Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SANTRI DAN TANTANGAN PROBLEM PEMAKNAAN (1)

SANTRI DAN TANTANGAN PROBLEM PEMAKNAAN (1)
Di dalam kerangka menyongsong dan memperingati Hari Santri, 22/10/2017, saya rasa sangat banyak aktivitas yang diselenggarakan oleh masyarakat dan juga pemerintah untuk menyambut dan memperingatinya. Di Kementerian Agama dilakukan serangkaian acara dan upacara untuk memperingati 2 (dua) tahun Hari Santri.
Acara tersebut misalnya Parade Baca Puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang diikuti oleh tokoh penyair Indonesia, Misalnya Sutarji Calzum Bachri, yang dinyatakan sebagai Presiden Penyair Indonesia, Sapardi Joko Damono, Ahmad Tohari (Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk), Prie GS, Joko Pinurbo, Lukman Hakim Saifuddin, Masriyah Amva, Badriyah Fayumi, D. Zawawi Imron, dan sebagainya. Parade Baca Puisi yang saya kira dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan semangat para santri dalam berkarya di bidang seni puisi.
Di Semarang juga diselenggarakan acara menyambut Hari Santri dengan upacara besar-besaran yang diikuti oleh segenap santri, Kyai dan ASN Kemenag. Selain juga ada acara Coretan Kartunis di atas kanvas sepanjang 300 Meter. Pak Menag yang memulai coretan kartunnya. Selain itu di seluruh Kantor Kementerian Agama, pusat dan daerah, juga menyelenggarakan upacara pada tanggal 22 atau 23 Oktober 2017.
Hiruk pikuk penyambutan Hari Santri tentu terkait dengan ungkapan pemaknaan peran pesantren di dalam banyak hal kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Siapapun akan mengakui bahwa dunia pesantren memang memiliki peran yang sangat signifikan di dalam dunia pendidikan, pengembangan SDM dan tentu juga peran dalam membangun semangat kebangsaan yang tidak kunjung sirna. Pesantren bagi banyak orang dianggap sebagai “benteng” bagi tegaknya Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Keberagaman. Di mana-mana di setiap pesantren, terdapat ungkapan: “NKRI Harga Mati”.
Santri dalam konteks keumatan, memang telah mengalami perluasan makna. Jika di masa lalu hanya dibatasi oleh dinding-dinding pesantren, maka sekarang makna santri telah mengalami perubahan. Siapapun yang beragama Islam dan mengamalkan ajaran agamanya dengan benar maka disebutlah sebagai santri. Kata Pak Harsya Bachtiar, bahwa Kaum Santri ialah “Kaum Putihan” yang berhadapan dengan “Kaum Abangan”. Di dalam tradisi Jawa, disebut “Wong Puteh” atau “Kelompok Orang Putih” atau “Kelompok Orang yang mengamalkan ajaran Islam” atau “orang yang taat kepada ajaran agamanya”. Kata “Wong” dalam penggolongan sosial disebutkan sebagai sekelompok orang atau sebagian orang.
Jadi, kata santri menunjuk kepada sejumlah orang yang mengamalkan ajaran agamanya, apakah yang bersangkutan pernah nyantri di pondok pesantren atau tidak, yang penting ialah yang bersangkutan menjalankan ajaran agamanya dengan benar atau taat beribadah. Jadi santri sebagai kategori sosial menunjuk pada kenyataan adanya sekelompok orang yang mengamalkan ajaran agamanya.
Pak Harsya Bachtiar, sebagai ahli di bidang Sejarah Kemasyarakatan, telah memberikan komentar tentang konsepsi Geertz mengenai Kaum Santri yang dihadapkan dengan Kaum Abangan dan juga Kaum Priyayi. Bagi Pak Harsya Bachtiar bahwa penggolongan seperti ini tidak tepat, sebab Kaum Santri dan Kaum Abangan adalah penggolongan ketaatan beragama, sedangkan Kaum Priyayi adalah penggolongan sosial. Baginya, terdapat kerancauan mengenai pemaknaan dimaksud.
Kembali kepada pemaknaan santri, maka seirama dengan perubahan zaman, dan bahkan semenjak Geertz, merumuskan konsepsinya, sesungguhnya sudah terjadi perluasan makna itu. Artinya, bahwa Kaum Santri ialah Kaum yang memiliki ketaatan kepada ajaran agamanya dan memiliki garis demarkasi yang sangat kuat dibandingkan dengan Kaum Abangan, yang di saat konsepsi ini diunggah, maka situasi sosial dan bahkan politik, memang sedang terjadi “rivalitas” yang sangat kentara. Di masa itu, pernyataan: “kulo wong Abangan” atau “saya orang Abangan” bukanlah sesuatu yang disembunyikan. Sama halnya dengan sebutan: “dia itu santri”, dan sebagainya.
Dewasa ini, kata “Abangan” nyaris tidak lagi terdengar. Kata ini sudah dianggap tidak relevan di tengah perubahan sosial yang terus terjadi. Sekarang kata “santri” sudah merupakan general word, yang menggambarkan tentang pemahaman, sikap dan tindakan orang yang selalu bersesuaian dengan ajaran prinsip di dalam Islam. Secara substansial, bahwa siapa saja yang mengamalkan ajaran Islam, hakikatnya ialah kaum santri. Makanya, di dalam outword looking, siapa yang melakukan ajaran agama, kelihatan shalat jum’at di masjid, ikut pengajian, ikut majelis ta’lim, mengamalkan ajaran Islam yang dasar, seperti shalat, zakat, puasa, dan bahkan sudah haji, maka pastilah dinyatakan sebagai “kaum santri”.
Dengan demikian, semua orang yang selalu mengamalkan ajaran dasar Islam, apapun penggolongan sosialnya, penggolongan politiknya, penggolongan etnisnya, dan sebagainya dapat dipastikan yang bersangkutan bisa masuk dalam kategori sosial “santri”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..