BERBAHAGIA DALAM BEKERJA (2)
Saya rasa bahwa di kantor atau tempat pekerjaan ada juga kebahagiaan. Saya kira ada di antara kita yang bisa merasakannya. Kebahagiaan sebenarnya ialah hak semua manusia di manapun berada. Akan tetapi tentu juga tidak semua hak untuk memperoleh kebahagiaan tersebut bisa dicapainya.
Menurut saya ada dua factor yang mempengaruhinya, yaitu factor internal dari diri yang bersangkutan terkait dengan dirinya di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan dan factor eksternal ialah seberapa keberadaan sesuatu di luar dirinya itu juga mempengaruhi terhadap kehidupan yang bersangkutan. Setiap orang memiliki potensi untuk bahagia. Hanya saja berapa lama dan kapan itu tentu sangat variatif.
Dari factor internal ialah terkait dengan seberapa kesiapan yang bersangkutan di dalam menghadapi kehidupan. Misalnya sikap dan tindakan kepasrahannya menghadapi kepastian atau takdir Tuhan. Selain itu juga terkait dengan kesiapan seseorang di dalam menghadapi keinginan demi keinginan yang sudah atau tidak tercapai. Jika seseorang memiliki rasa pasrah atau menerima semua kejadian sesuai dengan kepastian Tuhan, maka dia akan terhindar dari rasa bersalah atau stress yang menyebabkan sesuatu menjadi semakin rumit.
Yang lebih rumit ialah mengenai factor eksternal yang juga memiliki pengaruh besar terhadap kebahagiaan itu. Misalnya lingkungan sosial, lingkungan bekerja atau lingkungan alam yang saya kira juga bisa menjadi factor determinan untuk pencapaian kebahagiaan. Di sinilah maka keberadaan lingkungan kerja yang kondusif akan menjadi factor utama untuk berbahagia di dalam bekerja. Factor persahabatan yang merupakan factor eksternal bisa menentukan terhadap adanya rasa bahagia dimaksud. Sering kali orang berpindah-pindah profesi atau berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya disebabkan oleh factor lingkungan kerja ini. Orang tidak nyaman di dalam pekerjaannya.
Makanya, membangun kebersamaan dalam persahabatan menjadi hal utama di dalam bekerja. Kita harus membangun kerja sama dan sama-sama bekerja. Kerja sama itu tidak lain dan tidak bukan adalah kerja bersama-sama itu. Jika kita bisa melakukannya berarti satu factor sudah bisa diatasi. Lalu kita bisa bekerja keras untuk mencapai tujuan bersama. Common purpose menjadi instrumen bagi para pekerja untuk bisa menciptakan nuansa pencapaian hasil bersama.
Yang juga tidak kalah penting ialah bagaimana kita bisa menciptakan kebersamaan dan kerja bersama tersebut. Bagi kita nuansa kebersamaan menjadi instrument utama untuk mencapai tujuan organisasi atau tujuan institusi. Di dalam konteks ini, maka seharusnya dilakukan upaya untuk membangun kebersamaan itu, apapun cara yang bisa dilakukannya.
Saya tentu merasa bersyukur bahwa Allah memberikan talenta humor yang sering saya gunakan sebagai pemecah nuansa ketegangan. Bahasa kerennya disebut sebagai ice breaker. Tentu saja dalam kapasitas yang bisa saya daya gunakan. Di dalam rapat-rapat atau meeting yang selalu membutuhkan keseriusan melebihi batas yang bisa dilakukan, sering kali saya selingi dengan gurauan. Bagi orang yang tidak terbiasa, maka bisa saja dianggap sebagai ketidakseriusan. Tentu ada orang yang menganggap bahwa serius itu artinya tidak ada canda dan tawa bahkan tersenyum saja bisa menjadi penanda sebagai ketidakseriusan itu. Tetapi saya lakukan dekonstruksi bahwa seserius apapun rapat atau sidang, maka harus ada nada gurauan di dalamnya. Dan saya bersyukur bahwa dengan canda dan ketawa itu suasana menjadi santai tetapi serius. Menghasilkan kesimpulan terbaik tetapi dilakukan dengan tersenyum, canda dan tawa.
