Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DIALOG ISLAM-KHONGHUCU UNTUK HARMONI INDONESIA

DIALOG ISLAM-KHONGHUCU UNTUK HARMONI INDONESIA
Hari Senin, 16/10/2017, di Hotel Hariston Jakarta diselenggarakan acara Dialog Islam dan Khonghucu oleh MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) yang diikuti oleh sejumlah negara, antara lain: Mesir, Singapura, Brunei Darussalam, China, Hongkong, Jepang dan sebagainya. Acara ini dibuka oleh Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin.
Acara ini merupakan rangkaian peringatan Kelahiran Nabi Agung, Khong Zhi, 2568. Selain itu, pada hari berikutnya, Selasa, 17/10/17, juga diselenggarakan Kongres Agama Khonghucu se dunia yang juga diselenggarakan di tempat yang sama. Hadir pada acara ini ialah seluruh mantan pimpinan Khonghucu sebelumnya. Juga hadir Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Agama Khonghucu, M. Mudhofir.
Ada dua sessi dialog yang diselenggarakan yaitu sessi pertama dan kedua. Saya termasuk yang dijadikan sebagai nara sumber pada sessi pertama dengan sejumlah narasumber lainnya. Saya kira ini merupakan dialog yang sangat padat, sebab di sessi pertama itu menampilkan 12 orang dari tokoh-tokoh Agama Islam dan tokoh-tokoh Agama Khonghucu.
Dari 12 orang narasumber tersebut ialah, saya (Prof. Nur Syam, Sekjen Kemenag), Prof. Dien Syamsuddin (Dewan Pertimbangan MUI), Prof. Jimly Ash Shiddiqi (Ketua ICMI), Prof. Syafiq Mughni (Pimpinan Muhammadiyah), Prof. Komaruddin Hidayat (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Djaengrono Ongawijaya (Pimpinan MATAKIN), Uung Sendana L. Linggaraja (Ketua MATAKIN), Wawan Wiratna (Mantan Ketua MATAKIN), Dr. Ongky Setio Kuncoro, Victor R. Hartono (PT Djarum Kudus), Mulyadi, dan Budi S. Tanuwibowo. Acara sessi pertama dipimpin oleh Budi S. Tanuwibowo, yang juga mantan Ketua MATAKIN.
Sebagai pembuka sessi ini adalah Prof. Dien Syamsuddin. Beliau mengungkapkan bahwa antara Islam dan Khonghucu terdapat persamaan dan tentu juga perbedaan. Oleh karena itu, jangan kita membesarkan perbedaan sehingga yang tampak adalah hanya perbedaannya saja, akan tetapi juga harus diakui keberadaan persamaannya, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran agama yang universal, seperti keadilan, kejujuran dan sebagainya. Prof. Jimly menekankan pada aspek sejarah legalitas Khonghucu sebagai agama yang diabsahkan sesuai dengan regulasi tentang agama di Indonesia, Prof. Komar banyak bercerita tentang ajaran dasar Khonghucu dalam kaitannya dengan Islam dan Prof. Syafiq bercerita tentang pengalaman Muhammadiyah dalam mengelola pendidikan. Ternyata bahwa pendidikan bisa menjadi medium untuk membangun kerukunan beragama. Di Universitas Muhammadiyah Kupang, ternyata jumlah mayoritas mahasiswanya justru beragama Kristen.
Sebagai pembicara ke 11, tentu memiliki tantangannya sendiri. Saya nyatakan, “sebagai pembicara ke 11 saya merasa bahwa semua yang sudah saya catat untuk saya sampaikan ternyata sudah disampaikan oleh narasumber sebelumnya. Makanya, saya hanya akan menyampaikan hal-hal yang kira-kira belum disampaikan atau hanya sekedar menggarisbawahi saja”.
Di dalam konteks ini, saya sampaikan 3 (tiga) hal mengapa kita harus bersyukur kepada Allah swt atau Tien yang Maha Esa. Sebagai bangsa yang besar kita merasa beruntung bahwa kita memiliki kesadaran yang sangat tinggi dalam membangun kerukunan. Pertama, kita bersyukur bahwa secara konseptual maupun praksis kita memiliki kebijakan “Tri Kerukunan Beragama” yang sangat fenomenal. Pak Alamsyah Ratu Perwiranegara (mantan Menteri Agama), merupakan pencetusnya. Kita berhutang budi kepada beliau. Yaitu, kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Kita yang sekarang melaksanakan dialog antar umat beragama ini, adalah bagian dari pengamalan tri kerukunan umat beragama yang sudah menjadi tradisi kita semua.
Tidak hanya kerukunan antar umat beragama tetapi juga kerukunan intern umat beragama. Jangan dikira bahwa tidak ada “gesekan” intern umat beragama. Di dalam intern umat beragama juga ada perbedaan yang tidak bisa dikompromikan. Bahkan dalam urusan ritual. Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi besar di Indonesia juga memiliki perbedaan-perbedaan, misalnya dalam shalat saja terdapat 11 perbedaan sesuai dengan penelitian saya di Mayong Jepara Jawa Tengah.
Kita semakin bersyukur sebab relasi antara umat beragama dengan pemerintah sangat baik. Berbeda dengan era Orde Baru yang relasi antar umat beragama dengan pemerintah itu fluktuatif, maka sekarang cenderung sangat baik. Agama dan negara berhubungan secara simbiosis mutualisme. Negara membutuhkan agama sebagai basis moralitas dan agama membutuhkan negara untuk pengembangan dan menjaga harmonisasi agama-agama.
Kedua, kita bersyukur sebab sebagai umat beragama kita memiliki konsep dan praksis ujaran “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan”. Melalui pentradisian pemikiran ini, maka semua pemeluk agama di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu memiliki kesamaan visi untuk membangun keragaman menjadi kekuatan. Keragaman bukan malapetaka akan tetapi modal sosial dan budaya untuk membangun kesatuan dan persatuan bangsa. Di antara agama-agama ini yang berpotensi untuk “tegang” adalah agama Kristen, sebabnya ada sebanyak 430 lebih denominasi dan setiap denominasi harus memiliki Gereja sendiri-sendiri. Namun sejauh ini masih bisa dimanej dengan baik dan berselaras.
Ketiga, kita juga bersyukur sebab pemerintah telah merespon keinginan umat Khonghucu untuk memiliki struktur tersendiri di dalam birokrasi Kemenag. Kita telah memiliki Pusat Bimbingan dan Pendidikan Agama Khonghucu. Hanya sayangnya bahwa SDM kita terbatas. Rasanya “kawan Khonghucu itu lebih suka berdagang dari pada menjadi PNS”. Ke depan tentu harus dipikirkan bagaimana mengisi kekosongan ini.
Dan yang tidak kalah penting ialah mengembangkan pendidikan, terutama lembaga pendidikan tinggi. Jika kita ingin mewujudkan tema dialog kita hari ini “membangun harmoni dan jalan tengah untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia” maka yang sangat dibutuhkan ialah memperkuat pendidikan.
Oleh karena itu, mari kita pikirkan kapan umat Khonghucu memiliki lembaga pendidikan yang baik, dan memiliki SDM yang berkualitas. Semua ini harus dijawab pada era sekarang dan akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..