Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BABAK BARU GERAKAN EKSTRIM DI INDONESIA

BABAK BARU GERAKAN EKSTRIM DI INDONESIA
Kita memang terkadang tidak memahami apa sesungguhnya yang terjadi dengan warga negara kita. Ada sebagian besar yang terus meneriakkan NKRI harga mati, sebagai ungkapan yang kita anggap sebagai semangat untuk terus mempertahankan keindonesiaan kita, dan sementara juga ada yang melakukan tindakan sebaliknya. Sungguh terkadang kita tidak bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran manusia itu.
Dalam beberapa hari terakhir terdapat peristiwa-peristiwa yang menyesakkan dada. Sebagai warga negara yang merasa betapa pentingnya perdamaian dan ketentraman, maka jika terjadi gerakan yang mengusik keindonesiaan kita tentu kita merasakan kegalauan. Bahasa anak muda kita, “galau lah yaw”. Dua peristiwa itu ialah kekerasan di Papua, dan pembakaran Kantor polisi di Dharmasraya. Dua peristiwa ini tentu saja membawa kita kepada pertanyaan: “ada apa dengan warga negara kita ini?”.
Kekerasan memang bisa terjadi dimana saja. Kekerasan merupakan akumulasi dari rasa ketidakberdayaan dalam menghadapi situasi di sekelilingnya dan kemudian memunculkan tindakan nekad untuk melampiaskannya dengan cara menyakiti orang lain atau sekelompok orang lain bahkan menyakiti terhadap dirinya sendiri. Saya kira kekerasan bukan dilakukan oleh orang yang secara kejiwaan perkasa atau berani, akan tetapi dilakukan oleh orang yang secara psikhis lemah.
Saya juga menganggap bahwa melakukan kekerasan merupakan jalan akhir yang dianggapnya paling sesuai. Dalam kasus pembakaran terhadap kantor kepolisian di Dharmasraya, maka betapa bisa dilihat bahwa pelakunya ialah anak seorang polisi, sudah beristri, punya anak usia kurang setahun, penjual es tebu, dan ternyata menjadi bagian dari anggota ISIS. Menurut pengakuan, bahwa orang ini pernah minta ijin untuk “jihad” di Iraq atau Syria tetapi bisa digagalkan oleh orang tuanya.
Namun demikian, ternyata ideology ISIS-nya tidaklah surut. Bisa jadi dia tetap berhubungan dengan eksponen ISIS yang masih di Syria atau bahkan berhubungan dengan pendukung ISIS yang sudah kembali ke Indonesia. Bukankah sudah banyak pendukung ISIS yang sudah kembali ke Indonesia setelah “berperang” di medan laga Iraq dan Syria. Pertahanan terakhir ISIS yang berhasil direbut oleh pemerintah Syria, menyebabkan mereka pada kembali ke asalnya, termasuk ke Indonesia.
Fitra, begitu saja kita sebut namanya, merupakan anak yang tentu terdidik dengan baik, lalu kawannya juga seorang sarjana, sehingga rasanya tidak masuk akal jika mereka tergabung atau terpapar gerakan ekstrim. Orang yang terpapar gerakan ekstrim memang menjadikan polisi sebagai target awal dalam gerakannya untuk membela dan mendukung ISIS. Di masa lalu, targetnya adalah polisi secara individu, misalnya penembakan terhadap polisi di wilayah Menteng Jakarta, lalu terror atau pengeboman terhadap kantor polisi, seperti di Mapolres Solo, dan sebagainya. Maka sekarang ada modus baru yaitu membakar terhadap kantor polisi.
Sebagaimana penjelasan di media televise, maka gerakan terror ini memang direncanakan dengan baik. Benar-benar dipersiapkan. Misalnya panah untuk menghalangi orang yang akan memadamkan api dan juga persipaan pembakarannya. Bahkan diperkirakan bahwa mereka juga memahami kelemahan-kelemahan personil polisi di kantor kepolisian tersebut.
Terror dengan cara membakar tentu lebih mudah dilakukan. Berbeda dengan terror melalui bom bunuh diri, yang membutuhkan seperangkat alat dan bom yang tentu menyiapkannya akan lebih rumit. Hal ini menguatkan pandangan mereka, bahwa “lakukanlah terror meskipun dengan pisau dapur sekalipun”. Jadi artinya, tidak ada bom, maka bensin atau soparpun cukup untuk melakukan terror. Tidak ada senjata api, panahpun bisa digunakan.
Selain itu, dengan kualitas pendidikan yang baik sebagaimana yang terjadi pada pelaku pembakaran kantor Kepolisian di Dharmasraya, maka logikanya tidak terpapar aliran ekstrim. Akan tetapi kenyataannya, bahwa yang bersangkutan adalah sarjana. Sama halnya dengan posisi orang tua mestinya juga bisa menjadi penyebab ketiadaan tindakan terror, namun ternyata anak polisi juga bisa terpapar gerakan ekstrim. Hal ini tentu juga menambah deretan sulitnya kita mendeteksi apa yang sesungguhnya terjadi dengan warga negara kita yang mendukung gerakan ekstrim.
Kenyataannya, bahwa pendidikan yang baik, status sosial yang baik dan factor usia yang muda ternyata tidak menghalangi seseorang untuk menjadi pendukung dan bahkan pelaku tindakan ekstrim. Dengan demikian, sesungguhnya ekstrimisme bisa datang dari arah mana saja dan kepada siapa saja. Namun yang jelas bahwa mereka terpengaruh oleh gerakan ekstrim dari dunia internet dan media sosial yang terus menggempur anak-anak muda kita.
Jargon You Only Life Once (YOLO) dan You Only Die Once (YODO) why not be a martyr, tentu banyak mempengaruhi tindakan para pendukung gerakan ekstrim. Melalui situs-situs garis keras seperti ini, maka seorang anak muda akan bisa terpengaruh. Sekali seseorang mengakses situs itu, maka dipastikan akan terus bersimpati dan mengikuti gerakan ini.
Memang harus dilakukan kewaspadan dini, namun yang lebih penting ialah bagaimana membangun kesepahaman di kalangan anak muda agar tidak terpengaruh dengan situs-situs garis keras. Dan pendidikan apapun posisinya akan tetap menjadi andalan untuk mengeliminasi gerakan ekstrim yang terus bergerak.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..