• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TOLERANSI BERAGAMA GENERASI MILENIAL

TOLERANSI BERAGAMA GENERASI MILENIAL
Saya memperoleh kesempatan yang cukup memadai untuk menulis di kala saya pergi ke Cina, tepatnya ke Guangzou, tanggal 17 November 2017. Di pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi dari Jakarta ke Guangzou, maka saya dapat menulis dengan leluasa. Saya bisa membaca beberapa hasil survey yang dilakukan oleh Alvara Research Center, CSIS, LSI dan sebagainya dan kemudian menuliskannya sesuai dengan minat dan kecenderungan saya.
Yang saya tulis ini adalah upaya untuk memahami terhadap laporan survey yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS), 2017. Rilis ini bertajuk “Ada Apa dengan Milenial: Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik”. Sebagaimana judul di dalam tulisan ini, maka saya hanya akan konsentrasi terhadap keberagamaan mereka dan bukan pada hal-hal lain sesuai dengan rilis laporan survey ini. Sampel dari survey ialah sebanyak 600 orang yang terdiri dari seluruh provinsi secara proporsional.
Ada dua pertanyaan dasar terkait dengan sikap keberagamaan kaum milenial, yaitu penerimaan terhadap pemimpin yang berbeda agama dan sikap bila ada gagasan yang hendak mengganti Pancasila dangan ideology lain. Pertanyaan ini yang dijadikan sebagai dasar atau indicator untuk menjelaskan sikap generasi milenial dalam kaitannya dengan toleransi beragama.
Sebagaimana diketahui bahwa genarasi milenial ialah generasi yang lahir setelah tahun 80-an. Dalam hal ini ditandai dengan tingkat akseptansi terhadap media informasi yang sangat tinggi. Mereka adalah generasi yang paling sadar tentang penggunaan media komunikasi dan juga media informasi. Berbeda dengan generasi yang lahir di era tahun 50-an atau bahkan tahun 70-an yang rata-rata hanya sebagai pengguna minimal media Hand Phone, misalnya, maka generasi milenial ini sangat akrab dengan media informasi dan sebagai pengguna optimal. WA, Skype, H5, Linkedin, Twitter, Facebook, dan segala media lainnya. Saya tidak bisa menyebutkan keseluruhannya karena keterbatasan pengetahuan saya tentang media teknologi informasi ini.
Dari survey CSIS ini digambarkan bahwa mereka yang menjawab bisa menerima pemimpin yang berbeda agama ialah untuk usia 17-29 tahun (generasi milenial) sebanyak 38,8% dan usia di atas 30 tahun (generasi non milenial) sebanyak 39,4% sedangkan yang tidak bisa menerima untuk usia 17-29 tahun (generasi milenial) 53,7%) dan usia 30 tahun ke atas (generasi non milenial) 58,1%.
Kemudian mengenai sikap tentang keinginan mengganti Pancasila dengan ideology lain, maka didapatkan gambaran setuju dari usia 17-29 tahun (generasi milenial) sebanyak 9,5% dan usia 30 tahun ke atas (generasi non milenial) 11,8%. Lalu yang tidak setuju untuk usia 17-29 tahun (generasi milenial) 90,5% dan usia 30 tahun ke atas (generasi non mileneal ) 85,4%.
Angka persentase ini tentu menarik untuk dicermati, sebab dari generasi milenial yang tentu diharapkan akan menjadi generasi Indonesia terbaik di masa depan, ternyata sudah ada yang berkeinginan untuk melakukan pilihan pimpinan yang sesuai dengan agamanya dan menolak pemimpin yang tidak sama dengan agamanya. Dengan persentase sebesar 53,7%, berarti sebuah angka yang cukup tinggi atau bahkan sebagian besar anak-anak muda kita tidak bisa menerima pemimpin yang berbeda keyakinan. Artinya jika mereka beragama Islam, maka tidak bisa menerima terhadap pemimpin yang beragama lain. Sama halnya yang beragama selain Islam juga tidak bisa menerima pemimpin yang tidak sama dengan agamanya. Sungguh data ini merupakan lampu kuning bagi perkembangan toleransi beragama. Jadi artinya, jika ada pilihan gubernur atau Bupati, maka kecenderungan anak-anak muda kita ialah memilih yang sama agamanya. Saya tidak tahu, apakah pilihan gubernur DKI dapat didekati dengan angka-angka ini, artinya bahwa kemenangan Anies-Sandi ditentukan oleh salah satunya ialah factor agama.