Saya pernah menghadiri acara Rapat Kerja di Kantor Wilayah Kemenag DKI. Sehabis acara saya ditegor oleh Kabid Madrasah. Dia menyatakan bahwa “hari ini saya tidak bertemu dengan Pak Sekjen”. Lalu saya nyatakan: “lho kan saya baru saja memberikan ceramah”. Kemudian dinyatakan: “Pak Sekjen memang di sini, tetapi tidak ada leluconnya”. Saat itu saya menjadi ingat bahwa memang saya tidak membuat lelucon sama sekali di dalam ceramah saya.
Pak Prof. Abdurrahman Mas’ud, Kabalitbangdiklat, juga sering menyatakan jika saya memberi pengarahan atau memimpin rapat lalu tidak ada candanya, Beliau juga menanyakan: “kok tidak ada candanya”. Saya kemudian berpikir, “Wah saya ternyata identic dengan gurauan atau canda tawa kalau sedang melakukan rapat atau apapun.” Lalu saya berpikir, dari pada sudah dilabel dengan begitu, maka sudah saya lanjutkan saja di dalam memimpin birokrasi Kemenag untuk mengajak kolega saya untuk tersenyum bahkan tertawa.
Bahkan di dalam rapat-rapat antar kementerian dan lembaga, gaya lelucon itu juga sering saya terapkan. Saya berpandangan: “janganlah rapat menjadi halangan kita untuk tersenyum dan tertawa di dalamnya”. Pak Prof. Thomas Fentury, Dirjen Bimas Kristen, suatu ketika menyatakan: “kalau rapat dipimpin Pak Sekjen, pasti kita semua bergembira”.
Bahkan yang lebih heboh lagi, Pak Syafrizal, Karo Umum, kalau Beliau datang ke ruang saya, maka yang pertama kali muncul dari bibirnya ialah: “Pak Sekjen, saya ingin tertawa di sini”. Baru saja Beliau datang saya sudah tertawa, dan Beliau juga tertawa. Sungguh saya merasakan bahwa dengan senyuman maka akan tercipta rasa kebersamaan. Dan jika ini sudah bisa dibentuk, maka kerja keras dan pencapaian tujuan bersama pastilah akan bisa dilewati.
Saya akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa lingkungan pekerjaan yang meminimalisir atau bahkan menihilkan ketegangan dengan bisa tersenyum dan tertawa bersama akan bisa menjadi fondasi untuk membangun kebahagiaan. Saya sungguh yakin dengan proposisi ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.
BERBAHAGIA DALAM BEKERJA (1)
Ada sebuah pertanyaan, mungkinkah kita bisa berbahagia di dalam pekerjaan kita, atau bisakah kita berbahagia di kantor kita, atau lebih mendasar bisakah kita membuat dunia pekerjaan kita membawa kepada kebahagiaan. Pertanyaan ini saya rasa penting di tengah kenyataan bahwa sebagian waktu kita memang berada di ruang pekerjaan.
Disebabkan oleh waktu sehari, selama 7,5 jam berada di kantor atau di ruang pekerjaan, maka rasanya pertanyaan itu patut dikemukakan. Bayangkan bahwa waktu kita sebesar 30 persen justru berada di ruang perkantoran atau di ruang pekerjaan, sedangkan 30 persen lainnya di ruang tidur dan sisanya adalah untuk kegiatan ekspressi diri di tengah keluarga, masyarakat dan dunia sosial lainnya.
Pagi ini, 03/02/2018, saya harus ke Surabaya sebab ada acara di STAIN Pamekasan dalam rangka rapat kerja yang ditempatkan di Hotel Aston Gubeng Surabaya. Dan yang menggembirakan saya bersama dengan Cak Muhaimin, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga memiliki acara di Pasuruan, Jawa Timur. Sebagai sesama Nahdliyin tentu kami lalu membicarakan banyak hal terutama pandangan-pandangan politik Beliau di seputar Pilkada dan kesiapan politik lainnya.
Saya senang dengan pandangan-pandangan Beliau tentang Indonesia ke depan dan juga tentang bagaimana peluang partai politik tahun depan. Beliau nyatakan bahwa sekarang ini adalah era cyber war atau era media sosial, maka siapa yang siap dengan penggunaan media sosial, maka tentu akan banyak memperoleh keuntungan. Beliau juga menyatakan bahwa sekarang ini sudah banyak kyai dan penceramah agama yang memiliki kekuatan media sosial yang bagus, seperti AA Gym sampai Ustadz Abdus Shomad, mereka telah memiliki follower jutaan orang. Jika kita bermain di arena partai politik tentu juga harus mengikuti perkembangan baru ini.
