Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SANTRI DAN TANTANGAN PROBLEM PEMAKNAAN (2)

SANTRI DAN TANTANGAN PROBLEM PEMAKNAAN (2)
Sebagai konsekuensi perluasan makna santri itu, tentu juga memiliki sejumlah konsekuensi terkait dengan cara pandang dan bagaimana orang mengkonstruksi terhadap dunia santri. Jika di dalam konteks pesantren, maka santri itu berarti orang yang pernah mondok di pesantren –dalam beberapa lama—maka sekarang tentu sekarang tidak bisa lagi dipersepsikan sebagai demikian.
Saya akan melihat dunia santri berdasarkan atas konstruksi outward looking. Di dalam konteks outward looking tentu seorang santri akan bisa dikategrikan dengan bagaimana cara berpakaian, berpenampilan dan juga bagaimana yang bersangkutan menghadapi dunia. Tentu ada perbedaan antara santri dan nonsantri dalam memandang dunia berdasar atas world viewnya.
Marilah kita analisis tentang outword looking santri dewasa ini. Jika ditipologikan, maka ada 4 (empat) tipe tentang santri dilihat dari outword lookingnya. Pertama, santri yang pernah nyantri di pondok pesantren. Di dalam banyak hal, maka gaya berpakaiannya tentu menggambarkan pandangan dunia tentang santri ialah sarung dan kopyah, pakaian gamis dan jenggot bisa dengan kumis atau tanpa kumis.
Dunia santri di masa lalu maupun sekarang identic dengan konsepsi “Kaum Sarungan”. Di pesantren hingga kini, sarung adalah identitas untuk menggambarkan tentang santri. Jika kita berada di pesantren, selain itu juga kopyah, bisa hitam atau putih, yang jelas bahwa sarung dan kopyah merupakan identitas yang terus menyejarah di dunia pesantren.
Sarung dan kopyah adalah pakaian khas kaum santri di Indonesia. Khususnya masyarakat Islam di wilayah kebudayaan Melayu, seperti Malaysia dan Brunei Darus Salam, meskipun berbeda dalam tata cara penggunaannya. Di Indonesia seorang santri terbiasa memakai sarung tanpa celana panjang–khususnya di Jawa—sedangkan di Malaysia selalu menggunakan celana panjang dan di luarnya diberikan kain sarung. Hal ini nyaris sama dengan kaum santri di Aceh, dan beberapa wilayah lain di Sumatera yang berkebudayaan Melayu. Namun demikian, outward looking kaum santri selalu terkait dengan sarung dan kopyah meskipun cara menggunakannya berbeda.
Kedua, santri dengan identitas berpakaian masa kini. Sebagai perluasan makna santri dimaksud, maka banyak kaum santri yang sudah tidak lagi menggunakan asesori kaum santri berupa sarung dan kopyah. Mereka kebanyakan adalah kaum birokrat, teknokrat dan juga para pengusaha dan nonpengusaha yang sebenarnya bagian dari santri tetapi ourward lookingnya sudah sangat berubah. Mereka memang memegangi terhadap kaidah dunia pesantren dalam pemahaman, sikap dan tindakannya, akan tetapi pengaruh dunia modern telah merasukinya. Dia memakai celana, baju panjang atau pendek dan berdasi bahkan juga memakai jas tanpa kopyah. Adakalanya, memakai jas tanpa dasi dan tanpa kopyah. Atau bisa saja dengan kopyah. Outward looking dunia pesantren sudah ditinggalkannya. Mereka adalah para santri yang sudah tidak terikat dengan gaya atau tampilan fisikal secara pesantren. Mereka sudah mengadaptasi terhadap gaya dan tatacara berpakaian kaum modern, khususnya di dunia Barat.
Saya sebenarnya tidak suka menggunakan istilah modern atau tradisional, sebab terkesan memberikan penilaian tentang kaum santri dari perspektif outward lookingnya. Itulah sebabnya saya menghindari terhadap istilah santri tradisional dengan peci dan sarungnya untuk menyebut santri tradisional, dan mereka yang memakai jas, dasi, celana dan baju atau mereka yang selalu menggunakan pakaian batik tanpa kopyah sebagai santri modern. Saya menyebutnya semuanya adalah santri hanya saja memang terdapat perubahan yang sangat signifikan terkait dengan outward lookingnya.
Ketiga, santri tetapi berpakaian yang aneh-aneh, dengan pakaian yang tidak menggambarkan sebagai cara berpakaian seorang santri bahkan rambutnya panjang tanpa terawatt. Mereka juga santri yang memahami agama dengan baik, hanya saja memang tidak terkooptasi dengan gaya pakaian yang cenderung lebih klimis dan modis. Mereka beranggapan bahwa pakaian hanyalah asesori saja, sementara mereka mengukur beragama itu justru dari dimensi mendalamnya. Agama itu substansi dan bukan lahiriyahnya atau asesorinya.
Dewasa ini ternyata ada banyak juga kaum santri dengan gaya berpakaian yang cenderung tidak menggambarkan sebagai santri yang necis. Mereka mengamalkan ajaran agama dalam dunia seni, dengan penuh prinsip mendalam. Jika orang tidak mengenalnya secara pribadi, mungkin dianggapnya orang ini jauh dari perilaku agama. Padahal sesungguhnya mereka adalah santri-santri yang memiliki pemahaman, sikap dam tindakan yang sangat religious.
Keempat, santri yang menggambarkan seluruh perilaku dalam konteks outward looking adalah sebagaimana orang Arab. Baginya, Islam itu sama dengan Arab. Apa yang terjadi di Arab dewasa ini adalah Islam. Makanya dalam berpakaian pun juga menggambarkan tentang cara berpakaian orang Arab. Pakaian gamis, serban, jenggot dan kumis klimis adalah contoh tentang penganut Islam yang kaffah. Kesempurnaan berislam juga sangat tergantung pada cara berpakaiannya.
Mereka ini yang di dalam banyak hal menganggap bahwa orang Islam yang tidak sebagaimana pemahaman dirinya dianggapnya bukan sebagai orang Islam. Jadi di dalam pemahamannya bahwa Islam yang benar adalah pemahaman dan perilaku berislam sebagaimana dirinya. Jumlah mereka semakin banyak dan juga semakin banyak anak muda yang menjadikannya sebagai trendsetter.
Jika ditipologikan lebih sederhana, maka hanya ada dua kategori saja, yaitu santri Nusantara, yang merupakan penyederhanaan kategori 1 (satu), 2 (dua) dan 3 (tiga). Sedangkan kategori keempat ialah santri Arab. Bagi kita, cara apapun berpakian tentu tidaklah menjadi problem, selama yang bersangkutan menyatakan bahwa dia adalah orang Indonesia yang beragama Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..