Data bagi yang generasi non mileneal saya kira juga tidak sangat signifikan bedanya dengan yang generasi milenial. Angka menerima pemimpin yang berbeda agama sebanyak 39,4% juga menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam hal kesetujuan menerima pemimpin yang berbeda agama. Dan ternyata generasi yang lebih senior memilih pemimpin yang sama agamanya atau tidak bisa menerima pemimpin yang berbeda agama dengan persentasi 58,1%. Data ini juga secara umum memberikan gambaran bahwa factor agama menjadi variabel penting di dalam pemilihan pemimpin.
Yang justru mengkhawatirkan ialah sudah adanya kecenderungan untuk mengganti Pancasila dengan ideology lain. Meskipun jumlahnya baru mencapai angka 9,5% untuk generasi milenial dan angka 11,8% untuk generasi non milenial, akan tetapi angka ini memberikan gambaran bahwa mereka yang ingin mengganti Pancasila dengan ideology lain itu sudah eksis di Indonesia. Jika menilik usianya, maka mereka adalah para pemuda atau para mahasiswa yang bisa saja mereka sudah terkena virus gerakan khilafah atau Islam kafah yang untuk meperjuangkannya memerlukan negara Islam.
Memang kita masih bisa bergembira sebab yang memilih tidak ingin mengganti Pancasila dengan ideology lain untuk generasi milenial sebesar 90,5% dan generasi non milenal sebesar 85,4%. Artinya bahwa mayoritas generasi milenial tidak ingin mengganti Pancasila, demiikian pula generasi non milenial.
Meskipun demikian, kita tentu perlu mengembangkan sikap kewaspadaan yang tinggi terhadap sebagian kecil generasi milenai dan non milenial yang berkeinginan untuk mengganti Pancasila dengan ideology lain. Kita harus mewaspadai terhadap persebaran informasi di era cyber war ini di mana terjadi banyak disinformasi, character assassination, ujaran kebencian dan sebagainya.
Pemerintah bersama masyarakat harus aware terhadap pengaruh media informasi ini, sebab jika kita lalai maka akan sangat mahal harga yang harus dibeli. Jangan sampai ketidakwaspadaan kita menjadi penyebab kehancuran negeri yang sangat kita cintai ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENCERMATI WAJAH KELAS MENENGAH MUSLIM INDONESIA

MENCERMATI WAJAH KELAS MENENGAH MUSLIM INDONESIA
Saya tentu beruntung bertemu dengan Pak Ari Dwipayana di dalam Seminar di UNHI itu. Pertemuan saya dengan Beliau banyak memberikan inspirasi tentang bagaimana sesungguhnya kita itu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika selama ini saya belum tertarik untuk mencermati data hasil survey berbagai lembaga survey nasional, misalnya Alvara, CSIS, LSI dan SMRC dan sebagainya, maka kemudian saya menjadi tertarik untuk membahasnya.
Saya telah membaca berbagai hasil survey itu, misalnya tentang “Profile Keberagamaam Masyarakat Jawa Timur”, “Wajah Kelas Menengah Muslim Indonesia”, “Generasi Milenial”, dan sebagainya, yang saya peroleh dari kiriman WA group, seperti WA Group Tim Pidato Menteri, WA Group Dosen NU, WA Group Pimpinan PTKIN dan yang terakhir juga WA dari Pak Ari Dwipayana. Sungguh saya belum tertarik untuk membahasnya di blog saya, sebab akhir-akhir ini saya lebih banyak menulis tentang aktivitas saya dalam kegiatan-kegiatan yang saya lakukan bersama unit-unit Kemenag.
Kali ini saya ingin membahas tentang “Wajah Kelas Menengah Muslim Indonesia: antara Materi dan religiusitas” berdasarkan survey yang dilakukan oleh Alvara Research Center, Jakarta, tahun 2017. Survey ini tentu sangat menarik di tengah berbagai hiruk pikuk keberagamaan di Indonesia, khususnya kebaragamaan yang bercorak lebih ekskusif dan terkadang bertentangan dengan keinginan untuk mempertahankan 4(empat) pilar consensus kebangsaan.
