberkasan. Di tahapan ini, maka ada yang lulus dan ada yang gagal. Jika gagal dipastikan ada kelengkapan administrative yang tidak terpenuhi. Jadi, sama sekali tidak ada unsur yang bisa mengganggu terhadap kelengkapan admistrasi ini. Semuanya transparan dan terjaga. Lalu, ada uji kompetensi, baik melalui assessment psikholohis maupun wawancara dan rekam jejak.
Di dalam hal ini maka dipilihkan Tim Psikhologi UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk bisa bekerja sama, maka dilakukan uji kelayakan melalui presentasi yang ketat. Sama halnya ketika kami memilih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta. Semua dilakukan dengan transparan dan terukur. Jadi keterpilihan UIN Sunan Ampel tentu melalui proses yang relevan dengan maksud diselenggarakan uji kompetensi.
Untuk menyelenggarakan wawancara dan menyeleksi semua proses lelang jabatan, maka juga dilakukan oleh tim yang sangat independen. 2 (dua) dari Kemenag, dan 3 (tiga) orang dari luar Kemenag, yaitu: Prof. Nur Syam (Sekjen, selaku Ketua pansel), Prof. Abdurrahman Mas’ud (Kepala Litbang, sebagai sekretaris pansel), Prof. Hasan Fauzi (warek bidang Akademik IPDN, sebagai anggota), Rini Windiantini (Deputi Kelembagaan Kemenpan-RB, sebagai anggota) dan Koes Priyo Murdono (Deputi SDM BKN, sebagai anggota). Jadi dengan komposisi pansel seperti ini, maka dijamin akan terdapat transparansi dan kemandirian.
Kemudian juga uji kapasitas dan profesionalitas melalui wawancara yang dilakukan oleh pansel. Semua ujian ini sesungguhnya untuk menjaring 4 (empat) hal, yaitu: kompetensi dasar, kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Keempatnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jika ada yang sangat profesional tetapi kompetensi sosialnya rendah, maka juga diragukan karena yang bersangkutan akan menjadi pemimpin dengan tingkat kemampuan memahami dunia sosial yang tinggi, demikian pula pada kompetensi kepribadian. Harus dicari orang yang benar-benar memiliki kompetensi kepribadian yang baik. Makanya rekam jejak menjadi alat ukur yang sangat penting. Kita tidak boleh memilih “kucing dalam karung”. Kita harus memilih yang benar-benar kita ketahui kapasitasnya.
Ketiga, saya tentu berharap bahwa melalui berbagai uji kompetensi ini, maka akan didapatkan pejabat yang berkomitmen terhadap 5 (lima) nilai budaya kerja Kemenag sebagaimana sudah kita sepakati bersama, yaitu: integritas, profesionalitas, inovasi, tanggungjawab dan keteladanan. Budaya kerja inilah yang nanti akan memandu terhadap para pejabat dalam JPT Pratama dan kemudian diimplementasikan di dalam kerjanya untuk memimpin para stafnya untuk bersama-sama mencapai visi dan menjalankan misi Kementerian Agama. Harapan saya kepada yang terpilih adalah agar bekerja keras, cerdas, tuntas dan ikhlas, sedangkan yang belum terpilih agar tawakkal kepada Allah swt. Sebab semua yang berlaku pada kita sesungguhnya merupakan ketentuan Tuhan yang azali sifatnya. Jadi jangan berputus asa sebab masih ada peluang di lain kesempatan dan juga peluang untuk mengabdi di dalam jabatan dan posisi yang kita tempati.
Wallahu ‘alm bi al shawab.

AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN POLITIK 2019 DAN 2019 (2)

AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN POLITIK 2019 DAN 2019 (2)
Saya telah menulis di bagian satu tulisan tentang Agama dan Politik dalam kaitannya dengan issue kesenjangan sosial. Maka sekarang saya akan melanjutkan tulisan tersebut dalam session berikutnya. Kedua, yaitu tentang Kekerasan Agama, SARA dan konflik sosial. Sebagai tulisan pendahuluan –tentu diperlukan kajian lebih lanjut—saya melihat bahwa 3 (tiga) issue ini dominan dalam media sosial di tengah kehidupan masyarakat kita pada tahun politik.
Saya kira kekerasan agama akan tetap menjadi issue penting. Gerakan fundamentalisme dan ekstrimisme juga masih eksis di tengah masyarakat kita. dengan kembalinya 678 orang dari medan ISIS di Iraq dan Syria. Mereka akan tetap menarik untuk diamati. Mereka akan tetap melanjutkan gerakan “salafi jihadi” dan gerakan “takfiri” yang telah menjadi keyakinannya. Mereka adalah sekelompok orang yang sudah terpapar sangat jauh dalam keyakinan agamanya. Kelompok Salafi jihadi dan Takfiri akan terus berupaya mengacaukan dunia, sebagaimana yang kita lihat sekarang di Amerika Serikat, Jerman dan Perancis.
