• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENGUPAYAKAN INTERFAITH DIALOGUE (5)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENGUPAYAKAN INTERFAITH DIALOGUE (5)
Perbincangan dengan Pak Wicaksono memang menjadikan suasana makin hangat. Maklumlah, Pak Wicak ini memang humoris dan tertawanya lepas saja. Saya kira ada kesamaan dengan saya yang juga suka bercanda di tengah bicara seserius apapun. Kalau saya serius dalam berbicara justru dipertanyakan oleh staff saya. Pernah saya berceramah dengan serius dari awal hingga akhir dan justru dipertanyakan bahwa saya tidak hadir. Ternyata bahwa kehadiran saya itu jika berceramah dengan sambil gurauan. Saya kira perbincangan di KJRI juga sama. Kita bisa tertawa lepas dan hangat.
Setelah Pak Supriyadi menyampaikan uneg-unegnya, maka giliran Pak Ferry Meldy (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag) menyampaikan tujuan dan keinginannya berkunjung ke Cina ini. Pak Fery menyatakan bahwa ada keinginan agar antara Indonesia dan Cina menyelenggarakan acara interfaith dialogue. Selama ini antara pemerintah dan Cina belumlah memiliki satu forum interfaith dialogue sebagaimana negara lain. Kita sudah memiliki 38 negara sebagai anggota interfaith dialogue. Dua yang terakhir ialah dengan pemerinah Myanmar dan Belgia.
Dengan Pemerintah Myanmar tentu kita membicarakan tentang kasus kekerasan di Rohingya beberapa saat yang lalu, dan dengan Belgia tentu dalam kaitannya dengan pentingnya penjelasan-penjelasan tentang berbagai program kerukunan umat beragama di Indonesia. Beberapa saat yang lalu, kami ke Brussel untuk melakukan interfaith dialogue. Saya datang bersama tokoh NU, Muhammadiyah dan juga tokoh umat beragama serta pimpinan perguruan tinggi Islam. Dan satu hal yang positif ialah mereka mengakui bahwa Indonesia adalah the best example for religious harmony. Demikian penjelasan Pak Ferry.
Nah kita sedang merancang tahun depan untuk menyelenggarakan interfaith dialogue dengan pemerintah Cina. Untuk kepentingan ini, saya rasa perlu sekali dukungan dari Kedutaan Besar RI di Beijing dan juga KJRI di Guangzhou dalam rangka mendukung terhadap keinginan ini. Untuk interfaith dialogue biasanya memang kita lakukan dengan tokoh agama dari agama mayoritas. Jadi kalau di Cina tentu dengan tokoh-tokoh agama Buddha.
Pak Wicak lalu memberikan tanggapan atas pembicaraan Pak Ferry. Dinyatakan bahwa Cina ini memang berbeda dengan negara-negara lain, sebab negara sama sekali tidak mengakui tentang keberadaan agama-agama. Sebagai negara atheis atau komunis tentu dipahami sikap negara terhadap agama ini. Tetapi pemerintah juga tidak melarang jika warga negaranya mengikuti agama tertentu. Makanya, agama Islam juga ada pengikutnya dan bisa berkembang seperti di Guangzhou, di Beijing dan juga di wilayah Uighur. Demikian pula Agama Buddha juga hidup dan berkembang di negeri ini. Mayoritas masyarakat memang memeluk Agama Buddha.
Negara menyerahkan sepenuhnya urusan agama kepada asosiasi masing-masing. Di dalam Agama Buddha terdapat China Buddhis Association, yang dipimpin oleh Master Xue Cheng, sedangkan yang Muslim dibawah The China Muslim Association. Sebagaimana saya ceritakan bahwa yang mengurusi Makam Abi Waqqas ialah Imam Sideeq, sebagai anggota asosiasi ini.
Masyarakat beragama harus beribadah di tempatnya. Tidak diperkenankan di sini untuk beribadah di luar tempat ibadah. Misalnya tidak boleh beribadah di jalan atau lapangan yang di situ sebagai fasilitas umum. Ibadah tidak boleh mengganggu terhadap kepentingan umum.
Saya tentu sangat senang jika ada acara inteffaith dialogue antara Cina dan Indonesia, sebab dialog itu tentu hal yang sangat penting untuk saling memahami bagaimana mengelola kehidupan beragama di masing-masing negara. Hanya saja, di Cina yang pemerintah tidak mengakui tentang suatu agama, maka keberadaan agama sama sekali di luar kepentingan pemerintah. Bahkan pemerintah juga tidak memberikan hibah atau anggaran apapun kepada asosiasi agama itu. Jadi asosiasi dan umatnya harus bisa mengurus dirinya sendiri.