Berdasarkan laporan hasil survey Alvara, 2017, diketahui jumlah umat Islam berdasarkan pulau dapat diketahui ialah Sumatera sebanyak 87,12%, Jawa 95,64%, Kalimantan 78,23%, Sulawesi 80,89%, Bali dan Nusra 40,42%, Maluku dan Papua 37,13%. Secara keseluruhan jumlah umat Islam ialah 87,13% dari total penduduk Indonesia 207, 176 juta jiwa.
Sesuai dengan kategori yang dirumuskan oleh Asian Development Bank (ADB), maka yang dinyatakan sebagai kelas menengah ialah penduduk yang memiliki penghasilan sebesar $2 hingga $20 perkapita perhari. Berdasarkan rentangan pengeluaran, maka didapatkan kategori: lower middleclass ($2 hingga $4), middle-middleclass ($4 hingga $10) dan upper middleclass ($10 hingga $20). Dari sudut pandang ekonomi, maka kelas menengah didasarkan atas pengeluaran perhari. Dari berbagai literature didapatkan bahwa kelas menengah Muslim Indonesia masih berkategori lower-middleclass, dengan indicator penghasilan mereka kebanyakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tinggi.
Di dalam tulisan ini, saya akan membahas tentang keberagamaan Kelas Menengah Muslim Indonesia dari perspetif keberagamaan saja dan tidak membahas yang terkait dengan ekonominya. Pemilihan ini tentu didasarkan atas kepentingan untuk menginformasikan tentang bagaimana sesungguhnya wajah keberagamaan kelas menengah muslim Indonesia tersebut.
Dari hasil survey ini, yang menarik bahwa kebanyakan kelas menengah muslim dekat dengan organisasi NU sebesar 59,7%, Muhammadiyah 11,8% dan ada sebanyak 26,5% tidak terikat dengan organisasi keagamaan. Bisa jadi kedekatan mereka karena factor keluarga, atau dengan ajaran Islam wasathiyah yang dikembangkan NU dan juga pergaulannya dengan tokoh-tokoh NU. Survey ini memberikan indikasi menarik bahwa kalangan menengah muslim ternyata memiliki kedekatan dengan NU yang di masa lalu dilabel sebagai organisasi tradisional dan berwajah pedesaan.
Jika melihat jumlah yang berhubungan dekat dengan NU dan Muhammadiyah dengan persentase sebesar 73,5%, maka dapat dijelaskan bahwa wajah Islam yang dikembangkan ialah Islam wasathiyah, sebab NU dan Muhammadiyah adalah pilar Islam wasathiyah ini. Jadi Islam yang digelutinya ialah Islam berwajah Islam Indonesia dan bukan Islam berwajah Timur Tengah yang lebih puris. Jika dikembangkan lebih lanjut bahwa terdapat sebanyak 26,5% yang tidak dekat dengan organisasi Islam manapun tentu bisa dikaitkan dengan mereka yang berlatarbelakang pendidikan umum dan kemudian tidak pernah terlibat di dalam organisasi keagamaan baik pada waktu belajar ataupun sesudahnya dan kemudian mereka belajar Islam dari berbagai sumber informasi, seperti internet, televisi, dan lainnya. Mereka tidak terikat dengan ulama dan organisasi keagamaan tetapi memiliki komitmen keislaman yang baik.
Hal ini dapat dikaitkan dengan data bahwa sumber informasi keagamaan diperoleh dari TV (68,4%), acara pengajian dekat rumah (54%), broadcast akun messenger (17%), artikel di media sosial (14,1%) dan artikel di internet (13,9%). Jika kita cermati data ini, maka sumber informasi keislaman itu terbesar diperoleh dari media televisi. Artinya, bahwa TV ternyata menjadi medium penting bagi proses keislaman seseorang. Mereka mendalami ajaran Islam justru bukan dari ulama melalui proses pembelajaran langsung, misalnya berguru kepada kyai atau ulama –tentu disebabkan oleh factor waktu yang terbatas—akan tetapi diperoleh melalui sumber tidak langsung. Televisi menjadi medium belajar agama.
