• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RISET PERGURUAN TINGGI UNTUK HALAL INDONESIA

RISET PERGURUAN TINGGI UNTUK HALAL INDONESIA
Salah satu di antara pasal dan ayat-ayat di dalam Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Jaminan Produk Halal, sebagai turunan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ialah mengenai masih belum tersedianya bahan baku obat dan kosmetika yang dipastikan kehalalannya.
Makanya, salah satu keberatan yang dilayangkan oleh Kementerian Kesehatan terkait dengan RPP Jaminan Halal adalah tentang mandatory halal untuk produk obat-obatan. Sebagaimana diketahui bahwa untuk bahan baku obat-obatan memang belum seluruhnya berasal dari barang-barang halal. Itulah yang dikhawatirkan oleh Kemenkes bahwa jika penerapan mandatory tersebut diterapkan dengan “ketat” maka akan terjadi kelangkaan obat-obatan yang tentu saja akan membahayakan bagi dunia kesehatan.
Sebenarnya di dalam Islam terdapat konsep “darurat”, yaitu sebuah kondisi keterpaksaan yang tidak bisa ditawar. Jika sebuah keadaan memaksa harus menggunakan sesuatu yang tidak halal karena hanya itu satu-satunya solusi, maka hukum “darurat” akan bisa diterapkan. Dalam konteks obat-obatan, maka jalan keluarnya sesuai dengan kaidah fiqih ialah keadaan darurat tersebut.
Selain itu, di dalam penerapan undang-undang JPH juga diberikan peluang untuk menerapkan mandatory secara bertahap. Kata mandatory bertahap ini menjadi perdebatan yang sangat panjang, sebab terjadi dualism pendapat, yaitu: mandatory atau voluntary. Sebagian anggota Panja DPR menginginkan voluntary dan sebagian lainnya menginginkan mandatory. Konsep “mandatory bertahap” adalah jalan keluar untuk mencapai kesepakatan mengenai mandatory dimaksud. Memang penyelenggaraan halal adalah kewajiban akan tetapi tetap saja dilakukan secara bertahap, yang akan dimulai tahun 2019. Jadi 5 (lima) tahun setelah diundangkan, maka sertifikat halal menjadi kewajiban, tetapi tidak serta merta semuanya. Di sinilah sesungguhnya peluang yang diberikan oleh undang-undang ini untuk memberikan kelonggaran bagi produk yang memang secara hakiki belum bisa memenuhi persyaratan halal.
Memang ada perdebatan, apakah jenis obat yang belum memenuhi standart halal tersebut dicantumkan tentang bahan-bahan yang belum memenuhi standart halal atau tidak. Dalam pandangan saya, maka tidak harus mencantumkan bahan-bahan obat yang belum memenuhi standart halal, sebab hal ini tentu akan mengurangi kepercayaan masyarakat untuk menggunakannya. Obat sebagai salah satu aspek instrument penyembuh, maka keyakinan tentang obat yang diminum tentu menjadi sangat penting. Jadi tidak boleh ada keraguan tentang obat yang akan diminumnya.
Di sinilah arti penting untuk menciptakan substitusi bahan obat-obatan yang memenuhi persyaratan halal. Bagi saya, tugas untuk menemukan bahan halal bagi obat-obatan yang akan menjadi pengganti bahan obat-obatan yang belum berstandart halal ialah perguruan tinggi. Saya tentu berharap bahwa dengan diterbitkannya undang-undang jaminan halal, maka akan dapat memacu dan memicu perguruan tinggi untuk melakukan research yang secara spesifik menjawab terhadap kebutuhan pasar akan bahan-bahan obat dan kosmetika yang memenuhi standart halal.
Perguruan tinggi harus terpanggil untuk menjadikan halal Indonesia sebagai sasaran research akademisnya. Di dalam konteks ini, maka perguruan tinggi berkewajiban baik secara akademis maupun moral untuk menghadirkan bahan baku obat-obatan dan kosmetika yang memenuhi standart halal dimaksud. Untuk kepentingan ini, maka ada tiga hal yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi, yaitu: pertama, mengembanglkan kepedulian tentang program pemerintah strategis dalam bidang produk halal. Peran perguruan tinggi sangat urgen di dalam melakukan penelitian yang excellence dalam bidang penyediaan bahan-bahan produksi obat yang memenuhi standart halal. Para pimpinan perguruan tinggi harus berpikir secara lebih terfokus untuk menyongsong halal Indonesia ini, sebab ke depan akan semakin kuat tuntutan agar bahan pengganti bahan obat-obatan dan kosmetika yang belum memenuhi standart halal tersebut akan bisa dipenuhi.
Bagi saya, fakultas-fakultas sain dan teknologi harus mengembangkan riset aplikatif terkait dengan penemuan bahan substitusi untuk obat dan kosmetika ini. BPJPH dan masyarakat konsumen akan sangat menunggu terhadap hasil penelitian di bidang bahan obat-obatan dan kosmetika seirama dengan tuntutan akan produk halal. Riset di bidang penyediaan bahan obat-obatan dan kosmetika harus menjadi prioritas.
Kedua, membuat pemetaan terhadap jenis obat-obatan dan kosmetika yang belum memenuhi standart halal lalu membuat schedule yang mantap tentang kapan dan siapa penanggungjawabnya di dalam mengimplementasinya terhadap pemenuhan bahan obat dan makanan dimaksud.
Jika diperlukan –sesuai dengan laboratorium yang dimiliki—maka dapat dilakukan dengan mengedepankan peluang pada masing-masing Perguruan tinggi untuk menemukan sesuatu yang unik dan factual tentang bahan substitute untuk mengganti bahan baku obat atau kosmetika yang belum memenuhi standart halal. Memang dipastikan bahwa tugas ini tidak mudah, sebab tentu harus melibatkan banyak ahli di bidang biologi, kimia, dan sebagainya dalam kerangka untuk mengganti bahan obat dari gelatin dan sebagainya.
Ketiga, membangun jejaring antar perguruan tinggi. Saya berpendapat bahwa untuk menemukan bahan-bahan pengganti obat dan kosmetika yang belum berstandart halal harus dilakukan secara bersama-sama. Makanya, harus ada sinergi antar perguruan tinggi dengan keahlian dosennya masing-masing. Bahkan juga sinergi laboratorium, dan sebagainya. Bukankah di luar negeri juga banyak sinergi yang dilakukan oleh para professor di dalam kerangka untuk menemukan sesuatu yang baru. Ada banyak penerima hadiah Nobel yang dihasilkan dari kerja sama ini.
Yang tidak kalah menarik juga kerja sama dengan perusahaan. Saya kira untuk memenuhi mandatory halal untuk semua produk, maka perusahaan juga akan sangat berkepentingan untuk memenuhi standart halal pada semua produknya, terutama untuk obat dan kosmetika. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya bagi perguruan tinggi untuk melakukan kerja sama riset dalam kerangka membantu pemerintah menyukseskan program halal Indonesia.
Jadi peluang perguruan tinggi sangat besar untuk membantu dunia usaha, pemerintah dan masyarakat berkaitan dengan keinginan untuk mewujudkan jaminan produk halal bagi masyarakat Muslim. Dan peluang untuk hal ini tentu sangat terbuka.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..