Di dalam hal ini tentu lalu terkait dengan pembiayaan. Jika dilakukan acara interfaith dialogue, lalu siapa yang membiayai. Tentu dipastikan pemerintah tidak akan membiayainya, demikian pertanyaan Pak Wicak. Pak Ferry menjelaskan bahwa selama ini, jika dialog dilakukan di Indonesia, maka Kemenag yang membiayai seluruh transportasi dan akomodasi para peserta dari luar negeri, dan jika delegasi datang ke luar negeri, maka pemerintah setempat yang membiayainya. Jika memang tidak ada pembiayaan tentu bisa dilakukan di Indonesia dengan segenap konsekuensi pembiayannya, sedangkan jika dilakukan di Cina tentu kita berharap melalui diplomasi ada bagian dari pemerintah untuk membiayainya.
Pak Wicak, memang harus ada pembicaraan lebih lanjut tentang hal ini, akan tetapi saya kira memang interfaith dialogue antara Cina dan Indonesia memang diperlukan. Kita coba lakukan negosiasi tentang hal ini.
Saya kemudian menimpali, bahwa tahun 2018 agar dipastikan ada program interfaith dialogue antara Cina dan Indonesia yang ditempatkan di Indonesia. Kita pastikan anggarannya, kita pastikan kesiapannya. Dan ini merupakan sejarah baru bagi kita bisa melakukan dialog antar umat beragama dengan Cina yang selama ini belum pernah dilakukan.
Pembicaraan ini tidak terasa cukup lama berlangsung. Kira-kira jam 19.30 Waktu setempat, kami pamit ke Pak Wicaksono. Kami tentu berterima kasih sudah diterima di sini dan dapat mendiskusikan hal-hal yang prospektif ke dapan. Kami diantar sampai lantai bawah hotel dan yang tidak lupa pasti selfie bareng.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENDISKUSIKAN ROHANIWAN BUDDHA (4)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENDISKUSIKAN ROHANIWAN BUDDHA (4)
Memang agak malam saya datang ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Guangzhou. Kami dating ke sini setelah melakukan acara ziarah ke Makam Keramat Sayyed Sa’ad bin Abi Waqqas, sahabat dan Paman Nabi Muhammad saw dan juga shalat jama’ ta’khir di Masjid Abi Waqqas.
Saya merasa bergembira sebab tentu kedatangan kami sudah dibicarakan oleh Pak Komeng atau Pak Hotma Napitupulu dengan pimpinan beliau. Hari itu Pak Konjen memang sedang tidak ada di tempat. Ada acara yang tidak bisa ditinggalkan. Akhirnya saya bertemu dengan Pak Wicaksono dan Pak Taufiq. Pak Wicaksono ini sebelumnya bertugas di Beijing dan sudah 2 (dua) tahun berada di Guangzhou. Sedangkan Pak Taufiq baru 2 (dua) bulan berdinas di KJRI Guangzhou.
Kami dating di KJRI pada jam 17.30. sudah sangat sore dan seharusnya Konjen sudah tutup. Tetapi lagi-lagi saya beruntung sebab Pak Wicaksono akan pulang malam, sebab harus mempersiapkan naskah atau bahan-bahan terkait dengan Ibu Ratu Silvy Gayatri (Konjen RI di Gunagzhou) akan pulang ke Indonesia. Tentu saja ada beberapa hal penting yang diperlukan untuk dituliskan sebagai laporan kepada Bu Menlu.
Dengan diantarkan oleh Romo Piyandi, kami datang di Konjen RI di Guangzhou. Kami tentu merasa lebih aman bersama beliau, sebab kami yang hadir ke Cina ini tidak ada satupun yang bisa berbahasa Mandarin. Makanya kehadiran Pak Piyandi tentu sangat membantu kami yang datang ke sini. Oleh petugas KJRI –tepatnya satpam—kami diiizinkan untuk masuk ke ruangan dalam. Bertepatan di dalam ruang tamu ada beberapa mahasiswa Indonesia yang akan berkonsultasi. Rupanya, KJRI memang masih terbuka untuk tamu dan juga para pendatang dari Indonesia pada sore hari itu.
Disambutlah saya oleh Pak Komeng yang datang terlebih dahulu. Mobil van yang kami tumpangi tidak memuat seluruhnya, sehingga kami dengan Pak Piyandi ke Makam dan Masjid Abi Waqqas dan sementara Pak Komeng langsung ke KJRI. Kami disuruh masuk lalu beberapa saat kemudian datang Pak Wicaksono –priyantun Yogyakarta—dan Pak Taufiq untuk menemui dan berbincang dengan kami.