Yang saya kira penting untuk dicermati ialah sejauh mana para awak televisi menyadari betapa TV telah menjadi sumber informasi keagamaan ini. Sejauh yang saya tahu bahwa awak televisi “belum” melakukan upaya untuk mengembangkan Islam dalam coraknya yang wasathiyah. Memang ada beberapa acara yang sudah dilakukan oleh berbagai TV, misalnya TV One, TVRI, iNews TV, Indosiar, Trans TV yang menggelar acara-acara keagamaan dalam coraknya yang moderat, akan tetapi juga ada siaran-siaran televisi yang memang mengusung Islam eksklusif. Kebanyakan narasumbernya berasal dari Timur Tengah dan kalaupun sumber da’inya berasal dari orang Indonesia tetapi juga lebih keras dalam paham keagamaannya.
Saya kira sudah saatnya, bahwa pemerintah memiliki regulasi yang lebih kuat dalam mengatur sumber informasi keagamaan ini, sebab Maklumat Menteri Agama yang pernah diedarkan beberapa bulan yang lalu, saya kira belum menjadi pedoman yang hebat untuk mengatur penyiaran agama tersebut,
Wallahu a’lam bi al shawab.

BABAK BARU GERAKAN EKSTRIM DI INDONESIA

BABAK BARU GERAKAN EKSTRIM DI INDONESIA
Kita memang terkadang tidak memahami apa sesungguhnya yang terjadi dengan warga negara kita. Ada sebagian besar yang terus meneriakkan NKRI harga mati, sebagai ungkapan yang kita anggap sebagai semangat untuk terus mempertahankan keindonesiaan kita, dan sementara juga ada yang melakukan tindakan sebaliknya. Sungguh terkadang kita tidak bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran manusia itu.
Dalam beberapa hari terakhir terdapat peristiwa-peristiwa yang menyesakkan dada. Sebagai warga negara yang merasa betapa pentingnya perdamaian dan ketentraman, maka jika terjadi gerakan yang mengusik keindonesiaan kita tentu kita merasakan kegalauan. Bahasa anak muda kita, “galau lah yaw”. Dua peristiwa itu ialah kekerasan di Papua, dan pembakaran Kantor polisi di Dharmasraya. Dua peristiwa ini tentu saja membawa kita kepada pertanyaan: “ada apa dengan warga negara kita ini?”.
Kekerasan memang bisa terjadi dimana saja. Kekerasan merupakan akumulasi dari rasa ketidakberdayaan dalam menghadapi situasi di sekelilingnya dan kemudian memunculkan tindakan nekad untuk melampiaskannya dengan cara menyakiti orang lain atau sekelompok orang lain bahkan menyakiti terhadap dirinya sendiri. Saya kira kekerasan bukan dilakukan oleh orang yang secara kejiwaan perkasa atau berani, akan tetapi dilakukan oleh orang yang secara psikhis lemah.
Saya juga menganggap bahwa melakukan kekerasan merupakan jalan akhir yang dianggapnya paling sesuai. Dalam kasus pembakaran terhadap kantor kepolisian di Dharmasraya, maka betapa bisa dilihat bahwa pelakunya ialah anak seorang polisi, sudah beristri, punya anak usia kurang setahun, penjual es tebu, dan ternyata menjadi bagian dari anggota ISIS. Menurut pengakuan, bahwa orang ini pernah minta ijin untuk “jihad” di Iraq atau Syria tetapi bisa digagalkan oleh orang tuanya.
Namun demikian, ternyata ideology ISIS-nya tidaklah surut. Bisa jadi dia tetap berhubungan dengan eksponen ISIS yang masih di Syria atau bahkan berhubungan dengan pendukung ISIS yang sudah kembali ke Indonesia. Bukankah sudah banyak pendukung ISIS yang sudah kembali ke Indonesia setelah “berperang” di medan laga Iraq dan Syria. Pertahanan terakhir ISIS yang berhasil direbut oleh pemerintah Syria, menyebabkan mereka pada kembali ke asalnya, termasuk ke Indonesia.
Fitra, begitu saja kita sebut namanya, merupakan anak yang tentu terdidik dengan baik, lalu kawannya juga seorang sarjana, sehingga rasanya tidak masuk akal jika mereka tergabung atau terpapar gerakan ekstrim. Orang yang terpapar gerakan ekstrim memang menjadikan polisi sebagai target awal dalam gerakannya untuk membela dan mendukung ISIS. Di masa lalu, targetnya adalah polisi secara individu, misalnya penembakan terhadap polisi di wilayah Menteng Jakarta, lalu terror atau pengeboman terhadap kantor polisi, seperti di Mapolres Solo, dan sebagainya. Maka sekarang ada modus baru yaitu membakar terhadap kantor polisi.
