Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SANTRI DAN TANTANGAN PERGULATAN MODERNISASI PENDIDIKAN (3)

SANTRI DAN TANTANGAN PERGULATAN MODERNISASI PENDIDIKAN (3)
Di dunia ini nyaris tidak ada sebuah institusi, tentu termasuk institusi pendidikan pesantren, yang terlepas dari tantangan modernitas, yaitu modernisasi pendidikan. Kata yang menurut saya tidak bisa dilawan dewasa ini ialah modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Yang bisa dilakukan hanyalah menyikapi secara arif terhadap gerakan modernisasi itu agar tetap bermanfaat bagi warga masyarakat dan bangsa.
Modernisasi itu ibarat angin puting beliung yang bisa menerjang apa saja, dan yang tidak kuat akan roboh dan yang kuat akan tetap tegak berdiri. Ibarat pergulatan survival of the fittest maka hanya yang kuat saja yang akan bertahan dan kemudian berkembang atau mengembangkan diri, sementara itu yang lemah akan tergilas dan hilang dalam pusaran sejarah. Maka bisa kita lihat, mana institusi yang akan terus eksis di tengah pergulatan itu dan mana institusi yang kemudian hilang tidak berbekas.
Dunia pesantren, sejauh yang kita lihat tetap eksis. Dunia pesantren sebagai institusi yang bergerak di bidang pendidikan Islam, ternyata memiliki daya tahan yang sangat kuat untuk menanggulangi terhadap banjir bandang atau tiupan prahara badai dan angin kencang yang terus menerus menerjang dirinya. Pesantren memiliki kekuatan yang sangat hebat di dalam kerangka mempertahankan diri di tengah goncangan modernisasi yang tidak bisa dihadang lajunya.
Di antara variabel yang menyebabkan mengapa pesantren dengan kyai dan santrinya itu mampu bertahan ialah: pertama, dari aspek kepemimpinan. Pesantren dapat mengikuti perubahan yang terus terjadi. Misalnya, di masa lalu kepemimpinan bercorak kharismatis, akan tetapi seirama dengan sulitnya kepemimpinan kharismatis tersebut muncul, maka pesantren berkembang dengan kepemimpinan tradisional, yaitu kepemimpinan didasarkan atas “keturunan” dan di kala modernisasi juga masuk ke dunia pesantren, maka kemudian muncullah kepemimpinan legal formal, yaitu kepemimpinan yang bercorak kebersamaan dan pembagian tugas yang jelas. Kepemimpinan pesantren menjadi kepemimpinan yang modern dengan segala kelebihannya.
Kedua, dari aspek kelembagaan pendidikan. Dunia pesantren adalah dunia yang adaptif terhadap perubahan. Konsep yang selalu digunakan ialah “al muhafadlatu ‘ala al qadimish al shalih wa al akhdzu bi al jaded al ashlah”. Melalui konsep “menjaga terhadap hal-hal yang baik di masa lalu dan mengambil hal-hal yang terbaik yang bermanfaat di masa sekarang dan akan datang” maka pesantren memiliki kelenturan. Jika di masa lalu hanya sebagai pendidikan pesantren dengan pengajian kitab kuning saja, dengan system tradisional (bandongan, wetonan dan sorogan), maka kemudian menjadi madrasah dengan system klasikal dengan mengadaptasi kurikulum yang lebih luas. Kemudian berkembang menjadi sekolah yang selain menggunakan system klasikal juga menggunakan kurikulum nasional dan ilmu-ilmu non keislaman.
Kelenturan dunia pesantren ini yang kemudian menjadi contoh, bagaimana lembaga pendidikan Islam dapat bertahan dengan berbagai goncangan yang hebat. Pesantren lalu menjadi seperti mall atau toko swalayan yang menyediakan berbagai menu pendidikan, sehingga kita tinggal memilih mana yang kita inginkan dan kita beli, dan akhirnya menjadi pilihan utama di dalam pendidikan anak-anak.
Pesantren sungguh dapat menempatkan diri di dalam bursa pendidikan yang sangat inspiratif di dalam membendung pengaruh modernisasi yang datang kepadanya. Dengan kata lain, yang lain boleh berubah seratus persen, tetapi pesantren akan tetap hidup dengan cara dan dinamikanya sendiri sambil mengambil secara adaptif, mana yang baik dan mana yang harus ditinggalkan.
Ketiga, kemampuan adaptasi yang sangat tinggi. Harus diakui bahwa lembaga pendidikan yang sungguh-sungguh sangat adaptif ialah lembaga pendidikan pesantren. Nyaris tidak masuk dalam pikiran kita, bagaimana pesantren dengan cepat bisa mengambil peran pendidikan umum di dalamnya. Jika selama ini, dunia sekolah itu identic dengan lembaga pendidikan “secular” karena dilakukan oleh kaum penjajah di masa lalu dan diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di Barat, maka pesantren pun dapat mengadaptasinya. Bahkan dengan kemampuannya yang menakjubkan, mereka “mengislamkan” lembaga pendidikan “secular” tersebut di dalam pesantren dan menjadikannya sebagai bagian tidak terpisahkan. Kira-kira slogannya “ lembaga boleh apa saja namanya, akan tetapi isinya harus tetap Islami”. Boleh saja sekolah, boleh saja madrasah dan bahkan juga pesantren salafiyah, akan tetapi kontennya tetap saja Islam yang rahmatan lil alamin. Substansi menjadi sangat penting di dalam konteks perubahan tersebut.
Kita tidak pernah membayangkan sebuah pesantren di Lombok Tengah, di bawah kepemimpinan Kyai TG. Hasanain, ternyata siswanya dapat merakit computer dalam waktu kurang dari 20 menit dan semua santrinya belajar dengan menggunakan media teknologi informasi. Kita juga tidak membayangkan bahwa di Pesantren Lirboyo, lembaga pendidikan di dalamnya adalah Lembaga Pendidikan Negeri, dan pesantren lain, seperti Pesantren Tebuireng yang pada tahun 60-an sudah mengajarkan Bahasa Inggris. Dan kemudian beberapa pesantren lainnya bahkan mewajibkan santrinya untuk belajar Bahasa Mandarin.Lalu Pesantren Nurul Iman di Parung yang didirikan oleh Habib Assegaf dan kini diasuh oleh Bu Nyai Waheeda dengan 20.000 santri justru mengembangkan pendidikan umum seluruhnya.
Semua ini merupakan bagian dari moralitas mengedepankan “menjaga hal-hal di masa lalu yang baik, dan mengambil hal-hal terbaik di masa sekarang”. Jadi prinsip ini saya kira lebih hebat dibandingkan dengan teori ilmu sosial “continuity within change” yang dicetuskan oleh para ahli di bidang ilmu sosial.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..