Tentu kami tidak langsung to the point mengenai apa yang kami akan bicarakan. Kami “gegojekan” atau bercandaria terlebih dahulu, misalnya tentang relasi Cina dan Indonesia. Kami bercerita tentang perkembangan Cina yang sangat pesat, padahal ini adalah negara Komunis. Bagaimana Cina bisa memanej 1,5 Milyard penduduknya, dan bagaimana luas kota Guangzhou yang 11 kali lipat dibanding luas Jakarta dan juga penduduknya yang 200 juta orang. Kami bercerita tentang kereta cepat Cina yang luar biasa hebat mengalahkan kereta cepat Jepang dan Jerman.
Sampailah kami secara formal menyampaikan maksud dan kedatangan kami di Cina, khususnya bertemu dengan Pak Wicaksono dan Pak Taufiq. Saya sampaikan ucapan terima kasih yang tidak terkira karena kami diterima di saat seharusnya kantor sudah tutup dan Jum’at malam yang seharusnya Pak Wicaksono harus pulang untuk bersama keluarga. Saya ucapkan juga selamat menempati kantor yang hebat, 1 (satu) lantai Hotel bintang 5 (lima). Makanya, kemudian saya sampaikan agar Pak Supriyadi dan Pak Ferry menyampaikan maksud dan tujuannya mendatangi KJRI ini.
Pak Supriyadi (Direktur Urusan Agama dan Pendidikan Buddha, Kemenag) menyatakan bahwa salah satu yang menjadi masalah yang tidak mudah diselesaikan ialah terkait dengan banyaknya para Bhiksu palsu yang datang ke Indonesia. Mereka datang dengan menggunakan jubbah Bhiksu padahal sesungguhnya bukan bhiksu. Mereka adalah orang yang sengaja datang ke Indonesia dan kemudian mengaku sebagai Bhiksu untuk mencari uang.
Yang menyulitkan adalah mereka ini terorganisir dan datang secara bersamaan lalu menyebar di seluruh wilayah di Indonesia. Mereka datang dengan visa on arrival bahkan mungkin dengan pakaian tidak resmi dan sebagaimana turis pada umumnya. Akan tetapi setelah sampai di bandara kemudian berganti pakaian jubbah dan mengaku sebagai bhiksu. Mereka datang ke vihara-vihara atau ke umat Buddha dan meminta sedekah atau uang untuk kehidupannya selama di Indonesia.
Pernah ada yang kita tangkap lalu kita serahkan ke Kepolisian untuk diusut, lalu dideportasi kembali ke Cina. Namun demikian karena jumlahnya banyak tentu menjadi problem kami yang tidak mudah diselesaikan. Itulah yang kami mintakan kepada KJRI untuk bisa membantu kami di dalam menanggulangi pemalsuan Bhiksu di Indonesia. Demikian penjelasan Pak Supri.
Pak Wicak—begitu panggilan akrabnya—menyatakan ucapan terima kasihnya kepada kami semua atas kedatangan ke Cina dan terutama informasi penting tentang pemalsuan Bhiksu yang datang ke Indonesia. Menurut beliau bahwa dewasa ini memang sulit untuk melakukan pengawasan kepada para warga Cina yang datang ke Indonesia. Semenjak pemerintah Cina membuka pintu bagi warganya ke negara lain, dengan memberlakukan visa on arrival, maka gelombang orang Cina yang datang ke Indonesia juga sangat banyak.
Pemerintah Indonesia juga memberlakukan hal yang sama dengan dalih untuk meningkatkan kunjungan wisata ke Indonesia. Di tengah keinginan untuk menambah jumlah wisatawan luar negeri, maka pemerintah juga membuka kerannya lebar-lebar untuk menerima kunjungan warga negara lain. Semenjak Cinda dan Indonesia sama-sama membuka keran kunjungan ke luar negeri dengan sistem visa on arrival, memang kunjungan ke masing-masing negara ini menjadi meningkat.
Oleh karena itu, ada hal yang harus dilakukan, yaitu Pak Sekjen bisa berkirim surat kepada kami untuk memberi penjelasan tentang keadaan ini dan meminta agar KJRI terlibat di dalam menangani atau mengawasi para Bhiksu palsu yang akan datang ke Indonesia. Kami akan bekerja sama dengan imigrasi Cina untuk mencoba memberikan pengawasan yang lebih ketat kepada para pengunjung atau wisatawan yang akan pergi ke Indonesia, terutama yang berpotensi menjadi bhiksu.
Meskipun hal ini agak sulit dilakukan, tetapi tidak ada salahnya jika kita semua melakukan upaya agar hal-hal seperti ini tidak terus terjadi. Dan saya juga menyampaikan bahwa yang harus melakukan pengawasan ketat ialah para pimpinan vihara di Indonesia. Jika ada yang datang ke viharanya, maka agar segera berkoordinasi dengan para pembimas di Kanwil atau para penyuluh agama agar segera memperoleh penanganan yang memadai.