Pada kesempatan ini, saya juga sempat untuk membaca Koran. Ada Koran Tempo, Republika dan juga Kompas. Dan yang menarik saya karena di Koran Kompas, 03/02/2018, ada tulisan yang menggelitik dengan judul “Mengejar Kebahagiaan”. Sebuah judul yang saya kira menarik untuk dicermati oleh para eksekutif yang terlibat di dalam upaya untuk melakukan perubahan. Jika dia adalah CEO di perusahan-perusahaan besar maka tantangannya tentu adalah bagimana meningkatkan performance perusahaan tersebut di tengah suasana ketidakmenentuan atau disruptive era yang terus membayangi para pengusaha. Dan jika dia adalah pejabat pemerintah juga tentu akan terlibat di dalam era reformasi birokrasi yang terus menggelinding, utamanya terkait dengan “manajemen perubahan”.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Annie McKee (Happiness Trap, Harvard Business Review, Oktober 2017/Kompas, 03/02/18) bahwa untuk menemukan kebahagiaan di dalam pekerjaan, maka ada 3 (tiga) hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: Purpose, Hope and Friendship. Ketiga hal inilah yang akan memberikan sumbangan menentukan terhadap perasaan bahagia dari para businesman di dalam sebuah dunia kerja. Jika kita ingin memperoleh kebahagiaan di dalam bekerja, maka 3 (tiga) aspek ini harus memperoleh penekanan yang optimal.
Pertama, purpose. Orang bekerja tentu harus mempunyai tujuan apa yang diinginkan. Orang yang bekerja harus dipandu oleh suatu pandangan berbasis keinginan untuk mencapai kesuksesan. Orang harus bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi atau institusi yang dijadikan sebagai tempat pengabdiannya. Orang bekerja harus dipandu oleh need for achievement. Suatu hasrat yang kuat agar tujuan bekerjanya dapat diwujudkan dalam bentuk capaian kerja yang optimal.
Makanya, seseorang akan terus berusaha untuk mencapai tujuan tertinggi dari institusi yang tertuang di dalam misi atau visi institusinya. Dipastikan bahwa ada sesuatu yang akan diraihnya atau dicapainya. Dia tidak hanya berkeinginan untuk mencapai tujuannya saja tetapi lebih dari tujuannya. Di sinilah yang membedakan antara orang yang memiliki visi di dalam bekerja dan orang yang tidak memiliki visi di dalam bekerja. Orang yang memiliki visi bekerja dipastikan akan bekerja lebih keras dan kuat karena dia berkeinginan untuk mencapai visi yang sudah dibebankan kepadanya.
Kedua, hope. Setiap orang memiliki harapan dan keinginan untuk meraih sesuatu yang lebih baik, tidak hanya untuk institusinya akan tetapi juga untuk dirinya. Keduanya tentu harus berjalan seiring. Setiap orang tentu menginginkan suatu hasil yang lebih baik. Maka di sini harus ada peluang dan potensi untuk mencapai keinginan tersebut. Para pimpinan juga harus memberikan peluang untuk mencapai tujuan dan bawahan juga menyadari bahwa dia diberi peluang untuk mencapai tujuan instistusinya. Di sini harus terdapat lingkungan yang memungkinkan peluang dan potensi itu menjadi actual.
Di sini harus ada keseimbangan antara keinginan mencapai harapan dan tujuan dengan potensi dan peluang yang dimiliki untuk berkembang mencapai tujuan. Di dalam konteks ini, maka semuanya harus menjaga agar keduanya berjalan sinergi sehingga akan memperkecil tekanan yang akan mengakibatkan stress di kalangan kita sendiri. Menjaga keseimbangan di dalam bekerja tentu menjadi penting. Untuk itu, maka diperlukan kegiatan-kegiatan yang bisa mengembalikan kita semua untuk berada di dalam posisi seimbang tersebut.
