Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SEMINAR UNHI; KERJA SAMA TANGGULANGI RADIKALISME (1)

SEMINAR UNHI; KERJA SAMA TANGGULANGI RADIKALISME (1)
Saya merasa terhormat dengan diundang oleh Rektor Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Dr. I.B. Dharmika dalam rangka Seminar Nasional yang bertema “Membangun Wawasan Kebangsaan Dalam Menanggulangi Radikalisme”, 14/11/2017 di Hotel Nikki, Denpasar. Hadir Wakil Rektor I, Prof. Dr. I Ketut Suda, Prof. Dr. I Ketut Widnya (Dirjen Bimas Hindu), Prof. Dr. I.B. Triguna (Mantan Dirjen Bimas Hindu), para pimpinan lembaga, para dosen dan juga mahasiswa.
Saya pernah menjadi narasumber bersama Prof. Franz Magnis Suseno, dan Prof. Dr. Palgunadi dalam acara Seminar Nasional dengan tema “Multikulturalisme” di UNHI tahun 2010. Dan saya terperanjat mendengar kabar bahwa Prof. Palgunadi sudah mendahului kita semua, dua tahun yang lalu. Beliau telah menghadap Tuhan dan tentu Beliau telah menyelesaikan tugasnya dalam kehidupan sekarang.
Dalam acara seminar nasional yang diselenggarakan di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) ini, saya bersama Prof. Dr. Wayan Gelgel (Guru Besar Sosiologi Hukum), Dr. Arie Dwipayana (Staf Khusus Presiden), dan Mayjen. TNI Purn. Wisnu Bawa Tenaya (Dewan Pengarah UKP-PIP). Sesuai dengan temanya, maka saya membawakan makalah dengan tema “Wawasan Kebangsaan dalam Menganggulangi Radikalisme”.
Ada beberapa hal yang menarik di dalam seminar nasional di UNHI, terutama data-data yang disampaikan oleh Pak Ari Dwipayana. Beliau menyebutnya dengan istilah “Wake Up Call”. Sekarang sudah saatnya dibunyikan alam untuk membangunkan kita di dalam menghadapi gerakan radikalisme. Beberapa survey yang dilakukan oleh Alvara, Wahid Institut dan juga CSIS memberikan gambaran bahwa kecenderungan untuk memilih ideology radikal ternyata semakin menguat, baik di kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta dan juga kalangan pengusaha. Data ini memberikan gambaran bahwa ada perubahan yang sangat signifikan terhadap kecenderungan untuk menjadikan ideology selain Pancasila sebagai ideology kenegaraan, apakah dalam coraknya sebagai negara khilafah atau lainnya.
Bagi saya, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan. Masih besar jumlah warga Indonesia yang menyatakan kesetiaannya kepada Pancasila sebagai dasar negara. Apalagi dewasa ini terus berkumandang teriakan “nyaring” tentang “NKRI Harga Mati”. Di perguruan tinggi, di pesantren, di organisasi sosial keagamaan, misalnya NU, maka slogan ini tidak hanya dijadikan sebagai ungkapan belaka tetapi dilaksanakan secara sungguh-sungguh dengan melakukan berbagai kegiatan yang mendorong terwujudnya wawasan kebangsaan yang semakin optimal.
Saya mengamati semenjak HTI semakin “keras” menggerakkan ideology khilafah, maka sebenarnya sudah terdapat kegelisahan yang sangat kuat di kalangan masyarakat Indonesia. Dan hal ini memperoleh momentum ketika Pemerintah mencabut dan melarang HTI untuk beroperasi di Indonesia. Kita tentu agak terlambat untuk melakukannya. Organisasi ini telah memiliki jaringan yang sangat kuat di berbagai kampus dan memiliki sekolompok ideolog yang sangat baik.
