Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGOTIMALISASIKAN POTENSI MAHASISWA PTKIN (2)

MENGOTIMALISASIKAN POTENSI MAHASISWA PTKIN (2)
Saya terus terang memiliki concern khusus terhadap dunia pendidikan tinggi, sebab saya adalah bagian tidak terpisahkan dari dunia ini. Itulah sebabnya saya selalu merasa tertantang ketika diundang oleh perguruan tinggi untuk memberikan presentasi atau apapun, sebab bagi saya seperti menuai kembali dunia akademis yang selama ini saya tinggalkan.
Saya selalu menyatakan di setiap momentum bertemu dengan para dosen dan juga mahasiswa bahwa lembaga pendidikan tinggi merupakan proyek ambisius untuk melahirkan orang-orang hebat dalam sejarah kemanusiaan. Perguruan tinggi merupakan kawah condrodimuko untuk menggembleng calon-calon pemimpin bangsa yang tentu memiliki kelebihan dalam banyak hal dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Di perguruan tinggilah kita akan dapat menyemai talenta-talenta di dalam berbagai hal untuk menjemput masa depan bangsa yang lebih hebat dan gemilang. Jadi, di perguruan tinggilah sesungguhnya tempat yang paling ideal untuk mencetak manusia yang unggul dan kompetitif di era milenial yang penuh tantangan dan prospektif ini. Lalu, siapa yang bertanggungjawab atas semua ini, tentu adalah institusi pemerintah, institusi pendidikan, dan semua yang memiliki semangat untuk mengembangkan potensi bangsa.
Bagi PTKIN, tentu Kementerian Agama memiliki tanggungjawab untuk mengoptimalkan anggaran bagi kesempurnaan PT. Bagi institusi pendidikan, seperti pimpinan lembaga (rector dan jajarannya), dosen sebagai tenaga pendidik, dan mahasiswa tentu memiliki peran yang sangat signifikan untuk menggapai semua ini. Tidak bisa dibebankan tugas ini kepada orang lain, akan tetapi kita sebagai warga institusi pendidikanlah yang bertanggung jawab.
Saya ingin memperdalam tulisan saya sebelumnya, yang menggagas pentingnya ”sekolah-sekolah” dalam institusi pendidikan. Mungkin ada di antara kita yang bertanya, apa perlunya “sekolah-sekolah” dalam lembaga pendidikan. Bukankah lembaga pendidikan sudah sekolah itu sendiri. Yang saya maksudkan dengan “sekolah-sekolah” ini sesungguhnya ialah lembaga-lembaga yang secara khusus akan menghandle tentang dimensi “student interest” yang akan dipilih para mahasiswa.
Misalnya, “school of research”, maka sekolah ini adalah tempat untuk memperdalam ketertarikan mahasiswa untuk belajar lebih mendalam berbasis pada research sungguhan terkait dengan kehidupan masyarakat. Jika di dalam system perkuliahan, mahasiswa sudah diperkenalkan tentang riset dan seluk beluknya, maka di dalam “school of research” inilah mereka akan dilatih lebih mendalam dengan pengalaman-pengalaman riset di sekelilingnya.
Mahasiswa akan dilatih kepekaan untuk membaca situasi sosial, setting sosial, dan agenda-agenda ke depan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Jadi mereka tidak hanya hafal prosedur riset, akan tetapi bagaimana riset itu dilakukan. Dengan begini maka mereka akan memiliki kecenderungan untuk “lebih” cerdas dalam membaca situasi sosial dan berbagai aspeknya sehingga benar-benar dia akan menjadi orang yang memahami riset dan aplikasinya.
Jika merunut pada pengalaman saya, maka sesungguhnya saya memiliki kecendrungan yang sangat kuat di bidang riset karena pengalaman yang saya dapatkan di kala saya menjadi mahasiswa. Pada tahun 1981-1984, saya terlibat di dalam penelitian yang diselenggarakan oleh Yayasan Kependudukan Indonesia (YASIKA) di bawah koordinasi Prof. Dr. Burhan Magenda dari UI, dan di Jawa Timur dikoordinasi oleh Dr. MS. Abbas, dan saya menjadi group leader dari para pewawancara di kala itu. Lalu juga penelitian dari Bank Dunia, dengan tema “Kampung Improvement Program” atau KIP di Surabaya. Dari pengalaman inilah yang kemudian menjadikan saya memiliki concern untuk melakukan penelitian lapangan sebagai suatu kapasitas yang terus saya kembangkan.
Dari pengalaman ini, maka saya kemudian menekuni dunia penelitian, sehingga menghasilkan beberapa karya yang berbasis pada penelitian lapangan. Jadi, bekal pengalaman lapangan dalam suatu bidang itu tentu sangat penting untuk mengantarkan yang bersangkutan agar memiliki kepekaan dalam bidang yang ingin digelutinya.
Oleh karena itu, saya kira bahwa “school of research” akan menjadi sangat bermakna dalam kerangka untuk mengantarkan mahasiswa memiliki kapasitas lebih yang disebabkan oleh keterlibatnnya di dalam pengalaman-pengalaman lapangan. Mereka akan mendapatkan sertifikat dan juga bisa mengunggah hasil penelitian lapangannya di media yang harus kita rancang untuk kepentingan mereka.
Untuk melakukan semua ini, saya kira memang butuh pengorbanan. Jadi para dosen harus dipacu agar terus mengobarkan semangat untuk menemukan atau to discover dalam kehidupannya. Jadi para dosen tidak hanya menuntut tunjangan sertifikasinya agar dibayarkan tepat waktu, akan tetapi juga berwakaf dalam bidang ilmu yang diajarkannya lebih dari sekedar mengajar dengan jumlah satuan kredit semester (sks), sejumlah 13 sks.
Alangkah ironinya jika dosen hanya berpikir untuk dirinya sendiri, sementara tugas untuk mendidik anak bangsa agar dapat mengemban tugas Indonesia Emas, 2045, justru terabaikan.
Wallahu a’lam bia al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..