KE NEGERI TIRAI BAMBU: BERBURU MAKANAN HALAL (10)
Jika anda Muslim, jangan takut datang ke Cina. Khususnya di Guangzhou dan Beijing Ada banyak makanan khas untuk umat Islam. Meskipun Cina bukan negara yang mengakui keberadaan agama-agama, tetapi umat beragama dibiarkan berkembang dengan daya dan kemampuannya sendiri. Makanya, umat Buddha, umat Islam dan juga agama lainnya juga berkembang.
Akan tetapi jangan samakan dengan Indonesia yang umat beragamanya sering melakukan show of force, di Cina nyaris tidak dijumpai perhelatan agama yang dilakukan secara besar-besaran. Semuanya dilakukan dengan simbol-simbol budaya dan bukan simbol agama. Memang, misalnya di dalam perayaan Imlek atau Goh Chi Fat Chai ada arak-arakan, akan tetapi hal itu haruslah dianggap sebagai pawai budaya dan bukan pawai agama. Warisan leluhur yang berupa kepercayaan Shinto, Tao, Konghucu, bahkan Islam dan Buddha dijadikan sebagai kekayaan budaya bagi pemerintah Cina, dan tempat-tempat ibadah dijadikan sebagai ikon dan cagar budaya di sini.
Sebagai orang Islam, saya tentu harus memakan makanan yang halal. Bagaimanapun juga saya harus menemukan makanan halal tersebut. Maklumlah bahwa ajaran agama Islam memang mewajibkan umatnya untuk memakan makanan yang halal saja. Makanan yang tidak halal harus kami hindari. Seluruh makanan dan minuman yang mengandung unsur babi harus kami jauhi. Makanya, selama di Guangzhou dan Beijing kami harus berburu restorant halal yang khusus menyajikan makanan bagi muslim.
Kami tentu sangat beruntung sebab dipandu oleh orang-orang yang sudah paham tentang kuliner di Guangzhou dan Beijing. Kala di Guangzhou dipandu oleh Pak Piyandi dan Edward sehingga dengan mudah dapat menemukan restorant halal dan ketika di Beijing dipandu oleh Hutomo. Makanya perjalanan kuliner tidaklah masalah bagi kami. Tinggal minta restorant halal, maka sopir akan mengarahkan ke tempat tujuan.
Di Guangzhou kami sempatkan untuk makan malam di restorant halal di wilayah pertokoan. Rumah makan berlantai dua ini sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat Cina. Kelihatannya bukan hanya umat Islam yang makan di sini akan tetapi juga orang Cina pada umumnya. Kami harus antri untuk dapat tempat duduk. Akhirnya kami pun makan nasi goreng khas Cina, daging kambing manis dan juga ikan gindara yang dimasak berbumbu kuning. Sayangnya, saya tidak mencatat nama-nama makanan yang lezat itu. Ludes seluruh pesanan makanan karena lezat dan memang kami semua sedang lapar. Kami juga makan di restorat persis di depan masjid Xiangdongyin. Restorant ini dikelola oleh Orang Uighur. Sebagaimana diketahui bahwa orang Uighur memang kebanyakan beragama Islam. Makanannya juga sangat lezat. Terutama nasi gorengnya. Rasanya seperti nasi goreng di rumah makan Dim Tai Fung di beberapa Mall di Jakarta. Ikan yang dimasak agak pedas dengan bumbu kental juga sangat lezat. Tidak salah kita memilih rumah makan ini.
Di Beijing kami juga menemukan makanan halal. Selepas dari perjalanan panjang ke Great Wall dan masjid Niujie dan Kuil Liu Rang, maka kami sempatkan makan siang di Kampus Universitas Haopan. Di sini memang disediakan khusus restorant halal yang disajikan untuk para mahasiswa muslim yang jumlahnya cukup banyak. Menurut Tomi, bahwa ada banyak kawannya dari Timur Tengah yang ketika rindu kampung halamannya, maka mereka menyempatkan makan di restoran ini. Sama dengan menu makanan di restorant muslim lainnya, maka menunya juga bervariasi. Dari mie Hainan, nasi goreng, ikan goreng, gulai kambing, ikan berbumbu kental dan banyak lainnya.
