Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

REFORMASI KUA KENAPA PENTING?

REFORMASI KUA KENAPA PENTING?
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan wejangan bagi para peserta Musabaqah baca Kitab Kuning atau teks klasik Islam dan lomba karya tulis ilmiah para penghulu yang datang dari seluruh Indonesia. Mereka adalah yang terpilih di tingkat provinsi dari seluruh Indonesia. Suatu kebanggaan tentu saja terlibat di dalam acara penting seperti ini.
Acara ini diselenggarakan di Hotel Arya Duta Jakarta, 31/10/2017, dan dihadiri oleh Direktur Pembinaan KUA dan Keluarga Sakinah, Dr. Mohsen Al Aidrus, para kasubdit dan para peserta lomba baca kitab kuning dan karya ilmiah. Saya juga bersyukur karena sebelum acara dimulai saya sempat bertemu dengan KH. Dr. Malik Madani, orang NU yang luar biasa dalam membela dan berkhidmat untuk organisasi ini.
Menurut saya, ada beberapa factor yang menyebabkan mengapa KUA harus direformasi. Pertama, Kantor Urusan Agama (KUA) adalah wajah depan Kemenag. Jika orang melihat Kemenag, maka yang dilakukan ialah melihat KUA ini. Artinya, bahwa baik dan buruknya wajah Kemenag akan bisa dilihat dari performa KUA. Hal ini disebabkan karena KUA adalah sector layanan terdepan dari Kemenag. KUA merupakan kantor kementerian yang merupakan garda depan dan pintu depan kemenag dan mempunyai hubungan langsung dengan masyarakat. Makanya, layanan KUA menjadi barometer awal bagi pelayanan Kemenag secara keseluruhan.
KUA merupakan tempat untuk melayani urusan dasar kehidupan, yaitu pernikahan, penyuluhan agama, dan urusan administrasi dasar lainnya seperti wakaf, akta nikah, dan sebagainya. Sebagai layanan dasar, maka tentu KUA bersentuhan langsung dengan urusan masyarakat tersebut.
Kedua, KUA memiliki peran strategis dalam pembinaan kehidupan beragama. Keberhasilan kehidupan beragama di suatu wilayah tentu sangat tergantung kepada bagaimana memerankan diri sebagai tempat untuk membangun jejaring pembinaan kehidupan beragama. KUA memiliki peran untuk mengejawantahkan penguatan kehidupan beragama, kerukunan umat beragama, pelayanan haji, dan pelayanan Kementerian lainnya. Sesungguhnynya, KUA tidak hanya berperan untuk urusan administrative saja, akan tetapi juga untuk kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Sungguh bahwa KUA bisa menjadi tempat yang sangat strategis dalam kerangka untuk membangun kehidupan agama yang lebih baik, untuk sekarang maupun yang akan datang.
Ketiga, KUA merupakan institusi pemerintah yang berada di garis depan untuk melakukan deteksi dini terhadap kehidupan umat beragama. Makanya, saya berharap agar kepala KUA maupun stafnya, para penghulu dan juga para penyuluh agama haruslah menjadi detector dini terhadap permasalahan-permasalahan umat beragama. Jangan sampai sebuah permasalahan sudah terangkat ke permukaan melalui media sosial maupun media elektronik lainnya, akan tetapi mereka yang berada di garis depan ini belum mengetahuinya.
Keempat, sebagai wajah depan Kemenag maka KUA harus melakukan perubahan demi perubahan. Tidak boleh stagnan. Salah satu di antara perubahan terkait dengan reformasi birokrasi di KUA ialah dengan melakukan transparansi dan akuntabilitas. Kita tentu merasakan bahwa KUA sebagai wajah depan Kemenag tentu rentan terhadap keluhan, ketidakpuasan atas pelayanan, dan juga dugaan perilaku koruptif.
Kita pernah merasa tertohok di saat dinyatakan bahwa KUA adalah lahan tempatnya korupsi. Bahkan dihitung trilyunan rupiah. Angka ini muncul karena system pengalian yang diberlkukan atas kasus beberapa KUA terkait dengan biaya pernikahan dan juga dugaan gratifikasi yang diterima oleh kepala KUA atau penghulu.
Sebagaimana lazimnya, bahwa pernikahan lebih banyak dilakukan di rumah calon pengantin. Makanya, juga banyak pernikahan yang dilakukan bukan di kantor. Jika dilakukan di kantor tentu tidak ada biaya tambahannya, akan tetapi jika dilakukan di rumah atau di tempat acara walimahan, maka ada semacam “ucapan terima kasih” dari sang punya hajad. Tidak selalu dalam bentuk uang tetapi juga “berkatan” yang berisi buah dan makanan-makanan lainnya. Karena ketiadaan anggaran untuk melakukan kegiatan di luar kantor ini, maka atas inisitaif para KUA lalu mereka merumuskan tariff untuk biaya nikah di luar kantor, sehingga biaya untuk menikahkan di luar kantor tersebut bisa ditutupi. Sampai suatu ketika lalu menjadi temuan dan kemudian menjadi “bom” gratifikasi yang melibatkan para kepala KUA.
Inilah yang menyebabkan penilaian tentang Indeks Persepsi Korupsi dinyatan tinggi. Untuk pelayanan KUA memperoleh score di bawah 6, maka dinyatakan dengan warna merah atau indeks persepsi korupsi dinyatakan tinggi. 2 (dua) tahun berturut-turut penilaian terhadap IPK KUA itu jelek.
Namun demikian KUA terus berubah. Salah satu di antaranya ialah penentuan biaya nikah di luar kantor yang menjadi PNBP. Dan melalui proses yang cukup panjang akhirnya ketetapan PNBP itu menjadi pilihan atas penerimaan langsung oleh Kepala KUA atas biaya pernikahan di luar kantor. Dengan perubahan ini, maka indeks persepsi korupsi menjadi dapat ditekan, dan akhirnya penilaiannya yang selama ini berwarna merah lalu meniadi kuning. Itulah sebabnya pada tahun 2016, penilaiann Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan bahwa kemenang berada pada level 21 dari seluruh K/L dengan score 65,99 berada di atas Kemensos dan Kementerian Kelautan.
Dan yang sekarang harus diperjuangkan seirama dengan reformasi birokrasi ialah bagaimana menjadikan KUA sebagai pusat pelayanan yang bagus dan kemudian menghasilkan respon balik, bahwa KUA sudah berubah dan pelayanannya semakin baik. Saya kira “perubahan memang tidak selalu berkonotasi positif, akan tetapi tanpa perubahan, maka tidak akan terjadi pembaruan dan perbaikan”,
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..