Sebagaimana penjelasan di media televise, maka gerakan terror ini memang direncanakan dengan baik. Benar-benar dipersiapkan. Misalnya panah untuk menghalangi orang yang akan memadamkan api dan juga persipaan pembakarannya. Bahkan diperkirakan bahwa mereka juga memahami kelemahan-kelemahan personil polisi di kantor kepolisian tersebut.
Terror dengan cara membakar tentu lebih mudah dilakukan. Berbeda dengan terror melalui bom bunuh diri, yang membutuhkan seperangkat alat dan bom yang tentu menyiapkannya akan lebih rumit. Hal ini menguatkan pandangan mereka, bahwa “lakukanlah terror meskipun dengan pisau dapur sekalipun”. Jadi artinya, tidak ada bom, maka bensin atau soparpun cukup untuk melakukan terror. Tidak ada senjata api, panahpun bisa digunakan.
Selain itu, dengan kualitas pendidikan yang baik sebagaimana yang terjadi pada pelaku pembakaran kantor Kepolisian di Dharmasraya, maka logikanya tidak terpapar aliran ekstrim. Akan tetapi kenyataannya, bahwa yang bersangkutan adalah sarjana. Sama halnya dengan posisi orang tua mestinya juga bisa menjadi penyebab ketiadaan tindakan terror, namun ternyata anak polisi juga bisa terpapar gerakan ekstrim. Hal ini tentu juga menambah deretan sulitnya kita mendeteksi apa yang sesungguhnya terjadi dengan warga negara kita yang mendukung gerakan ekstrim.
Kenyataannya, bahwa pendidikan yang baik, status sosial yang baik dan factor usia yang muda ternyata tidak menghalangi seseorang untuk menjadi pendukung dan bahkan pelaku tindakan ekstrim. Dengan demikian, sesungguhnya ekstrimisme bisa datang dari arah mana saja dan kepada siapa saja. Namun yang jelas bahwa mereka terpengaruh oleh gerakan ekstrim dari dunia internet dan media sosial yang terus menggempur anak-anak muda kita.
Jargon You Only Life Once (YOLO) dan You Only Die Once (YODO) why not be a martyr, tentu banyak mempengaruhi tindakan para pendukung gerakan ekstrim. Melalui situs-situs garis keras seperti ini, maka seorang anak muda akan bisa terpengaruh. Sekali seseorang mengakses situs itu, maka dipastikan akan terus bersimpati dan mengikuti gerakan ini.
Memang harus dilakukan kewaspadan dini, namun yang lebih penting ialah bagaimana membangun kesepahaman di kalangan anak muda agar tidak terpengaruh dengan situs-situs garis keras. Dan pendidikan apapun posisinya akan tetap menjadi andalan untuk mengeliminasi gerakan ekstrim yang terus bergerak.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SEMINAR UNHI; TANGGULANGI RADIKALISME (2)

SEMINAR UNHI; TANGGULANGI RADIKALISME (2)
Seminar di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) ini menjadi menarik sebab memang dihadiri oleh para pakar atau nara sumber yang sangat kompeten. Sebagai staf Khusus Presiden, Pak Ari Dwipayana tentu memiliki kekayaan data yang terkait dengan gerakan-gerakan intoleran dan juga gerakan kekerasan agama atau lainnya.
Saya memang telah membaca beberapa data terakhir, terutama yang dirilis oleh Alvara terkait dengan profile Keberagamaan Masyarakat Jawa Timur, Laporan Survey nasional yang diberi tajuk “Ada Apa Dengan Mileneal, Orientasi Sosial, ekonomi dan Politik yang dirilis oleh CSIS, Survey Indonesia: Middle Class Muslim, Religiosity an d Consumerism oleh Alvara Research Center dan beberapa survey lainnya. Namun demikian, data ini menjadi menarik untuk dicermati terutama di dalam acara seminar di UNHI ini. Salah satu yang menarik untuk dicermati ialah data-data tentang semakin menguatnya kecenderungan intoleransi dan gerakan radikal lainnya.
Berdasarkan Data yang dirilis oleh Alvara Research Center, 2017, tentang Profesional Indonesia, dengan sampel yang terdiri dari PNS, BUMN, dan Swasta dengan batasan sample dari Pertahanan Keamanan, Keuangan, Energy dan Pangan, Telco dan Logistic, Kesehatan dan Pendidikan, dari sebanyak 1200 anggota sample, didapatkan data-data sebagai berikut:
1) Sebanyak 16% professional yang tidak mendukung pemimpin non muslim.
