Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: BERBURU MAKANAN HALAL (10)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: BERBURU MAKANAN HALAL (10)
Jika anda Muslim, jangan takut datang ke Cina. Khususnya di Guangzhou dan Beijing Ada banyak makanan khas untuk umat Islam. Meskipun Cina bukan negara yang mengakui keberadaan agama-agama, tetapi umat beragama dibiarkan berkembang dengan daya dan kemampuannya sendiri. Makanya, umat Buddha, umat Islam dan juga agama lainnya juga berkembang.
Akan tetapi jangan samakan dengan Indonesia yang umat beragamanya sering melakukan show of force, di Cina nyaris tidak dijumpai perhelatan agama yang dilakukan secara besar-besaran. Semuanya dilakukan dengan simbol-simbol budaya dan bukan simbol agama. Memang, misalnya di dalam perayaan Imlek atau Goh Chi Fat Chai ada arak-arakan, akan tetapi hal itu haruslah dianggap sebagai pawai budaya dan bukan pawai agama. Warisan leluhur yang berupa kepercayaan Shinto, Tao, Konghucu, bahkan Islam dan Buddha dijadikan sebagai kekayaan budaya bagi pemerintah Cina, dan tempat-tempat ibadah dijadikan sebagai ikon dan cagar budaya di sini.
Sebagai orang Islam, saya tentu harus memakan makanan yang halal. Bagaimanapun juga saya harus menemukan makanan halal tersebut. Maklumlah bahwa ajaran agama Islam memang mewajibkan umatnya untuk memakan makanan yang halal saja. Makanan yang tidak halal harus kami hindari. Seluruh makanan dan minuman yang mengandung unsur babi harus kami jauhi. Makanya, selama di Guangzhou dan Beijing kami harus berburu restorant halal yang khusus menyajikan makanan bagi muslim.
Kami tentu sangat beruntung sebab dipandu oleh orang-orang yang sudah paham tentang kuliner di Guangzhou dan Beijing. Kala di Guangzhou dipandu oleh Pak Piyandi dan Edward sehingga dengan mudah dapat menemukan restorant halal dan ketika di Beijing dipandu oleh Hutomo. Makanya perjalanan kuliner tidaklah masalah bagi kami. Tinggal minta restorant halal, maka sopir akan mengarahkan ke tempat tujuan.
Di Guangzhou kami sempatkan untuk makan malam di restorant halal di wilayah pertokoan. Rumah makan berlantai dua ini sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat Cina. Kelihatannya bukan hanya umat Islam yang makan di sini akan tetapi juga orang Cina pada umumnya. Kami harus antri untuk dapat tempat duduk. Akhirnya kami pun makan nasi goreng khas Cina, daging kambing manis dan juga ikan gindara yang dimasak berbumbu kuning. Sayangnya, saya tidak mencatat nama-nama makanan yang lezat itu. Ludes seluruh pesanan makanan karena lezat dan memang kami semua sedang lapar. Kami juga makan di restorat persis di depan masjid Xiangdongyin. Restorant ini dikelola oleh Orang Uighur. Sebagaimana diketahui bahwa orang Uighur memang kebanyakan beragama Islam. Makanannya juga sangat lezat. Terutama nasi gorengnya. Rasanya seperti nasi goreng di rumah makan Dim Tai Fung di beberapa Mall di Jakarta. Ikan yang dimasak agak pedas dengan bumbu kental juga sangat lezat. Tidak salah kita memilih rumah makan ini.
Di Beijing kami juga menemukan makanan halal. Selepas dari perjalanan panjang ke Great Wall dan masjid Niujie dan Kuil Liu Rang, maka kami sempatkan makan siang di Kampus Universitas Haopan. Di sini memang disediakan khusus restorant halal yang disajikan untuk para mahasiswa muslim yang jumlahnya cukup banyak. Menurut Tomi, bahwa ada banyak kawannya dari Timur Tengah yang ketika rindu kampung halamannya, maka mereka menyempatkan makan di restoran ini. Sama dengan menu makanan di restorant muslim lainnya, maka menunya juga bervariasi. Dari mie Hainan, nasi goreng, ikan goreng, gulai kambing, ikan berbumbu kental dan banyak lainnya.
Yang sungguh menarik adalah cerita Tomi tentang masakan khas Indonesia di Beijing. Malam terakhir di Beijing tentu kami sangat berminat untuk mencicipi masakan Khas Indonesia sebagaimana yang diceritakan Tomi. Kami secara sengaja datang ke restoran ini. Sebelumnya sudah dipesan bahwa kami tamu dari Jakarta akan makan makan malam di restoran Nom Nom. Maka, kami agak santai sedikit menuju restoran. Ternyata restoran ini penuh sesak dengan peminat. Maklum restoran ini memang berada di ruko, sehingga jumlah tempat duduknya hanya terbatas. Sementara yang berminat makan di resto ini cukup banyak. Di sini makanan khas Indonesia itu tersaji. Nasi goring khas Indonesia, bakso, ayam penyet, ayam geprak, ayam kremes, hingga pecel dan tahu lontong.
Resto ini dikelola oleh pasangan suami isteri, perempuan Indonesia dan lelaki Cina. Tampaknya dikelola sendiri. Dikelola berdua, tanpa pembantu. Memasak sendiri dan melayani sendiri. Yang menyenangkan karena lambang-lambang Indonesia ada di tempat ini. Mulai dari tulisan “Aku Cinta Indonesia”, Gambar Lambang Garuda Pancasila sampai tempelan gambar bajay yang khas Jakarta. Yang datang untuk makan di resto ini kebanyakan adalah mahasiswa Indonesia di Beijing. Terbukti nyaris semua yang ada di warung ini mengenal Tomi.
Saya harus antri kira-kira 1 (satu) jam untuk mendapatkan tempat duduk di dalam ruangan makan. Dengan jumlah 5 (lima) meja dan hanya 20-25 kursi, maka sungguh resto ini tidak sanggup menampung jumlah pecinta masakan Indonesia itu untuk langsung duduk di dalam. Makanya harus sabar untuk bisa memperoleh pelayanan di resto ini. Dan sebagaimana biasanya, para mahasiswa itu juga tidak langsung cabut begitu makannya selesai. Ngobrol dulu.
Saya makan nasi dan ayam geprak, sedangkan lainnya makan nasi dan ayam kremes. Lezat juga rasanya. Ada khas Indonesianya. Karena memang lapar dan menunggu cukup lama, maka makanan itu terasa lezat. Kami tentu menikmati berbagai kuliner di Beijing dan juga Guangzhou. Selama masih ada makanan yang cocok, maka kerasanlah saya di tempat itu. Dan Cina memenuhi syarat untuk kerasan itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..