Juga saya nyatakan, masyarakat Buddha juga harus melakukan kewaspadaan, jangan setiap orang yang memakai jubbah kebesaran para Bhiksu lalu dianggap sebagai bhiksu. Masyarakat juga harus aware atas masalah ini dan jika ada bhiksu yang datang kepadanya dan melakukan tindakan yang tidak terpuji dengan meminta-minta uang, maka harus dilakukan pengecekan secara memadai. Harus check and recheck. Tanyakan dan sampaikan kepada para penyuluh atau pembimas Buddha tentang siapa sesungguhnya mereka ini. Jadi memang diperlukan kebersamaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MASJID DI GUANGZHOU (3)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MASJID DI GUANGZHOU (3)
Saya sungguh bersyukur sebab bisa shalat di Masjid Abi Waqqas. Setelah saya berziarah ke Maqam Sahabat Abi Waqqas, maka kami datang ke masjid monumental ang didirikan oleh paman Nabi Muhammad saw, Sayyidina Sa’ad bin Abi Waqqas. Masjid ini termasuk masjid kuno dan dideklarasikan sebagai World Cultural Heritage, sebagai puncak sejarah dari Maritime Silk Road.
Begitu saya memasuki area masjid dan makam ini, maka sudah tergambarkan tentang keindahan arsitektur Cina. Di gerbang utara terdapat bangunan berkubah hijau dengan tiga tulisan, Arab, Inggris dan Cina. Dalam bahasa Inggris dengan tulisan “The North Gate of Abi Waqqas Mosque” dan dalam Bahasa Arab tertulis “ Al Bawabah al Syimaliyah li Masjid Abi Waqqas”.
Memasuki kawasan dalam, maka kita akan melewati jalan masuk kira-kira 2 (dua) meter dengan tanaman menghijau di kiri dan kanan. Pohon-pohon yang tumbuh besar dan subur. Di sebelah kiri terdapat tiga makam yang dibuat untuk menandai para Syuhada yang berjuang pada masa Dinasti Qing, yaitu: Jenderal Yu Feng Qi, Jenderal Su Zhifu dan Jenderal Ma Chengzu. Saya kira, Ma Chengzu adalah Laksamana Chengho yang sangat dikenal dalam sejarah Indonesia. Laksamana Chengho adalah duta besar dan pengelana Cina yang beragama Islam dan menjadi ikon Cina Muslim di Indonesia.
Saya dan kawan-kawan menjalankan shalat jama’ ta’khir di Masjid Abi Waqqas. Ada banyak Muslim yang shalat di sini. Tampaknya ada yang datang dari Afrika dan juga Pakistan atau India, selain masyarakat Muslim Cina. Bahkan yang dari Pakistan, bisa sedikit-sedikit bahasa Indonesia. Beliau sempat menyapa Pak Piyandi dan Pak Supriyadi yang juga duduk di luar masjid.
Untuk memasuki masjid dari arah depan, maka terdapat sebanyak 9 (Sembilan) tangga, dengan pagar kokoh khas Cina. Ada sebanyak 10,000 jamaah shalat Jum’at setiap pekan. Mereka adalah umat Islam yang berdiam di Ghuangzhou. Di Guangzhou terdapat sebanyak 30.000 muslim. Masjid ini memiliki bentuk bangunan yang merupakan campuran dari arsitektur Islam dan arsitektur Lingnan.
Selain masjid ini, maka terdapat 3 (tiga) masjid lainnya. Saya tidak sempat mengunjungi semua masjid di Guangzhou. Tetapi saya sempat mengunjungi Masjid Xiaodongyin di Guangzhou. Masjid ini memiliki luas sebesar 5000 M2, dan berusia 500 tahun. Masjid ini dibangun oleh Diaguanjun (tentara Muslim), di Guangzhou semasa pemerintahan Kekaisaran Ming.
Masjid ini berada di area pertokoan dan perumahan penduduk. Untuk masuk masjid ini, harus melewati pintu besi yang tertutup rapat. Ada dua bangunan depan dan belakang. Bangunan depan digunakan untuk wudlu dan ruang-ruang khusus, sedangkam bangunan berikutnya merupakan bangunan utama atau hall masjid. Untuk memasuki ruang utama maka harus melewati halaman yang bisa digunakan untuk belajar silat. Sewaktu kami berkunjung terdapat sejumlah anak usia sekolah dasar yang berpakain kuning dan belajar silat. Kira-kira itu pendidikan ko-kurikuler. Ada guru dan pelatih silat yang mengajari gerakan-gerakan silat tersebut.
