Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN POLITIK 2019 DAN 2019 (2)

AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN POLITIK 2019 DAN 2019 (2)
Saya telah menulis di bagian satu tulisan tentang Agama dan Politik dalam kaitannya dengan issue kesenjangan sosial. Maka sekarang saya akan melanjutkan tulisan tersebut dalam session berikutnya. Kedua, yaitu tentang Kekerasan Agama, SARA dan konflik sosial. Sebagai tulisan pendahuluan –tentu diperlukan kajian lebih lanjut—saya melihat bahwa 3 (tiga) issue ini dominan dalam media sosial di tengah kehidupan masyarakat kita pada tahun politik.
Saya kira kekerasan agama akan tetap menjadi issue penting. Gerakan fundamentalisme dan ekstrimisme juga masih eksis di tengah masyarakat kita. dengan kembalinya 678 orang dari medan ISIS di Iraq dan Syria. Mereka akan tetap menarik untuk diamati. Mereka akan tetap melanjutkan gerakan “salafi jihadi” dan gerakan “takfiri” yang telah menjadi keyakinannya. Mereka adalah sekelompok orang yang sudah terpapar sangat jauh dalam keyakinan agamanya. Kelompok Salafi jihadi dan Takfiri akan terus berupaya mengacaukan dunia, sebagaimana yang kita lihat sekarang di Amerika Serikat, Jerman dan Perancis.
Mereka akan terus mencari “mainan” untuk mencoba mengembangkan gerakan ini. Dan pasca kehancuran ISIS di Iraq dan Syria, maka salah satu yang dibidik ialah negara-negara Asia, khususnya Indonesia yang memang telah memiliki jaringan kuat dan sel yang terus tumbuh. Beberapa saat yang lalu mereka memiliki mainan di Marawi, Filipina Selatan. Namun setelah Marawi jatuh ke tangan pemerintah, maka mereka tentu akan menjadikan targetnya ialah Indonesia.
Kita tentu berharap bahwa Densus 88 akan terus dapat bekerja untuk melakukan deteksi dini dan menindak mereka yang nyata-nyata terpapar gerakan ekstrim dan membasminya secara memadai. Akhir-akhir ini, Densus 88 juga melakukan tindakan untuk memberangus gerakan-gerakan ekstrim yang terus menginginkan kejutan-kejutan berupa bom bunuh diri. Dalam beberapa hari ini juga diringkus para pelaku yang diindikasikan akan melakukan tindakan terror, misalnya di Ponorogo, Batam dan sebagainya.
Lalu, persoalan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Pilihan gubernur DKI saya kira dapat menjadi contoh tentang bagaimana dinamika politik berkait kelidan dengan issue SARA ini. Bahkan hingga hari ini issue tersebut tetap dimantapkan untuk menjadi teologi kebersamaan dalam merawat alumni-alumni gerakan 212 dan sebagainya. Issue tentang reklamasi Teluk Jakarta, Meikarta dan juga Giants Sea World (GSW) terus diteriakkan di media sosial. Dan yang menarik bahwa issue ini terus dikaitkan dengan etnis Cina yang memang memiliki modal ekonomi yang sangat memadai. Munculnya pembangunan wilayah eksklusif akan dapat dimainkan untuk menjadi issue yang menggerakkan minat masyarakat untuk mencermatinya dan melakukan gerakan-gerakan yang tidak terduga.
Yang juga menarik ialah potensi konflik sosial yang bisa saja dimainkan kapan dan dimana saja dalam waktu yang tepat. Indonesia merupakan negara dengan varian suku, ras, agama dan antar golongan yang luar biasa besarannya. Issue SARA akan bisa dimainkan untuk menggerakkan konflik sosial. Tentu kita masih ingat bagaimana ketegangan sosial itu terjadi pada saat pilgub DKI yang baru berlalu. Sebuah pertarungan yang kasat mata mengenai perebutan kekuasaan yang nyata-nyata terjadi. Etnis Cina dibenturkan sedemikian keras dengan etnis lainnya dengan menggunakan basis agama.
Kita tentu beruntung bahwa masyarakat Indonesia –secara umum—sudah sangat cerdas, sehingga keinginan untuk membenturkan semua ini dapat direlokasi sedemikian cerdas sehingga masyarakat tidak terpancing untuk melakukan kekerasan fisik. Kekerasan di media ternyata tidak berlanjut pada kekerasan sosial. Sungguh kita harus belajar tentang peristiwa ini dan tentu saja juga bisa dijadikan sebagai referensi tentang bagaimana kita harus membangun kebersamaan.
Ketiga, upaya pemerintah yang positif. Memang harus diakui bahwa upaya pemerintah untuk menanggulangi kesenjangan sosial belum sepenuhnya berhasil, terbukti dari ketidaktercapaian mengurangi rasio gini dari 0,39 menjadi 0,36. Tetapi sesungguhnya pemerintah telah berupaya untuk itu. Gerakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Bidikmisi tentu diharapkan menjadi ajang bagi memberikan peluang untuk anak Indonesia supaya dapat menikmati pendidikan. Lalu bagi orang miskin, maka disediakan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Rumah Tinggal Layak Huni (rutilahu), Kartu Indonesia Sejahtera dan juga program pemberian makanan sehat dan sebagainya.
Lalu dalam kerangka untuk menanggulangi terhadap gerakan ekstrimisme juga pemerintah (Kemenag) juga melakukan program Moderasi Agama. Program ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menjadikan mereka yang ekstrim ke kanan dan ke kiri akan kembali ke tengah atau menjadi moderat. Kita tentu merasakan bahwa dengan hadirnya Perppu No 2 Tahun 2017 akan bisa menjadi salah satu instrument regulasi untuk mempertahankan Indonesia dengan 4 (empat) pilar consensus kebangsaannya.
Dan yang tidak kalah penting ialah bagaimana peran perguruan tinggi –khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Politik—untuk menjalankan fungsinya dalam kerangka memberikan masukan kepada pemerintah tentang bagaimana mendiskusikan dan melakukan berbagai survey tentang indikasi-indikasi sebagaimana saya paparkan di atas. Misalnya bisa dilakukan survey tentang moderasi agama, kesenjangan sosial dan implikasinya bagi kehidupan sosial dan agama secara umum, pandangan tentang SARA dan bagaimana upaya untuk membangun consensus di dalamnya, potensi kekerasan dan konflik agama dan sebagainya.
Saya sungguh menginginkan agar perguruan tinggi memiliki sumbangsih yang signifikan bagi Keindonesiaan kita sekarang dan masa yang akan datang. Dan saya yakin kita semua pasti bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..