Ketiga, friendship. Kita tidak bisa membayangkan kehidupan tanpa perkawanan atau persahabatan. Kita hidup di dalam dunia sosial dan salah satu kebutuhan kita ialah bagaimana membangun dan mewujudkan kebutuhan sosial itu. Kita butuh sahabat atau kawan yang bisa menjadi medium untuk saling berbagi dan memberikan pandangan-pandangannya. Ada titik nol di mana kita tidak bisa melihat diri kita sendiri. Kita sangat tergantung kepada orang lain untuk melihat titik nol tersebut. Sama halnya dengan petinju atau pemain bola yang tetap membutuhkan pelatih untuk melakukan evaluasi terhadap titik nol yang kita tidak bisa melihatnya.
Maka, di dalam sebuah institusi mestilah dibangun suasana friendship ini. di mana, sesama kawan akan saling menerima dan memberi. Di dalam konteks seperti ini, maka gradasi atau leveling di dalam bekerja tidak sangatlah mendasar. Semua bisa saling memberi dan menerima. Bisa saja pimpinan tertinggi memberikan pandangan terhadap bawahannya dan bisa juga bawahannya memberikan pandangan terhadap para pimpinannya.
Di dalam membangun prinsip perkawanan ini, maka diperlukan suasana kebersamaan, seperti out bond, rekreasi atau meeting informal yang bisa menjadi wahana untuk membangun kebersamaan. Jadi, ketiga prinsip ini harus dikembangkan agar suasana bekerja bisa menjadi wahana untuk berbahagia.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MEMBERI HAK KEPADA MINORITAS ALIRAN KEPERCAYAAN
Saya tentu merasa senang mendengarkan laporan Pak Dr. Muharram Marzuki (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama pada Balitbangdiklat Kemenag) setelah Beliau saya tugaskan untuk rapat antar Kementerian di Kementerian Dalam Negeri, 24/01/18. Rapat ini diikuti oleh kementerian/lembaga untuk membahas tentang nasib KTP bagi penganut Aliran Kepercayaan/Kebatinan, yang beberapa saat yang lalu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) agar dilegalkan penggunaan KTP bagi mereka.
Di awal-awal penetapan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ini tentu mengandung pro-kontra. Ada yang senang dengan keputusan ini, sebab mereka menggunakan dalil Hak Asasi Manusia (HAM) yang memang para penganut Aliran Kepercayaan memiliki hak kependudukan sebagai warga negara, dan juga hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan lainnya. Sedangkan di pihak lain, tentu menolak bahwa aliran kepercayaan bukan agama dan sebaliknya, sehingga haknya itu melekat kepada agama yang absah menurut perundang-undangan.
Di dalam berbagai pertemuan, khususnya yang diselenggarakan oleh MUI, bahwa pencantuman KTP dengan menyebutkan nama aliran kepercayaan itu tidak sesuai dengan kehendak umat Islam. Bagi mereka, bahwa agama tidak bisa disamakan dengan aliran kepercayaan dan sebaliknya. Aliran kepercayaan/kebatinan itu adalah rekayasa manusia, sedangkan agama adalah berasal dari Tuhan atau Allah. Jadi tidak bisa disamakan di antara keduanya. MUI bersikukuh agar pemeluk aliran kepercayaan dibuatkan KTP tersendiri dan pemeluk Agama juga dibuatkan KTP tersendiri. MUI sangat menolak di dalam satu format KTP ada dua kolom: agama dan kepercayaan.
Kemenag tentu juga terlibat di dalam pembahasan-pembahasan seperti ini. meskipun urusan KTP itu adalah kewenangan Kementerian Dalam Negeri, akan tetapi karena menyangkut agama, maka mau tidak mau kemenag harus memikirkannya. Makanya, ada 5 (lima) atau 6 (enam) kali diskusi di Kemenag, baik internal maupun eksternal. Secara internal tentu saya terlibat di dalam diskusi-diskusi tersebut. Bahkan ada 3 (tiga) kali saya mendiskusikannya dengan balitbangdiklat, Ditjen Bimas Islam, dan juga staf di Setjen. Lalu, ada juga diskusi yang diselenggarakan oleh Ditjen PHU, meskipun temanya terkait dengan evaluasi umrah, tetapi salah satu poinnya membicarakan tentang HAM dan KTP, lalu yang terakhir diskusi yang dilakukan oleh Ditjen Bimas Islam untuk membicarakan secara khusus tentang pencantuman aliran kepercayaan di dalam KTP. Di acara yang terakhir ini, maka hadir para dirjen dari agama-agama lainnya.