Di dalam aula masjid maka terdapat karpet merah dan kaligrafi berbunyi “la ilaha illahllah Muhammadur Rasulullah” tulisan tersebut tepat berada di atas tempat imam. Tidak didapati peralatan lain kecuali mimbar untuk khutbah Jum’at dan juga bangku-bangku untuk belajar Al Qur’an. Masjid ini kelihatan kurang terawat. Hal ini tentu bisa dipahami sebab tidak ada sedikitpun anggaran pemerintah yang bisa dikucurkan ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan juga sarana prasarana ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan, tentu semuanya ditanggung oleh kaum muslimin dengan mengandalkan kotak jariyah, infaq dan shadaqah.
Bagi kami yang penting bahwa di depan masjid ini terdapat masakan khas untuk orang Islam. Rupanya pemilik restoran ini ialah orang Islam suku Uighur. Wajahnya yang khas tentu bisa dibedakan dengan kebanyakan orang Cina. Kami tentu menikmati makanan khas di sini. Nasi goreng, ikan dan daging kambing. Sayangnya saya tidak mencatat nama-nama masakan yang khas ini.
Selain itu juga 2 (dua) lagi masjid di Guangzhou, yaitu Masjid Haopan dan Masjid Huaisheng. Masjid Haopan didirikan oleh Daguanjun (tentara Muslim) pada era Kekaisaran Ming Chenghua. Masjid ini didirikan bersama dengan pendirian masjid
Xiaodongyin. Jadi usianya kira-kira 500 tahun. Masjid ini pernah direnovasi tahun 1706 M pada saat pemerintahan Kangsi. Fu Yunfeng mendonasikan hartanya untuk membangun masjid ini. Selain didanai oleh masyarakat Islam, masjid ini juga didanai oleh Huiwen (Islamic) University.
Kemudian juga terdapat masjid Huaisheng dikenal juga sebagai Masjid Guangta. Masjid ini memiliki luas sebanyak 3600 M2. Masjid ini memiliki menara yang disebut sebagai Menara Huaisheng. Menara ini dibangun pada masa awal Dinasti Tang dan usianya kira-kira 1300 tahun. Masjid ini pernah terbakar parah pada tahun 1343 M pada masa Kekaisaran Yuan Zengkui.
Meskipun saya tidak bisa mengunjungi seluruh masjid di Guangzhou, tetapi tetap saja saya bersyukur bisa melihat peninggalan sahabat Nabi Muhammad saw yang berdakwah melintasi batas pulau dan samodra di dalam menegakkan kalimat Allah yang Maha Esa. Saya merasa bahwa saya belum melakukan apa-apa dibandingkan dengan para sahabat Nabi Muhammad saw yang sedemikian hebat itu,
Wallahu a’lam bi asl shawab.

BERKUNJUNG KE NEGARA TIRAI BAMBU: MASJID ABI WAQAS (2)

BERKUNJUNG KE NEGARA TIRAI BAMBU: MASJID ABI WAQAS (2)
Saya tentu merasa bersyukur bisa melihat kehebatan Bandar Udara Baiyun di Guangzhou. Bandara yang terletak di Dsitrict Baiyun dan sesuai dengan nama Pegunungan Baiyun ini memang sangat luas. Arsitekturnya sangat modern dan juga sarana dan prasaranya yang hebat. Sangat modern dalam arti bahwa sudah menggunakan teknologi yang modern dan juga memudahkan. Bahkan kereta dorong barang saja sudah menggunakan aplikasi untuk check in.
Di dalam bandara ini juga dipenuhi dengan penjualan barang-barang, makanan, muniman dan toko-toko yang serba ada. Mulai dari asesori untuk oleh-oleh sampai mainan anak-anak dan pakaian. Bandara ini tentu didesain sebagai bandara internasional yang memenuhi standart internasional sungguhan. Sebuah bandara yang bersih dan modern, penataan pertokoan yang baik dan juga kelengkapan barang-barang yang dijual.
Saya tentu merasa terhormat dengan dijemput oleh Pak Piandi di bandara. Beliau yang menjadi penerjemah saya dan kawan-kawan dengan sopir taksi yang saya tumpangi. Pak Komeng atau Pak Hotma Ojahan Ocktavianus Napitupulu tidak bersama kami, sebab kendarannya tidak cukup. Van yang kami tumpangi hanya cukup untuk 6 (enam) orang saja. Kami melewati jalan tol yang indah, sebab di sisi kiri dan kanan jalan dihiasi dengan bunga-bunga yang lagi mekar. Bangunan di seputar jalan tol memang tergolong banyak bangunan yang sudah tua.
Pusat perbelanjaan grosir juga dengan bangunan yang cukup tua. Kata Pak Piyandi bahwa di sini semua jenis barang di jual. Kalau di Jakarta seperti di Pasar Tanah Abang, atau Pusat Perbelanjaan Glodok. Barang-barang dijual dengan murah. Sepanjang jalan menuju ke Makam Sahabat Nabi, Sa’ad bin Abi Waqas dipenuhi dengan toko-toko dengan aneka ragam jualan. “Murah-murah”, demikian Pak Piyandi menyatakan.
