Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENGUPAYAKAN INTERFAITH DIALOGUE (5)

KE NEGERI TIRAI BAMBU: MENGUPAYAKAN INTERFAITH DIALOGUE (5)
Perbincangan dengan Pak Wicaksono memang menjadikan suasana makin hangat. Maklumlah, Pak Wicak ini memang humoris dan tertawanya lepas saja. Saya kira ada kesamaan dengan saya yang juga suka bercanda di tengah bicara seserius apapun. Kalau saya serius dalam berbicara justru dipertanyakan oleh staff saya. Pernah saya berceramah dengan serius dari awal hingga akhir dan justru dipertanyakan bahwa saya tidak hadir. Ternyata bahwa kehadiran saya itu jika berceramah dengan sambil gurauan. Saya kira perbincangan di KJRI juga sama. Kita bisa tertawa lepas dan hangat.
Setelah Pak Supriyadi menyampaikan uneg-unegnya, maka giliran Pak Ferry Meldy (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag) menyampaikan tujuan dan keinginannya berkunjung ke Cina ini. Pak Fery menyatakan bahwa ada keinginan agar antara Indonesia dan Cina menyelenggarakan acara interfaith dialogue. Selama ini antara pemerintah dan Cina belumlah memiliki satu forum interfaith dialogue sebagaimana negara lain. Kita sudah memiliki 38 negara sebagai anggota interfaith dialogue. Dua yang terakhir ialah dengan pemerinah Myanmar dan Belgia.
Dengan Pemerintah Myanmar tentu kita membicarakan tentang kasus kekerasan di Rohingya beberapa saat yang lalu, dan dengan Belgia tentu dalam kaitannya dengan pentingnya penjelasan-penjelasan tentang berbagai program kerukunan umat beragama di Indonesia. Beberapa saat yang lalu, kami ke Brussel untuk melakukan interfaith dialogue. Saya datang bersama tokoh NU, Muhammadiyah dan juga tokoh umat beragama serta pimpinan perguruan tinggi Islam. Dan satu hal yang positif ialah mereka mengakui bahwa Indonesia adalah the best example for religious harmony. Demikian penjelasan Pak Ferry.
Nah kita sedang merancang tahun depan untuk menyelenggarakan interfaith dialogue dengan pemerintah Cina. Untuk kepentingan ini, saya rasa perlu sekali dukungan dari Kedutaan Besar RI di Beijing dan juga KJRI di Guangzhou dalam rangka mendukung terhadap keinginan ini. Untuk interfaith dialogue biasanya memang kita lakukan dengan tokoh agama dari agama mayoritas. Jadi kalau di Cina tentu dengan tokoh-tokoh agama Buddha.
Pak Wicak lalu memberikan tanggapan atas pembicaraan Pak Ferry. Dinyatakan bahwa Cina ini memang berbeda dengan negara-negara lain, sebab negara sama sekali tidak mengakui tentang keberadaan agama-agama. Sebagai negara atheis atau komunis tentu dipahami sikap negara terhadap agama ini. Tetapi pemerintah juga tidak melarang jika warga negaranya mengikuti agama tertentu. Makanya, agama Islam juga ada pengikutnya dan bisa berkembang seperti di Guangzhou, di Beijing dan juga di wilayah Uighur. Demikian pula Agama Buddha juga hidup dan berkembang di negeri ini. Mayoritas masyarakat memang memeluk Agama Buddha.
Negara menyerahkan sepenuhnya urusan agama kepada asosiasi masing-masing. Di dalam Agama Buddha terdapat China Buddhis Association, yang dipimpin oleh Master Xue Cheng, sedangkan yang Muslim dibawah The China Muslim Association. Sebagaimana saya ceritakan bahwa yang mengurusi Makam Abi Waqqas ialah Imam Sideeq, sebagai anggota asosiasi ini.
Masyarakat beragama harus beribadah di tempatnya. Tidak diperkenankan di sini untuk beribadah di luar tempat ibadah. Misalnya tidak boleh beribadah di jalan atau lapangan yang di situ sebagai fasilitas umum. Ibadah tidak boleh mengganggu terhadap kepentingan umum.
Saya tentu sangat senang jika ada acara inteffaith dialogue antara Cina dan Indonesia, sebab dialog itu tentu hal yang sangat penting untuk saling memahami bagaimana mengelola kehidupan beragama di masing-masing negara. Hanya saja, di Cina yang pemerintah tidak mengakui tentang suatu agama, maka keberadaan agama sama sekali di luar kepentingan pemerintah. Bahkan pemerintah juga tidak memberikan hibah atau anggaran apapun kepada asosiasi agama itu. Jadi asosiasi dan umatnya harus bisa mengurus dirinya sendiri.
Di dalam hal ini tentu lalu terkait dengan pembiayaan. Jika dilakukan acara interfaith dialogue, lalu siapa yang membiayai. Tentu dipastikan pemerintah tidak akan membiayainya, demikian pertanyaan Pak Wicak. Pak Ferry menjelaskan bahwa selama ini, jika dialog dilakukan di Indonesia, maka Kemenag yang membiayai seluruh transportasi dan akomodasi para peserta dari luar negeri, dan jika delegasi datang ke luar negeri, maka pemerintah setempat yang membiayainya. Jika memang tidak ada pembiayaan tentu bisa dilakukan di Indonesia dengan segenap konsekuensi pembiayannya, sedangkan jika dilakukan di Cina tentu kita berharap melalui diplomasi ada bagian dari pemerintah untuk membiayainya.
Pak Wicak, memang harus ada pembicaraan lebih lanjut tentang hal ini, akan tetapi saya kira memang interfaith dialogue antara Cina dan Indonesia memang diperlukan. Kita coba lakukan negosiasi tentang hal ini.
Saya kemudian menimpali, bahwa tahun 2018 agar dipastikan ada program interfaith dialogue antara Cina dan Indonesia yang ditempatkan di Indonesia. Kita pastikan anggarannya, kita pastikan kesiapannya. Dan ini merupakan sejarah baru bagi kita bisa melakukan dialog antar umat beragama dengan Cina yang selama ini belum pernah dilakukan.
Pembicaraan ini tidak terasa cukup lama berlangsung. Kira-kira jam 19.30 Waktu setempat, kami pamit ke Pak Wicaksono. Kami tentu berterima kasih sudah diterima di sini dan dapat mendiskusikan hal-hal yang prospektif ke dapan. Kami diantar sampai lantai bawah hotel dan yang tidak lupa pasti selfie bareng.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..