Yang sungguh menarik adalah cerita Tomi tentang masakan khas Indonesia di Beijing. Malam terakhir di Beijing tentu kami sangat berminat untuk mencicipi masakan Khas Indonesia sebagaimana yang diceritakan Tomi. Kami secara sengaja datang ke restoran ini. Sebelumnya sudah dipesan bahwa kami tamu dari Jakarta akan makan makan malam di restoran Nom Nom. Maka, kami agak santai sedikit menuju restoran. Ternyata restoran ini penuh sesak dengan peminat. Maklum restoran ini memang berada di ruko, sehingga jumlah tempat duduknya hanya terbatas. Sementara yang berminat makan di resto ini cukup banyak. Di sini makanan khas Indonesia itu tersaji. Nasi goring khas Indonesia, bakso, ayam penyet, ayam geprak, ayam kremes, hingga pecel dan tahu lontong.
Resto ini dikelola oleh pasangan suami isteri, perempuan Indonesia dan lelaki Cina. Tampaknya dikelola sendiri. Dikelola berdua, tanpa pembantu. Memasak sendiri dan melayani sendiri. Yang menyenangkan karena lambang-lambang Indonesia ada di tempat ini. Mulai dari tulisan “Aku Cinta Indonesia”, Gambar Lambang Garuda Pancasila sampai tempelan gambar bajay yang khas Jakarta. Yang datang untuk makan di resto ini kebanyakan adalah mahasiswa Indonesia di Beijing. Terbukti nyaris semua yang ada di warung ini mengenal Tomi.
Saya harus antri kira-kira 1 (satu) jam untuk mendapatkan tempat duduk di dalam ruangan makan. Dengan jumlah 5 (lima) meja dan hanya 20-25 kursi, maka sungguh resto ini tidak sanggup menampung jumlah pecinta masakan Indonesia itu untuk langsung duduk di dalam. Makanya harus sabar untuk bisa memperoleh pelayanan di resto ini. Dan sebagaimana biasanya, para mahasiswa itu juga tidak langsung cabut begitu makannya selesai. Ngobrol dulu.
Saya makan nasi dan ayam geprak, sedangkan lainnya makan nasi dan ayam kremes. Lezat juga rasanya. Ada khas Indonesianya. Karena memang lapar dan menunggu cukup lama, maka makanan itu terasa lezat. Kami tentu menikmati berbagai kuliner di Beijing dan juga Guangzhou. Selama masih ada makanan yang cocok, maka kerasanlah saya di tempat itu. Dan Cina memenuhi syarat untuk kerasan itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KE NEGERI TIRAI BAMBU: GREAT WALL MONUMENTAL (9)
Di seputar Beijing –dulu disebut Peking—adalah wilayah pegunungan. Meskipun seharusnya sekarang musim gugur akan tetapi di perbukitan-perbukitan sekitar Beijing masih cukup menghijau. Memang sudah ada beberapa jenis pepohonan yang mulai mengering memasuki musim gugur dan beberapa bunga sudah mulai layu dan berguguran, akan tetapi sebagai wilayah pegunungan subur, maka di lereng-lereng perbukitan itu masih menghijau pepohonannya.
Jika saya mengamati dari dekat, wilayah ini mirip dengan wilayah menuju Thaif di Arab Saudi, daerah bergunung-gunung dan berngarai-ngarai, akan tetapi bedanya di Arab Saudi merupakan wilayah kering –bahkan wilayah gurun—akan tetapi di Cina merupakan wilayah yang subur. Bahkan di sisi kiri dan kanan jalan yang merupakan pinggiran bukit ternyata menjadi tempat pepohonan yang tentu sangat menghijau di musim semi.
Untuk sampai ke Great Wall atau Tembok Cina yang monumental ini, maka saya harus menyusuri jalan turun naik. Akan tetapi karena sudah merupakan jalan bebas hambatan, maka tentu lancar saja. Hanya pada saat tertentu saja jalan ini penuh sesak dengan kendaraan. Semua tentu akan melihat kehebaran Great Wall. Bertepatan sekarang sedang sepi, sehingga perjalanan dari Hotel Nikki New Century Beijing ke Great Wall terasa lebih cepat. Beruntunglah kami semua.
