Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBANGUN SINERGI UNTUK HALAL INDONESIA

MEMBANGUN SINERGI UNTUK HALAL INDONESIA
Yang mesti menjadi pemikiran bagi Kementerian Agama ialah bagaimana bisa menyelenggarakan jaminan halal atau sertifikasi halal menjadi lebih bermakna di masa depan. Harapan kita tentu penyelenggaraan sertifikasi halal akan lebih maju dibandingkan dengan di kala diselenggarakan oleh MUI.
Sebagaimana diketahui bahwa MUI sudah 24 tahun menyelenggarakan sertifikasi halal dan dipercaya oleh pemerintah Indonesia untuk sertifikasi halal dan hasilnya tentu sudah bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia melalui label halal pada makanan dan minuman serta beberapa produk lainnya.
Sebagai lembaga nonpemerintah, maka MUI tentu memiliki keterbatasan dalam penganggaran untuk sertifikasi halal ini. Dengan kata lain, bahwa urusan sertifikasi halal sangat tergantung kepada para pelaku usahanya. Meskipun demikian, MUI telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan berkualitas.
Tentu kita merasa bersyukur bahwa di dalam proses penyelenggaraan sertifikasi halal ini MUI memiliki peran strategis yaitu sebagai penentu kehalalan produk. Jadi untuk memberikan fatwa tentang produk halal maka MUI memiliki kekuatan secara regulative dan menentukan. Makanya kerja sama antara BPJPH dan MUI harus didasari oleh kepentingan bersama dalam rangka menyukseskan program pemerintah dalam sertifikasi produk halal.
Ada beberapa variabel yang ke depan penting untuk dipertimbangkan mengapa sertifikasi halal menjadi penting. Pertama, semakin tingginya kesadaran umat Islam Indonesia yang memerlukan produk halal. Di Indonesia, tahun 2030 akan memiliki kelas menengah besar di dunia. Dengan jumlah umat Islam kira-kira menjadi 230 juta, maka 100 juta di antaranya adalah kelas menengah Islam yang tentu memiliki kesadaran yang tinggi tentang keislamannya.
Mereka adalah sekelompok orang Indonesia yang semakin baik pemahaman keagamaannya, dan juga semakin baik pengamalan keagamaannya. Mereka pasti membutuhkan produk-produk halal sebagai ketentuan syariah yang harus dipenuhi. Mereka akan membutuhkan produk makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan, dan barang gunaan yang memenuhi kriteria halal dan bahkan yang thayiban. Jadi halalan thayiban. Merekalah yang akan menjadi big market dalam produk halal.
Kesadaran seperti ini sungguh dimiliki oleh produsen-produsen dari luar negeri, seperti Korea Selatan, Cina, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa. Mereka memiliki produk yang sebenarnya telah memasuki kawasan Indonesia namun belum memiliki sertifikasi halal, sehingga mereka akan secara mendasar membutuhkan produk halal dimaksud.
Makanya, jika sekarang ini sudah banyak orang Korea, Jepang, Amerika dan Cina yang datang berkunjung ke BPJPH, tentu disebabkan oleh keinginannya agar dapat terus bermain dalam import bahan-bahan makanan, misalnya daging, dan juga produk makanan dan minuman kemasan, serta barang-barang gunaan produk yang mereka perdagangkan di Indonesia. Mereka merasakan bahwa dengan status mandatory halal itu, maka produk mereka akan bisa tergusur jika mereka tidak melakukan upaya secepatnya untuk kejelasan produk halal di Indonesia.
Kedua, variabel pasar besar masyarakat Indonesia dalam produk halal. Sebagai negara dengan umat Islam secara mayoritas, maka pantaslah jika Indonesia menjadi rebutan dari pasar dunia terkait dengan produk-produk dunia industry. Makanya, ke depan akan terjadi “pertarungan” yang sangat kuat antar negera untuk memperebutkan pasar tersebut. Sebagai bagian tidak terpisahkan dari dunia global, pastilah negara tidak akan bisa memberikan proteksi terhadap suatu produk, maka yang secara selektif akan melakukannya adalah masyarakat sendiri, dan dapat dipastikan bahwa kata kuncinya ialah “produk halal”.
Di dalam konteks halal, maka potensi produk halal tentu sangat besar. Potensi pasar produk halal global tersebut ialah: 1) Food, $1,088 Bilion,2012 expenditure. 2) Finance, $1,354 Billion, 2012 asset. 3) Clothing, $224 Billion, 2012 expenditure. 4) Tourism, $137 Billion, 2012 expediture. 5) Media/Recreation, $151 Billion, 2012 expenditure. 6), Pharmaceutical, $70 Billion, 2012 expenditure. 7) Cosmetics, $26 Billion, 2012 expenditure. Dengan angka sebesar ini, maka akan dapat dipastikan bahwa banyak produsen yang akan terlibat di dalam upaya sertifikasi halal.
Ketiga, variabel kerja sama. Di era global seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa suatu negara tidak akan dapat memproteksi terhadap berbagai produk untuk terhalangi masuk ke negara itu. Di era perdagangan bebas, maka setiap negara harus membuka negaranya untuk bekerja sama dalam perdagangan internasional. Di tengah kerja sama ini, maka yang menjadi indicator pentingnya ialah bagaimana masyarakat merespon terhadap produk dimaksud.
BPJPH sebagai kepanjangan tangan pemerintah tentu memiliki peran penting di dalam membangun kerja sama dimaksud. BPJPH harus mengambil inisiatif untuk meraih kerja sama dengan sesama lembaga jaminan produk halal baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam konteks ini, maka perluasan kerja sama yang selama ini sudah dilakukan oleh MUI akan dapat di take over untuk dikembangkan lebih lanjut.
Bagi saya, keberadaan BPJPH akan menjadi salah satu tonggak penting di dalam pemberlakuan halal Indonesia yang mandatory dan rasanya Indonesia akan menjadi role model bagi negara lain yang penduduknya mayoritas Muslim. Salah satu yang diapresiasi oleh Jabatan Kemajuan Islam (JAKIM) yang membawahi Malaysia Halal Center (MYHAC) adalah keberanian pemerintah Indonesia untuk menerapkan kewajiban halal bagi seluruh produk.
Jadi sebenarnya kita bisa lebih leading di dalam penyelenggaraan jaminan halal melalui program sertifikasi halal. Jadi semuanya terpulang kepada kesiapan kita untuk merealisasikannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..