Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: TRADITIONAL CHINA MEDICINE (6)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: TRADITIONAL CHINA MEDICINE (6)
Selama ini saya memang telah mengenal betapa kehebatan ilmu kedokteran China, yang tidak hanya mengandalkan ilmu kedokteran barat akan tetapi juga mengembangkan ilmu kedokteran timur. Salah satu di antara yang dikembangkan itu ialah Traditional China Medicine (TCM). Bahkan salah satu lembaga pendidikan disiapkan untuk kepentingan itu, yaitu China University of Traditional Medicine.
Saya pernah mendengar tentang cara pengobatan Cina dalam hal saraf terjepit dan bagaimana Kedokteran Cina melakukan pengobatannya. Dilakukan tanpa operasi dan hanya dilakukan dengan menarik secara perlahan daerah yang sarafnya terjepit dan kemudian meminum ramuan herbal yang diproduksi di Cina. Jika dihitung biayanya sama dengan biaya operasi, tetapi dengan resiko yang lebih kecil. Melalui operasi pembedahan, maka hasilnya juga fifty-fifty. Demikian cerita Prof. Dr. Eko Sugitario (anggota DRD Jawa Timur) dalam salah satu kesempatan bersama saya di Kantor DRD Jawa Timur.
Saya memang tidak melakukan perjalanan dinas terkait dengan hal ini, akan tetapi dengan bertemu salah seorang mahasiswa program magister di Cina ini tentu menggambarkan bahwa Ilmu Kedokteran Cina Tradisional sudah melangkah sangat jauh. Meskipun belum seluruh dunia mengakui pengobatan tradisional tersebut, tetapi Cina sudah jauh mengembangkan Ilmu Kedokteran Timur yang cukup memadai.
Saya tentu beruntung dapat bertemu dengan pemuda Medan dan pasangannya, Dr. Henry yang sedang mengambil program magister di bidang TCM. Dia Sarjana Kedokteran dan kemudian mengambil program magister di bidang TCM dan pendidikan ini sudah dilaluinya dengan baik. Dia telah memperoleh gelar master di bidang TCM dan sebenarnya sudah sangat siap untuk mendarmabaktikan ilmunya dalam dunia medis. Hanya sayangnya bahwa di Indonesia pengakuan tentang TCM itu belum memadai, kalau tidak disebut “belum” diakui. Masih dianggap sebagai keterampilan saja atau program pendidikan vokasi.
Dalam diskusi di sela-sela perjalanan ke Great Wall di Cina bersama dengan Pak Supriyadi dan Pak Ferry, maka kami merasakan bahwa mereka sesungguhnya sedang menghadapi “kegundahan”. Gelar Magister sudah di tangan akan tetapi pengakuan pemerintah terhadap gelar ini tidak didapatkannya. Keahlian TCM ini belum memperoleh pengabsahan dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), sebagai bagian dari Ilmu Kesehatan. Demikian pula Kementerian Kesehatan juga belum mengakuai terhadap produk kesarjanaan TCM termasuk gelar magisternya.
Henry menyatakan bahwa “saya harus mengambil program Sertifikasi Kompetensi Keahlian (SKK) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Bagaimana bisa gelar saya sebagai master di bidang TCM tidak diakui di Indonesia.” “Akhirnya dengan terpaksa kami harus mengambil program sertifikasi agar kami bisa membuka klinik di bidang ini, untuk keahlian acupuntur. Dan sertifikat ini bukan sertifikat di bidang kesehatan, akan tetapi sertifikat kompetensi untuk melakukan akupuntur semata”, tambahnya.
Diskusi ini menjadi terus berlanjut terkait dengan program pendidikan di bidang kesehatan dalam Agama Buddha. Pak Supri menjelaskan bahwa di dalam ilmu kesehatan ada yang disebut sebagai Terapeutik atau keahlian untuk melakukan pengobatan berbasis pada pendekatan agama. Di dalam Agama Buddha, memang ada potensi ajaran tentang bagaimana melakukan pengobatan. Di dalam bahasa sehari-hari bisa disebut sebagai Shinshe. Yaitu orang yang memiliki keahlian untuk melalukan pengobatan secara tradisional dan juga meracik obat-obatan herbal. Saya kira sama dengan ketabiban dalam konteks yang lebih umum.
Di dalam program pendidikan agama Buddha, lalu dicarikan nama yang relevan dengan ajaran Agama Buddha, yang disebut sebagai “Usadha” atau pengobatan. Terjemahan Terapeutik itu ialah Usadha dalam Agama Buddha. Terkait dengan hal ini, maka Pendidikan Tinggi Agama Buddha lalu mengembangkan Program Studi Dharma Usadha. Program ini dinyatakan sebagai program sarjana atau Strata I.
Sayangnya bahwa Kemenristekdikti dan juga Kemenkes belum mau mengakui bahwa program studi ini memiliki basis keilmuan yang memadai. Produknya hanya dianggap sebagai memiliki keahlian atau keterampilan melakukan pengobatan tradisional dan belum memiliki basis keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Demikian pula di Kemenkes. Ada anggapan juga bahwa “usadha’ hanyalah keahlian atau keterampilan saja dan bukan keilmuan. Kemenristek hanya mengakui TCM atau di dalam Agama Buddha sebagai Usadha itu sebagai program vokasi saja. Jadi tidak bisa disamakan dengan dunia kedokteran yang memang sudah memiliki basis recognisi yang kuat.
Rupanya, basis keilmuan para dokter dan akademisi yang selama ini berkiblat di Barat belum “rela” jika otoritas keilmuan kedokteran Barat itu dimasuki atau diintervensi oleh program “usadha” atau terapeutik ini. Jadi meskipun seseorang sudah menyelesaikan program pendidikan strata dua, akan tetapi tetap saja ilmunya tidak diakui. Meskipun seseorang telah memperoleh ijazah master, tetapi untuk membuka klinik akupuntur atau acupressure tetap harus memperoleh Sertifikat Kompetensi Keahlian (SKK).
Memang harus diakui bahwa dominasi keilmuan memang terkadang menjadi kendala untuk melihat ada perspektif lain atau cara pandang lain dalam melihat sesuatu. Saya teringat di masa lalu, psikhologi Islam itu dianggap hanya khayalan belaka. Beberapa ahli psikhologi yang berbasis pendidikan Barat yang positivistic tidak akan mengakuinya. Jadi kalau ada tulisan yang memasukkan Ayat Kitab Suci di dalam kajian psikhologi, lalu dianggap sebagai kesalahan memalukan.
Namun seirama dengan upaya yang terus menerus di antara para pengkaji dan pelaku pendidikan psikhologi Islam, akhirnya pelan tetapi pasti mulai ada pengakuan tentang keberadaan psikhologi Islam dimaksud.
Saya kira keberadaan TCM juga sama. Dia akan berhadapan secara diametral dengan para ilmuwan kedokteran Barat yang selalu merasa bahwa tidak ada “kebenaran” lain selain kebenaran madzabnya itu. Sehingga jika ada yang melahirkan ilmu yang bukan dalam kandungan ilmu kedokteran Barat dipastikan bahwa hal itu merupakan “kesalahan” yang tidak bisa ditoleransi.
Makanya, menurut pendapat saya, seharusnya Perguruan Tinggi di Cina yang mengembangkan pengobatan Cina tradisional harus terus berupaya untuk memperoleh pengakuan dan hal itu bisa dimulai dengan kerja sama antar mereka, sehingga pelan tetapi pasti akan diperoleh pengakuan yang seimbang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..