Great Wall dibangun selama tiga kali pemerintahan. Pada pemerintahan Qing, An dan Ming sekitar abad ke 7 (tujuh). Panjangnya 5.000 KM untuk tembok besarnya dan ada tambahan bangunan yang menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan adalah 8.850 KM. Sebuah bangunan yang sangat panjang. Jika dihitung dengan bangunan sekarang maka bisa dipastikan bahwa biaya yang diperlukan tentu sangat besar dan tenaga kerja yang dibutuhkan juga sangat banyak.
Dalam benak saya, rasanya tidak mungkin atau sulitlah kiranya membangun tembok di atas bukit seperti itu ditengah issu tenaga kerja mahal dan juga bahan bangunan mahal serta biaya transportasi untuk mengangkat bahan baku bangunan ke atas bukit. Hanya negara yang berkekuasaan besar dan tidak terbatas atau otoriter dan negara yang kaya yang bisa membangun seperti tembok Cina ini.
Saya kemarin mengagumi bangunan jalan tol lintas Mekkah-Thaif yang juga menjelajahi perbukitan di Arab, akan tetapi tentu tidak seperti di zaman dahulu. Sekarang sudah ada alat-alat seperti crane yang bisa menembus ketinggian tertentu, sehingga membangun gedung tinggi bisa dibantu dengan alat ini. namun demikian di masa lalu kiranya hanya tenaga manusia saja yang bisa mengangkat bahan-bahan bangunan itu ke atas bukit. Kiranya tingkat kesulitannya hampir sama dengan pembangunan piramida di Mesir. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang berkuasa penuh dan kaya.
Konon katanya, membangun Tembok Cina ini juga tidak sekaligus. Berhenti di kala pasokan bahan baku atau tenaga kerja tidak memungkinkan dan diteruskan di kala semua factor terpenuhi. Tapi factor kekuasaan raja yang absolut pastilah menjadi ukuran keberhasilan membangun peradaban agung di masa lalu yang masih kita bisa nikmati sampai sekarang. Saya kira ini adalah cerita sukses sebuah dinasti untuk menunjukkan bahwa melalui kekuasaan yang powerfull maka segala sesuatu bisa dilakukan.
Di sebuah negara yang demokratis seperti sekarang, rasanya akan sulit diperoleh goresan peradaban agung seperti ini. Terlalu banyak factor yang mempengaruhi program pembangunan fisik monumental yang hebat. Di era sekarang bukan lagi era “Sabda Raja atau Ratu adalah Sabda Tuhan”, yang terjadi sekarang adalah “Sabda Rakyat adalah Sabda Tuhan” atau “Vox Populi Vox Dei”, maka untuk membangun Great Wall atau Piramida, bahkan mungkin membangun Candi Borobudur tentu harus memperoleh “persetujuan rakyat”. Jika rakyat tidak setuju, maka pasti tidak akan berdiri bangunan yang adiluhung tersebut.
Dengan dalih untuk mempertahankan kerajaan, maka raja dapat memaksa warganya untuk melaksanakan bangunan sesuai dengan rencananya. Yang menolak tentu bisa disingkirkan dengan cara-cara yang lazim digunakan pada saat itu. Makanya, di dalam pembangunan Benteng Cina ini, maka juga terdapat pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat, khususnya para petani yang menolak terhadap program pembangunan benteng.
Bahkan pembangunan Benteng Cina ini juga mengalami beberapa penghentian. Tentu bisa disebabkan oleh SDM yang kurang atau tidak mendukung secara total terhadap pembangunan Benteng atau juga karena factor anggaran yang tidak diperoleh. Anggaran negara di kala itu tentu diambil dari pajak dan juga rampasan-rampasan perang, selain dari factor perdagangan melalui jalur sutra.
Oleh karena itu pantaslah jika pembangunan Great Wall ini membutuhkan waktu yang panjang dan berliku sampai tiga kekaisaran. Yang jelas bahwa dengan benteng ini dapat dipastikan bahwa Kekaisaran di Cina memperoleh cara menanggulangi musuh karena benteng ini memang diciptakan untuk melindungi kerajaan dan penduduknya dari serangan musuh yang bisa datang kapan saja.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENGUNJUNGI MASJID DAN PAGODA (8)
Setelah kami melihat Great Wall atau Tembok Cina, maka saya sempatkan untuk berkunjung ke Masjid Niujie di Beijing. Masjid ini didirikan oleh Nasuruddin, seorang ulama dari Arab Saudi, pada tahun 996 M. Masjid ini juga disebut sebagai “Libaisi” oleh Kaisar pada tahun 1474 M.