Saya sudah menulis tentang pandangan-pandangan yang muncul di dalam rapat terakkhir tentang pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP. Ada 4 (empat) hal yang dijadikan sebagai simpulan terkait dengan format KTP di dalam meeting akhir tersebut, yaitu: pertama, dalam satu KTP maka ada kolom agama dan ada kolom aliran kepercayaan. Kedua: di dalam KTP ada satu kolom Agama/Aliran Kepercayaan. Ketiga, KTP tanpa mencamtumkan Agama atau Aliran Kepercayaan. Keempat, ada 2 (dua) format KTP, yaitu KTP dengan kolom Agama, dan KTP dengan kolom Aliran Kepercayaan.
Tiga format awal bagi kita tentu baik. Tetapi jika dicantumkan kolom Agama/Aliran Kepercayaan maka akan terdapat resistensi yang sangat tinggi dari kalangan tokoh-tokoh agama, sebaliknya dengan mencantumkan kolom Agama pada baris yang berbeda dengan kolom Aliran Kepercayaan juga masih mengandung resistensi yang kuat. Kemudian tanpa mencantumkan Agama dan Aliran Kepercayaan juga ditolak oleh para tokoh agama. Agama di Indonesia merupakan identitas yang salah satu ekspressinya tentu di KTP tersebut.
Maka meskipun tidak sepenuhnya sepakat, maka pola KTP dua format dirasakan lebih realistis. Selain tidak akan membuat KTP baru dan menghapus KTP yang sudah terbit, maka juga dari sisi anggaran tentu akan sangat besar jika kita melakukan lagi proyek e-KTP. Maka pilihan keempat dirasa paling realistis, sebab kita tidak perlu untuk membuat KTP baru atau proyek e-KTP baru, juga perubahan hanya akan diberlakukan untuk mereka yang merasa menjadi aliran kepercayaan dan ditulis dengan pengikut agama tertentu. Jadi yang diubah hanya sejumlah penganut Aliran Kepercayaan saja, yang diperkirakan 12 juta orang. Akhirnya, ada KTP bagi penganut agama dengan kolom agama, dan ada KTP bagi penganut aliran kepercayaan dengan kolom Aliran Kepercayaan.
Kita tentu bersyukur bahwa Kementerian Dalam Negeri juga memiliki opsi yang keempat tersebut, maka di dalam rapat di Kemendagri disepakati bahwa untuk menindaklanjuti Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka dipilihlah KTP dengan format ada kolom agama, bagi penganut agama dan ada KTP dengan format ada kolom aliran kepercayaan bagi para penghayat kepercayaan.
Dengan rumusan ini, maka tidak lagi dibutuhkan perubahan dan proyek baru e-KTP, sebab yang diubah hanya yang merasa berubah, yaitu para poenghayat kepercayaan dan kebatinan. Akhirnya, keputusan pun bisa diambil.
Wallahu a’lam bi al shawab.
TAKDIR, KERJA DAN PRESTASI (2)
Setiap orang harus menyadari bahwa apapun ada batasnya, apapun ada waktu berakhirnya. Jangan pernah menganggap bahwa sesatu di dunia ini abadi dan semua bisa diraih dengan kemampuan diri sendiri. Sehebat apapun kapasitas, kapabilitas dan kecerdasan orang, maka ada batas waktu, ada batas kemampuan yang akan ditemui. Bagi kita harus ada kesadaran bahwa waktu jualah yang akan menggerus semua itu.
Di dalam hidup ini, ada orang yang menjabat hanya dalam waktu yang dapat dihitung dengan bulan. Tetapi juga ada yang dihitung dengan tahun. Ada yang menjabat hanya 3-6 bulan, tetapi juga ada yang menjabat 3-6 tahun bahkan lebih. Jika kita hanya menjabat dalam 3-6 bulan, maka juga harus dipahami bahwa hanya itulah jatah kita untuk memegang jabatan, dan ketika kita bisa menjabat 3-6 tahun bahkan lebih maka itulah batasan Tuhan memberikan kepada kita tentang amanah jabatan.