Mereka akan terus mencari “mainan” untuk mencoba mengembangkan gerakan ini. Dan pasca kehancuran ISIS di Iraq dan Syria, maka salah satu yang dibidik ialah negara-negara Asia, khususnya Indonesia yang memang telah memiliki jaringan kuat dan sel yang terus tumbuh. Beberapa saat yang lalu mereka memiliki mainan di Marawi, Filipina Selatan. Namun setelah Marawi jatuh ke tangan pemerintah, maka mereka tentu akan menjadikan targetnya ialah Indonesia.
Kita tentu berharap bahwa Densus 88 akan terus dapat bekerja untuk melakukan deteksi dini dan menindak mereka yang nyata-nyata terpapar gerakan ekstrim dan membasminya secara memadai. Akhir-akhir ini, Densus 88 juga melakukan tindakan untuk memberangus gerakan-gerakan ekstrim yang terus menginginkan kejutan-kejutan berupa bom bunuh diri. Dalam beberapa hari ini juga diringkus para pelaku yang diindikasikan akan melakukan tindakan terror, misalnya di Ponorogo, Batam dan sebagainya.
Lalu, persoalan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Pilihan gubernur DKI saya kira dapat menjadi contoh tentang bagaimana dinamika politik berkait kelidan dengan issue SARA ini. Bahkan hingga hari ini issue tersebut tetap dimantapkan untuk menjadi teologi kebersamaan dalam merawat alumni-alumni gerakan 212 dan sebagainya. Issue tentang reklamasi Teluk Jakarta, Meikarta dan juga Giants Sea World (GSW) terus diteriakkan di media sosial. Dan yang menarik bahwa issue ini terus dikaitkan dengan etnis Cina yang memang memiliki modal ekonomi yang sangat memadai. Munculnya pembangunan wilayah eksklusif akan dapat dimainkan untuk menjadi issue yang menggerakkan minat masyarakat untuk mencermatinya dan melakukan gerakan-gerakan yang tidak terduga.
Yang juga menarik ialah potensi konflik sosial yang bisa saja dimainkan kapan dan dimana saja dalam waktu yang tepat. Indonesia merupakan negara dengan varian suku, ras, agama dan antar golongan yang luar biasa besarannya. Issue SARA akan bisa dimainkan untuk menggerakkan konflik sosial. Tentu kita masih ingat bagaimana ketegangan sosial itu terjadi pada saat pilgub DKI yang baru berlalu. Sebuah pertarungan yang kasat mata mengenai perebutan kekuasaan yang nyata-nyata terjadi. Etnis Cina dibenturkan sedemikian keras dengan etnis lainnya dengan menggunakan basis agama.
Kita tentu beruntung bahwa masyarakat Indonesia –secara umum—sudah sangat cerdas, sehingga keinginan untuk membenturkan semua ini dapat direlokasi sedemikian cerdas sehingga masyarakat tidak terpancing untuk melakukan kekerasan fisik. Kekerasan di media ternyata tidak berlanjut pada kekerasan sosial. Sungguh kita harus belajar tentang peristiwa ini dan tentu saja juga bisa dijadikan sebagai referensi tentang bagaimana kita harus membangun kebersamaan.
Ketiga, upaya pemerintah yang positif. Memang harus diakui bahwa upaya pemerintah untuk menanggulangi kesenjangan sosial belum sepenuhnya berhasil, terbukti dari ketidaktercapaian mengurangi rasio gini dari 0,39 menjadi 0,36. Tetapi sesungguhnya pemerintah telah berupaya untuk itu. Gerakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Bidikmisi tentu diharapkan menjadi ajang bagi memberikan peluang untuk anak Indonesia supaya dapat menikmati pendidikan. Lalu bagi orang miskin, maka disediakan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Rumah Tinggal Layak Huni (rutilahu), Kartu Indonesia Sejahtera dan juga program pemberian makanan sehat dan sebagainya.
Lalu dalam kerangka untuk menanggulangi terhadap gerakan ekstrimisme juga pemerintah (Kemenag) juga melakukan program Moderasi Agama. Program ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menjadikan mereka yang ekstrim ke kanan dan ke kiri akan kembali ke tengah atau menjadi moderat. Kita tentu merasakan bahwa dengan hadirnya Perppu No 2 Tahun 2017 akan bisa menjadi salah satu instrument regulasi untuk mempertahankan Indonesia dengan 4 (empat) pilar consensus kebangsaannya.
Dan yang tidak kalah penting ialah bagaimana peran perguruan tinggi –khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Politik—untuk menjalankan fungsinya dalam kerangka memberikan masukan kepada pemerintah tentang bagaimana mendiskusikan dan melakukan berbagai survey tentang indikasi-indikasi sebagaimana saya paparkan di atas. Misalnya bisa dilakukan survey tentang moderasi agama, kesenjangan sosial dan implikasinya bagi kehidupan sosial dan agama secara umum, pandangan tentang SARA dan bagaimana upaya untuk membangun consensus di dalamnya, potensi kekerasan dan konflik agama dan sebagainya.
Saya sungguh menginginkan agar perguruan tinggi memiliki sumbangsih yang signifikan bagi Keindonesiaan kita sekarang dan masa yang akan datang. Dan saya yakin kita semua pasti bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.