Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TOLERANSI BERAGAMA GENERASI MILENIAL

TOLERANSI BERAGAMA GENERASI MILENIAL
Saya memperoleh kesempatan yang cukup memadai untuk menulis di kala saya pergi ke Cina, tepatnya ke Guangzou, tanggal 17 November 2017. Di pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi dari Jakarta ke Guangzou, maka saya dapat menulis dengan leluasa. Saya bisa membaca beberapa hasil survey yang dilakukan oleh Alvara Research Center, CSIS, LSI dan sebagainya dan kemudian menuliskannya sesuai dengan minat dan kecenderungan saya.
Yang saya tulis ini adalah upaya untuk memahami terhadap laporan survey yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS), 2017. Rilis ini bertajuk “Ada Apa dengan Milenial: Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik”. Sebagaimana judul di dalam tulisan ini, maka saya hanya akan konsentrasi terhadap keberagamaan mereka dan bukan pada hal-hal lain sesuai dengan rilis laporan survey ini. Sampel dari survey ialah sebanyak 600 orang yang terdiri dari seluruh provinsi secara proporsional.
Ada dua pertanyaan dasar terkait dengan sikap keberagamaan kaum milenial, yaitu penerimaan terhadap pemimpin yang berbeda agama dan sikap bila ada gagasan yang hendak mengganti Pancasila dangan ideology lain. Pertanyaan ini yang dijadikan sebagai dasar atau indicator untuk menjelaskan sikap generasi milenial dalam kaitannya dengan toleransi beragama.
Sebagaimana diketahui bahwa genarasi milenial ialah generasi yang lahir setelah tahun 80-an. Dalam hal ini ditandai dengan tingkat akseptansi terhadap media informasi yang sangat tinggi. Mereka adalah generasi yang paling sadar tentang penggunaan media komunikasi dan juga media informasi. Berbeda dengan generasi yang lahir di era tahun 50-an atau bahkan tahun 70-an yang rata-rata hanya sebagai pengguna minimal media Hand Phone, misalnya, maka generasi milenial ini sangat akrab dengan media informasi dan sebagai pengguna optimal. WA, Skype, H5, Linkedin, Twitter, Facebook, dan segala media lainnya. Saya tidak bisa menyebutkan keseluruhannya karena keterbatasan pengetahuan saya tentang media teknologi informasi ini.
Dari survey CSIS ini digambarkan bahwa mereka yang menjawab bisa menerima pemimpin yang berbeda agama ialah untuk usia 17-29 tahun (generasi milenial) sebanyak 38,8% dan usia di atas 30 tahun (generasi non milenial) sebanyak 39,4% sedangkan yang tidak bisa menerima untuk usia 17-29 tahun (generasi milenial) 53,7%) dan usia 30 tahun ke atas (generasi non milenial) 58,1%.
Kemudian mengenai sikap tentang keinginan mengganti Pancasila dengan ideology lain, maka didapatkan gambaran setuju dari usia 17-29 tahun (generasi milenial) sebanyak 9,5% dan usia 30 tahun ke atas (generasi non milenial) 11,8%. Lalu yang tidak setuju untuk usia 17-29 tahun (generasi milenial) 90,5% dan usia 30 tahun ke atas (generasi non mileneal ) 85,4%.
Angka persentase ini tentu menarik untuk dicermati, sebab dari generasi milenial yang tentu diharapkan akan menjadi generasi Indonesia terbaik di masa depan, ternyata sudah ada yang berkeinginan untuk melakukan pilihan pimpinan yang sesuai dengan agamanya dan menolak pemimpin yang tidak sama dengan agamanya. Dengan persentase sebesar 53,7%, berarti sebuah angka yang cukup tinggi atau bahkan sebagian besar anak-anak muda kita tidak bisa menerima pemimpin yang berbeda keyakinan. Artinya jika mereka beragama Islam, maka tidak bisa menerima terhadap pemimpin yang beragama lain. Sama halnya yang beragama selain Islam juga tidak bisa menerima pemimpin yang tidak sama dengan agamanya. Sungguh data ini merupakan lampu kuning bagi perkembangan toleransi beragama. Jadi artinya, jika ada pilihan gubernur atau Bupati, maka kecenderungan anak-anak muda kita ialah memilih yang sama agamanya. Saya tidak tahu, apakah pilihan gubernur DKI dapat didekati dengan angka-angka ini, artinya bahwa kemenangan Anies-Sandi ditentukan oleh salah satunya ialah factor agama.
Data bagi yang generasi non mileneal saya kira juga tidak sangat signifikan bedanya dengan yang generasi milenial. Angka menerima pemimpin yang berbeda agama sebanyak 39,4% juga menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam hal kesetujuan menerima pemimpin yang berbeda agama. Dan ternyata generasi yang lebih senior memilih pemimpin yang sama agamanya atau tidak bisa menerima pemimpin yang berbeda agama dengan persentasi 58,1%. Data ini juga secara umum memberikan gambaran bahwa factor agama menjadi variabel penting di dalam pemilihan pemimpin.
Yang justru mengkhawatirkan ialah sudah adanya kecenderungan untuk mengganti Pancasila dengan ideology lain. Meskipun jumlahnya baru mencapai angka 9,5% untuk generasi milenial dan angka 11,8% untuk generasi non milenial, akan tetapi angka ini memberikan gambaran bahwa mereka yang ingin mengganti Pancasila dengan ideology lain itu sudah eksis di Indonesia. Jika menilik usianya, maka mereka adalah para pemuda atau para mahasiswa yang bisa saja mereka sudah terkena virus gerakan khilafah atau Islam kafah yang untuk meperjuangkannya memerlukan negara Islam.
Memang kita masih bisa bergembira sebab yang memilih tidak ingin mengganti Pancasila dengan ideology lain untuk generasi milenial sebesar 90,5% dan generasi non milenal sebesar 85,4%. Artinya bahwa mayoritas generasi milenial tidak ingin mengganti Pancasila, demiikian pula generasi non milenial.
Meskipun demikian, kita tentu perlu mengembangkan sikap kewaspadaan yang tinggi terhadap sebagian kecil generasi milenai dan non milenial yang berkeinginan untuk mengganti Pancasila dengan ideology lain. Kita harus mewaspadai terhadap persebaran informasi di era cyber war ini di mana terjadi banyak disinformasi, character assassination, ujaran kebencian dan sebagainya.
Pemerintah bersama masyarakat harus aware terhadap pengaruh media informasi ini, sebab jika kita lalai maka akan sangat mahal harga yang harus dibeli. Jangan sampai ketidakwaspadaan kita menjadi penyebab kehancuran negeri yang sangat kita cintai ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..