Jika kita bisa memahami ini, maka lengser jabatan atau pindah jabatan bukanlah hal yang aneh dan bukan pula musibah. Tetapi harus diyakini bahwa semua terjadi karena Allah semata. Ingin saya nyatakan bahwa Allahlah yang mengatur semuanya dan Allah yang menentukan segalanya. Itulah makna mengapa kita harus menyatakan: “semua datang dari Allah dan semua akan kembali kepadanya”.
Ada di dalam kehidupan ini yang di dalam ilmu psikhologi disebut sebagai “post power syndrome” atau sindrom pasca kuasa. Orang tidak siap memasuki batas usia bekerja atau disebut sebagai BUP atau berhenti dari jabatan yang diemban, bukan karena kesalahan atau kekeliruan akan tetapi disebabkan adanya keinginan untuk merotasi atau bahkan memberhentikan. Tentu ada orang yang siap dan orang yang tidak siap. Pasti ada penyikapan dan tindakan berbeda terhadap masalah yang dihadapi. Di sinilah makna takdir, kepastian dan ketentuan itu berlaku.
Di dalam konteks ini kita diajari untuk “husnudz dzon” atau berbaik sangka kepada Allah dan dilarang untuk “suudz dzon” atau beprasangka jelek kepada Allah. Jika kita mengembalikan kepada takdir dan kepastian Allah, maka semuanya akan berakhir. Sering kali terdengar bahwa hikmah baru dipahami di kala waktu sudah berjalan lama. Kita baru bisa menangkap bahwa “ ada hikmah” dibalik apa yang terjadi.
Saya sering mencontohkan, bagaimana percakapan saya dengan Mbah Ismail, Kakek saya, di depan rumah pada suatu sore ba’da magrib, yang ternyata bisa mengubah seluruh jalan hidup saya. Keinginan Beliau agar saya sekolah di lembaga pendidikan agama –PGAN—ternyata mengubah jalan hidup saya pada tahap berikutnya. Itulah makna takdir di dalam kehidupan manusia. Siapa menyangka bahwa perbincangan saya malam itu dengan Kakek saya ternyata membawa perubahan signifikan di dalam kehidupan saya berikutnya.
Saya tentu tidak tahu di tahap awal mengapa saya harus pindah sekolah, harus mengejar ketertinggalan saya dalam bidang ilmu keagamaan dan mengapa Kakek saya memberikan pendapat semacam itu. Ternyata semuanya merupakan design Tuhan atas diri saya, dan saya baru memahami di saat belakangan. Di kala saya ingin pindah dari IAIN Sunan Ampel Surabaya ke IAIN Walisongo Semarang, maka salah satu yang melarang adalah guru dan senior saya Pak Fadli Hady. Bagi Beliau, ketika saya pindah ke IAIN Semarang tentu harus membangun jejaring baru, kolega baru dan sebagainya, sementara di IAIN Sunan Ampel sudah ada jejaring dengan dosen dan juga pimpinan IAIN Sunan Ampel. Apa yang disarankan oleh Pak Fadli benar adanya, sebab akhirnya saya bisa menjadi asisten Prof. Dr. Bisri Afandi, MA (Rektor IAIN Sunan Ampel kala itu) dan akhirnya saya bisa menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel. Semua baru dipahami setelah lama kita merasakan dan merenungkan perjalanan hidup tersebut.
Semua perjalanan hidup ternyata sudah diatur sedemikian rinci oleh Allah SWT. Semua sudah ada blue printnya dan kita tinggal mencetaknya saja. Kita tinggal memprint out sehingga menjadi seperti apa kita sekarang. Allahlah yang mengarahkan ucapan dan perilaku kita. Jadi untuk apa kita bersuudz dzon kepada Allah, karena kita tahu besuk apa yang akan terjadi. Begitulah kelemahan kemanusiaan kita itu di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu tidak salah jika di dalam salah satu bacaan shalat kita, saat membaca iftitah: Inna shalati wa nusuki wa mahyaya mamati lillahi Rabb al alamin”. Sebuah sikap kepasrahan total kepada Allah, sebab hakikat semua yang kita miliki dan kita lakukan adalah milik Allah semata. Dengan ungkapan ini, kita ingin menyatakan bahwa hanya Allahlah yang memiliki segalanya. Hanya Allahlah yang menjadi tempat kita untuk menyerahkan diri. Dan kepasrahan diri itu hakikatnya ialah persembahan kita kepada Allah swt.