Masjid ini sangat indah dilihat dari ornamennya. Dengan ornament berciri khas merah, maka kelihatan betul bahwa masjid ini merupakan masjid di Cina dengan keagungan pahatannya. Bangunan masjid ini merupakan gabungan dari tradisi arsitektur Arab dan Cina. Itulah yang menyebabkan bangunan masjid ini sangat khas tidak sebagaimana masjid di Arab atau Indonesia.
Sebagaimana bangunan di Cina, maka masjid Niujie ini memiliki kekhasan yang mirip dengan bentuk bangunan Pagoda di Cina. Ada tiga bangunan yang mirip pagoda, yaitu di sebelah utara, depan dan selatan. Atap bangunan itu berundag dua, dengan cat warna-warni, meskipun warna merah yang dominan. Bangunan berundag atau pavilion selatan dibangun pada tahun 1496 M di dalam inskripsi dalam bahasa Cina dan Persi. Lalu Menara yang dibangun oleh ulama Muslim pada tahun 1068-1077, disebut sebagai “Xuanlilou” yang digunakan sebagai tempat untuk memanggil akan datangnya waktu shalat atau adzan. Paviliun utara dibangun pada tahun 1496 M. Dan ada juga ruang-ruang kelas yang saya perkirakan sebagai tempat untuk belajar Al Qur’an.
Bangunan tiangnya ditambah dengan asesori yang berwarna merah menyala dan warna kuning. Karpetnya berwarna hijau dan di tempat imam juga terdapat pahatan kayu atau kaligrafi tulisan Arab berwarna kuning yang sangat khas. Itulah saya rasa sebagai cita rasa arsitektur berkhas Cina. Mimbarnya juga sangat khas, dengan tongkat dari kayu yang memiliki lekuk-lekuk indah. Sayang saya tidak bisa menanyakannya secara mendalam tentang kayu apa yang digunakan untuk tongkat Sang khotib.
Jika menilik terhadap tahun berdirinya masjid ini, maka artinya bahwa masjid ini didirikan pada tahun yang hampir sama dengan didirikannya masjid-masjid di Guangzhou atau dulu disebut sebagai Canton. Rupanya, para Dai yang datang ke Cina ini dalam waktu yang bersamaan. Dalam pikiran saya, bahwa Sahabat Nabi Sa’ad bin Abi Waqqas datang ke Guangzhou, sementara itu Nusuruddin datang ke Beijing, atau disebut Peking di masa lalu.
Canton memang telah menjadi pusat perdagangan dan kota internasional di zaman Kekaisaran Tang. Jadi, di masa persebaran Islam di masa lalu, Canton sungguh sudah merupakan daerah perdagangan. Jika menyebut jalur sutra, maka Canton merupakan salah satu tujuannya. Sedangkan Peking menjadi wilayah ibukota kekaisaran Cina, terbukti dengan Benteng Cina atau Great Wall yang luar biasa panjangnya itu, 8000 KM lebih.
Masjid Niujie di Beijing ini sungguh menarik dan memiliki daya tarik yang khas. Jika kita shalat di dalamnya, maka akan merasakan kesyahduan yang luar biasa. Saya bersyukur bisa shalat jama’ ta’khir qasar untuk Shalat Dzuhur dan Ashar. Karena saya yang lebih tua maka saya harus menjadi imam, sementara Fery, Jemi dan Desmon menjadi makmumnya.
Saya lalu ingin bercerita tentang Pagoda di Beijing. Tidak seperti di negeri kita, yang masjid dan vihara bisa ada di mana-mana, dibangun dan didirikan di mana-mana, maka di Guangzhou dan Beijing hanya ada beberapa vihara atau pagoda. Kalau tidak salah di Guangzhou hanya ada 2 (dua) pagoda saja dan Beijing juga sama. Tetapi tentu ada beberapa bangunan yang biasa digunakan untuk penyembahan kepada Yang Maha Suci secara individual. Sebagaimana di Thailand maka di beberapa tempat ada kuil-kuil yang dijadikan sebagai tempat untuk persembahan saja.
