Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TAKDIR, KERJA DAN PRESTASI (1)

TAKDIR, KERJA DAN PRESTASI (1)
Saya merasakan bahwa kesempatan saya untuk menulis semakin sempit saja. Dulu di mana saja saya bisa menulis. Bahkan di saat macet di jalanan Jakarta juga bisa menulis. Sambil menunggu pesawat akan terbang saya juga bisa menulis. Di pesawat terbang dalam perjalanan misalnya Jakarta-Surabaya, maka saya bisa menulis. Akan tetapi sekarang ternyata fisik butuh istirahat yang cukup. Perjalanan dari Jakarta ke Surabaya, lebih banyak saya pakai untuk sejenak melelapkan diri.
Factor usia ternyata memang memiliki sejumlah pengaruh terhadap fisik kita. Tidak bisa dihindari bahwa factor U –demikian orang menyebutnya—bisa menjadi kendala untuk beraktifitas yang melebihi kapasitas diri. Perjalanan waktu rasanya sedemikian cepat, sehingga pada waktunya saya juga harus meninggalkan hiruk pikuk dunia birokrasi dan akan kembali ke habitat semula sebagai dosen. Jabatan yang selama urang lebih 6 (enam) tahun saya tinggalkan karena harus berkarir pada struktur jabatan di Kementerian Agama Pusat.
Jabatan yang hanya karena kekuasaan Allah semata, saya bisa untuk memperolehnya. Sungguh orang di saat sudah mencapai usia di atas 55 tahun, maka di dalam pemikiran ketuhanan sudah memasuki era deterministic atau secara mudah dinyatakan serba “takdir”. Jika masih usia di bawah 55 tahun masih berpikir bahwa segala sesuatu yang dicapai adalah prestasi atau achievement. Serba logika, serba pikiran atau serba rasional, atau sejauh apa usaha yang dilakukan. Segala sesuatu diukur dari seberapa kekuatan rasio kita dapat menjangkaunya. Serba rasio dan usaha. Pandangan seperti ini tentu akan terkoreksi sendiri di kala usia sudah mencapai angka 55. Tidak usah berpikiran perubahan paradigm atau perubahan pikiran dan sebagainya, akan tetapi memang begitulah adanya.
Saya tentu masih memiliki masa pengabdian yang cukup panjang. Sebab sebagai seorang guru besar tentu masih memiliki waktu untuk mengabdi sampai Batas Usia Pension (BUP) 70 tahun. Jadi artinya masih memiliki waktu yang cukup untuk melakukan banyak hal terutama untuk dunia pendidikan tinggi. Waktu 10 tahun tentu masih cukup panjang.
Jika setiap tahun menghasilkan sebuah buku, maka akan terbit sebanyak 10 buku. Belum terkait dengan karya-karya lain yang bisa dipublish untuk kepentingan membangun masyarakat Indonesia yang di dalam pemahaman dan pengamalan beragamanya berada di dalam konteks Agama yang moderat. Bahkan juga dalam bentuk pengabdian lainnya bagi upaya membangun literasi keagamaan.
Saya memang tidak pernah berpikir bahwa saya akan dapat menduduki jabatan sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam, mulai tanggal 17 Januari 2012. Jabatan yang sangat prestisius dalam kaitannya dengan pengembangan dan pemberdayaan pendidikan Islam. Saya merasa dalam waktu yang hanya 2 (dua) tahun 3 (tiga) bulan, rasanya belum menghadirkan perubahan yang signifikan. Saya harus melakukan pembenahan internal yang terkait dengan penataan pendidikan dari sisi guru atau dosen, sarana dan prasarana dan juga program studi.
Di antara yang penting ialah meneruskan tradisi untuk bekerja sama dengan Islamic Development Bank (IDB) dalam kerangka peningkatan kualitas sarana prasarana pendidikan tinggi. Program ini harus terus dilaksanakan mengaca pada pengembangan UIN Jakarta, UIN Jogyakarta dan UIN Malang. Lalu tentu UIN Surabaya yang dipersiapkan sewaktu saya menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel, yang kini berubah menjadi UIN Sunan Ampel.
