Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SWAYAMVARA TRIPITAKA GATHA UNTUK MENJALIN KEBERSAMAAN

SWAYAMVARA TRIPITAKA GATHA UNTUK MENJALIN KEBERSAMAAN
Dalam acara penutupan Swayamvara Tripitaka Gatha Nasional ke 10 di Magelang, tepatnya di Hotel Grand Artos, saya diminta untuk melakukan penutupan. Acara ini diikuti oleh sebanyak 1300 orang peserta dari 32 Provinsi se Indonesia. Acara ini terselanggara selama tanggal 1-5 Nopember 2017. Acara pembukaan dilakukan di Candi Borobudur oleh Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin.
Hadir bersama saya adalah beberapa Bikkhu Sangha, Bikkhu Jatidammo Mahathera, Bikkhu Wongsin Labbiko Mahathera dan beberapa lainnya. Juga hadir Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Caliadi, SH, MHum., Kakanwil Kemenag Prof. Jawa Tengah, Farhani, Kakanwil Kemenag DIY, Ahmad Luthfi, Ketua Lembaga Pengembangan Tripitaka Gatha, Ir. Arief Harsono, MM., MPdB, Mahapandita Suhadi, David Hermanjaya, para pejabat di lingkungan Kemenag pusat dan daerah.
Saya tentu merasa sangat terhormat bisa hadir di dalam acara sayembara pemahaman Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka. Saya tentu bisa bernostalgia dengan para pimpinan Majelis Agama Buddha. Saya pernah menjabat sebagai Plt. Dirjen Bimas Buddha selama setahun lebih. Makanya, secara personal dan structural saya memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh agama Buddha ini. Pada kesempatan ini saya sampaikan beberapa hal yang saya anggap penting,
Pertama, ucapan selamat atas terselanggaranya kegiatan Swayamvara Tripitaka Gatha ke 10 yang berdasarkan informasi yang saya peroleh ternyata menuai keberhasilan yang memadai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupatan/kota, para panitia pusat dan daerah, para pimpinan Majelis Agama Buddha, para donator dan juga kepada para pimpinan kontingen, para wasit dan juri, peserta dan juga kepada para Bikkhu Sangha yang telah berupaya sedemikian rupa untuk menyukseskan acara ini. Tanpa kerja keras dari semua unsur tentu acara ini tidak sesukses seperti sekarang.
Acara dua tahunan ini tentu memiliki peluang untuk menjadi sarana saling bertemunya utusan atau perwakilan dari berbagai daerah, sehingga bisa menjadi ajang untuk saling bertemu, berkenalan, dan memadu persahabatan. Oleh karena itu acara seperti ini harus dilanjutkan di masa yang akan datang. Jangan pernah berhenti menggelar acara Swayamvara Tripitaka Gatha.
Kedua, makna acara Swayamvara Tripitaka Gatha tentu sangat mendasar. Acara ini bisa menjadi arena untuk berkompetisi tetapi berbasis pada persahabatan atau perkawanan. Bukan sebuah kompetisi berbasis pada kepentingan dan persaingan. Meskipun namanya Swayamvara, yang sudah diindonesiakan dengan kata sayembara, akan tetapi hakikatnya adalah untuk menjalin silaturrahim untuk kita semua. Bisa dibayangkan peserta sayembara dari Aceh bisa bertemu dengan peserta dari Papua dan seterusnya. Semua tentu akan menggambarkan betapa di antara mereka memiliki kesepahaman tentang arti pentingnya sahabat dan kawan.
Lalu, sayembara ini juga bermakna sebagai ajang untuk membangun kebersamaan. Di antara kita akan terjalin semangat untuk secara bersama-sama di dalam beragama, tidak membedakan apa organisasi keagamaannya, apa dan bagaimana tata cara ibadahnya dan dari mana asalnya. Tetapi dengan mengikuti acara ini maka kesetaraan, kebersamaan, toleransi dan kerjasama akan bisa dilakukan secara optimal.
Dan yang tidak kalah penting bahwa melalui acara kompetisi atau sayembara ini maka bisa dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui sampai sejauh mana pembelajaran dan pemahaman kitab suci dari seluruh daerah di Indonesia. Kita akan tahu sejauh mana kualitas pembacaan dan pemahaman tentang Tripitaka di antara kita. Dengan demikian, melalui swayamvara Tripitaka Gatha ini juga akan diketahui sampai sejauh mana pembinaan agama yang kita lakukan.
Kita bersyukur bahwa pelajaran Kitab Suci terus berkembang. Dan pengajaran kitab suci itu dilakukan oleh para ahlinya. Diselenggarakan oleh guru-guru yang benar. Diajar oleh para pandita, Bikkhu, ulama, kyai dan para tokoh agama yang mengajarkan tafsir agama yang moderat. Tidak ada guru yang kita percaya itu mengajarkan tentang tafsir kekerasan agama. Oleh karena itu, marilah anak-anakku kita belajar agama pada guru atau tokoh agama yang benar-benar mengajarkan agama dalam konteks perdamaian dan keselamatan untuk menuju kepada kebahagiaan.
Ketiga, saya berkeyakinan bahwa sumber kebahagiaan yang hakiki ialah pada terpenuhinya kerukunan, keharmonisan dan keselamatan. Jika kita bisa beragama seperti ini pastilah kita akan menunai kebahagiaan sebagaimana ajaran Sang Buddha. Mari kita ciptakan kerukunan intern umat beragama dan juga kerukunan antar umat beragama. Di dalam setiap agama dan antar agama dipastikan ada persamaan dan perbedaan. Marilah kita dalami mana yang sama untuk kita perkuat dan yang beda kita pahami untuk saling menoleransi dan bekerja sama. Jangan jadikan perbedaan sebagai kelemahan tetapi kita jadikan sebagai kekuatan.
Jika kita bisa beragama seperti ini, saya berkeyakinan bahwa tujuan negara Indonesia yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera yang kemudian akan menjadi penghantar kebahagiaan akan lebih cepat tercapainya. Selamat kepada seluruh pemenang dan jangan berputus asa bagi yang kalah. Hakikat dari swayamvara ini adalah persahabatan dan bukan persaingan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..