Langkah kami pertama ialah berziarah ke Makam Paman Rasulullah Muhammad saw, Sayyidina Sa’ad bin Abi Waqas. Seorang sahabat Nabi Muhammad Saw dan termasuk assabiqunal awwalun, yang berdagang dan berdakwah di Negeri Tirai Bambu. Beliau tentu menyusuri Jalur Maritim Sutra (Maritime Silk Road) yang sangat terkenal semenjak dahulu kala. Cina sudah merupakan negara yang sangat maju di kala itu, sehingga telah menjadi pusat perdagangan dunia. Kekaisaran Cina –sebagaimana di dalam cerita-cerita dan manuskrip yang dipercaya memang telah memajukan Cina menjadi negeri yang sangat hebat di masa lalu.
Sayyid Sa’ad bin Abi Waqas datang ke Negeri Cina di masa Kekaisaran Dinasti Tang. Beliau datang dari Jazirah Arab menuju ke Guangzhou dan kemudian mendirikan Masjid yang sangat bersejarah di Cina. Di Guangzhou ada 4 (empat) masjid, yaitu Masjid Huaisheng, Masjid Abi Waqqas, Masjid Haopan, dan Masjid Xiaodongying. Beliau dimakamkan di Tempat Pemakaman Islam di Guangzhou. Berdekatan dengan masjid yang didirikannya.
Masjid Abi Waqqas didirikan pada saat kekaisaran Tang dengan luas 25.000 M2. Masjid ini –sebagaimana model bangunan Cina, terdiri dari banyak tiang baik di dalam maupun di luar. Dari depan tampak memanjang dengan lambang bulan sabit di atasnya. Masjidnya memang tidak terlalu luas, akan tetapi taman yang penuh dengan pepohonan dan bunga-bunga menghiasi depan dan samping masjid ini. Berbeda dengan masjid-masjid di Jakarta yang kebanyakan berada di tempat-tempat pemukinan padat penduduk, maka masjid ini sungguh luar biasa dilihat dari lingkungannya.
Saya datang di tempat ini sudah sore, jam 16.00 waktu setempat. Saya bersama rombongan kemudian memasuki pintu menuju makam. Kami bersyukur bertemu dengan Imam masjid, namanya Imam Siddeeq dari Guangzhou Islamic Association. Pelestarian dan pengembangan agama Islam di Cina dikoordnasikan oleh lembaga ini, termasuk juga mengkoordinir para dai dan imam masjid.
Begitu memasuki pintu gerbang makam, maka di atas pintu terdapat tulisan dalam bahasa Arab dan Cina yang berbunyi “Raudhah Abi Waqqas”. Di dalamnya ternyata terdapat Kantor Penjaga Makam atau Juru Kunci Makam Suci. Saya temui beliau di kantornya, dan saya nyatakan kalau kami bersama rombongan datang dari Jakarta, Indonesia dan ingin berziarah ke Makam Sayyid Sa’ad bin Abi Waqqas.
Beliau sangat welcome dan mempersilahkan saya untuk berziarah dan bahkan kami diantarkan ke tempat makam keramat itu. Dibukakan pintunya dan dinyalakan lampunya. Begitu beliau tahu bahwa kami adalah muslim dari Indonesia, maka beliau sangat gembira dan juga menyatakan hampir setiap pekan ada jamaah dari Indonesia yang mengunjungi dan berziarah ke makam ini.
Beliau temani saya berziarah di makam. Sebagai orang Islam, saya sangat menghargai terhadap para leluhur yang berdakwah, seperti Sayyid Abi Waqqas, maka saya dan kawan-kawan membacakan tahlil dan do-doa sebagaimana biasanya kami berziarah ke makam para auliya. Saya merasakan betapa aura makam ini sungguh luar biasa. Demikian pula Pak Ferry juga merasakannya. Saya sungguh kagum dengan dakwah yang dilakukan oleh Sayyid Abi Waqqas yang menyusuri jalur lautan sutra dan berdakwah di sini. Di dalam makam Beliau terdapat kaligrafi dengan tulisan La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah. Sebagaimana makam di Indonesia, maka makam ini ditutup dengan kain. Yang paling atas berwarna putih dan dibawahnya berwarna kehijau-hijauan dan bukan putih seluruhnya. Sebagaimana makam para auliya di Indonesia. bentuk makam Sa’ad Bin Abi Waqqas itu ditutup dengan kain yang menyerupai bentuk bel atau seperti kubah khas Timur Tengah. Selain itu juga terdapat buku-buku tahlil dan surat Yasin. Juga ada buku Tahlil yang terjemahannya dicetak dalam bahasa Indonesia. Selain kami yang berziarah juga ada beberapa orang dari Cina muslim yang juga berziarah. Selain itu juga ada semacam bendera berwarna hijau sebanyak 2 (dua) atau 3 (tiga) buah.