2) Sebanyak 28,7 % terutama dari kategori PNS, sebanyak 27,6% professional mendukung terhadap perda syariah.
3) Sebanyak 29,6 % PNS dan swasta mendukung terhadap diperjuangkannya penerapan Islam secara kaffah, bahkan yang PNS dan Swasta setuju bahwa negara Islam harus memperjuangkan Islam kaffah.
4) Di antara mereka menyatakan Pancasila sebagai ideology yang tepat bagi Indonesia 84,5% akan tetapi juga sebanyak 15,5 % memilih ideology Islam.
5) Professional yang setuju dengan khilafah sebagai bentuk negara, maka PNS sebanyak 22,2% dan swasta 17%, dan yang setuju jihad memperjuangkan sebanyak 19,6%.
Survey ini juga menggambarkan bahwa ada 3 (tiga) dari sekian ulama yang menjadi panutan adalah Mamah Dedeh, KH. Abdullah Gymnastiar dan Habib Rizieq Syihab. Dan selain itu juga ada yang dianggap sebagai awareness ulama ialah KH. Abdullah Gymnastiar, Ustadz Arifin Ilham, Ustadz Yusuf Mansur dan juga terdapat nama Habib Rizieq Syihab, Khalid Basalamah, Felix Siauw, Syafiq Reza Basalamah, Prof. Dien Syamsuddin, KH. Aqil Siraj, Prof. KH. Quraisy Syihab dan beberapa lainya.
Survey ini menjadi menarik sebab yang dijadikan sampel ialah para anggota PNS dan kaum swasta yang tergabung di dalam kaum professional. Yaitu mereka yang secara status ekonomi dan pekerjaan tentu sangat baik dan merupakan kelompok penduduk Indonesia yang bisa dinyatakan sebagai berpendidikan baik, berpekerjaan yang baik dan berpenghasilan baik. Mereka adalah sekelompok orang yang sudah memiliki kesadaran sangat tinggi terkait dengan pilihan-pilihan kehidupannya. Mereka bukanlah sebagaimana anggota masyarakat yang belum beruntung di Indonesia ini.
Kecenderungan mereka untuk mendirika khilafah di kalangan mereka tentu bisa menjadi pertanda bagi adanya sebuah perubahan dalam mindset para PNS yang selama ini dianggap sebagai kelompok garda depan untuk membela Pnacasila, UUD 1945 dan NKRI. Jika dibandingkan dengan jumlah PNS sebanyak 4.000.000 orang, maka angka 22,2% tentu sangatlah tinggi atau mendekati angka 1.000.000 PNS yang menghendaki negara dalam bentuk khilafah. Jika kemudian juga dibandingkan yang menginginkan terlaksananya Islam kaffah melalui negara Islam sebesar 29,6% PNS dan Swasta yang menghendakinya, maka betapa bahwa kaum professional kita telah memiliki referensi untuk memilih negara Islam dimaksud.
Hal ini tentu juga dapat dikaitkan dengan pilihan terhadap para da’I yang memiliki haluan keras, seperti Khalid Basalamah, Reza Basalamah, Felix Siaw bahkan Habib Rizieq. Meskipun ada beberapa nama yang termasuk pendukung Islam wasathiyah, akan tetapi tentu bukanlah penentu. Mereka yang dijadikan sebagai tokoh ini adalah da’I yang sering muncul di televisi. Nama-nama mereka memang menghiasi dunia pertelevisian Indonesia. nama-nama yang tercantum di dalam pilihan sebagai tokoh panutan dan awareness ulama ialah yang bisa dilihat di televise Indonesia. jika Dien Syamsudin, KH. Quaraisy Syihab, Solmed, Ustdz Maulana, KH. Said Aqil Siraj, AA. Gym, Arifin Ilham, Yusuf Mansur sering di televisi seperti Metro TV, TV One, Trans TV, Indosiar, Net TV, iNews TV dan sebagainya, maka Khalid Basalamah, Felix Siaw, Reza Basalamah, Habib Rizieq dan sebagainya tentu aktif berdakwah di MTA TV, Wesal TV, dan lain-lain yang di dalam konten ceramahnya memang menggelorakan tentang Islam kaffah dan seterusnya.