Di era sekarang, memang terkadang ada kegamangan untuk melakukan tindakan melarang atau menghadang laju organisasi yang “menyimpang” dari ideology negara yang absah. Padahal semuanya mengetahui bahwa tujuan akhir HTI ialah mendirikan negara khilafah dan hal ini sudah dideklarasikannya sekian tahun yang lalu. Akarnya sudah tertanam cukup kuat, sehingga untuk memberangusnya tentu juga lebih sulit. Era kebebasan di masa Orde Reformasi benar-benar digunakan secara efektif untuk membangun kekuatan yang nyata di kalangan organisasi-organisasi yang sesungguhnya melawan negara yang sah.
Oleh karena itu saya sampaikan di forum ini tiga hal yang sangat mendasar. Pertama, kita harus memetakan terhadap tantangan kita sebagai bangsa dan negara. Tantangan tersebut meliputi potensi gerakan radikal yang terus eksis di negara ini. Peristiwa pembakaran terhadap kantor kepolisian di Dharmasraya dan juga penyanderaan terhadap 1500 orang di Papua tentu merupakan gerakan radikal yang dipicu oleh keinginan untuk merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Radikalisme dan ekstrimisme saya kira masih sangat potensial untuk memberikan kejutan pada bangsa Indonesia tentang keinginan mereka untuk mencederai terhadap kesepakatan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam 4 (empat) pilar kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan.
Lalu yang tidak kalah menarik juga tantangan politik pada tahun politik yang sebentar lagi akan datang di tengah kehidupan kita. Sebagaimana lazimnya, maka di tahun politik tentu tensi informasi yang terkait dengan pilihan umum akan semakin tinggi intensitasnya. Berita hoax juga akan semakin menguat. Di era cyber war ini, maka tantangan terbesar kita ialah bagaimana menghadapi media sosial yang terkadang tidak ramah terhadap kita. Ada berita yang disinformatif, membunuh karakter, menyebar kebencian dan sebagainya. Oleh karena itu kiranya kita harus arif di dalam menerima dan menyebarkan informasi, check dan recheck sebelum menyebarkan, pilah dan pilih sebelum disebarkan dan seterusnya.
Kedua, kita harus meletakkan fondasi kebangsaan dan kenegaraan terhadap generasi muda. Kita tahu bahwa generasi sekarang adalah penyambung estafeta kepemimpinan bangsa. Mereka yang sekarang sedang menduduki bangku kuliah adalah Generasi Emas Indonesia, tahun 2045. Makanya, penguatan pendidikan karakter untuk membangun kesadaran berbangsa dan bernegara tentu menjadi sangat penting. Kita-kita yang sudah senior ini ingin tersenyum di alam lain, melihat keberhasilan masyarakat Indonesia yang dibawakan oleh generasi yang sekarang sedang belajar ini. Sukses pendidikan adalah sukses Indonesia di masa depan.
Ketiga, sebagaimana yang diusulkan oleh Prof. Dr. I.B. Triguna, Kemenag tentu memiliki peran penting di dalam terus membangun kerukunan umat beragama. Jika sekarang untuk kesetaraan dan toleransi sudah sangat bagus, sementara kerja sama masih rendah, maka seharusnya kemenag memiliki program untuk memperkuat kerja sama antar pemeluk agama.
Saya tentu sependapat dengan pernyataan ini, dan sebenarnya Kemenag sudah memiliki program-program unggulan terkait dengan upaya membangun kerukunan, ialah program dialog antar dan intern umat beragama, program perkemahan pemuda lintas agama dan juga program living together secara bergiliran dari penganut agama yang satu dengan lainnya. Jadi, mahasiswa UNHI bisa saja akan hidup bersama dalam satu waktu dengan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya di UNHI dan sebaliknya.
Saya kira memang upaya untuk meredam gerakan radikalisme tidak cukup hanya dengan hard power sebagaimana yang dilakukan oleh Densus 88, akan tetapi juga bisa melalui soft power yang dilakukan oleh semua kalangan masyarakat kita. m
Maka untuk menanggulangi radikalisme harus melalui kebersamaan antara masyarakat, pemerintah dan juga pihak swasta. Kita harus bekerja bersama untuk yang satu ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..