Pagoda ini didirikan pada tahun 420-479 M pada zaman kekaisaran Song. Artinya Temple Liu Rang ini sudah berumur lebih dari 1500 tahun.
Di dalam pagoda Liu Rang terdapat beberapa bangunan, yang menggambarkan tentang tempat persembahan bagi dewa-dewa di dalam agama Buddha. Misalnya ada tempat ibadah berdasarkan atas Arca Dewi Kwan Im, dan ada beberapa tempat persembahan bagi dewa-dewa lainnya. Semestinya ada 6 (enam) pohon yang disebut sebagai 6 (six) Banyan Tress di dalam pagoda ini, akan tetapi yang direnovasi hanya 3 (tiga) saja. Tiga bangunan persembahan ini yang terus dipenuhi dengan umat Buddha di dalam persembahyangannya.
Namun demikian ada hall utama yang dijadikan sebagai tempat sembahyang. Hall ini dijaga oleh para pendeta Buddha, yang betugas mengawasi terhadap individu yang melakukan sembahyang. Mereka berpakaian coklat tua, ada lelaki dan perempuan. Orang yang akan ibadah juga dipandu untuk mengenakan pakaian serupa, meskipun bisa juga tidak menggunakannya. Bedanya, jika para pendeta atau bhiksu itu semuanya gundul, maka yang bersembahyang tentu tidak seperti itu. Banyak warga yang melakukan ritual di hall ini.
Yang menarik bagi kami bahwa untuk memasuki pagoda ini harus membayar. Jadi, baik yang akan melakukan sembahyang atau sekedar rekreasi juga dikenai ticket. Saya dan kawan-kawan tentu juga harus membayarnya. Rasanya ticket ini memang diperlukan sebagai bagian dari upaya untuk perawatan terhadap vihara ini. Jika di dalam Islam tidak dikenai ticket, akan tetapi secara suka rela membayar infaq dan shadaqah.
Selain itu, ada satu hal yang juga menarik untuk dikaji lebih jauh ialah adanya “kesamaan” dalam gerakan ritual. Misalnya ada gerakan membungkuk atau rukuk dalam Islam dan juga ada gerakan yang menyerupai sujud. Saya kira menarik dikaji dari perspektif adanya persamaan gerakan dalam ritual yang bisa jadi juga memiliki “kesamaan” makna di dalamnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KE NEGERI TIRAI BAMBU: GREAT WALL YANG MENAKJUBKAN (7)
Jarak antara Guangzhou dengan Beijing ternyata cukup jauh. Butuh waktu 3 (tiga) jam perjalanan dengan pesawat udara. Pesawat yang saya tumpangi ialah Boeing berbadan lebar, Boeing 383, dengan dua deck, atas dan bawah. Pesawat ini sangat istimewa. Selama ini saya menganggap bahwa pesawat Emirat Airline sudah sangat baik, tetapi dibandingkan dengan Boeing 383 Southern China Airline, ternyata kalah jauh. Bisa juga pesawat ini baru, akan tetapi melihat desainnya memang disiapkan luar biasa.
Saya tidak sempat banyak berkunjung di Guangzhou untuk jalan-jalan. Hanya malam hari setelah dari KJRI, maka saya sempat melihat Gedung Menara Guangzhou atau Canton Tower Touring Panorama. Gedung yang luar biasa dan dihiasi dengan warna-warni lampion. Tingginya 488 M lebih menjulang ke atas. Dibangun dengan desain tiangnya yang bercorak miring, bentuk bangunan kecil di tengah dan besar di bawah dan atas. Orang bisa naik lift sampai ke lantai paling atas. Semakin atas semakin mahal harganya. Jika pada ketinggian 468 M berharga 398 Yuan, pada ketinggian 460 M berharga 298 Yuan, pada ketinggian 450 berharga 228 Yuan dan pada ketinggian 433 M berharga 150 Yuan. Sayangnya saya tidak sempat naik ke atas. Tower sudah tutup ketika saya datang ke menara ini. Maklum sudah malam ketika saya sampai di menara ini.