Bangunan fisik luar didominasi oleh warna hijau, dengan sedikit ada warna merah. Meskipun sebatas menduga, tetapi saya kira makna dari warna merah tentu terkait dengan lambang negeri Cina sekarang. Saya, Pak Piyandi, Pak Supriyadi, Pak Ferry, Pak Chuzaimi dan Pak Desmond serta Pak Imam Siddeq tentu saja menyempatkan berfoto bersama. Sayangnya karena waktu yang sangat terbatas sehingga kami segera meninggalkan makam yang agung ini untuk melakukan shalat di masjid Abi Waqqas.
Di dekat makam juga terdapat sumur keramat, yang berusia lebih dari 1300 tahun. Konon sumur ini digunakan untuk mengingat perjuangan Sahabat Abi Waqqas di dalam berdakwah di negri Cina. Kami tentu saja meminum sumur itu sebagai bentyk penghargaan atas dibangunnya sumur bersejarah dalam kaitannya dengan Sahabat dan sekaligus paman Nabi Muhammad saw.
Kami tentu sangat bergembira bisa berziarah ke makam salah seorang Sahabat Nabi Muhammad saw dan bahkan paman Beliau, yang ternyata telah melakukan perjalanan sangat jauh menyusur samudra jalur Sutra dari Arab Saudi ke Cina untuk mengembangkan Islam. Pantaslah rasanya jika Beliau termasuk sahabat Nabi yang dijanjikan oleh Allah akan memasuki surganya. Saya rasa sangat pantas jika umat Islam membacakan surat Al Fatihah kepada Beliau.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGUNJUNGI NEGERI TIRAI BAMBU (1)

MENGUNJUNGI NEGERI TIRAI BAMBU (1)
Saya sungguh surprise memperoleh izin dari Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, untuk berkunjung ke Cina. Izin ini saya peroleh ketika saya dan Beliau berkunjung ke Ketua Mahkamah Konstitusi, Pak Prof. Arif Hidayat, dalam acara audiensi pasca Penetapan Aliran Kepercayaan bisa disikan di kolom KTP.
Saya ingat betul apa yang saya ucapkan di saat kami duduk berdampingan, lalu saya sampaikan: “Pak saya mohon izin untuk 2 (dua) hari untuk kunjungan ke Cina nanti setelah Bapak datang dari kunjungan ke Jepang”. Beliau agar terkejut sebab tidak menyangka saya akan izin di sini. Makanya, Beliau lalu bertanya: “kapan Pak Sekjen ke Cina?”. Lalu saya jawab: “kira-kira tanggal 16 berangkatnya dan pulang tanggal 21”. Saya tandaskan, “mohon izin sebab saya belum pernah ke Cina”. Beliau menimpali, “lho Pak Sekjen belum pernah ke Cina, wah kalau ingin melihat kemajuan harus datang ke Cina itu”.
Perbincangan ini menggambarkan bahwa beliau setuju saya ke Cina untuk melihat bagaimana Cina itu berkembang dengan pesat melalui system ekonomi yang unik. System komunis tetapi mengadaptasi system kapitalis. Ke dalam keras, ke luar longgar. Pak Menteri juga menambahkan, “saya sudah pernah ke sana, sekian tahun yang lalu”. Beliau melanjutkan: “bersama siapa ke sana?. Lalu saya sebutkan bersama kawan-kawan Khonghucu, bersama Pak Mudhofir dan kawan-kawan.
Kenyataannya, saya pergi bersama kawan-kawan Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dan juga kawan Ditjen Bimas Buddha. Saya tidak jadi berangkat dengan kawan-kawan Pusat Pendidikan dan Bimbingan Masyarakat Konghucu, sebab persoalan teknis dan akhirnya berangkat dengan Pak Ferry Meldy, PhD. (Kepala Pusat KUB), Pak Supriyadi (Direktur Pendidikan dan Bimbingan Masyarakat Buddha), Pak Chuzaimi (Staf saya di Setjen), dan Desmond (staf di PKUB).
Seharusnya saya berangkat hari Kamis malam. Akan tetapi peswat yang ke Guangzhou itu harus mampir ke Bali atau mampir ke Singapore, maka saya putuskan berangkat hari Jum’at pagi saja, dengan pertimbangan bahwa hari Kamis siang ada banyak acara yang harus saya selesaikan. Ada tiga agenda hari itu, yaitu: rapat dengan seluruh pejabat eselon 4, Kasi Perencanaan dan Keuangan pada seluruh Kanwil Kemenag se Indonesia dalam acara penyelesaian pagu minus dan percepatan serapan anggaran, lalu rapat response atas dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kewajiban memasukkan aliran kepercayaan dalam kolom KTP agama, dan rapat penyelesaian asset Rumah Sakit Haji Jakarta (RSHJ) pada sore harinya.