Lalu yang tidak kalah penting juga mendorong agar Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN-IC) menjadi unggulan pendidikan di Indonesia. Saya melihat bahwa MAN-IC, terutama Serpong telah menjadi icon pendidikan menengah di Indonesia. Makanya, kemudian program ini kita teruskan dengan impian setiap satu provinsi memiliki satu MAN-IC. Program ini cukup berhasil sebab sekarang sudah ada sebanyak 19 MAN-IC yang siap bersaing dalam kancah peningkatan kualitas pendidikan menengah.
Selain itu, juga peningkatan kualitas riset di lembaga pendidikan Islam. Saya melihat talenta-talenta yang baik di lembaga pendidikan kita, baik di pendidikan tinggi, menengah dan dasar. Oleh karena itu lalu kita munculkan program Madrasah Riset Nasional (Madrina) yang menjadi cikal bakal bagi penguatan program nasional Kompetisi Sains Madrasah (KSM) dan Ajang Kompetisi Seni, Olah raga Madrasah (Aksioma) serta Kompetisi Robotic di pendidikan dasar dan menengah, yang sekarang menjadi program andalan untuk mengukur kualitas madrasah dalam hal penguasaan sain, seni dan olahraga serta robotik.
Saya kira banyak hal yang sudah dilakukan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun tersebut dalam kaitannya dengan peningkatan akses dan pemerataan pendidikan, serta peningkatan mutu dan daya saing. Sungguh saya merasa bahwa di lembaga pendidikan kita masih banyak yang terbelenggu dengan berbagai problem internal, maka di antara tugas yang harus diselesaikan pada waktu itu ialah bagaimana agar di dalam lembaga pendidikan kita semakin muncul nuansa akademis dan bukan komunitas politik. Oleh karena dalam kurun waktu itu, maka konsentrasi lebih banyak dicurahkan untuk menemukan berbagai solusi yang penting.
Selepas menjadi Dirjen Pendidikan Islam, maka saya diserahi tugas untuk menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, pada tanggal 11/04/2014. Sebuah jabatan yang sangat prestisius. Jabatan ini juga saya dapatkan di luar pemikiran. Saya tidak pernah bermimpi untuk mengisi jabatan ini. tetapi takdir berkata lain. Meskipun saya menolak jabatan ini pun juga tidak ada gunanya, sebab Pak Menteri Agama, Pak Suryadharma Ali, yang telah mengajukan saya ke Presiden untuk menduduki jabatan ini dan Pak Susilo Bambang Yudoyono telah menyetujuinya. Saya merasa bahwa semua perjalanan hidup itu ternyata ada garisnya, ada ketentuannya atau ada takdirnya. Allah yang menggerakkan semua ini.
Meskipun seseorang ingin melakukan perubahan terhadap sesuatu, tetapi jika Allah tidak menghendakinya, maka pastilah keinginan itu tidak akan terlaksana. Begitulah kita harus memaknai takdir dan kepastian Tuhan. Barangkali itu makna Allah melarang kita mencari jabatan, sebab hakikat jabatan itu adalah amanah Allah yang memang diberikan kepada seseorang.
Tugas saya yang utama untuk jabatan Sekertaris Jenderal Kemenag adalah membawa gerbong Kemenag dengan satker terbanyak di dunia, 4557 satker pusat dan daerah untuk bergerak menuju reformasi birokrasi. Gema reformasi birokrasi harus menggelegar di seantero satker Kemenag. Untunglah dengan support dari Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, maka gema reformasi birokrasi di Kemenag itu nyaring terdengar di sudut-sudut negeri ini. Dan tentu kami bersyukur sebab Indeks Reformasi Birokrasi juga meningkat dari tahun ke tahun.
Sebagai abdi negara, tentu kami telah berupaya optimal di dalam menjalani jabatan. Makanya, hal yang sangat baik bagi kita ialah menjalankan amanah Tuhan itu dengan sebaik-baiknya dan mempercayai bahwa semuanya adalah kepastian Tuhan yang bersifat azali adanya. Semakin tua usia seseorang maka akan semakin memaknai bahwa hidup adalah takdir Tuhan dan perjalanan hidup juga takdir Tuhan. Semua milik Allah dan semua akan kembali kepadanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..