Saya berangkat ke Beijing pada pukul 15.00 waktu setempat. Jika saya bandingkan Bandara Baiyun di Guangzhou dengan Bandara Beijing rasanya Baiyun Port lebih luas dan mewah. Banyak pertokoan dengan aneka dagangan di Baiyun Port. Semua merek terkenal ada di sini, mulai dari Channel sampai merek local. Barang mainan anak-anak, makanan dan minuman sampai barang gunaan lainnya. Di Baiyun Port juga ada makanan halal. Tepatnya di lantai dua internasional dekat lift di arena restorant. Saya sempat makan di resto ini untuk makan siang.
Kami dijemput oleh Hutomo, mahasiswa Feihang University pada Program Studi Civil Architecture. Dia sudah tahun kedua di Cina, dan program pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris. Tahun depan akan menyusun skripsi sebagai tugas akhir untuk meperoleh gelar sarjana. Dia berasal dari Makassar, dia menyatakan bahwa “selepas menyelesaikan program strata I, saya akan bekerja terlebih dahulu.”
Jika di Guangzhou kami diantar oleh Edward, mahasiswa program studi Internasional dalam bidang Economy and International Business dengan pengantar bahasa Mandarin, maka di Beijing kami dipandu oleh Hutomo ini. memang di Cina membutuhkan orang yang bisa berbahasa Mandarin agar perjalanan menjadi lebih mudah. Bahasa Inggris kurang cukup sebab tidak semua yang kita ajak komunikasi bisa menggunakan bahasa Inggris dimaksud.
Di Beijing kami mengunjungi beberapa tempat, yaitu Great Wall, Kuil dan masjid. Pagi-pagi jam 8.00 waktu setempat kami telah siap-siap untuk berangkat. Sebenarnya kami sudah disiapkan dengan jaket kulit untuk berjaga-jaga jika temperature sangat rendah. Ternyata betul bahwa temperature dibawah 0 derajat. Kami disarankan oleh kawan-kawan agar menggunakan jaket tebal. Khawatir serangan angina yang dingin dan berpeluang sakit. Makanya kami membeli jaket tebal sebagai respon positif atas desakan kawan-kawan. Ternyata udara sangat dingin, sehingga kami juga harus membeli tutup kepala dan kaos tangan.
Untuk sampai ke Great Wall harus jalan kaki sebab tidak semua kendaraan bisa memasuki arena yang lebih dekat dengan pintu masuk. Kami harus berjalan kira-kira 1 (satu) kilo meter untuk mencapai pintu gerbang Great Wall. Ada jalan menanjak yang dipenuhi dengan orang jualan cendera mata. Dan juga jualan makanan dan minuman. Disebabkan karena ketakutan memakan makanan non halal, maka kami hanya makan jangung rebus saja. Maklum kami hanya sarapan roti di jalan menuju ke Great Wall.
Kami masuk melalui pintu gerbang Great Wall setelah membeli ticket, seharga 10 Yuan. Ramai juga orang dating ke tempat ini. rasanya ada dari turis dalam negeri dan juga dari Pakistan, Malaysia, India dan juga Singapura. Bahkan saya lihat beberapa turis dari Eropa. Mereka dating dengan Bus Pariwisata da nada juga yang menggunakan modil van. Mereka yang bisa masuk ke dalam mendekati pintu gerbang hanyalah yang berlisensi saja.
Begitu memasuki area Great Wall, maka pikiran saya menerawang jauh ke masa lalu, dengan sebuah pertanyaan. Bagaimana kaisar Cina dulu membangun Great Wall yang sedemikian panjang di atas gunung dengan tebing yang curam? Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk membangunGreat Wall yang luar biasa kuat dan hebatnya ini? sungguh tidak terbayangkan berapa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dan berapa banyak material yang dihadirkan untuk membangun peradaban tinggi seperti ini?.
Pikiran saya lalu terbayang dengan bagaimana Fir’aun membangun Piramida di Mesir atau Raja di Jawa membangun Candi Borobudur. Bangunan Piramida di Mesir dengan batu-batu raksasa dinaikkan ke atas, sama dengan bahan bangunan dinaikkan ke atas gunung-gunung di Cina. Alangkah hebatnya kerja peradaban yang dilakukan oleh para kaisar di Cina ini. saya kira hanya dengan kesejahteraan atau kekayanaan negara yang hebat dan kekuasaan yang full power saja bangunan seperti ini bisa dihadirkan.