Hari Jumat, jam 5.30 kami bergerak dari rumah untuk menuju ke Bandara Soekarno Hatta. Bersama saya Jimmi, sementara Pak Fery dan lainnya menunggu di Bandara Soetta. Dengan pesawat Garuda Indonesia, saya dan kawan-kawan berangkat ke Cina. Tentu ada perasaan senang bisa mengunjungi Cina kali ini. saya sudah berkunjung ke banyak negara, baik di Australia, Eropa, Amerika dan Eropa. Semua tentu menjadi catatan menarik di dalam hidup saya. Sebuah karunia Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, saya diberikan kesempatan untuk mengunjungi negara-negara ini. bahkan sudah saya terbitkan buku yang dicetak oleh LKIS berjudul “Perjalanan Etnografis Lima Benua”. Judul yang ambisius, tetapi juga menarik sebab menggambarkan tentang perjalanan saya yang monumental tersebut.
Disebabkan naik pesawat Garuda Indonesia, layaknya perjalanan ini seperti ke Bali atau ke Papua. Dengan jarak waktu 5 (lima) jam mengudara, maka rasanya seperti pergi ke Papua saja. Apalagi beda waktu antara Jakarta dan Guangzou juga hanya 1 (satu) jam saja, seperti ke Makassar. Jadi kayak ke Makassar saja. Pesawat garuda yang saya tumpangi adalah pesawat yang memang beroperasi di wilayah Indonesia, maka dipastikan bahwa tidak ada nuansa yang baru atau spektakuler. Rasanya miliki sendiri dan terbiasa ditumpangi. Tentu berbeda dengan perjalanan ke Arab Saudi dengan pesawat Emirate, yang memang memiliki kekhususan. Dalam hal pramugari saja tentu berbeda. Sungguh perjalanan ke Cina ini terasa perjalanan di Indonesia saja. Hanya ada beda sedikit saja, yaitu ada suguhan coklat hangat kesukaan saya.
Sampai di Guangzhou kira-kira jam 15 Waktu setempat. Meskipun kota provinsi, akan tetapi Gunagzhou memiliki Bandar Udara yang hebat. Dengan bangunan yang baik dan seperangkat teknologi yang hebat. Menilik bangunannya, saya kira ada kesamaan dengan Bandara Soetta, yaitu Bandara 3. Kiranya, pembangunan Bandara Soetta itu mendapatkan inspirasi dari sini. Bandara yang luas dan modern. Sejumlah pesawat dengan berbagai maskapai ada di sini. Sebagai bandara internasional, maka tentu berbagai maskapai dari berbagai negara singgah di sini.
Saya dijemput oleh Staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), yang biasa dipanggil Pak Komeng. Ternyata itu bukan nama aslinya. Dia orang Batak. Pak Napitupulu. Dia kelihatan lebih enjoy dipanggil dengan nama panggilan Komeng. Sudah 13 tahun lamanya dia bertugas di sini. Dengan jemputan ini, maka tidak ada hambatan yang berarti di dalam melewati imigrasi di Bandara Gunagzhou atau Baiyun Port ini. naman Baiyun Port diambil dari nama Kabupaten di Guangzhu ini. kira-kira sama dengan Bandara Solo, dan sebagainya.
Yang tentu melegakan ialah karena saya juga dijemput oleh Kolega saya, Romo Piandi, yang saya kenal semenjak saya menjabat sebagai Plt. Dirjen Bimas Buddha. Saya juga bersyukur bahwa dengan menjabat Plt. Dirjen Buddha itu maka kolega saya menjadi semakin banyak dan dan semuanya seperti saudara. Pak Piandi memang pernah berjanji, bahwa kalau saya ke Cina maka beliau yang akan mengantar saya. Jadi, beliau menepati janjinya itu. Lagi pula juga ada rapat yang akan dilakukannya di Guangzhou. Jika orang melihat wajah Pak Piandi, maka orang akan menyatakan sangat mirip dengan Deng Xiao Ping. Bahkan Beliau juga ditawari untuk memerankan Deng Xiao Ping dalam sebuah episode sejarah Cina.
Sungguh saya merasa bahwa di mana saja kita berada ternyata ada sahabat yang memberikan pertolongan. Saya juga yakin bahwa hal ini tidak dikarenakan jabatan saya akan tetapi karena rasa persahabatan yang tulus dan ikhlas yang sudah kita bina. Sungguh Tuhan selalu mengirimkan orang-orang baik yang selalu bersama-sama kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.