Jadi, sebenarnya kita harus terus berada di dalam konteks menyembah kepada Allah ini. Yaitu suatu sikap dan tindakan yang terus mengagungkan Asma dan Dzat Allah, sebab hanya dengan sikap dan tindakan seperti itu, kita akan selalu berada di dalam jejaringnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
TAKDIR, KERJA DAN PRESTASI (1)
Saya merasakan bahwa kesempatan saya untuk menulis semakin sempit saja. Dulu di mana saja saya bisa menulis. Bahkan di saat macet di jalanan Jakarta juga bisa menulis. Sambil menunggu pesawat akan terbang saya juga bisa menulis. Di pesawat terbang dalam perjalanan misalnya Jakarta-Surabaya, maka saya bisa menulis. Akan tetapi sekarang ternyata fisik butuh istirahat yang cukup. Perjalanan dari Jakarta ke Surabaya, lebih banyak saya pakai untuk sejenak melelapkan diri.
Factor usia ternyata memang memiliki sejumlah pengaruh terhadap fisik kita. Tidak bisa dihindari bahwa factor U –demikian orang menyebutnya—bisa menjadi kendala untuk beraktifitas yang melebihi kapasitas diri. Perjalanan waktu rasanya sedemikian cepat, sehingga pada waktunya saya juga harus meninggalkan hiruk pikuk dunia birokrasi dan akan kembali ke habitat semula sebagai dosen. Jabatan yang selama urang lebih 6 (enam) tahun saya tinggalkan karena harus berkarir pada struktur jabatan di Kementerian Agama Pusat.
Jabatan yang hanya karena kekuasaan Allah semata, saya bisa untuk memperolehnya. Sungguh orang di saat sudah mencapai usia di atas 55 tahun, maka di dalam pemikiran ketuhanan sudah memasuki era deterministic atau secara mudah dinyatakan serba “takdir”. Jika masih usia di bawah 55 tahun masih berpikir bahwa segala sesuatu yang dicapai adalah prestasi atau achievement. Serba logika, serba pikiran atau serba rasional, atau sejauh apa usaha yang dilakukan. Segala sesuatu diukur dari seberapa kekuatan rasio kita dapat menjangkaunya. Serba rasio dan usaha. Pandangan seperti ini tentu akan terkoreksi sendiri di kala usia sudah mencapai angka 55. Tidak usah berpikiran perubahan paradigm atau perubahan pikiran dan sebagainya, akan tetapi memang begitulah adanya.
Saya tentu masih memiliki masa pengabdian yang cukup panjang. Sebab sebagai seorang guru besar tentu masih memiliki waktu untuk mengabdi sampai Batas Usia Pension (BUP) 70 tahun. Jadi artinya masih memiliki waktu yang cukup untuk melakukan banyak hal terutama untuk dunia pendidikan tinggi. Waktu 10 tahun tentu masih cukup panjang.
Jika setiap tahun menghasilkan sebuah buku, maka akan terbit sebanyak 10 buku. Belum terkait dengan karya-karya lain yang bisa dipublish untuk kepentingan membangun masyarakat Indonesia yang di dalam pemahaman dan pengamalan beragamanya berada di dalam konteks Agama yang moderat. Bahkan juga dalam bentuk pengabdian lainnya bagi upaya membangun literasi keagamaan.
Saya memang tidak pernah berpikir bahwa saya akan dapat menduduki jabatan sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam, mulai tanggal 17 Januari 2012. Jabatan yang sangat prestisius dalam kaitannya dengan pengembangan dan pemberdayaan pendidikan Islam. Saya merasa dalam waktu yang hanya 2 (dua) tahun 3 (tiga) bulan, rasanya belum menghadirkan perubahan yang signifikan. Saya harus melakukan pembenahan internal yang terkait dengan penataan pendidikan dari sisi guru atau dosen, sarana dan prasarana dan juga program studi.
Di antara yang penting ialah meneruskan tradisi untuk bekerja sama dengan Islamic Development Bank (IDB) dalam kerangka peningkatan kualitas sarana prasarana pendidikan tinggi. Program ini harus terus dilaksanakan mengaca pada pengembangan UIN Jakarta, UIN Jogyakarta dan UIN Malang. Lalu tentu UIN Surabaya yang dipersiapkan sewaktu saya menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel, yang kini berubah menjadi UIN Sunan Ampel.
