Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENGUNJUNGI MASJID DAN PAGODA (8)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENGUNJUNGI MASJID DAN PAGODA (8)
Setelah kami melihat Great Wall atau Tembok Cina, maka saya sempatkan untuk berkunjung ke Masjid Niujie di Beijing. Masjid ini didirikan oleh Nasuruddin, seorang ulama dari Arab Saudi, pada tahun 996 M. Masjid ini juga disebut sebagai “Libaisi” oleh Kaisar pada tahun 1474 M.
Masjid ini sangat indah dilihat dari ornamennya. Dengan ornament berciri khas merah, maka kelihatan betul bahwa masjid ini merupakan masjid di Cina dengan keagungan pahatannya. Bangunan masjid ini merupakan gabungan dari tradisi arsitektur Arab dan Cina. Itulah yang menyebabkan bangunan masjid ini sangat khas tidak sebagaimana masjid di Arab atau Indonesia.
Sebagaimana bangunan di Cina, maka masjid Niujie ini memiliki kekhasan yang mirip dengan bentuk bangunan Pagoda di Cina. Ada tiga bangunan yang mirip pagoda, yaitu di sebelah utara, depan dan selatan. Atap bangunan itu berundag dua, dengan cat warna-warni, meskipun warna merah yang dominan. Bangunan berundag atau pavilion selatan dibangun pada tahun 1496 M di dalam inskripsi dalam bahasa Cina dan Persi. Lalu Menara yang dibangun oleh ulama Muslim pada tahun 1068-1077, disebut sebagai “Xuanlilou” yang digunakan sebagai tempat untuk memanggil akan datangnya waktu shalat atau adzan. Paviliun utara dibangun pada tahun 1496 M. Dan ada juga ruang-ruang kelas yang saya perkirakan sebagai tempat untuk belajar Al Qur’an.
Bangunan tiangnya ditambah dengan asesori yang berwarna merah menyala dan warna kuning. Karpetnya berwarna hijau dan di tempat imam juga terdapat pahatan kayu atau kaligrafi tulisan Arab berwarna kuning yang sangat khas. Itulah saya rasa sebagai cita rasa arsitektur berkhas Cina. Mimbarnya juga sangat khas, dengan tongkat dari kayu yang memiliki lekuk-lekuk indah. Sayang saya tidak bisa menanyakannya secara mendalam tentang kayu apa yang digunakan untuk tongkat Sang khotib.
Jika menilik terhadap tahun berdirinya masjid ini, maka artinya bahwa masjid ini didirikan pada tahun yang hampir sama dengan didirikannya masjid-masjid di Guangzhou atau dulu disebut sebagai Canton. Rupanya, para Dai yang datang ke Cina ini dalam waktu yang bersamaan. Dalam pikiran saya, bahwa Sahabat Nabi Sa’ad bin Abi Waqqas datang ke Guangzhou, sementara itu Nusuruddin datang ke Beijing, atau disebut Peking di masa lalu.
Canton memang telah menjadi pusat perdagangan dan kota internasional di zaman Kekaisaran Tang. Jadi, di masa persebaran Islam di masa lalu, Canton sungguh sudah merupakan daerah perdagangan. Jika menyebut jalur sutra, maka Canton merupakan salah satu tujuannya. Sedangkan Peking menjadi wilayah ibukota kekaisaran Cina, terbukti dengan Benteng Cina atau Great Wall yang luar biasa panjangnya itu, 8000 KM lebih.
Masjid Niujie di Beijing ini sungguh menarik dan memiliki daya tarik yang khas. Jika kita shalat di dalamnya, maka akan merasakan kesyahduan yang luar biasa. Saya bersyukur bisa shalat jama’ ta’khir qasar untuk Shalat Dzuhur dan Ashar. Karena saya yang lebih tua maka saya harus menjadi imam, sementara Fery, Jemi dan Desmon menjadi makmumnya.
Saya lalu ingin bercerita tentang Pagoda di Beijing. Tidak seperti di negeri kita, yang masjid dan vihara bisa ada di mana-mana, dibangun dan didirikan di mana-mana, maka di Guangzhou dan Beijing hanya ada beberapa vihara atau pagoda. Kalau tidak salah di Guangzhou hanya ada 2 (dua) pagoda saja dan Beijing juga sama. Tetapi tentu ada beberapa bangunan yang biasa digunakan untuk penyembahan kepada Yang Maha Suci secara individual. Sebagaimana di Thailand maka di beberapa tempat ada kuil-kuil yang dijadikan sebagai tempat untuk persembahan saja.
Pagoda ini didirikan pada tahun 420-479 M pada zaman kekaisaran Song. Artinya Temple Liu Rang ini sudah berumur lebih dari 1500 tahun.
Di dalam pagoda Liu Rang terdapat beberapa bangunan, yang menggambarkan tentang tempat persembahan bagi dewa-dewa di dalam agama Buddha. Misalnya ada tempat ibadah berdasarkan atas Arca Dewi Kwan Im, dan ada beberapa tempat persembahan bagi dewa-dewa lainnya. Semestinya ada 6 (enam) pohon yang disebut sebagai 6 (six) Banyan Tress di dalam pagoda ini, akan tetapi yang direnovasi hanya 3 (tiga) saja. Tiga bangunan persembahan ini yang terus dipenuhi dengan umat Buddha di dalam persembahyangannya.
Namun demikian ada hall utama yang dijadikan sebagai tempat sembahyang. Hall ini dijaga oleh para pendeta Buddha, yang betugas mengawasi terhadap individu yang melakukan sembahyang. Mereka berpakaian coklat tua, ada lelaki dan perempuan. Orang yang akan ibadah juga dipandu untuk mengenakan pakaian serupa, meskipun bisa juga tidak menggunakannya. Bedanya, jika para pendeta atau bhiksu itu semuanya gundul, maka yang bersembahyang tentu tidak seperti itu. Banyak warga yang melakukan ritual di hall ini.
Yang menarik bagi kami bahwa untuk memasuki pagoda ini harus membayar. Jadi, baik yang akan melakukan sembahyang atau sekedar rekreasi juga dikenai ticket. Saya dan kawan-kawan tentu juga harus membayarnya. Rasanya ticket ini memang diperlukan sebagai bagian dari upaya untuk perawatan terhadap vihara ini. Jika di dalam Islam tidak dikenai ticket, akan tetapi secara suka rela membayar infaq dan shadaqah.
Selain itu, ada satu hal yang juga menarik untuk dikaji lebih jauh ialah adanya “kesamaan” dalam gerakan ritual. Misalnya ada gerakan membungkuk atau rukuk dalam Islam dan juga ada gerakan yang menyerupai sujud. Saya kira menarik dikaji dari perspektif adanya persamaan gerakan dalam ritual yang bisa jadi juga memiliki “kesamaan” makna di dalamnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..