Dengan demikian, bisa juga ditafsirkan bahwa kaum professional memang telah memiliki preferensi tertentu dalam kaitannya dengan keberagamaan mereka dan yang dipastikan terjadi ialah adanya perubahan untuk menjadikan dirinya lebih memilih kepada gerakan Islam yang mengusung tema-tema Islam kaffah, Islam khilafah dan Islam puris yang lebih eksklusif.
Meskipun jumlah yang memilih Indonesia dengan empat pilar kebangsaan jauh lebih besar, namun saya kira “wake up call” yang disampaikan oleh Pak Ari Dwipayana patut untuk direnungkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SEMINAR UNHI; KERJA SAMA TANGGULANGI RADIKALISME (1)

SEMINAR UNHI; KERJA SAMA TANGGULANGI RADIKALISME (1)
Saya merasa terhormat dengan diundang oleh Rektor Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Dr. I.B. Dharmika dalam rangka Seminar Nasional yang bertema “Membangun Wawasan Kebangsaan Dalam Menanggulangi Radikalisme”, 14/11/2017 di Hotel Nikki, Denpasar. Hadir Wakil Rektor I, Prof. Dr. I Ketut Suda, Prof. Dr. I Ketut Widnya (Dirjen Bimas Hindu), Prof. Dr. I.B. Triguna (Mantan Dirjen Bimas Hindu), para pimpinan lembaga, para dosen dan juga mahasiswa.
Saya pernah menjadi narasumber bersama Prof. Franz Magnis Suseno, dan Prof. Dr. Palgunadi dalam acara Seminar Nasional dengan tema “Multikulturalisme” di UNHI tahun 2010. Dan saya terperanjat mendengar kabar bahwa Prof. Palgunadi sudah mendahului kita semua, dua tahun yang lalu. Beliau telah menghadap Tuhan dan tentu Beliau telah menyelesaikan tugasnya dalam kehidupan sekarang.
Dalam acara seminar nasional yang diselenggarakan di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) ini, saya bersama Prof. Dr. Wayan Gelgel (Guru Besar Sosiologi Hukum), Dr. Arie Dwipayana (Staf Khusus Presiden), dan Mayjen. TNI Purn. Wisnu Bawa Tenaya (Dewan Pengarah UKP-PIP). Sesuai dengan temanya, maka saya membawakan makalah dengan tema “Wawasan Kebangsaan dalam Menganggulangi Radikalisme”.
Ada beberapa hal yang menarik di dalam seminar nasional di UNHI, terutama data-data yang disampaikan oleh Pak Ari Dwipayana. Beliau menyebutnya dengan istilah “Wake Up Call”. Sekarang sudah saatnya dibunyikan alam untuk membangunkan kita di dalam menghadapi gerakan radikalisme. Beberapa survey yang dilakukan oleh Alvara, Wahid Institut dan juga CSIS memberikan gambaran bahwa kecenderungan untuk memilih ideology radikal ternyata semakin menguat, baik di kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta dan juga kalangan pengusaha. Data ini memberikan gambaran bahwa ada perubahan yang sangat signifikan terhadap kecenderungan untuk menjadikan ideology selain Pancasila sebagai ideology kenegaraan, apakah dalam coraknya sebagai negara khilafah atau lainnya.
Bagi saya, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan. Masih besar jumlah warga Indonesia yang menyatakan kesetiaannya kepada Pancasila sebagai dasar negara. Apalagi dewasa ini terus berkumandang teriakan “nyaring” tentang “NKRI Harga Mati”. Di perguruan tinggi, di pesantren, di organisasi sosial keagamaan, misalnya NU, maka slogan ini tidak hanya dijadikan sebagai ungkapan belaka tetapi dilaksanakan secara sungguh-sungguh dengan melakukan berbagai kegiatan yang mendorong terwujudnya wawasan kebangsaan yang semakin optimal.
Saya mengamati semenjak HTI semakin “keras” menggerakkan ideology khilafah, maka sebenarnya sudah terdapat kegelisahan yang sangat kuat di kalangan masyarakat Indonesia. Dan hal ini memperoleh momentum ketika Pemerintah mencabut dan melarang HTI untuk beroperasi di Indonesia. Kita tentu agak terlambat untuk melakukannya. Organisasi ini telah memiliki jaringan yang sangat kuat di berbagai kampus dan memiliki sekolompok ideolog yang sangat baik.
