Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SANTRI DAN TANTANGAN EKONOMI KEUMATAN (4)

SANTRI DAN TANTANGAN EKONOMI KEUMATAN (4)
Ada yang menarik di dalam peringatan Hari santri tahun 2017 ialah acara NU untuk mengumpulkan “Semilyar Shalawat Nariyah” sebagai salah satu cara untuk memperingati Hari Santri. Bagi saya ini merupakan peristiwa yang unik dan beginilah cara warga Nahdliyin untuk mengenang peristiwa agung dalam sejarah Indonesia, yaitu “Resolusi Jihad” yang dikumandangkan oleh Hadratusy Syekh KH. Hasyim Asy’ari, yang sekarang diperingati sebagai Hari Santri.
NU memang memiliki tradisi religiusitas yang unik khas Nusantara, dengan acara tahlilan, yasinan, dzibaan, serta nariyahan yang selama ini sudah sangat membudaya di antara mereka. Seluruh acara misalnya Lailatul Ijtima’ yang diselenggarakan sampai di desa-desa juga diisi dengan acara-acara unik ini. Arab Saudi yang dijadikan sebagai referensi keagamaan (baca Islam) bagi umat Islam sedunia, tentu tidak memiliki kegiatan seperti ini.
Bagi saya inilah keunikan NU dengan berbagai varian tradisi keagamaannya–genuine, khas Nusantara—yang memang dikembangkan oleh para penyebar Islam generasi terdahulu dalam kerangka mengislamkan Nusantara. Kemampuan mengakomodasi terhadap tradisi dan budaya local merupakan kekuatan NU yang tiada taranya. Di dalam buku saya “Islam Pesisir” saya jelaskan bagaimana NU mengislamkan tradisi-tradisi nyadran (sedekah bumi di sumur), atau manganan (sedekah bumi di Kuburan) lalu menjadi Islami merupakan tradisi yang sagat unik. Jika di masa lalu di sumur diselenggarakan acara tayuban atau sindiran (acara khas Jawa yang di dalamnya ada acara menari dan menyanyi dengan music Jawa), maka lalu berganti menjadi Thoyiban. Saya yakin bahwa acara tayuban adalah tradisi masa lalu yang digunakan oleh para penyebar Islam generasi awal, yang bisa diubah oleh NU menjadi sebagaimana hakikat semula.
Makanya tidak mengherankanj jika di dalam acara peringatan Hari Santri, maka NU juga melakukan kegiatan penumpulan “Semilyar Shalawat Nariyah” sebagaimana yang sekarang dilakukan oleh warga NU. Nyaris semua masjid yang takmirnya orang NU, maka dipastikan menggelar acara baca Shalawat Nariyah ini. Suatu tradisi yang sangat baik dalam kerangka untuk melestarikan tradisi mempertahankan Islam dengan cara-cara yang unik.
Di sisi lain, juga terdapat new initiative, yang dikembangkan oleh kelompok Islam, yang menganggap dirinya paling puris –kelompok 212—yang juga mengembangkan upaya baru untuk “melawan” terhadap dominasi ekonomi yang sangat gigantic seperti Alfa Mart, Indo Mart, dan Mart-Mart lainnya yang menguasai dunia ekonomi retail di Indonesia. Mereka mengumpulkan “Semilyar Uang” dari jamaah-jamaah masjid untuk dijadikan sebagai saham, lalu mereka membuat Mart baru. Sesuai dengan gerakan ini, maka Mart itu dinamakan 212 Mart, atau Koperasi 212.
Hal ini saya kira merupakan upaya yang juga menarik untuk dicermati di dalam kerangka gerakan Islam, yang sekarang mulai sadar tentang “dominasi” ekonomi yang semakin menjauh dari umat Islam.
Jadi, ada gerakan yang stabil untuk memperkuat spiritualitas melalui Gerakan “Semilyar Shalawat Nariyah” yang diselenggarakan oleh warga NU, dan di sisi lain terdapat Gerakan “Semilyar Uang” untuk penguatan ekonomi umat melalui pengembangan potensi masjid untuk menjadi kekuatan ekonomi yang ke depan diharapkan akan bisa menjadi “penjawab” terhadap kegalauan “dominasi” ekonomi kapitalis yang sudah berakar sangat kuat di Indonesia.
Bagi saya memang tantangan yang sangat berat bagi kaum santri ialah bagaimana menyadarkan kaum santri agar seirama dengan perubahan-perubahan dan perkembangan ekonomi yang makin kompleks. Saya kira, tradisi pesantren berupa tahlilan, yasinan, dzibaan dan berbagai lainnya, tentu harus tetap lestari, karena itulah kekuatan Islam Nusantara. Akan tetapi yang tidak kalah menarik ialah bagaimana memberdayakan ekonomi santri ini untuk menjawab terhadap “kegalauan” sebagian umat Islam tentang “dominasi’ ekonomi kapitalis.
Saya melihat bahwa alumni pesantren kebanyakan menjadi kyai pada levelnya masing-masing. Tentu juga ada yang menjadi takmir masjid, pimpinan lembaga pendidikan dalam berbagai levelnya dan sebagainya, Inilah sesungguhnya yang menjadi kekuatan kaum santri atau menjadi modal sosial kaum santri.
Hanya sayangnya bahwa mereka belum terkoneksi secara memadai dengan berbagai program penguatan kelembagaan ekonomi. Nyaris mereka tidak memiliki jaringan untuk mengembangkan aspek program ekonomi umat itu. Mereka hanya berkutat dengan dengan kegiatan-kegiatan rutin yang terus menerus dilakukan, yaitu acara-acara religiositas yang sudah berlaku turun menurun hingga sekarang. Nyaris mereka tidak tersambungkan dengan upaya-upaya untuk pengembangan ekonomi keumatan ini.
Makanya diperlukan gerakan untuk mengembangkan ekonomi santri, sebagaimana yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Sidogiri, yang asetnya telah trilyunan rupiah. Para alumni Sidogiri yang tersebar di seluruh Indonesia telah disadarkan akan pentingnya memperkuat gerakan ekonomi santri. Oleh karena itu banyak santri Pondok Pesantren Sidogiri yang kemudian bergerak di bidang ekonomi santri tanpa menghentikan gerakan religiositas yang sudah mendarah daging.
Saya kira kita semua harus belajar dari teladah hasanah dalam mengembangkan ekonomi santri dari pondok pesantren Sidogiri ini, sehingga para santri kemudian memiliki kesadaran sepenuhnya untuk mengurangi “dominasi” ekonomi kapitalis yang terus menggurita di negeri ini.
Masih ada peluang untuk bergerak, senyampang masih ada kesempatan untuk melakukannya. Dan sekali lagi semua ini tergantung dari kesadaran kaum santri untuk terus berubah dan berubah.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..