Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGUNJUNGI NEGERI TIRAI BAMBU (1)

MENGUNJUNGI NEGERI TIRAI BAMBU (1)
Saya sungguh surprise memperoleh izin dari Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, untuk berkunjung ke Cina. Izin ini saya peroleh ketika saya dan Beliau berkunjung ke Ketua Mahkamah Konstitusi, Pak Prof. Arif Hidayat, dalam acara audiensi pasca Penetapan Aliran Kepercayaan bisa disikan di kolom KTP.
Saya ingat betul apa yang saya ucapkan di saat kami duduk berdampingan, lalu saya sampaikan: “Pak saya mohon izin untuk 2 (dua) hari untuk kunjungan ke Cina nanti setelah Bapak datang dari kunjungan ke Jepang”. Beliau agar terkejut sebab tidak menyangka saya akan izin di sini. Makanya, Beliau lalu bertanya: “kapan Pak Sekjen ke Cina?”. Lalu saya jawab: “kira-kira tanggal 16 berangkatnya dan pulang tanggal 21”. Saya tandaskan, “mohon izin sebab saya belum pernah ke Cina”. Beliau menimpali, “lho Pak Sekjen belum pernah ke Cina, wah kalau ingin melihat kemajuan harus datang ke Cina itu”.
Perbincangan ini menggambarkan bahwa beliau setuju saya ke Cina untuk melihat bagaimana Cina itu berkembang dengan pesat melalui system ekonomi yang unik. System komunis tetapi mengadaptasi system kapitalis. Ke dalam keras, ke luar longgar. Pak Menteri juga menambahkan, “saya sudah pernah ke sana, sekian tahun yang lalu”. Beliau melanjutkan: “bersama siapa ke sana?. Lalu saya sebutkan bersama kawan-kawan Khonghucu, bersama Pak Mudhofir dan kawan-kawan.
Kenyataannya, saya pergi bersama kawan-kawan Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dan juga kawan Ditjen Bimas Buddha. Saya tidak jadi berangkat dengan kawan-kawan Pusat Pendidikan dan Bimbingan Masyarakat Konghucu, sebab persoalan teknis dan akhirnya berangkat dengan Pak Ferry Meldy, PhD. (Kepala Pusat KUB), Pak Supriyadi (Direktur Pendidikan dan Bimbingan Masyarakat Buddha), Pak Chuzaimi (Staf saya di Setjen), dan Desmond (staf di PKUB).
Seharusnya saya berangkat hari Kamis malam. Akan tetapi peswat yang ke Guangzhou itu harus mampir ke Bali atau mampir ke Singapore, maka saya putuskan berangkat hari Jum’at pagi saja, dengan pertimbangan bahwa hari Kamis siang ada banyak acara yang harus saya selesaikan. Ada tiga agenda hari itu, yaitu: rapat dengan seluruh pejabat eselon 4, Kasi Perencanaan dan Keuangan pada seluruh Kanwil Kemenag se Indonesia dalam acara penyelesaian pagu minus dan percepatan serapan anggaran, lalu rapat response atas dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kewajiban memasukkan aliran kepercayaan dalam kolom KTP agama, dan rapat penyelesaian asset Rumah Sakit Haji Jakarta (RSHJ) pada sore harinya.
Hari Jumat, jam 5.30 kami bergerak dari rumah untuk menuju ke Bandara Soekarno Hatta. Bersama saya Jimmi, sementara Pak Fery dan lainnya menunggu di Bandara Soetta. Dengan pesawat Garuda Indonesia, saya dan kawan-kawan berangkat ke Cina. Tentu ada perasaan senang bisa mengunjungi Cina kali ini. saya sudah berkunjung ke banyak negara, baik di Australia, Eropa, Amerika dan Eropa. Semua tentu menjadi catatan menarik di dalam hidup saya. Sebuah karunia Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, saya diberikan kesempatan untuk mengunjungi negara-negara ini. bahkan sudah saya terbitkan buku yang dicetak oleh LKIS berjudul “Perjalanan Etnografis Lima Benua”. Judul yang ambisius, tetapi juga menarik sebab menggambarkan tentang perjalanan saya yang monumental tersebut.
Disebabkan naik pesawat Garuda Indonesia, layaknya perjalanan ini seperti ke Bali atau ke Papua. Dengan jarak waktu 5 (lima) jam mengudara, maka rasanya seperti pergi ke Papua saja. Apalagi beda waktu antara Jakarta dan Guangzou juga hanya 1 (satu) jam saja, seperti ke Makassar. Jadi kayak ke Makassar saja. Pesawat garuda yang saya tumpangi adalah pesawat yang memang beroperasi di wilayah Indonesia, maka dipastikan bahwa tidak ada nuansa yang baru atau spektakuler. Rasanya miliki sendiri dan terbiasa ditumpangi. Tentu berbeda dengan perjalanan ke Arab Saudi dengan pesawat Emirate, yang memang memiliki kekhususan. Dalam hal pramugari saja tentu berbeda. Sungguh perjalanan ke Cina ini terasa perjalanan di Indonesia saja. Hanya ada beda sedikit saja, yaitu ada suguhan coklat hangat kesukaan saya.
Sampai di Guangzhou kira-kira jam 15 Waktu setempat. Meskipun kota provinsi, akan tetapi Gunagzhou memiliki Bandar Udara yang hebat. Dengan bangunan yang baik dan seperangkat teknologi yang hebat. Menilik bangunannya, saya kira ada kesamaan dengan Bandara Soetta, yaitu Bandara 3. Kiranya, pembangunan Bandara Soetta itu mendapatkan inspirasi dari sini. Bandara yang luas dan modern. Sejumlah pesawat dengan berbagai maskapai ada di sini. Sebagai bandara internasional, maka tentu berbagai maskapai dari berbagai negara singgah di sini.
Saya dijemput oleh Staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), yang biasa dipanggil Pak Komeng. Ternyata itu bukan nama aslinya. Dia orang Batak. Pak Napitupulu. Dia kelihatan lebih enjoy dipanggil dengan nama panggilan Komeng. Sudah 13 tahun lamanya dia bertugas di sini. Dengan jemputan ini, maka tidak ada hambatan yang berarti di dalam melewati imigrasi di Bandara Gunagzhou atau Baiyun Port ini. naman Baiyun Port diambil dari nama Kabupaten di Guangzhu ini. kira-kira sama dengan Bandara Solo, dan sebagainya.
Yang tentu melegakan ialah karena saya juga dijemput oleh Kolega saya, Romo Piandi, yang saya kenal semenjak saya menjabat sebagai Plt. Dirjen Bimas Buddha. Saya juga bersyukur bahwa dengan menjabat Plt. Dirjen Buddha itu maka kolega saya menjadi semakin banyak dan dan semuanya seperti saudara. Pak Piandi memang pernah berjanji, bahwa kalau saya ke Cina maka beliau yang akan mengantar saya. Jadi, beliau menepati janjinya itu. Lagi pula juga ada rapat yang akan dilakukannya di Guangzhou. Jika orang melihat wajah Pak Piandi, maka orang akan menyatakan sangat mirip dengan Deng Xiao Ping. Bahkan Beliau juga ditawari untuk memerankan Deng Xiao Ping dalam sebuah episode sejarah Cina.
Sungguh saya merasa bahwa di mana saja kita berada ternyata ada sahabat yang memberikan pertolongan. Saya juga yakin bahwa hal ini tidak dikarenakan jabatan saya akan tetapi karena rasa persahabatan yang tulus dan ikhlas yang sudah kita bina. Sungguh Tuhan selalu mengirimkan orang-orang baik yang selalu bersama-sama kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..