Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN POLITIK 2018-2019 (1)

AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN POLITIK 2018-2019 (1)
Di dalam kesempatan yang penting acara Studium Genarale dengan tema “Agama dan Politik”, yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 3/11/2017, saya menyampaikan beberapa hal, terutama issue menarik di seputar tahun politik 2018-2019. Hadir pada acara ini ialah Prof. Dr. Abd. A’la (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya), Prof. Dr. Ahmad Muzakki, (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik), Dr. Zumroatul Mukaffa (Warek II) dan sejumlah dosen pada FISIP UIN Sunan Ampel dan para mahasiswa program studi Sosiologi, Hubungan Internasional dan Ilmu Politik.
Pada setiap saya menghadiri acara seminar atau apapun di perguruan tinggi, saya selalu merasakan bahwa saya masih seorang dosen, sebagaimana 6 (enam) tahun yang lalu, di saat saya bersama mahasiswa di perguruan tinggi berbicara tentang banyak hal, terutama tentang “paradigm Ilmu Agama, Sosial dan Budaya” khususnya pada program studi doctor pada Program Pascasarjana UIN SunanAmpel.
Meskipun demikian, hingga saat ini, saya masih merasakan bahwa saya hakikatnya adalah dosen, hanya sedang off saja dari kerja utama itu. Sebab meskipun menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, kenyataannya juga memberikan masukan, pengarahan dan juga pendampingan terhadap para pejabat dan pelaksana pada Kementerian Agama. Jadi saya tetap merasa bahwa saya adalah dosen dalam konteks umum.
Sebentar lagi, dua bulan, kita akan memasuki tahun baru. Dan tahun tersebut oleh para politisi dan juga akademisi disebut sebagai tahun politik. Tahun politik tetap dimulai setahun sebelum pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), baik untuk Pemilihan Presiden/Wakil Presiden maupun pilihan legislative (anggota DPR, DPRD dan juga DPD). Makanya, tahun 2018 dan 2019 disebut sebagai tahun politik.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, maka tahun politik tentu diindikasikan dengan “kegaduhan” dalam kehidupan politik, sosial dan bahkan agama. Meskipun terkadang juga masuk ke dalam wilayah ekonomi dan budaya. Namun demikian, yang sering menjadi peligimasi ialah agama. Sebagaimana pengalaman selama ini, agama bisa menjadi “penyemangat” dinamika politik yang terus bergerak dengan cepat dan massif.
Kita tentu masih ingat, bagaimana pilkada DKI yang sarat dengan bumbu penyedap “agama”. Kasus yang bergulir dan kemudian menjadi hembusan angin yang kencang terkait dengan issue penodaan agama. Menghabiskan energy banyak orang, baik politisi maupun agamawan. Para kyai, ajengan, habaib dan juga tokoh agama menjadi sibuk “bertarung” melawan siapa saja yang dianggap sebagai rivalnya.
Semua memberikan gambaran bahwa jika terjadi suasana politik—perebutan kekuasaan—dalam berbagai peringkatnya, maka di situlah dipastikan akan terjadi suasana pertentangan, rivalitas dan konflik, yang tidak jarang juga menghasilkan sekat-sekat atau penggolongan sosial berbasis agama. Di dalam pilkada DKI, maka dikenal kelompok 212 dan turunannya, serta kelompok lain “penyokong dan pendukung” Ahok.
Menjelang tahun politik ini, maka ada beberapa hal yang harus dicermati, yaitu: pertama, Issue Kesenjangan Sosial. Memang sebuah kenyataan bahwa kesenjangan sosial masih merupakan bagian tidak terpisahkan dari realitas sosial di negeri ini. Ada sejumlah kecil orang yang sangat kaya (22 orang) dan sementara sebagian lainnya berada di dalam kenyataan miskin atau bahkan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan indicator kemiskinan yang dirumuskan oleh pemerintah, maka ukuran garis kemiskinan juga sangat rendah. Yaitu ukuran miskin ialah jika pendapatan perkapita penduduk ialah Rp354.386,- atau setara dengan USD 25. Dengan ukuran ini maka terdapat sebanyak 11 persen penduduk miskin di Indonesia, dan jawa Timur menyumbang 4,78 juta penduduk miskin tersebut.
Dari sejumlah orang superkaya tersebut, maka Chairul Tanjung berada di posisi 359, sementara yang tertinggi R. Budi Hartono berada di dalam posisi 140 dan terendah Alexander Tedja berada di rangking 1940. Kekayaan terendah dari 22 orang terkaya itu ialah Rp13 trilyun rupiah. Jumlah orang kaya di dunia dalam laporan Majalah Forbes sebanyak 2043 orang saja. Mereka inilah yang menguasai mayoritas kekayaan negara di dunia.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Joseph E. Stiglitz dalam bukunya “The Great Divide, Unequal Societies and What We Can Do About Them”, maka fenomena tersebut merupakan kenyataan sosial dunia yang memang nyata atau realistis. 1 persen menguasai lebih dari mayoritas persentase kekayaan dunia. Di Indonesia, ada sejumlah 1 (satu) persen orang kaya yang menguasai 49.3 persen kekayaan negara. Kenyataan ini bukan hanya di Indonesia, akan tetapi adalah fenomena dunia Indonesia merupakan negara keempat dilihat dari sisi peringkat penguasaan kekayaan negara ini. di atas Indonesia terdapat Rusia, India dan Thailand.
Mengapa issue kesenjangan menjadi penting untuk dicermati di dalam tahun politik, sebab kebanyakan yang berada di level kesenjangan ialah umat Islam. Hal inilah yang menjadi menarik, sebab issue kesenjangan sosial akan dapat menjadi berita tentang ketidakberhasilan pemerintah mengerem laju para konglomerat untuk terus menguasau kekayaan negara dan sementara itu umat Islam berada di level terpuruk. Bahkan juga akan berlanjut pada issue kertidakadilan sosial dan ekonomi.
Memahami terhadap kesenjangan sosial seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa issue tersebut akan menjadi issue yang patut dicermati dalam tahun politik 2018 dan 2019. Makanya, kaum akademisi harus terus mencermati hal ini dan kemudian mencarikan solusinya untuk menangkal issue tersebut secara lebih memadai.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..