Setiap jarak 200 meter atau 300 meter selalu ada bangunan seperti “regol” atau tempat pemberhentian. Dahulu menjadi tempat berjaga bagi tentara Cina. Bangunan untuk pertahanan dibikin lebih tinggi dengan lubang atas selebar kira-kira 20 cm. tempat itu digunakan oleh pasukan panah untuk mengawasi tentara musuh yang dating. Makanya, dalam berates-ratus tahun tembol benteng ini kuat menjaga kekaisaran Cina dari serangan musuh.
Banyak orang yang naik sangat tinggi mendekati puncak bukit, akan tetapi saya hanya 3 (tiga) “regol” saja. Kami harus tahu diri sebab selain factor usia tentu juga masih ada acara lain yang harus kami kunjungi. Dan kami ingin semuanya bisa diselesaikan hari itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KE NEGERI TIRAI BAMBU: TRADITIONAL CHINA MEDICINE (6)
Selama ini saya memang telah mengenal betapa kehebatan ilmu kedokteran China, yang tidak hanya mengandalkan ilmu kedokteran barat akan tetapi juga mengembangkan ilmu kedokteran timur. Salah satu di antara yang dikembangkan itu ialah Traditional China Medicine (TCM). Bahkan salah satu lembaga pendidikan disiapkan untuk kepentingan itu, yaitu China University of Traditional Medicine.
Saya pernah mendengar tentang cara pengobatan Cina dalam hal saraf terjepit dan bagaimana Kedokteran Cina melakukan pengobatannya. Dilakukan tanpa operasi dan hanya dilakukan dengan menarik secara perlahan daerah yang sarafnya terjepit dan kemudian meminum ramuan herbal yang diproduksi di Cina. Jika dihitung biayanya sama dengan biaya operasi, tetapi dengan resiko yang lebih kecil. Melalui operasi pembedahan, maka hasilnya juga fifty-fifty. Demikian cerita Prof. Dr. Eko Sugitario (anggota DRD Jawa Timur) dalam salah satu kesempatan bersama saya di Kantor DRD Jawa Timur.
Saya memang tidak melakukan perjalanan dinas terkait dengan hal ini, akan tetapi dengan bertemu salah seorang mahasiswa program magister di Cina ini tentu menggambarkan bahwa Ilmu Kedokteran Cina Tradisional sudah melangkah sangat jauh. Meskipun belum seluruh dunia mengakui pengobatan tradisional tersebut, tetapi Cina sudah jauh mengembangkan Ilmu Kedokteran Timur yang cukup memadai.
Saya tentu beruntung dapat bertemu dengan pemuda Medan dan pasangannya, Dr. Henry yang sedang mengambil program magister di bidang TCM. Dia Sarjana Kedokteran dan kemudian mengambil program magister di bidang TCM dan pendidikan ini sudah dilaluinya dengan baik. Dia telah memperoleh gelar master di bidang TCM dan sebenarnya sudah sangat siap untuk mendarmabaktikan ilmunya dalam dunia medis. Hanya sayangnya bahwa di Indonesia pengakuan tentang TCM itu belum memadai, kalau tidak disebut “belum” diakui. Masih dianggap sebagai keterampilan saja atau program pendidikan vokasi.
Dalam diskusi di sela-sela perjalanan ke Great Wall di Cina bersama dengan Pak Supriyadi dan Pak Ferry, maka kami merasakan bahwa mereka sesungguhnya sedang menghadapi “kegundahan”. Gelar Magister sudah di tangan akan tetapi pengakuan pemerintah terhadap gelar ini tidak didapatkannya. Keahlian TCM ini belum memperoleh pengabsahan dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), sebagai bagian dari Ilmu Kesehatan. Demikian pula Kementerian Kesehatan juga belum mengakuai terhadap produk kesarjanaan TCM termasuk gelar magisternya.
Henry menyatakan bahwa “saya harus mengambil program Sertifikasi Kompetensi Keahlian (SKK) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Bagaimana bisa gelar saya sebagai master di bidang TCM tidak diakui di Indonesia.” “Akhirnya dengan terpaksa kami harus mengambil program sertifikasi agar kami bisa membuka klinik di bidang ini, untuk keahlian acupuntur. Dan sertifikat ini bukan sertifikat di bidang kesehatan, akan tetapi sertifikat kompetensi untuk melakukan akupuntur semata”, tambahnya.