Di era sekarang, memang terkadang ada kegamangan untuk melakukan tindakan melarang atau menghadang laju organisasi yang “menyimpang” dari ideology negara yang absah. Padahal semuanya mengetahui bahwa tujuan akhir HTI ialah mendirikan negara khilafah dan hal ini sudah dideklarasikannya sekian tahun yang lalu. Akarnya sudah tertanam cukup kuat, sehingga untuk memberangusnya tentu juga lebih sulit. Era kebebasan di masa Orde Reformasi benar-benar digunakan secara efektif untuk membangun kekuatan yang nyata di kalangan organisasi-organisasi yang sesungguhnya melawan negara yang sah.
Oleh karena itu saya sampaikan di forum ini tiga hal yang sangat mendasar. Pertama, kita harus memetakan terhadap tantangan kita sebagai bangsa dan negara. Tantangan tersebut meliputi potensi gerakan radikal yang terus eksis di negara ini. Peristiwa pembakaran terhadap kantor kepolisian di Dharmasraya dan juga penyanderaan terhadap 1500 orang di Papua tentu merupakan gerakan radikal yang dipicu oleh keinginan untuk merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Radikalisme dan ekstrimisme saya kira masih sangat potensial untuk memberikan kejutan pada bangsa Indonesia tentang keinginan mereka untuk mencederai terhadap kesepakatan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam 4 (empat) pilar kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan.
Lalu yang tidak kalah menarik juga tantangan politik pada tahun politik yang sebentar lagi akan datang di tengah kehidupan kita. Sebagaimana lazimnya, maka di tahun politik tentu tensi informasi yang terkait dengan pilihan umum akan semakin tinggi intensitasnya. Berita hoax juga akan semakin menguat. Di era cyber war ini, maka tantangan terbesar kita ialah bagaimana menghadapi media sosial yang terkadang tidak ramah terhadap kita. Ada berita yang disinformatif, membunuh karakter, menyebar kebencian dan sebagainya. Oleh karena itu kiranya kita harus arif di dalam menerima dan menyebarkan informasi, check dan recheck sebelum menyebarkan, pilah dan pilih sebelum disebarkan dan seterusnya.
Kedua, kita harus meletakkan fondasi kebangsaan dan kenegaraan terhadap generasi muda. Kita tahu bahwa generasi sekarang adalah penyambung estafeta kepemimpinan bangsa. Mereka yang sekarang sedang menduduki bangku kuliah adalah Generasi Emas Indonesia, tahun 2045. Makanya, penguatan pendidikan karakter untuk membangun kesadaran berbangsa dan bernegara tentu menjadi sangat penting. Kita-kita yang sudah senior ini ingin tersenyum di alam lain, melihat keberhasilan masyarakat Indonesia yang dibawakan oleh generasi yang sekarang sedang belajar ini. Sukses pendidikan adalah sukses Indonesia di masa depan.
Ketiga, sebagaimana yang diusulkan oleh Prof. Dr. I.B. Triguna, Kemenag tentu memiliki peran penting di dalam terus membangun kerukunan umat beragama. Jika sekarang untuk kesetaraan dan toleransi sudah sangat bagus, sementara kerja sama masih rendah, maka seharusnya kemenag memiliki program untuk memperkuat kerja sama antar pemeluk agama.
Saya tentu sependapat dengan pernyataan ini, dan sebenarnya Kemenag sudah memiliki program-program unggulan terkait dengan upaya membangun kerukunan, ialah program dialog antar dan intern umat beragama, program perkemahan pemuda lintas agama dan juga program living together secara bergiliran dari penganut agama yang satu dengan lainnya. Jadi, mahasiswa UNHI bisa saja akan hidup bersama dalam satu waktu dengan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya di UNHI dan sebaliknya.
Saya kira memang upaya untuk meredam gerakan radikalisme tidak cukup hanya dengan hard power sebagaimana yang dilakukan oleh Densus 88, akan tetapi juga bisa melalui soft power yang dilakukan oleh semua kalangan masyarakat kita. m
Maka untuk menanggulangi radikalisme harus melalui kebersamaan antara masyarakat, pemerintah dan juga pihak swasta. Kita harus bekerja bersama untuk yang satu ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.