Lalu yang tidak kalah penting juga mendorong agar Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN-IC) menjadi unggulan pendidikan di Indonesia. Saya melihat bahwa MAN-IC, terutama Serpong telah menjadi icon pendidikan menengah di Indonesia. Makanya, kemudian program ini kita teruskan dengan impian setiap satu provinsi memiliki satu MAN-IC. Program ini cukup berhasil sebab sekarang sudah ada sebanyak 19 MAN-IC yang siap bersaing dalam kancah peningkatan kualitas pendidikan menengah.
Selain itu, juga peningkatan kualitas riset di lembaga pendidikan Islam. Saya melihat talenta-talenta yang baik di lembaga pendidikan kita, baik di pendidikan tinggi, menengah dan dasar. Oleh karena itu lalu kita munculkan program Madrasah Riset Nasional (Madrina) yang menjadi cikal bakal bagi penguatan program nasional Kompetisi Sains Madrasah (KSM) dan Ajang Kompetisi Seni, Olah raga Madrasah (Aksioma) serta Kompetisi Robotic di pendidikan dasar dan menengah, yang sekarang menjadi program andalan untuk mengukur kualitas madrasah dalam hal penguasaan sain, seni dan olahraga serta robotik.
Saya kira banyak hal yang sudah dilakukan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun tersebut dalam kaitannya dengan peningkatan akses dan pemerataan pendidikan, serta peningkatan mutu dan daya saing. Sungguh saya merasa bahwa di lembaga pendidikan kita masih banyak yang terbelenggu dengan berbagai problem internal, maka di antara tugas yang harus diselesaikan pada waktu itu ialah bagaimana agar di dalam lembaga pendidikan kita semakin muncul nuansa akademis dan bukan komunitas politik. Oleh karena dalam kurun waktu itu, maka konsentrasi lebih banyak dicurahkan untuk menemukan berbagai solusi yang penting.
Selepas menjadi Dirjen Pendidikan Islam, maka saya diserahi tugas untuk menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, pada tanggal 11/04/2014. Sebuah jabatan yang sangat prestisius. Jabatan ini juga saya dapatkan di luar pemikiran. Saya tidak pernah bermimpi untuk mengisi jabatan ini. tetapi takdir berkata lain. Meskipun saya menolak jabatan ini pun juga tidak ada gunanya, sebab Pak Menteri Agama, Pak Suryadharma Ali, yang telah mengajukan saya ke Presiden untuk menduduki jabatan ini dan Pak Susilo Bambang Yudoyono telah menyetujuinya. Saya merasa bahwa semua perjalanan hidup itu ternyata ada garisnya, ada ketentuannya atau ada takdirnya. Allah yang menggerakkan semua ini.
Meskipun seseorang ingin melakukan perubahan terhadap sesuatu, tetapi jika Allah tidak menghendakinya, maka pastilah keinginan itu tidak akan terlaksana. Begitulah kita harus memaknai takdir dan kepastian Tuhan. Barangkali itu makna Allah melarang kita mencari jabatan, sebab hakikat jabatan itu adalah amanah Allah yang memang diberikan kepada seseorang.
Tugas saya yang utama untuk jabatan Sekertaris Jenderal Kemenag adalah membawa gerbong Kemenag dengan satker terbanyak di dunia, 4557 satker pusat dan daerah untuk bergerak menuju reformasi birokrasi. Gema reformasi birokrasi harus menggelegar di seantero satker Kemenag. Untunglah dengan support dari Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, maka gema reformasi birokrasi di Kemenag itu nyaring terdengar di sudut-sudut negeri ini. Dan tentu kami bersyukur sebab Indeks Reformasi Birokrasi juga meningkat dari tahun ke tahun.
Sebagai abdi negara, tentu kami telah berupaya optimal di dalam menjalani jabatan. Makanya, hal yang sangat baik bagi kita ialah menjalankan amanah Tuhan itu dengan sebaik-baiknya dan mempercayai bahwa semuanya adalah kepastian Tuhan yang bersifat azali adanya. Semakin tua usia seseorang maka akan semakin memaknai bahwa hidup adalah takdir Tuhan dan perjalanan hidup juga takdir Tuhan. Semua milik Allah dan semua akan kembali kepadanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.