Diskusi ini menjadi terus berlanjut terkait dengan program pendidikan di bidang kesehatan dalam Agama Buddha. Pak Supri menjelaskan bahwa di dalam ilmu kesehatan ada yang disebut sebagai Terapeutik atau keahlian untuk melakukan pengobatan berbasis pada pendekatan agama. Di dalam Agama Buddha, memang ada potensi ajaran tentang bagaimana melakukan pengobatan. Di dalam bahasa sehari-hari bisa disebut sebagai Shinshe. Yaitu orang yang memiliki keahlian untuk melalukan pengobatan secara tradisional dan juga meracik obat-obatan herbal. Saya kira sama dengan ketabiban dalam konteks yang lebih umum.
Di dalam program pendidikan agama Buddha, lalu dicarikan nama yang relevan dengan ajaran Agama Buddha, yang disebut sebagai “Usadha” atau pengobatan. Terjemahan Terapeutik itu ialah Usadha dalam Agama Buddha. Terkait dengan hal ini, maka Pendidikan Tinggi Agama Buddha lalu mengembangkan Program Studi Dharma Usadha. Program ini dinyatakan sebagai program sarjana atau Strata I.
Sayangnya bahwa Kemenristekdikti dan juga Kemenkes belum mau mengakui bahwa program studi ini memiliki basis keilmuan yang memadai. Produknya hanya dianggap sebagai memiliki keahlian atau keterampilan melakukan pengobatan tradisional dan belum memiliki basis keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Demikian pula di Kemenkes. Ada anggapan juga bahwa “usadha’ hanyalah keahlian atau keterampilan saja dan bukan keilmuan. Kemenristek hanya mengakui TCM atau di dalam Agama Buddha sebagai Usadha itu sebagai program vokasi saja. Jadi tidak bisa disamakan dengan dunia kedokteran yang memang sudah memiliki basis recognisi yang kuat.
Rupanya, basis keilmuan para dokter dan akademisi yang selama ini berkiblat di Barat belum “rela” jika otoritas keilmuan kedokteran Barat itu dimasuki atau diintervensi oleh program “usadha” atau terapeutik ini. Jadi meskipun seseorang sudah menyelesaikan program pendidikan strata dua, akan tetapi tetap saja ilmunya tidak diakui. Meskipun seseorang telah memperoleh ijazah master, tetapi untuk membuka klinik akupuntur atau acupressure tetap harus memperoleh Sertifikat Kompetensi Keahlian (SKK).
Memang harus diakui bahwa dominasi keilmuan memang terkadang menjadi kendala untuk melihat ada perspektif lain atau cara pandang lain dalam melihat sesuatu. Saya teringat di masa lalu, psikhologi Islam itu dianggap hanya khayalan belaka. Beberapa ahli psikhologi yang berbasis pendidikan Barat yang positivistic tidak akan mengakuinya. Jadi kalau ada tulisan yang memasukkan Ayat Kitab Suci di dalam kajian psikhologi, lalu dianggap sebagai kesalahan memalukan.
Namun seirama dengan upaya yang terus menerus di antara para pengkaji dan pelaku pendidikan psikhologi Islam, akhirnya pelan tetapi pasti mulai ada pengakuan tentang keberadaan psikhologi Islam dimaksud.
Saya kira keberadaan TCM juga sama. Dia akan berhadapan secara diametral dengan para ilmuwan kedokteran Barat yang selalu merasa bahwa tidak ada “kebenaran” lain selain kebenaran madzabnya itu. Sehingga jika ada yang melahirkan ilmu yang bukan dalam kandungan ilmu kedokteran Barat dipastikan bahwa hal itu merupakan “kesalahan” yang tidak bisa ditoleransi.
Makanya, menurut pendapat saya, seharusnya Perguruan Tinggi di Cina yang mengembangkan pengobatan Cina tradisional harus terus berupaya untuk memperoleh pengakuan dan hal itu bisa dimulai dengan kerja sama antar mereka, sehingga pelan tetapi pasti akan diperoleh pengakuan yang seimbang.
Wallahu a’lam bi al shawab.